Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia (BI) sudah berusia delapan dekade. Jika dianalogikan dengan usia manusia, BI seharusnya sudah memasuki masa-masa kematangan dan kearifan hidup. Kenyang pengalaman dan sudah banyak merasakan pahit getirnya dinamika hidup. Namun, secara jujur mesti diakui, semakin bertambah usia, BI justru seperti anak-anak yang kehilangan orang tuanya. BI sering dibangga-banggakan sebagai bagian jati diri bangsa, tetapi sekaligus juga sering dinistakan dalam berbagai ranah komunikasi.
Yang lebih menyedihkan, bahasa dinilai sudah menjadi bagian dari sebuah entitas kekuasaan yang dengan sengaja dimanfaatkan untuk melakukan politik pencitraan, propaganda, atau tipu muslihat demi melanggengkan kekuasaan. Penggunaan ragam bahasa eufemisme, misalnya, jelas-jelas merupakan sebuah bentuk penghalusan terselubung untuk menutupi tindakan-tindakan kasar, vulgar, dan menindas. Rakyat kecil yang tertindas dan dikorbankan tak jarang dihibur dengan bahasa yang manis dan eufemistik, hingga akhirnya rakyat merasa tidak lagi tertindas, ternistakan, dan dikorbankan. Dalam konteks demikian, bahasa tak hanya sebatas digunakan sebagai media komunikasi dalam ranah sosial, tetapi juga telah dimanfaatkan sebagai alat propaganda dan media politik pencitraan untuk menggapai ambisi dan kepentingan tertentu sesuai dengan selera penggunanya. Kekuatan bahasa eufemistik memungkinkan fakta yang busuk dan sarat bopeng tampak menjadi lebih segar, santun, dan manis.
Bisa jadi, berlarut-larutnya masalah yang tak kunjung terselesaikan hingga memfosil menjadi akumulasi masalah yang multikompleks dan multidimensi di negeri ini merupakan dampak sebuah kebijakan kekuasaan yang abai terhadap perbaikan nasib rakyat. Melalui penggunaaan bahasa manipulatif, rakyat sekadar dihibur lewat jargon dan slogan-slogan eufemistik, hingga akhirnya masyarakat jadi kehilangan kontrol terhadap laju kekuasan yang amburadul dan “semau gue”. Dari sisi ini, agaknya pemakai bahasa kekuasaan telah kehilangan moralitasnya. Bahasa bukan lagi menjadi media untuk menyampaikan masalah secara jelas dan nyata, melainkan justru sengaja dikaburkan dan disamarkan hingga menimbulkan banyak tafsir. Semakin banyak tafsir, para elite penguasa semakin mudah mencari celah dalam melakukan pembelaan dan pembenaran terhadap kebijakan kekuasaan yang diluncurkannya.
Kebijakan Visioner
Bahasa memang bersifat arbitrer (manasuka) dan memiliki kekuataan personal yang tak mudah diganggu gugat oleh pihak lain. Namun, sesuai dengan hakikatnya sebagai media komunikasi publik, penggunaan bahasa tutur akan membawa dampak sosial yang begitu luas dan kompleks. Itulah sebabnya, kita sangat mengapresiasi kebijakan visioner para pendahulu negeri yang telah menetapkan bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa nasional. Pengakuan dan penetapan bahasa nasional ini jelas memiliki kekuatan yang mampu mengikat para penuturnya secara emosional, sehingga bahasa nasional bisa dimanfaatkan secara optimal di ranah publik berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disepakati.
Dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Indonesia juga telah ditetapkan sebagai bahasa negara (resmi), bahkan telah ditinggikan derajatnya melalui momentum “Bulan Bahasa” yang jatuh setiap bulan Oktober. Melalui kebijakan politik bahasa semacam ini, setidaknya segenap memori anak bangsa tergugah dan teringatkan bahwa ternyata kita memiliki warisan kultural yang telah menyejarah dan benar-benar telah teruji keberadaannya sebagai media pengokoh kebhinekaan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia telah menjadi pengikat nilai persaudaraan sesama anak bangsa secara emosional dan afektif. Namun, kebijakan visioner tak selamanya berjalan mulus. Bahasa Indonesia yang seharusnya mampu dioptimalkan sebagai media pembebasan, justru telah terperangkap dalam kubangan hegemoni yang dengan amat leluasa dimodifikasi sebagai alat kekuasaan oleh para elite-nya.
Penyadaran Kolektif
Bahasa Indonesia sesungguhnya bisa menjadi media pembebasan untuk mengantarkan negeri ini sebagai bangsa yang lebih terhormat dan bermartabat. Hal ini bisa terwujud apabila kaum elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa rakyat ketika menyampaikan kebijakan-kebijakan penting dan krusial; bukan menggunakan bahasa kaum elite yang berbelit-belit dan cenderung menyesatkan publik.
Kita sungguh prihatin menyaksikan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus didera berbagai masalah besar. Tak hanya deraan konlfik internal dan eksternal, tetapi juga tikaman bencana yang terus berdatangan secara bergelombang. Dalam situasi krusial seperti ini, sungguh disayangkan, bahasa Indonesia belum bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai media pembebasan dalam ikut menyelesaikan masalah-masalah yang datang menghadang. Bahasa rakyat dan bahasa kaum elite tak pernah berada dalam satu titik temu, hingga persoalan-persoalam besar itu gagal tertuntaskan.
Kini, setelah bahasa Indonesia berusia lebih dari delapan dasawarsa, perlu ada gerakan penyadaran secara kolektif untuk memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi publik yang mencerahkan dan membebaskan. Bahasa tidak dimanfaatkan lagi untuk memburu kepentingan kekuasaan, tetapi lebih dioptimalkan untuk membangun kemaslahatan bersama-sama rakyat, hingga akhirnya persoalan multikompleks dan multidimensi yang mendera negeri ini secara bertahap dan berkelanjutan bisa tertangani.
Dirgahayu Bahasa Negeriku! ***