Cerpen Sungging Raga
Dimuat di Harian Global (11/20/2010)
Dua manusia duduk berhadap-hadapan di sebuah gerbong kereta yang sedang berjalan menembus derasnya hujan, menembus kelengangan, menembus basahnya bukit dan pepohonan. Keduanya berbincang-bincang sambil mengamati hujan yang turun di luar jendela. Konon, kereta itu juga bernama Kereta Hujan, berangkat dari stasiun Lempuyangan.
“Waah.” Kata yang satu tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Lihat itu. Langitnya sampai hitam.”
“Oo… Seperti bintik matamu.”
“Bukan. Seperti lubang hidungmu.”
“Hahahaha.”
“Hehehehe.”
Hujan turun begitu deras dan semakin deras seperti goncangan yang paling goncang, membuat awan terpaksa memuncratkan warna pekat, lebih sendu dari kelabu. Tetapi dua manusia itu justru santai melihat hujan sambil mengunyah es krim chocolate sundae, sesekali mereka kembali bercakap-cakap, membuang kata-kata, menunggu waktu menggeser cuaca.
“Waah.”
“Apa lagi?”
“Pasti langit sedang demam.”
“Bisa jadi. Atau malah bersin?”
“Barangkali langit juga kehujanan.”
“Mana mungkin?”
“Mungkin saja. Bukankah langit adalah awal segala hujan?”
“Awal hujan adalah awan.”
“Awan tergantung di langit.”
“Masak sih?”
“Betul itu.”
“Jadi, langit seperti lemari, tempat menggantung baju?”
“Benar.”
“Tempat menggantung celana.”
“Seratus.”
“Langit gelap seperti celana dalam?”
“Yak!”
“Apa hujan juga ada di dalam celana dalam?”
“Mm… Kadang-kadang ada.”
“Hahahaha.”
“Hihihi.”
Kedua orang itu tak perlu khawatir, hujan tak bisa menyerang mereka. Hujan terbentur kaca gerbong, memercik seperti tetesan yang sia-sia. Jendela tertutup rapat, hanya rembesan hujan yang seperti embun berada di permukaan kaca bagian dalam. Rapuh. Hujan itu pun seperti tanpa harapan, benarkah? Padahal setiap tetes yang turun ke bumi ini pasti punya tujuan, entah baik atau buruk, yang pasti, mereka sesungguhnya tidak sia-sia. Tetapi langit memang tampak begitu hitam, ditambah lagi sore yang mulai melepas baju, seakan-akan malam sudah mengendap perlahan-lahan. Atau mungkin hujan telah membuat malamnya sendiri.”Waah.”
“Iya?”
“Langitnya bocor.”
“Kok bisa?”
“Tidak pakai pampers.”
“Hahahaha.”
“Hehehe, lucu ya?”
“Tidak.”
“Hahahaha.”
Kereta menembus hujan, menembus malam, menebas rel, mendepak tujuan perjalanan, rem tak makan, perjalanan tanpa perhentian, sinyal-sinyal menggigil dalam hujan, warna-warna redup seakan garis-garis cahaya yang pasrah. Masinis mengantuk, ingin tidur berbantalkan telepon genggam. Lokomotif menderu-deru, memecah hujan, gerbong-gerbong bergesekan, remang-remang. Kedua penumpang bercakap-cakap sambil memakan es krim yang meleleh.
“Waah.”
“Aduh, apa lagi?”
“Hujan kok tidak berhenti?”
“Hmm…. Iya ya.”
“Aneh. Padahal hujan juga berjalan.”
“Mungkin kereta kita ini lebih cepat dari jalannya hujan.”
“Bagaimana jalannya hujan itu?”
“Tik-tik-tik.”
“Aih, itu gerimis.”
“Byar-byar-byar.”
“Aih, itu petir.”
“Brus-brus-brus.”
“Nah, itu baru betul. Kalau kereta kita, bagaimana bunyinya kalau berjalan?”
“Wus-wus-wus.”
“Aih, itu kereta eksekutif.”
“Jeglek… Ngiik… Jeglek… Ngiik.”
“Nah, itu baru namanya kereta ekonomi.”
“Itu sih seperti suara nenekku yang asma.”
“Waah, Nenekmu seorang kereta?”
Petir terdengar, gemuruh, cahaya kilat, langit seperti sandiwara dengan ornamen kematian yang panjang. Seolah menjadi musik pengiring turunnya malaikat maut. Apakah malaikat maut sudah mengenakan jubah kegelapannya? Seperti sebuah drama di atas panggung, kereta berjalan sementara hujan adalah lampu-lampu mungilnya, kemudian turunlah malaikat maut. Mencabut nyawa demi nyawa. Malaikat itu benar ada, tetapi tak ada yang tahu apakah malaikat pernah kehujanan, itu masih misteri, misteri dari sekian banyak misteri hidup. Misterilah yang membuat hidup ini jadi hidup. Dan malaikat maut pun memiliki kehidupan, hidup di alam ghaib, mungkinkah di alam ghaib juga ada hujan? Kalaupun ada, hujan yang ghaib tak akan pernah bisa menggeser hujan yang nyata. Dan tak ada yang namanya kereta ghaib, meski banyak kereta nyata yang mengirim penumpangnya ke alam ghaib. Barangkali alam ghaib memiliki pintu, dan hujan adalah pintu dari sekian banyak pintu, dan kereta adalah tongkat malaikat maut yang terjulur. Di ujungnya ada air mata.
Tidak. Kereta Hujan tak pernah meneteskan air mata. Kereta Hujan sore itu hanya berjalan di bawah hujan, dan hujan berbeda dengan air mata. Dua orang itu masih menatap hujan yang bukan air mata. Es krim chocolate sundae sudah habis, tinggal tisu berserakan. Derak gerbong terdengar bersama udara dingin, ternyata malam telah datang, sekeliling gerbong berangsur-angsur redup. Betapa tipis perbedaan antara nyata dan ghaib. Tiba-tiba salah satu dari mereka pun sadar.
“Waaah.”
“Apa sih?”
“Aku baru ingat.”
“Ingat apa?”
“Kamu ini kan…”
“Kenapa aku?”
“Kamu penyair yang selalu membuat puisi tentang hujan!”
“Memangnya kenapa?”
“Untuk apa kamu naik kereta ini?”
“Aku… Aku cuma ingin ke puncak tertinggi puisi hujan.”
“Ooo…”
“Aku juga tahu, kamu ini penulis yang suka menulis cerita tentang kereta, stasiun, dan kenangan!”
“Terus? Ada masalah?”
“Kenapa ada di kereta ini?”
“Hohoho. Aku hanya ingin tahu stasiun terakhir yang menyimpan kenangan.”
“Hmm… Jadi? Kapan kita turun?”
“Ya kalau sudah sampai.”
“Berapa lama lagi kita sampai?”
“Ya tidak tahu, kita kan sudah ratusan tahun di kereta ini, lihat saja, tidak ada orang lagi selain kita berdua.”
“Waaaaah!”
Hujan menggeram, menggetarkan jendela pada gerbong yang juga selalu bergetar karena gesekan roda pada rel yang gemetar.Konon, di dalam Kereta Hujan yang berjalan di bawah hujan menjelang malam itu memang hanya tersisa dua penumpang. Kereta itu sudah berangkat sejak lima ratus tahun silam dari stasiun Lempuyangan, dan hingga kini belum pernah sampai di akhir tujuan. ***
sip
not bad^^
kren gan… semoga aja kereta indonesia tambah maju teknologinya amien
Cerpen pak sawali mana?? Mau baca karya panjenengan..
bagus gan, lucu lucu dikit