Puisi Abdul Wachid BS

SOLO DALAM MEI

di persimpangan
gadis menggemerincingkan gelang kaki nasib
lampu-lampu redup pada geliat pinggul
malam sedingin setajam jarum
bocah-bocah membayangkan harum ransum
ruh menjerit menggarami udara

saya di antara
kata-kata sederhana penuh gairah
sebuah harapan lebih berumur panjang
seperti jam tangan, selalu menunjuk ke jantung

mimpi kemerdekaan menjadi sebuah tugu kematian
terpahat ribuan nama, dan ribuan tercecer

gedung dan rumah gemetar
menutup pintu
mimpi kemerdekaan menjadi sebuah tugu kematian
di puncaknya ruh menjerit menggarami udara

kemana alamat?
kusahut tanda cahaya yang berkelebat
kusebar harum harapan sepanjang jalan kaki
kureguk kenyataan dari setiap ancaman

panorama kota, seperti
tangis kehilangan airmata

1999

KAKI-KAKI KECIL ITU MELUNCUR

Bocah-bocah tak henti mainkan musik jalan
Surat kabar tak henti dari teriakan
Darah tambah membasah di headline
Jam demi jam membayang harum ransum
Angin runtuh, di sungai keruh, awan atas
Sebuah kota, diserang sepeda-sepeda motor
Mengerang, slogan, kata-kata hujatan
Seperti hujan
Fatamorgana atas
Aspal meleleh
Kaki-kaki kecil itu
Tanpa alas meluncur, berebut uang logam
Hari jauh dari malam, terasa temaram

Jika gelap mulai mencat langit
Seorang perempuan berpupur gelisah di trotoar
Menghitung batu-batu
Seorang lelaki nanar menanti pacar
Menghitung batu-batu

Seorang gadis remaja di ujung gang
Langkahnya terserimpung
Seperti ada darah terpercik di wajah
Lampu-lampu limbung
Langkah-langkah pun urung
Piatu yang ragu turun ke jalan, tertunduk
Ia kembali ke pintu

Jika hari merapat ke pagi
Adzan subuh hanya luruh
Embun hanya jerit, tergelincir di sela batu
Kini matahari hanya tahu bahasa debu

Bocah-bocah tak henti mainkan musik jalan
Para politisi tak henti dari teriakan
Darah tambah mencacah di tanah
Hari demi hari hanya kemarau, menguap harum ransum
Angin runtuh, di sungai keruh, asap atas
Sebuah kota, diserang parang
Menegak, slogan, kata-kata hasutan
Seperti nyala
Bola gas raksasa atas
Aspal meleleh
Kaki-kaki kecil itu
Tanpa alas terus meluncur, berebut uang logam
Hari jauh dari malam, terasa kelam

1999

SEORANG GADIS BERORASI
– 14 Mei

Dipertemukan oleh turunnya orang-orang ke jalanan
Kemudaan megar di antara
Keringat, rasa haus, teriakan-teriakan nurani yang dirobek
Adakah lebih bening dari mata perempuan murni?

Bahasa kasihsayang menjelma
Ledakan api, coretmoret sajak-sajak garang di tembok
Aku terpanggang dua api suci
Bara lelaki disetrum kewanitaan

Dan robekan nurani nyala disulut airmata seorang ibu

1998

PANORAMA PERMULAAN HUJAN
– 20 Mei

Kami masih disiangi arus cahaya yang 32 tahun padam dalam hari-hari.
Melewati jalanan aspal.
Tugu.
Malioboro.
Air di simpang yang bertahun terkubur itu kembali berterjunan,
dalam warna pelangi disepuh senjahari.
Orang gentayangan.
Orang bercinta.
Di bawah payung, corong demokrasi.
Dan moncong senjata mengarah ke mukaku.
Tapi sajak demi sajak melesat ke udara,
menjelma api di tengah gerimis.

Sebuah permulaan dari musim hujan yang megah,
kebebasan kami tenggak.
Mandi pelangi.
Dan entah bagaimana baris sajak Rendra itu
turut menggemburkan wajah-wajah tanah.
Dengan bahasanya, air mengikis kekuasaan batu-batu,
yang 32 tahun menyumbat sungai hari kami.
Tapi di alun-alun kota kenangan raja-raja hujan mengucurkan doa.

Sebuah permulaan dari musim hujan yang megah.
Terpaan arus cahaya gerimis mengetuki kaca-kaca jendela kantor pemerintahan.
Orang-orang gentayangan.
Orang-orang bercinta.
Kami mendengar letusan pertama pohon cendana keramat dari barat.
Lalu meluncurlah ladang-ladang, menghamparkan hijau rumputnya.
“Oh, Tuhanku…..”

Demikianlah cara hujan membangunkan tidur negeri kemarau panjang.
Dan ketika arus gerimis menjelma cahaya menaburkan alif-alifnya ke bumi,
kami membaca harapan.
Kubah masjid kebiruan menambah gagah di hadapan.
Panorama yang hanya berakhir ke bilik hati para rumput.
Kami.
Mensujudkan diri.

1998

ODE PENCARI PINTU

Aku buka pintu
Jam di dinding masih berputar
Apa jantungku masih berdentang?
Sejak kamu dan anak-anak tak di rumah
Tatkala dari arah utara gelombang orang-orang itu
Menuntut jagung, minyak goreng, bukan keju

Aku buka pintu-pintu
Jam di dinding kota masih berputar
Apa jantungmu dan anak-anak masih berdentang?
Sejak aku tersedot arus gelombang orang-orang itu
Saat terjengkang oleh senapang yang hilang mata
Sebuah jawab. Hanya sebab sajak-sajak :

Yang diinjak bertahun
Di bawah kursi tak beranjak
Yang menyeruak, ingin menghirup hawa pagi hari

Aku buka pintu-pintu
Jam-jam telah rusak
Jantung tak lagi berdentang

Di sebuah jalan malam-malam
Seorang serdadu tersedu
Mencari kekasihnya yang
Terbakar

1998

SEEKOR DOMBA

seekor domba datang dari masakecil
mengembik di antara batu-batu
lelaki itu heran, bukankah padang rumput hijau
lama lenyap dari pandang, menggigil ia
di antara gantungan-gantungan tangan buskota

tapi tetes darah domba amisnya sampai ke mimpi
ia tak mengerti, bagaimana mungkin
berpuluh kemarau deras angin menghalau kemari
: sebuah rumah kecil, menjorok ke kali
di satu ruang kartonnya, ia disengat dingin

Gusti, Tuhannya ibrahim,
domba ini tersesat pulang!

1997

ODE UNTUK PENYAIR

Lelaki hitam itu
Lagi di pintu senjahari
Badannya mengeras
Menambah kemarau ranggas
Kayak dulu
Wajah gagu
Tapi mulut karatan itu toh berkata juga
;Rambut janggut kemlaratan ini
Tak kunjung terawat
Seperti sajak-sajak, kusisir nasib!

Tapi kayak dulu, yang gagu justru kami
Badan keras itu di mata tinggal sepenggal
Syair lagu melankolis
Seperti tomat yang diiris

Kami mengenalnya di penghujung tahun penuh hujan
Di pintu senjahari, kuyup hujan dan mimpi
Dengan teh hangat dan pisang goreng
Cerita ia pun berhalaman-halaman
Kesakitan ini memang kucari
Istri dan anak kukhianati
Gentayangan tak tentu tuju
Mengepalkan tinju pada apa yang kutemu!

Tapi itu tujuh tahun lalu. Yang gagu justru kami
Kenangan toh tersentak oleh kaing anjing
Berebut tulang
Lelaki itu datang untuk pergi
Ada degup jantungnya
Tapi apa hidupnya berdegup?
Ada sajak terbakar di jantungnya
Tapi apa ia sungguh penyair?

Lelaki hitam, kayak dulu, menghilang di ujung jalan itu
Dan lampu-lampu dan jalan itu menyiapkan terang
Barangkali di dadanya ada kota terakhir
Semoga

1997

MALAM SETELAH TURUN DI JALAN

pergi, sayang, suaramu
terlalu lembut untuk yang bernama keadilan
tapi itulah embun yang nyalangkan siapapun
agar tetap jaga di antara
jemputan batang-batang tangan
yang lebih baja dari baja

ke langit kota tiga detik menatap
mungkin sama juga langit jantungmu
deras dalam degup tapi
sunyi saja yang hingar

seorang lelaki lebih biasa pada mulut peluru
sehabis suara ditegakkan di siang
di jalan-jalan. orang-orang khusuk merobohkan
bendungan-bendungan nurani
tapi batang-batang serdadu
yang lebih baja dari baja
biarkan hidup tanpa cemas apa dan siapa
Tuhan di hati di jalan rakyat!
jerit lainnya
bukankah serdadu sama lahir dari ibu
kenapa yang tampak hantu melulu?

ya, itu di siang
tengah malamnya toh udara kelam mencium bau peluru
pergi, sayang,… istri cuma bisa ngelus
rahimnya yang mulai bergerak-gerak perlahan
di langit ada bermilyar mata meneteskan embun
suatu saat akan bangkit
turun di jalan-jalan, menumpulkan peluru
dan serdadu

1996

LAGU LANGIT MATI

Pagi itu ia lagi memanggil lagu langit
Bersila di sisi jendela
Lalu usai lalu menutup kitab
Lalu mulai menyurat lagi sajak-sajak tanpa
Tujuan yang terang :
Sepertinya dunia hanyalah
Jalan yang melingkar, tanpa halte
Tanpa terminal terakhir
Dan tempat ia berdiri mungkin saja suatu yang
Lebih mengering dari bunga-bunga di vas itu
Dan berjatuhan

Tapi lagu langit siapa
Apa turun dari udara berdebu?
Belum lagi sempat jawab, suara radio menajam
Yang di telinganya hanya memperlebar jurang
Dari pagi ini dengan pagi esok
Lalu istri mendekat makin menatah kekosongan mata
Juga gaduh anak tetangga berebut mainan

Ia masih di jendela
Ia masih mengharap sesuatu turun dari langit

1995

ORANG-ORANG BAYANGAN

Kami memasuki lagi jalanan berdebu
Yang dulu melukisi mata dan nasib
Yang berkedip-kedip dalam sebuah sajak
Yang dipenuhi kalimat lembut, tapi sesak tanjakan
Kecemasan memburu setiap ruang
Menggelepar ke sekitar, taman-taman mengering
Dan kami menjelma makhluk siang di dalamnya

Lalu kami dekap lagi tubuh kemlaratan itu
Selaksa bayang-bayang, kami bertukar tangkap
Masih dari trotoar, ke gang kecil dipenuhi rumah kumuh
Lalu langit kamar retak mengucuri pikiran dan
Perasaan kami membaca segala itu sebagai perlambang megah
Yang mungkin hanya berakhir di antara pusar surut ke paha
Menjadi lenguh dalam ledakan
(Ya mungkin ini hiburan kami satu-satunya yang anggur!)

Di situ barangkali kami menjadi makhluk siang yang
Sangsi akan diri sendiri, sekalipun
Kami hanya beroleh keringat serta airmata
Untuk dijadikan mandi malam
Untuk meredam teriakan-teriakan yang tersendat
Tapi selalu saja kami berkeras mengubur bayang-bayang
Tapi, “Ya Allah, kamilah bayangan itu sendiri di sela
jalanan berdebu.”

1994

JEMBATAN LURUS KE SENJA

Di tengah jembatan, aku atau kau antara dua nasib
Pasir Progo atau arus air deras di bawahnya
Tiba-tiba tubuhmu menggigil oleh airmata
Seperti pusaran sungai ini, memanjati tebingnya
(Mengingatkan tahun yang gemetar
September berdarah itu mengalir lagi padamu
Mengantarkan mayat tak berdosa ke muara)

Kini kengerian itu menjadi bahasa doa yang
Menggayuh cahaya langit, untuk disimpan
Dalam hatimu : sebuah kediaman yang sering mengeras
Sementara aku atau kau hanyalah dua bongkahan batu
Antara dua tebing yang senantiasa bersama
dalam mencari muara

Sepertinya kurasakan jalan jembatan ini
Kian meninggi, melewati waktu yang seperti tangga-
Tangga, lurus menuju sisa sinar senja
Bentangan sirothol mustaqim sepertinya lebih mendekat
Dan aku atau kau mesti melintas ke sana
Memilih arah satu antara dua dunia
Mungkin surga. Mungkin neraka

1991, 1994

1 Comment

  1. Puisi yang tetap enak di baca walau ciptaan tahun 90-an. aku suka dengan puisi karya Abdul Wached tersebut…
    Salam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *