STASIUN MBALAPAN (Balada Wartoloyo)

Cerpen Bre Redana Dimuat di Nova, Tabloid (04/02/2000) Stasiun Mbalapan, tanggal pitu, sasi songo, sewu sangangatus pitungpuluh siji... (Stasiun Balapan, tanggal tujuh, bulan sembilan, seribu sembilan ratus tujuh puluh satu...)…

Tukang Cukur

Cerpen Gus tf Sakai Dimuat di Kompas (08/27/1995) Barangkali memang ada perubahan dalam dirinya. Tapi entahlah. Sebagai seorang tukang cukur, ia hanya berhadapan dengan kerutinan, melakukan hal yang sama setiap…

Sepanjang Braga

Cerpen Kurnia Effendi Dimuat di Koran Tempo (04/08/2001) PERASAANKU dibungkus kesunyian luar biasa. Dua jam termangu dalam kamar yang memiliki lebih dari seratus warna dan aroma cat minyak. Ada jendela…

Tumbal

Cerpen Kurnia Effendi Dimuat di Republika (10/24/1993) MENJELANG akhir musim hujan, Kali Gung meluap. Arusnya yang bengis telah menyeret beberapa rumah penduduk Dukuh Salam, Kagok, dan Dukuh Sembung. Jembatan panjang…

Puisi Klasik

Sajak-sajak WS. Rendra Rumpun Alang-alang Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal…

Butet Kertaradjasa: Berpotensi Mati Muda

Inilah Butet Kertaradjasa, salah satu seniman paling "rasional" yang dimiliki Jogja. Silahkan, katanya, jika orang mau menilainya sebagai seniman yang kompromistis. Karenanya, ia setengah mengutuk para seniman yang menjadikan seni…

Amir Hamzah: Sastrawan Pujangga Baru

Tokoh Indonesia 28/02/2009: Amir Hamzah lahir sebagai seorang manusia penyair pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Ia seorang sastrawan Pujangga Baru. Pemerintah menganugerahinya Pahlawan Nasional. Anggota…

Abdul Muis: Melawan Belanda dengan Pena

Perlawanan terhadap penjajahan Belanda dilakukannya tanpa putus-putus dengan berbagai cara. Dengan ‘pena’-nya yang tajam, partai politik, komite perlawanan orang pribumi, bahkan memimpin mogok kerja. Sebagai seorang wartawan, tulisan Abdul Muis…

Santhet

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Kang Jolodot marah besar. Darahnya berdesir deras. Kabut duka menyumbat dadanya.

“Pasti ada yang nggak beres!” berangnya menyaksikan ayam jagonya dihantam telak lawannya. “Jagoku ini sudah tiga kali jawara! Mustahil, mustahil!” pekiknya. Kang Jolodot menjadi gusar. Batinnya menerawang jauh. Tenggorokannya panas. Sementara, matahari membakar bumi dengan dahsyat. Menambah beban arena semakin panas. Penonton sabung ayam jingkrak-jingkrak tanpa irama. Rasanya Kang Jolodot ingin menyumbat mulut mereka. Namun, kini benar-benar terpojok. Merasa asing.

“Hore, jago Kang Jolodot KO. Kena tanduk matanya!” teriak salah seorang penonton disambung kegaduhan lain yang bergemuruh. Penonton semakin merapat. Riuh tanpa kendali. Gemanya membubung ke angkasa.

“Ayo hantam terus biar mampus!” teriak yang lain memberi semangat pada Bagong, jago lawan Kang Jolodot. Suasana semakin kacau. Lelap dalam keonaran yang mahadahsyat.

“Stop, stop!” bentak Kang Jolodot menyeruak kerumunan penonton. Dengan berkacak pinggang di tengah arena, mata Kang Jolodot menyapu bersih keributan. Mendadak suasana menjadi sepi. Nyenyet. Mirip deru bara api disiram air. Senyap. Semua penonton merunduk. Mereka hanya saling mencuri pandang dengan yang lain. Suasana tetap hening. Hanya sesekali terdengar kepakan sayap Bagong tanda kemenangan. Jago Kang Jolodot babak belur, tak berdaya.

“Dengar semua! Aku akan bikin perhitungan dengan Bejo. Pemilik Bagong. Mana orangnya?” serunya memecah keheningan. Tak ada yang berani bersuara. Sebab, mereka tahu selama ini Kang Jolodot dikenal sebagai orang yang brutal. Mudah sekali mengayunkan bogem mentah bila kemarahan sudah mencapai puncaknya, walau tindakannya salah besar. Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh gempal berkelebat di tengah arena. Semua penonton terkejut. Bisikan lirih mulai terdengar. Akhirnya ribut dan suasana bergemuruh lagi.