Tayangan TV yang Bias Gender

Kategori Opini Oleh

TVSaya bukanlah pengamat media. Namun, perasaan saya sering kalut ketika menyaksikan tayangan televisi yang makin tidak membumi, bertentangan dengan akal sehat, jauh dari nilai-nilai edukatif, bahkan sangat bias gender. Sesekali, amatilah tayangan hiburan yang demikian marak di layar gelas itu. Sebagian besar tayangan hiburan yang terdedahkan (nyaris) tak lagi mengindahkan nilai-nilai kesantunan dan kelayakan buat publik.

Yang lebih mencemaskan, ketika trend dunia sudah mulai mengarah pada upaya pemuliaan harkat dan martabat kaum perempuan, dunia TV kita justru beramai-ramai mengeksploitasinya. Tubuh kaum perempuan yang memang memiliki daya pesona dan daya pikat “dijual” melalui produk-produk iklan untuk kepentingan kaum kapitalis demi menegakkan pundi-pundi bisnisnya. Dalam dunia sinetron, kaum perempuan seringkali digambarkan sebagai sosok “anomalis” yang sarat dengan tumpukan masalah sosial-kemanusiaan yang begitu kompleks; gila harta, sosok yang lemah dan tak berdaya, sekaligus juga sosok yang kejam.

Tayangan-tayangan lawakan pun acapkali mengeksploitasi tubuh perempuan melalui akting-akting konyol dan vulgar untuk memancing tawa. Lihatlah sosok Tessy atau serial Extravaganza yang demikian nyata dan vulgar menggunakan tubuh perempuan sebagai objek pengocok perut. Dengan karakter feminitas yang dibuat-buat dan artifisial, para pengocok perut bisa demikian mudah dan seenaknya memelintir tubuh perempuan di layar gelas yang disaksikan publik dari berbagai lapisan dan tingkatan usia. Sungguh, sebuah tayangan yang benar-benar abai terhadap nilai keadilan dan kesetaraan gender.

Agaknya benar apa yang dikatakan oleh banyak pengamat media bahwa dunia TV telah masuk dalam perangkap kaum kapitalis. Mereka hanya menyisakan sekian persen dari seluruh tayangan yang masih setia pada nurani. Selebihnya, hanyalah tayangan-tayangan “sampah” yang lebih berorientasi pada keuntungan finansial semata. Berdasarkan catatan Veven Sp. Wardhana, pengamat televisi dan media, setidaknya ada tiga tipologi perempuan dalam tayangan televisi Indonesia, yakni (1) perempuan pembawa petaka; (2) perempuan pelaku duka nestapa yang sama sekali tak pernah punya daya untuk menghadapi dan melawan penyebab duka derita; dan (3) pseudo-manusia alias perempuan “sakti” yang menjadi pendekar aneh macam Mak Lampir atau sekalian menjadi hantu macam Si Manis Jembatan Ancol dan mereka inilah yang bisa balas dendam.

Sebagai media publik, TV idealnya mampu menjalankan fungsinya sebagai media informasi dan hiburan yang mencerahkan. Kehadirannya secara tidak langsung akan membangun opini publik terhadap berbagai topik dan masalah kehidupan yang makin rumit, kompleks, dan sarat tantangan. Dalam konteks dan wacana tentang kesetaraan dan keadilan gender, TV pun seharusnya mampu membangun citra positif terhadap sosok dan kiprah kaum perempuan di tengah ranah dan panggung kehidupan sosial.

Dalam konteks demikian, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sangat diperlukan untuk menjembatani kepentingan publik dengan pengelola media TV. Jangan sampai terjadi, TV menjadi media “sampah” yang hanya sekadar menyajikan hiburan-hiburan “picisan”, vulgar, dan murahan, yang akan berimbas terhadap kekeliruan publik dalam memahami dan mengapresiasi kiprah kaum perempuan di tengah panggung kehidupan sosial. Secara jujur harus diakui, suara KPI tentang keberpihakannya terhadap pengarusutamaan gender selama ini belum terdengar gaungnya. Kita masih terus saja “dipaksa” untuk menyaksikan tayangan hiburan “sampah” yang gagal memberikan pencerahan kepada publik. Para pengelola media TV pun seharusnya tak lagi sewenang-wenang mengekspolitasi sosok perempuan hanya semata-mata untuk memenuhi ambisi bisnis yang dikembangkan oleh kaum kapitalis. Nah, bagaimana? ***

Keterangan: gambar diambil dari sini.

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

48 Comments

  1. hehe… justru kalau perfilman kita serba edukatif, religius dan serba bermanfaat, maka bukan Indonesia lagi dong, namanya. Nggih tho, Pakdhe? 😀
    .
    NB. Nyuwun saget nampilke avatar ing komentar panjenengan pripun sih, Pakdhe? Saya sudah login kok ya masih harus ngisi nama, email dan blog. Ono opo ya?

    mas aris mungkin benar, hehehe 😆 ttg setting avatar, waduh, nggak tahu juga yah, kenapa bisa begitu?

  2. salam kenal om..

    pinter kita aja mau nonton apa ngga..
    toh kan saluran tivi lain masih banyak yang ngga gitu (atau ngga ada kali ya)

    salam kenal juga, mas izandi. wew…. bener juga tuh, mas tergantung pandai2nya kita pilih acara ➡

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top