Jujur saja, saya sungguh risau terhadap blow-up berlebihan dari pers terhadap Caleg yang gagal alias sang pecundang –kalau boleh menyebutnya demikian—dalam meraih kursi sebagai wakil rakyat pada Pemilu 2009 ini. Muncul pencitraan baru, seolah-olah sang pecundang benar-benar berada dalam kondisi “drop” sehingga perlu di-RSJ”-kan. Sebuah stasiun TV pun merasa perlu menghadirkan beberapa caleg gagal untuk menaikkan rating tayangannya.
Saya bukan Caleg, juga bukan sanak-kerabat Caleg yang gagal itu. Kerisauan ini muncul semata-mata menyaksikan gelagat tak sedap yang mencitrakan bahwa Caleg hanya menjadi milik sang pemenang. Sedangkan, the losers alias sang pecundang itu hanya berhak untuk menikmati kekalahan dengan segala macam risiko sosio-psikologisnya. Bagaimanapun juga, dalam pandangan awam saya, the losers telah menunjukkan nyalinya dengan berkompetisi di tengah sengitnya pertarungan politik antarcalon yang tak jarang disertai dengan perilaku-perilaku anomali, bahkan juga kampanye “hitam” ala Machiavelli.
Kalau kita sejenak saja mau melakukan refleksi, sang pecundang tentu saja memiliki kapital sosial-politik yang jauh-jauh hari sebelumnya sudah dipersiapkan untuk memasuki medan pertarungan politik yang sengit itu. Tak hanya kapital duwit, tapi juga kemampuan membangun jaringan, lobi, atau orasi. Mereka juga sosok yang selama ini di lingkungannya masing-masing diyakini memiliki prestasi menonjol, setidak-tidaknya menurut ukuran mereka masing-masing, sehingga pantas untuk ikut bertarung. Kalau toh akhirnya fakta politik menunjukkan realitas yang berbeda, itu persoalan lain, yang juga sudah diperhitungkan sebelumnya.
Kalau kita mengikuti berbagai pemberitaan, memang tak sedkit jumlah sang pecundang yang kecewa, stress, bahkan ditengarai sudah ada yang mengakhiri hidupnya. Konon, bukan semata-mata lantaran mereka gagal terpilih, melainkan juga proses pemungutan suara yang dianggap tidak beres; mulai persoalan DPT hingga manipulasi suara. Repotnya, berbagai bentuk pelanggaran Pemilu dianggap sebagai sesuatu yang “nonsens”. Kondisi ini diperparah dengan pemberian stigma yang gencar diberitakan di berbagai media.
Kalau blow-up berlebihan dan pemberian stigma semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil pentas demokrasi di negeri ini justru akan sepi dari dinamika. Caleg bisa jadi menjadi sebuah akronim yang menakutkan sehingga tak ada lagi sang pecundang yang mau kembali bertarung di tengah kancah politik pada putaran Pemilu berikutnya. ***
Turut prihatin guru! ….kondisi seperti itu nampaknya jadi kebanggaan bagi beberapa media…dan belum ada yang mewakili sebagai media yang inspiring untuk mengangkat mereka menjadi sosok yang tegar. Bukan mini feature yang dapat memberikan inspirasi untuk orang2…tapi mereka seperti menjual air mata orang…tega nian yaaaaa…padahal bangsa sendiri.
Turut prihatin…sekali lagi prihatin Guru!
Baca juga tulisan terbaru Pakde berjudul The Punishment
sangat memprihatikan sekali…
maunya demokrasi yang adil, tapi malah menjadi tidak karu-karuan…
semoga pada Pilpres mendatang menjadi lebih tertata nan apik ya pak…
salam hangat selalu… 😀
Negeri ini punya budaya musiman yang paling unik di dunia pakke.
Seneng mengeksploitasi penderitaan manusia.
saya kurang setuju dengan pendapat pak sawali di kalimat terakhir. Walaupun kegagalan pernah dirasa dan cercaan pernah didapat, kursi legislatif tetap sangat seksi dan menggoda bagi calon legislatif .. hehehe
Baca juga tulisan terbaru masDan berjudul Tiga Diva, Guru Besar Baru FH UI
dari pengalaman banyak caleg yang pantang menyerah pak, sekarang boleh gagal besok “kutu loncat”, siapa tahu berhasil
Baca juga tulisan terbaru masjaliteng berjudul H2C (harap harap cemas)
Tetap akan ada hikmahnya…
Paling tidak, para caleg jangan terlalu jor-joran dan ngebet banget… harus juga disiapkan kesiapan mental untuk siap kalah.
😥
Menurut surve tdk resmi, kualitas anggta dewan ke depan di perkirakan lbh buruk dari yg prnah ada, sebab ut jd caleg kali ini tak prlu pintar tapi cukup hany dg bisa memobilisasi massa untk mendkung seseorang y bloon sekalipun. jika dpt suara lebih, jadi ia anggta dewan. yah walaupun nantinya harus bengong ketika sidang soal rakyat.
mesakke ya pak, cari sesuatu kok dengan instan, seblumnya tdk ada kiprahnya dimasyarakat, tiba2 nyaleg… gagal ….. stress, kalo cara berpikirnya spt itu mestinya ya logikanya dibalik kan pak, stress dulu .. lalu gagal, terus baru nyaleg. Artinya dia harus stress dulu berkiprah dimasyarakat, memikirkan kemajuan masyarakatnya, banyak ‘gagal’nya, baru nyaleg untuk mewarnai masyarakat, bukan nyaleg karena butuh gawean. *walah*
Baca juga tulisan terbaru wahyubmw berjudul MEMBIDIK GURU BERPRESTASI
semakin menunjukkan kalau kita begitu mencintai drama dan mudah terdistraksi dari esensi permasalahan yang sebenarnya, pak satu…
Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul The Brightest Star
perlu diselidiki faktor penyebab stress nya, terkadang bisa jadi bukan karena gagal jadi wakil rakyat-nya, tetapi :
1. bagaimana bayar utang pada sang bandar
2. gagal mendapat potensi penghasilan besar
3. Gagal mendapatkan prestis yang besar
seringkali niat-niat yang tidak lurus bisa mendapatkan kegagalan, itu karena Tuhan masih menyayangi dia dan juga kita
Tetapi bila sudah lurus niatnya, kemungkinan tidak sampe stress (paling kecewa sedikit), karena itu berarti memang belum dipercaya banyak rakyat untuk menjadi wakilnya
Luar biasa pak