Balai Kesenian Remaja (BKR) Kendal, Sabtu (14 April 2012) pukul 19.30 WIB. Suasana tampak syahdu dan mengharu-biru. Puluhan penyair muda dan pencinta sastra Kendal serasa tak sanggup membendung sentakan rasa haru yang tiba-tiba saja menyelinap di rongga dada. Lirik-lirik puisi yang indah dan eksotis serasa mengalirkan sesuatu yang gaib. Singkawang (Kalimantan Barat) yang secara sosial dan geografis sangat berjarak dengan Kendal (Jawa Tengah) tiba-tiba hadir dengan segala geliat kultural dan dinamika peradabannya. Secara bergantian publik sastra yang tumpah dalam Hajatan Kebun Sastra #14 itu membacakan puisi yang sarat dengan warna lokal Singkawang.
Begitulah suasana hajatan bertajuk “Menafsir Kelelahan: Setangkup Doa atas 100 Hari Berpulangnya Kawan Tercinta: Ida Nursanti Basuni” yang digagas penyair Farhan Satria itu. Syahdu dan mengharukan. Sebagian besar yang hadir memang secara biologis tak mengenal siapa itu Ida Nursanti Basuni. Namun, secara “ideologis” kepenyairan, almarhumah terasa sanggup memperpendek jarak ruang dan waktu. Nilai-nilai kearifan lokal Singkawang dengan segala geliat peradabannya terasa begitu universal untuk ditafsirkan. Meski dia telah berpulang ke haribaan-Nya, 6 Januari 2012 silam, roh kreativitas Ida Nursanti Basuni terasa mengalirkan bahasa “universal” yang senantiasa sanggup menawarkan ruang-ruang penafsiran baru.
Aku ingat lelap kenangan
bertahun lampau
Ramadhan kesepuluh
yang terasa amat panjang
di serambe’
Uma’ membisik kata
yang tak mampu kujamah
lewat terawang mata.
“Sannong, hati Ma’ risau.
pendaringan kita tinggal antah.
walau Ma’ tahu kesulitan
ini dari Allah Ta’ala jua
ada nikmat tak terhingga di sebaliknya.”
….
(“Tujuh Likur dengan Dzikirmu, Ma’”)
Begitulah almarhumah men-trasendensi-kan sikap religiusnya. Ma’ dijadikan sebagai medium kepasrahannya terhadap kehendak Sang Khalik. Tak terlalu nyinyir dan latah. Kebajikan hidup dalam menafsirkan sang takdir tak diekspresikan dengan mengumbar ayat-ayat kitab suci. Dengan bahasa yang sederhana, lirik-lirik penyair yang meninggal dalam usia amat muda (29 tahun, lahir 7 November 1983) itu tak hendak berbicara dan terjebak dalam sesuatu yang absurd dan utopis. Hidup kesehariannya yang akrab dengan Singkawang yang damai telah melahirkan sejumlah puisi yang terkumpul dalam antologi Mimpi Sang Dare. Gaya tuturnya yang khas dan kaya personifikasi setidaknya telah menjadi sumber inspirasi bagi para penyair muda Kendal untuk terus mengeksplorasi talentanya dalam bertutur lewat puisi.
Suasana ketika Hajatan “Mengenang 100 Hari Kepulangan Ida Nursanti Basuni berlangsung di Balai Kesenian Remaja (BKR), Sabtu, 14 April 2012
Publik sastra Kendal agaknya memiliki cara tersendiri dalam mengapresiasi karya-karya (almarhumah) Ida Nursanti Basuni yang dianggap telah menjadi sahabat “ideologis”-nya dalam berproses kreatif. Tak cukup hanya membacakan karya-karyanya yang ekspresif, diskusi pun digelar sebagai salah satu upaya untuk lebih mendekatkan “roh” kreativitasnya kepada publik sastra Kendal.
Maka, tak heran jika hajatan yang sengaja didesain bersahaja itu, secara tidak langsung berupaya “menghidupkan” roh kreativitas Ida Nursanti Basuni untuk terus diikuti jejaknya agar atmosfer penciptaan teks-teks puisi yang kental dengan warna lokal tetap terjaga.
Selamat jalan, Ida, semoga kamu menemukan kedamaian dan ketentraman di sisi-Nya! Meski kau telah tiada, proses kreativitasmu akan tetap terabadikan dan memfosil dalam “tahta” kesusastraan Indonesia mutakhir lewat karya-karyamu! ***
Amin, semoga senantiasa dikenang dan bermanfaat apa yang ditinggalkan
Pak Sawali ikutan membacakan nggak pak?
Saia penasaran kayak apa suwaranya pak Wali nekjika membacakan puisi pak. Tapi jujur, sejak SMP nekjika ada orang baca puisi dengan penghayatan yang apik, kayak orang baca qur-an suwasananya, syahdu, merdu, indah, hati bisa layu membiru, njur kaku tekan kuku-kukuku 😀
Masih muda, puisinya mistis dan sekarang dia sudah berpulang. Betapa nasib benar-benar Allah yang tentukan ya Pak. Semoga Mbak Ida bertambah tenang di sisi-Nya, berkat doa dari seluruh teman-temannya. Amin
Bertemu dengan Pak Sawali pada seminar guraru di slawi beberapa waktu yang lalu, saya langsung tergerak ingin segera membuka sawali.info. Rasa penasaran itu baru terobati sekarang ini. Ternyata, Pak Sawali memiliki blog yang luar biasa, saya terkesan dengan tampilan blognya yang cukup sederhana tapi mampu menampung sebegitu banyaknya ide. Salut and sukses untuk Pk Sawali.
Perkenalkan pak, saya Oky guru bahasa Indonesia SMA di slawi. Saya termasuk blogger amatiran. Baru mengenal blog kurang lebih 2 tahun terakhir, kunjungi blog saya ya Pak, dan berikan komentar sebagai kritik yang membangun. Trims Pak
http://eka-karatika.blogspot.com
semoga karya2 nya masih tetap dikenang dan diteruskan oleh penerus2 nya 🙂
kalo karya sastra seperti ini apa bisa diapresiasi di tingkat sekolah ndak Pak? kurikulum jaman dulu ada apresiasi sastra dan bahasa, ndak tahu kalo sekarang, bisa jadi apresiasi bahasa menjadi semakin minim, sehingga berdampak pada apresiasi sastranya
Saya tidak pernah membaca apa-apa.
Sebelumnya saya tak terlaly ngeh dengan karya sastram tapi setelah ditelisik ternyata ada kandungan yang luar biasa di dalamnya. Sangat bagus untuk diapresiasikan dan dinikmati
Selamat jalan Ida Nursanti Basuni…
kunjungan pagi gan. thanks buat onfo nya, mantep artikel nya
gajah mati meningglkan gading, macan mati meninggalkan belang..
dan jika manusia, maka yang ditinggal adalah amal dan jasanya ketika ia hidup didunia, beruntunglah orang yang selalu dikenang dalam kebaikannya walau ia telah tiada..:}
saya yakin beliau adalah pasti sosok yang hebat sehingga untuk peringatannya yang ke 100 begitu syahdu,,semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan beliau mendapat tempat terbaik,,amin
Saya pernah tanpa sengaja membaca puisi Mbak Ida Nursanti Basuni yang berjudul “JEJAK” yang tertulis dalam sebuah blog di awal Januari 2012 serta beberapa karyanya yang diulas seorang kompasianer.
Meskipun saya bukan seorang penyair, tp dengan gaya bahasa yang sederhana membuat saya betah untuk mencermati karya2 beliau.
Wah, geliat sastra di Kendal sangat bagus ya, Pak!
Salam sehat selalu!
duh , bahasanya indah banget nie,,, keren
wah , bahasanya bagus banget,,
keren
Saya terharu dengan seorang pemudi Kendal yang berhasil menghasilkan karya-karyanya. Salut deh pokoknya.
sungguh mengharukan. perlu dipertahankan, semoga sukses.
bagus puisinya pak ?? klo beli bukunya brapa pak ?
saya juga pecinta syair… maaf jika website saya tak ada hubungannya dengan syair.. karena saya hanya bekerja sebagai kuli backlink.. Saya asli batang, selama ini tdakpernah menemukan wadah untuk berkreasi seperti para pemuda kendal ini. alangkah bahagiannya jika saya bisa ikut dalam satu wadah..
terimakasih jika yang empunya blog mw mengirim email kpd saya… dan terimakasih jika komentar ini dimuat.. tak dimuatpun tetap saudara..
turut berduka utk kepergian mbak ida. belum pernah baca puisi2nya tapi semoga dia diterima di sisi-Nya.
Indah nian puisi Beliau, turut berduka cita atas kepulangan teh Ida.
Semoga karyanya tetap abadi walaupun si empunya telah berpulang.
walau saya belum pernah membaca karya alm.Ida,
tapi dari kutipan puisinya terlihat torehan yang tajam dalam kata…
turut berduka, atas wafatnya beliau, pak dhe. benar adanya, “tulisan kita abadi sepanjang ketidakabadian bumi”. semoga amal baik almarhumah diterima Allah ta’ala.
Salam kenal ya gan 🙂 nice blog
Innalillahi wa innailaihi rojiun.
Ida Nursanti Basuni ini teman akrab saya :(, memang putus kontak sejak lama. Ternyata meninggal dunia. Ya Allah.. Semoga ini karena kecintaan Allah.