Cerpen: Sawali Tuhusetya
Ketakutan dan kecemasan menggerayangi wajah setiap penduduk. Tak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu ketika senja menyelubungi perkampungan. Lorong dan sudut-sudut kampung yang gelap seperti dihuni oleh monster-monster ganas. Sudah lima warga kampung yang menjadi korban. Tewas mengenaskan dengan cara yang sama. Leher mereka nyaris putus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas. Darah kental kehitam-hitaman berceceran.
“Tolooong …. tttolooong, tttoo……” Terdengar jeritan histeris yang memilukan. Menggetarkan perkampungan. Para penduduk bergegas keluar rumah dengan setumpuk pertanyaan yang menyerbu kepala. Namun, jeritan histeris itu seketika menghilang seperti ditelan senja yang berkabut. Sepi. Nglangut.
“Dhawangan1) keparat itu muncul lagi, Kang?” tanya seorang penduduk.
“Mungkin!”
“Lho, kok, mungkin?”
“Mana aku tahu? Memang aku ini prewangan?2)”
“Tapi biasanya Sampeyan menjawab dengan penuh kepastian? Takut, ya, Kang?”
“Dasar gemblung!3)”
“Ah, sudah, sudah! Nggak ada gunanya berdebat! Yang perlu kita lakukan sekarang, kita harus secepatnya mencari tahu siapa yang menjerit-jerit tadi!” sergah penduduk yang lain.
“Betul!” sahut penduduk yang lain lagi. Lantas, disambung perbincangan ngalor-ngidul yang tidak jelas alurnya. Riuh. Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan rombongan penduduk yang lain. Berkerumun. Lantas, berkelebat dengan dada berdebar-debar. Mereka berpapasan lagi dengan beberapa penduduk yang lain. Berbincang-bincang sebentar. Kemudian, berkelebat lagi, menuju ke sebuah tempat. Entah di mana!
Kampung terpencil itu memang tergila-gila dengan pertunjukan barongan. Tua-muda, besar-kecil, laki-laki-perempuan tumpah-ruah memadati arena pertunjukan ketika ada warga yang punya hajat. Darah mereka seolah-olah sudah menyatu ke dalam pertunjukan rakyat yang menggabungkan unsur seni dan magis itu. Jayus pun tak mau kalah. Larut ke dalam arus pertunjukan yang liar, bringas, dan buas. Setiap ada pentas barongan, Jayus selalu datang paling awal dan pulang paling akhir. Sedetik pun bola matanya tak mau lepas dari arena. Lebih-lebih ketika adegan dhawangan meluncur ke tengah pentas. Mulutnya berteriak-teriak; memompa semangat para pemain sambil tak henti-hentinya bertepuk tangan. Jayus seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainannya yang telah lama hilang. Irama gamelan yang rancak membikin Jayus makin semangat berteriak dan bertepuk tangan. Sepasang kakinya menghentak-hentak, mengikuti irama kendang.
Ketika gendhing waru dhoyong menggema dari mulut waranggana, pertunjukan makin seru. Di tengah irama gamelan yang rancak ditingkah ketipak kendang yang menghentak-hentak, gerakan dhawangan laki-laki yang tinggi besar itu makin tak terkendali. Dari pojok arena, kedua kakinya pasang kuda-kuda. Diam beberapa saat, lantas meluncur cepat ke pojok yang lain dengan posisi tubuh yang ndhoyong. Dua gigi taringnya yang kuat seakan-akan siap menerkam dhawangan perempuan dan sepasang dhemit bertubuh kerdil yang berlarian ke sana kemari. Para penonton bersorak. Bertepuk tangan. Riuh. Tak terkecuali Jayus.
Gagal menerkam mangsa, dhawangan laki-laki kembali menuju ke pojok arena. Kedua kakinya kembali pasang kuda-kuda. Di tengah irama gamelan yang rancak ditingkah ketipak kendang yang menghentak-hentak dan gendhing waru dhoyong yang membahana, dhawangan laki-laki terpaku. Sepasang bola matanya yang besar dan liar membelalak; memancarkan amarah dan kebuasan. Lantas, dengan kecepatan tak terduga, dhawangan laki-laki berwajah gelap dan menakutkan itu, meluncur cepat berusaha menerkam dhawangan perempuan yang berwajah putih dan lembut. Namun, terkaman itu kembali gagal. Sepasang dhemit yang jahil dan usil berhasil melindungi dhawangan perempuan. Dhawangan laki-laki kecewa. Sesekali melakukan gerakan mesum. Dengan posisi tubuh ndhoyong, pinggulnya digerak-gerakkan seperti sedang melakukan ritual persetubuhan mengikuti irama kendang yang menghentak-hentak. Penonton kembali bersorak. Tepuk tangan membahana seperti hendak membelah langit.
Penonton terhenyak ketika tiba-tiba dhawangan laki-laki itu tersungkur di tengah arena. Tubuhnya limbung mencium tanah. Sepasang kakinya berkelejotan. Suasana berubah onar. Para penonton hafal betul bahwa hal itu pertanda pemain dhawangan laki-laki sedang kesurupan. Namun, kerumunan penonton justru makin mendekat; berdesak-desakan. Seorang pawang bersenjatakan cambuk tua dan dua anggota group yang berpakaian gelap dan berikat kepala hitam terjun ke tengah arena. Dengan gerak cekatan dan terlatih, mereka segera melolos perlengkapan dhawangan raksasa itu. Pemain dhawangan masih limbung dengan sepasang kaki berkelejotan. Namun, ketika sang pawang menghajar tubuhnya dengan cambuk tua, seketika itu pula pemain dhawangan bangkit. Lantas, dengan gerakan liar menari-nari mengikuti irama gamelan. Sepasang bola matanya tampak memerah saga. Menerawang entah ke mana. Penonton kembali terhenyak. Sesekali pemain dhawangan itu berlari ke arah penonton dengan bola mata liar. Penonton menjerit, berusaha menjauh, berdesak-desakan.
Gerakan pemain dhawangan yang tengah kesurupan semakin liar. Tak terkendali. Anehnya, penonton makin bersemangat. Tepuk sorak kembali membahana. Bersambung-sambungan. Jayus menyibak kerumunan. Wajahnya berbinar-binar. Mulutnya menyeringai. Para penonton serentak menutup hidung. Ke mana pun pemain dhawangan bergerak, lelaki kurus bermata juling itu terus membuntutinya. Dia ikut berlari-lari dan menari. Dia merasa bangga bisa ikut meramaikan pertunjukan. Liar dan buas, tapi menghibur. Suatu ketika, dia ingin memainkan dhawangan laki-laki itu. Sungguh sebuah kebanggaan dan kehormatan baginya apabila pimpinan group berkenan mengizinkannya. Ia ingin tampil habis-habisan.
Adegan demi adegan terus berlangsung di tengah arena. Semakin banyak pemain yang kesurupan. Mereka kalap. Melahap dengan rakus segala macam benda yang ditemukan. Dengan sorot mata liar dan bringas, mereka terus menari-nari; melahap rumput, botol, sabut kelapa, atau beling. Mirip kerumunan makhluk halus yang tengah berpesta. Alangkah bahagianya kalau Jayus bisa seperti mereka. Menari-nari, kesurupan, menghibur banyak orang, melupakan segala beban derita hidup, menghindari segala ejekan, cemoohan, dan hinaan orang.
Jayus memang lelaki bernasib malang. Dalam usia yang sudah menginjak kepala empat, tak seorang pun gadis kampung yang mau hidup bersamanya. Yang lebih menyedihkan, ke mana pun ia berada, selalu saja jadi bahan olok-olok dan ejekan. Ada yang menyebutnya “Jayus Gemblung”, “Jayus Gembel”, atau “Jayus Bacin”. Tak seorang pun penduduk yang mau menyisihkan sedikit keramahan untuknya. Semua menjauhinya. Dalam pergaulan, ia selalu tersisih dan disisihkan. Warga kampung selalu menutup hidungnya rapat-rapat setiap kali berbincang-bincang dengannya. Tidak tahan dengan bau bacin yang menyembur-nyembur dari rongga mulutnya.
Di dalam keluarganya, Jayus pun kurang mendapatkan tempat. Dua kakaknya yang sudah hidup berumah tangga, nyaris tak pernah menganggapnya sebagai saudara. Demikian juga dengan ketiga adiknya. Tak seorang pun saudaranya yang memberikan pembelaan ketika tetangga-tetangganya mempermainkan dan mengolok-oloknya. Mereka lebih suka menjauh ketika Jayus sedang menjadi objek ejekan. Hanya Mak Tentrem, simbok-nya, yang masih menyisakan sedikit kasih sayang untuknya. Perempuan yang mulai rapuh termakan usia itu sering membelai-belai rambutnya yang kusut dan menghiburnya dengan sabar ketika Jayus menumpahkan perasaannya yang sakit dan perih. Jayus seperti merasa mendapatkan perlindungan dan ketenteraman hidup setiap kali berada di dekat Mak Tentrem.
Jayus sudah berusaha bersikap ramah kepada siapa saja. Bahkan, kepada orang-orang yang pernah menghinanya. Dia tidak dendam atau sakit hati. Namun, citra dekil, gemblung, gembel, atau bacin sudah telanjur melekat ke dalam dirinya. Dia tetap saja dicibir, dicemooh, dan dihinakan.
Desakan untuk bisa menjadi pemain dhawangan terus mendesing-desing dalam rongga dadanya. Tak tertahankan. Dengan cara begitu, Jayus berharap bisa melupakan ejekan dan hinaan orang-orang. Dalam keadaan tidak sadar dan kesurupan, gendang telinganya tidak akan mampu menangkap celoteh miring para tetangga. Dia akan terus menari-nari, melahap benda-benda, atau mengganggu kerumunan penonton dengan tenang dan nyaman. Ta