Mengapresiasi Sang Pecundang
Menjelang UN: Anak-anak Butuh Sentuhan Kelembutan dan Kasih Sayang
“MEREKA-MEREKA”, DAPATKAH DIBENARKAN?
Taufiq Ismail tentang "Gerakan Syahwat Merdeka"
Teks Fiksi dan Kehadiran Dokumentator
"Langit Makin Mendung": Cerpen Multiwajah yang Kontroversial
Imajinasi "Sang Pembunuh" dan "Kebusukan" Penjara
Kontrol Bahasa di Ruang Publik
Menurut rencana, RUU Bahasa akan disahkan pada tahun 2007. Namun, hingga saat ini tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Bahkan, tahap sosialisasi kepada publik belum juga usai. Terkesan alot dan berbelit-belit. Padahal, RUU itu sudah disusun sejak awal 2006. Alotnya pengesahan UU Bahasa memang bisa dipahami. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Kalau orang berbahasa mesti harus diatur segala oleh undang-undang, bisa “mati kutu”. Orang tak bisa lagi mengekspresikan pikiran dan perasaannya sesuai dengan gaya, kebiasaan, dan latar belakang kulturalnya.
Beberapa pasal dalam RUU yang terdiri dari 10 bab dan 22 pasal ini memang bisa ditafsirkan menghambat kreativitas publik dalam berbahasa, lebih-lebih bagi kalangan pers dan dunia usaha yang mendapatkan perhatian khusus dalam RUU ini. Bahkan, seorang pejabat pun bisa “kena batu”-nya. Dalam RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini –konon– disebutkan pula pasal-pasal tentang penggunaan bahasa, termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan diterima pihak yang dinilai telah melanggar peraturan dalam berbahasa.