KEPADA TANAH AIR
Oleh : Budiman S. Hartoyo
apa yang kukatakan padamu
ya, tumpahan segala kerja
apalah yang bisa kuberikan padamu
wahai, cucuran darah jelata
terik surya di atas khatulistiwa
demikian keras menghisap keringatku
bumi subur yang tak terduga
terlalu kaya buat disiram air mata
tanah air yang pendiam dan rendah hati
siangmu kudengar dalam keluh kerja resia
malammu memeras kediaman tangis dan dosa
adakah keluh duka ini akan terpupus oleh kata demi kata ?
Di sini berkecamuk nasib dan harap tertunda
di sini berabad terpampat derita rakyat membaja
aku tahu, antara perbuatan, kerja dan cinta
sudah sekian lama bangsaku memperhitungkannya
segala lagu angin dan lambaian pucuk-pucuk kelapa
deburan ombak dan kicau burung pagi dan senja
seolah mengabarkan sebuah kerinduan
tentang kemerdekaan yang sebenarnya hilang di angan
apalah yang lebih penting dari makna kehidupan
dalam tuntutan segenap bangsaku yang lapar merana
selain nafas kerinduan akan cinta
selain arti yang terwujud dalam kebenaran arti kerja
namun tangis anak-anak yang tak kunjung mengerti
adalah pernyataan yang sungguh tentang arti rizki
sementara itu bapa-bapa kita yang terhormat bicara juga
sedang apa pun yang terjadi
di mimbar atau di sini
tidak juga dipenuhi !
Gelanggang
No. 1, Th I, 1966
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
——————-
MAJULAH PAHLAWAN
Oleh : Budiman S. Hartoyo
Majulah pahlawan dengan dada terbuka.
Majulah ! Berderapan musuh bersama maut menyerang.
Sementara bintang-bintang pun bersaksi di kelam angkasa
atas kejantananmu dan musuh-musuh yang berebahan.
Telah bergelimang darah di lembah
telah berebahan kawan-kawan di garis depan,
di bawah langit mengancam suara lantang kemerdekaan.
Semangat perkasa, – hari depan nusantara !
Segenap warga tanah ini pun menabikkan salam;
salam cinta bumi dan bangsa yang lahir dalam revolusi.
Sedang malam pun segera mengusap bendera merah putih
yang mengibaskan berita pahlawan benam darah.
Adalah cinta kami, itu warna kucuran darah.
Adalah hati kami, itu warna putih butiran air mata.
Dan cinta kami padamu menyejuk langit-langit kubur
yang memutih cerlang surya atas gemeriap tugu kemerdekaan.
Majulah pahlawan dengan dada terbuka, kala senja di kota !
Majulah demi kemerdekaan yang lahir atas nama cinta !
Kenangan padamu menggeleparkan doa di ambang arasj Tuhan
Dan majulah kemudian
berbondong ke lembah sorga
sedang laras bedil masih di tangan
dan darah mengucuri di jalan – jalan
Maka bernyanyilah segenap malaikat dan bidadari
Maka semaraklah wewangian sorga, tetes darah pahlawan,
karna adalah saksi bagimu, – pejuang-pejuang kemanusiaan;
sementara masih terkenang jua tentang kehidupan
dan napas dunia dan manusia dalam kelaparan !
(Yogya, 1961)
Gadjah Mada
No. 6, Th XII
Pebruari 1962
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air