Bulan Ramadhan sejatinya merupakan wahana yang tepat untuk menggembleng dan menyempurnakan diri menjadi insan kamil. Melalui puasa, kita mampu membangun kesalehan hidup, baik sosial maupun individu, sebagai pengejawantahan sikap religius yang sesungguhnya. Dalam kacamata sosial, ibadah puasa mampu membangkitkan solidaritas hidup terhadap kaum dhuaffa sekaligus meningkatkan kepekaan untuk ikut meringankan beban hidup sesama yang menderita. Secara individu, puasa mampu meningkatkan intenstitas interaksi dan komunikasi dengan Sang Pencipta melalui bahasa religi dan peribadatan sesuai dengan syarat dan rukunnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul, sudahkah kita memanfaatkan momentum ini untuk menciptakan kesalehan hidup? Sudahkah kita mampu menumbuhkan kepekaan untuk membangun solidaritas terhadap sesama? Bisa jadi, pertanyaan semacam ini terkesan “menggurui”, bahkan cenderung “dogmatis”. Namun, jika kita menengok realitas yang terjadi di tengah panggung kehidupan sosial kita, Ramadhan, terutama menjelang Lebaran, diakui atau tidak, telah menjadi ajang untuk menampilkan selera konsumtivisme.
Sesekali lakukanlah survei kecil-kecilan di pusat-pusat perbelanjaan! Apa yang terjadi? Jauh sebelum Lebaran tiba, orang-orang berkantong tebal tak henti-hentinya mengalir ke sana. Kasir perbelanjaan berjubel dikerumuni konsumen. Ramadhan dan Lebaran pun identik dengan pamer selera konsumtivisme. Sikap latah melihat tetangga kanan-kiri yang “boros belanja”, entah untuk keperluan primer maupun sekunder, membuat orang tega membuang nilai kepekaannya terhadap sesama.
Aktivitas berpuasa sesungguhnya tak hanya mengandung sikap penghambaan secara vertikal terhadap Sang Pencipta, tetapi juga mampu memancarkan sikap tenggang rasa dan solidaritas terhadap sesama secara horisontal. Esensinya, rasa haus dan dahaga yang melilit selama menjalankan aktivitas berpuasa seharusnya mampu menumbuhkan sikap empati terhadap rutinitas kehidupan kaum dhuafa yang senantiasa ditelikung kelaparan dan kemiskinan. Mereka yang hidup dengan deraan kelaparan seyogyanya menjadi sahabat-sahabat “imajiner” untuk mengalirkan sikap empati. Namun, realitas yang terjadi menampakkan pemandangan sebaliknya. Tempat-tempat liar dan kumuh yang menjadi “markas” sebagian besar kaum dhuafa jarang disambangi orang. Mereka yang berkantong tebal lebih memilih untuk memanjakan selera konsumtivismenya ke pusat-pusat perbelanjaan ketimbang menyambangi anak-anak telantar atau yatim piatu yang hidup di tempat-tempat kumuh atau lorong jembatan.
Memang, hak setiap orang untuk mengumbar selera konsumtif dan menghambur-hamburkan uangnya di pusat-pusat perbelanjaan. Meskipun demikian, aktivitas berpuasa akan jauh lebih bermakna apabila dijadikan sebagai momentum untuk menumbuhkan kepekaan terhadap nasib sesama yang kurang beruntung. Kesalehan hidup akan terpancar melalui sikap hidup yang suka berderma kepada sesama yang hidup dalam deraan kelaparan dan kemiskinan.
Tak sedikit yang berpandangan bahwa kelaparan dan kemiskinan lebih disebabkan oleh rendahnya etos kerja. Mereka dianggap sebagai pemalas sehingga gagal mendapatkan uang dan pekerjaan. Mungkin ada benarnya. Namun, ada yang lupa bahwa kelaparan dan kemiskinan juga bisa terjadi lantaran situasi struktural yang tidak memungkinkan buat mereka yang dililit kemiskinan untuk bersaing. Bagaimana tidak? Untuk bisa bekerja, mereka harus menggunakan koneksi dan uang pelicin. Dalam situasi seperti ini, alih-alih memberikan uang sogokan untuk bisa bekerja, sekadar bertahan hidup pun mereka sudah kehabisan akal. Tak berlebihan apabila tempat-tempat kumuh yang selama ini dianggap sebagai “tanah tak bertuan” menjadi “markas perjuangan” buat mereka dalam mempertahankan hidupnya. Sungguh ironis pemandangan hidup di sebuah negeri yang konon “gemah ripah loh jinawi” ini! ***
Memang kontras sekali melihat kenyataan, semoga saja dibulan penuh berkah ini bisa membawa kita pada suatu pilihan yang lebih baik, daripada sekedar menghamburkan uang dalam tempo singkat.
Nafsu berbelanja selalu muncul menjelang lebaran dan kita kebanyakan tidak mampu menahannya
Kalo prinsip saya pak “Jangan Belanja Ketika Lapar”.
Karena ketika dalam keadaan ini, nafsu belanja adlah nafsu emosi bukan nafsu butuh heheh..
kanyanya itu sudah menjadi karakter ya pak..
Manusia terkadang bisa konsumtif. Terkadang mereka juga tidak menyadari apa akibat dari hidup konsumtif. Barang ini dibeli, barang itu dibeli. Setelah membeli berbagai macam barang, terkadang barang-barang yang telah dibeli itu ternyata mubazir begitu saja. Karena saking konsumtifnya.
Saya setuju kalau puasa melatih kita untuk hidup tidak konsumtif. Sebaliknya, kita dilatih untuk saling berbagi kepada sesama. Dengan berbagi akan mendatangkan banyak manfaat kepada kita maupun kepada orang yang telah kita bantu.
selamat berbuka puasa…
ya itulah pak anehnya, puasa yang seharusnya mampu meatih kita unutk memiliki kepekan terhadap saudara yang kurang mampu, tapi malah sebaliknya, kebanyakan dari kita menjadi manusia yang penuh hura hura.bisa dilihat dari saat berbuka puasa yang bil ditotal pengeluarannya lebih dari pengeluaran sehari dari hari biasa dan ajang pamer ketika lebaran tiba.
dengan fenomen seperti itu, berarti hakikat puasa yang sebenarnya belum bisa kita capai ya pak? terus kalau begitu berarti dari puasa itu hanya akan mendapat laar dan haus saja ya?
hakekat puasa semestinya adalah “menahan
Puasa tidak harus dilakukan di bulan Ramadhan, pada setiap kesempatan kita harus mampu menemukan formulasi-formulasi yang kontekstual dengan ruang dan waktu, serta lingkungan sosial kita. Jika kita mampu menghamburkan kemewahan, harta, uang, dan nafsu konsumtifme namun kemudia kita memilih untuk tidak melakukannya, maka itulah puasa yang sejati!
Kita sudah terjebak berpuasa untuk sekedar berbuka dan berhari raya, sehingga kita tidak pernah menemuka hakihat puasa yang sesungguhnya dan begitu keluar Ramadhan taqwa kitapun turun lagi.
wa hal seperti ini banyak terjadi,sangat berkebalikan dengan makna puasa
ketika bulan Ramadhan menjelang ahir,maka banyak sekali yg dibeli dan dipamerkan
setuju,,memang benar pak..tidak bisa dipungkiri sat radhan dan lebaran seolah mnunjukan sikap konsumtif kita…
Salam.
Datang lagi kang, saya sangat suka dengan setiap tulisan di blog ini, saya terkadang masih ingin membacanya, tapi sudah sampai di paragraf terakhir.
sebagian dari kita masih menganggap puasa sebagai rutinitas tahunan, yang dangkal makna, dimana lapar dan haus saja yang membekas, kita hanya terpaku pada kesalehan individual yang ingin kita dapatkan dari puasa, padahal kita tidak berjarak dari kehidupan sosial, kita bukan hidup dalam gua. saya sepenuhnya yakin, bahwa setiap ibadah utama dalam Islam selalu mempunyai dimensi sosial, bahkan kalau menurut saya, bahwa setiap muslim diharapkan menjadi saleh secara sosial. contoh gamblang dan tegas, ada pada pribadi nabi pada periode Medina, sehingga ayat-ayat yang turun pada periode ini, sebagian besar bersangkut paut dengan kehidupan sosial. sebagaimana sering kita baca, bahwa shalat sering kali disebutkan bersamaan dengan keperihatinan pada kaum dhuafa, puasa dengan kesetiakawanan sosial. saya kira kita perlu meredefenisi/memahami ulang kata taqwa yang ingin di capai dalam perintah puasa, ia berarti soleh individu dan harus juga saleh secara sosial, karena jika tidak, kita akan menghilangkan Makna sejati Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin. wallahu wa’ lam Bissawab
Salam.
sayang, saat sekarang ini banyak yang memaknai puasa hanya sebagai ajang untuk menahan haus dan lapar, tidak lebih…
Ngomong2 soal konsumtif, kenapa setiap kali menjelang puasa dan lebaran konsumsi massa semakin meningkat. Padahal agama tidak menganjurkan, tapi itulah budaya yang membedakan hari besar dan biasa, yang terkadang menyakitkan kantong 🙁
Kontradiktif memang itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri, sementara yang berkantung tebal memborong belanjaan di mal-mal, yang miskin dan papa cuma menonton dan berharap, kapan … bisa seperti itu … itulah fenomena yang sering terjadi menjelang lebaran.
sudah merupakan budaya yang salah, tapi walau bagaimanapun sebagian ulama kita tak henti2 nya menginformasikan hakikat puasa dan lebaran itu sendiri sehingga sukurlah di dunia ini masih ada penyeimbang.
Ikut menyimak artikelnya Gan 🙂
Salam,
cap jempol aj bwt postinganx.. 🙂
nyimak aje..
iya pak. saya lihat di toko-toko banyak orang beli. ramai. ada yang beli sandal, baju, jajan dan sebagainya.
memang bener sekarang puasa dan lebaran orang lebih mementingkan konsumtif aja dari pada segi ibadahnya. sekarang event event jakarta lebih banyak yang menawarkan sesuatu yang konsumtif
Assalaamu’alaikum wr.wb, Pak Sawali
Sejalan dengan berlalunya Ramadhan tahun ini.
Kemenangan akan kita gapai
Dalam kerendahan hati ada ketinggian budi
Dalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwa
Dalam kesempatan hidup ada keluasan ilmu
Hidup ini indah jika segala karena ALLAH SWT
Di hari yang FITRI ini, dengan TULUS HATI
Saya mengucapkan mohon MAAF LAHIR & BATHIN
Semoga ALLAH selalu membimbing kita bersama di jalan-NYA
SELAMAT HARI RAYA AIDIL FITRI
Salam Ramadhan dari Sarikei, Sarawak. 😀
budaya yang seperti inilah yang saya kurang sependapat…. ajang pamerlah, dan gara-gara ajang ini banyak orang yang memakai banyak cara supaya bisa ‘pamer’ pas lebaran kelak…
saya suka sama kutipan dari post bapak… “Untuk bisa bekerja, mereka harus menggunakan koneksi dan uang pelicin.” hehehehhehehe sudah jadi budaya juga 😀
budaya konsumtif erat kaitannya dgn budaya silaturahmi di Indonesia saat lebaran yg ditopang dgn kebijakan. kebijakan liburan, arus mudik, sehingga market pun besar sekali. hampir tak mungkin konsumsi saat rmadhan dan lebaran di indonesia tak meningkat. lebih baik arah konsumtivisme nya diperbaiki. tidak semata konsumtif untuk diri sendiri dan berlebihan, tetapi berbagi kepada sesama perlu ditingkatkan. kanal2 untuk berbagi kepada sesama selayaknya lebih ditopang lagi dengan kebijakan. sistem penyaluran infak, shodaqoh, dan zakat misalnya.
Mungkin tak setiap bulan kita/mereka merasakan seperti halnya bulan Ramadhan..
😀
tapi hidup konsumtif juga bisa jadi motivasi buat kerja gan
Sikap tenggang rasa itulah yang sulit ditanamkan pada mnusia saat ini
kbanyakan hanya memenuhi kwajiban
Bila kita mempunyai dna mampu tak ada salahnya untuk menyisishkan sedikit penghasilan bagi saudara kita yang kurang mampu
Sedih saya lihat kondisi sekarang Pak…sangat setuju dengan apa yang Bapak katakan bahwa “Dalam situasi seperti ini, alih-alih memberikan uang sogokan untuk bisa bekerja, sekadar bertahan hidup pun mereka sudah kehabisan akal” ini sudah banyak terjadi di tempat saya Pak.
Untuk bisa bekerja di suatu tempat maka kita harus memberi sedikitnya uang pelicin untuk bisa bekerja disitu.
okelah kalau begitu, sip lah