Dari Kumcer, Kopdar, hingga Seminar: Sebuah Perjalanan Budaya

peluncuran kumcerpeluncuran kumcerpeluncuran kumcerpeluncuran kumcerpeluncuran kumcerpeluncuran kumcerDiskusi buku dan Peluncuran Kumcer “Perempuan Bergaun Putih (PBP)” itu akhirnya tergelar juga di Ruang Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, bersamaan dengan diskusi buku puisi “Kembali dari Dalam Diri” karya penyair Malaysia, Dr. Ibrahim Ghaffar. Terlepas dari segala macam kekurangan yang ada, acara yang digelar atas kerjasama PENA Malaysia dan KSI-KCI itu memberikan pengalaman buat saya sebagai penulis ecek-ecek yang mencoba merambah peta kesusastraan Indonesia mutakhir.
Seperti “pengantin” baru (yang masih jomblo mohon di-strike, kekekeke 😆 ) rasa haru dan dag-dig-dug-der, tanpa disadari, menyelinap ke dalam pusat kepekaan rasa dan emosi. Tak banyak yang bisa saya ungkapkan pada acara diskusi itu. Apalagi, waktu sudah banyak tersedot untuk diskusi puisi “Kembali dari Dalam Diri”. Saya hanya bisa mengucapkan rasa terima kasih kepada Pak Maman S. Mahayana dan Mbak Hanna Fransisca yang telah memprovokasi sekaligus membidani lahirnya kumcer itu, juga kepada teman-teman bloger yang telah memberikan dukungan moral selama ini. Namun, saya buru-buru mendapat sentilan dari Pak Maman, “Kau salah! Saya tidak mengorbitkan kau! Karya-karya kau itu yang mengorbitkannya. Banyak juga tuh penulis yang minta pengantar dari saya, tapi bukan hal yang mudah. Saya lihat dulu karya-karyanya. Kalau masih bisa diperbaiki, silakan perbaiki dulu. Kalau parah, justru kasihan dong sama penulisnya sendiri, hahahaha …” ungkap kritikus yang suka bicara ceplas-ceplos itu sambil tertawa ngakak.

Waduh, jadi salah tingkah. Padahal, dari kajian teori struktural, sebagaimana dikemukakan Bang Kurnia Effendi, cerpen-cerpen dalam PBP itu masih banyak kekurangannya; mulai pengulangan idiom, plot, karakteristik, hingga ending. Benar juga Bang Kurnia! Tapi sudahlah, tentang proses kreatif agaknya akan lebih menarik kalau ditulis dalam postingan tersendiri.

Sungguh senang dan berbangga hati, saya bersama Farhan untuk pertama kalinya bisa berkopdar-ria dengan teman-teman bloger yang telah berkenan hadir di acara itu. Saya bisa beradu kening dengan Mas Nindityo, Mas Anggara, Mas Dana, Mas Nazieb, Mbak Chika, Mas Brainstrom, Mas Ridu, Mas Imam-Waterbomm, Mas Suprie, Mas Ade, Mas Yudies, Bung Caplang (makasih telah menghadiahi kaos KBBC keren), Mbah Hanna Fransisca, teman-teman dari Tobadreams, juga kepada Pak Zulfaisal Putera beserta rombongan dari Kalimantan Selatan. Mohon maaf kalau ada yang lupa kusebut. (Liputan kopdar selengkapnya bisa dibaca di blog Mbak Chika dan Mas Nindityo). Terima kasih semuanya! Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Mbak Ratih Kumala, penulis kumcer “Larutan Senja” ** yang tak dapat datang bersama suami tercinta, Mas Eka Kurniawan, sang novelis “Cantik itu Luka”, karena sibuk ** yang telah menyempatkan diri untuk hadir di PDS, semoga novel berikutnya bisa segera terbit, ya, Mbak.

Keesokan harinya, saya mengikuti seminar nasional bertajuk “Taufiq Ismail: 55 Tahun dalam Sastra Indonesia”. Ini bisa saya katakan sebagai salah satu perjalanan budaya, bisa ikut terlibat dalam suasana memeringati kiprah Pak Taufiq Ismail sepanjang jejak kepenyairannya. Terlepas dari “perseteruan”-nya dengan (alm.) Pramudya Ananta Toer, yang pasti kreativitas dan produktivitasnya dalam dunia sastra Indonesia layak dikagumi. Bisa jadi, konsitensi sikapnya dalam “menjaga gawang” puisi Indonesia mutakhir merupakan manifestasi dan eskpresi jiwanya sebagaimana terungkap dalam lirik “Dengan Puisi, Aku” yang dilantunkan oleh Bimbo.

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya

Begitulah sosok Pak Taufiq Ismail. Dalam usianya yang sudah berkepala 7, penyair kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935 itu masih begitu bersemangat dalam menjaga gawang puisi Indonesia. Tak berlebihan kalau tokoh-tokoh semacam Bambang Sudibyo (Mendiknas), Budi Dharma, atau M. Arief Rahman, amat menghormatinya, sehingga berkenan meramaikan acara seminar itu.

Kesempatan itu saya gunakan juga untuk bertemu dengan para sastrawan yang sudah lama dikenal kiprahnya dalam sastra Indonesia mutakhir, semacam cerpenis eksentrik Hamsad Rangkuti (redaktur Horison), Ahamdun Y. Herfanda (sastrawan dan redaktur Republika: sehari sebelumnya sudah bertemu), si kembar Tjahyono Widiyanto dan Tjahyono Widarmanto (sastrawan asal Ngawi, Jatim), Suminto A. Sayuti (sastrawan dan guru besar dari Universitas Negeri Yogyakarta), Romadon Pohan (cerpenis dan redaksi Jurnal Nasional), Joni Ariadinata (cerpenis dan redaktur Horison), Jamal D. Rahman (pemimpin redaksi Horison), Pak Maman S. Mahayana (yang saat itu akan segera meluncur ke Surabaya), juga saya sempatkan untuk mengucapkan selamat kepada Pak Taufiq Ismail.

Ya, sebuah perjalanan budaya yang (sungguh) tak terduga. Mohon maaf apabila selama hampir lima hari blog ini tak terurus sehingga belum bisa me-repons komentar teman-teman ***

ooo

Liputan kopdar juga bisa dibaca di blog Mas Ridu.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *