Secara jujur harus diakui, keberadaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) selama ini terkesan “mandul” dan belum memiliki peran yang bermakna dalam melakukan perubahan substansial dan mendasar dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Yang menyedihkan, MGMP dinilai hanya merupakan “tangan panjang” birokrasi semacam Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) atau Dinas Pendidikan. MGMP lebih terkesan membela kepentingan birokrasi ketimbang memberdayakan guru. Sikap kritis dan responsif para guru pun dianggap sebagai “kerikil” yang harus disingkirkan. Yang lebih menyedihkan, MGMP dinilai hanya dijadikan “jembatan” bagi guru tertentu untuk memburu jenjang karier yang lebih tinggi, misalnya kepala sekolah atau jabatan kependidikan bergengsi lainnya.
Tidak heran jika sikap sinis pun tak jarang ditimpakan kepada MGMP. MGMP lebih sering diplesetkan menjadi “Mulih Gasik Mampir Pasar” (pulang awal, kemudian mampir ke pasar) ketimbang Musyawarah Guru Mata Pelajaran. Sebuah ungkapan yang menyiratkan makna betapa MGMP hanya sekadar tempat kumpul-kumpul dan ngrumpi yang jauh dari ingar-bingar dan dinamika untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dunia pembelajaran. Jadwal MGMP pun tak jarang dijadikan sebagai alasan pembenar dan apologi untuk mangkir dari tugas-tugas kedinasan di sekolah. Ya, sebuah tragedi bagi wadah profesi guru semacam MGMP.
Tak henti-hentinya guru dituding sebagai “biang kerok” merosotnya mutu sumber daya manusia ketika negeri ini mengalami “kebangkrutan” intelektual, sosial, dan moral di segenap lapis dan lini kehidupan. Guru dinilai “mandul” dalam menjalankan fungsinya sebagai “agen pembelajaran” sehingga gagal melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral.
Dengan nada ironis, Darmaningtyas (2001) pernah menyatakan bahwa profesi guru itu telah mati karena memang sengaja dimatikan agar guru tidak memiliki kemandirian dalam menyiapkan lahan, memberi pupuk, dan menyemai benih-benih yang sedang tumbuh. Tugas guru dalam penyiapan lahan, pemberian pupuk, dan penyemai senantiasa akan tergantung pada pihak yang memberikan komando atau instruksi.
Pernyataan Darmaningtyas hanyalah sepenggal kisah pilu yang mesti dihadapi (hampir) setiap guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Guru masih diposisikan sebagai “aparat” negara yang harus tunduk kepada sang pemberi komando. Akibatnya, profesi guru tidak lebih dari sekadar “tukang ajar” yang mesti tunduk pada “pesanan” penguasa. Lebih-lebih pada era otonomi daerah, di mana peran dan gerak-gerik guru lebih mudah diawasi dan dikontrol, guru semakin tak berkutik dalam melakukan inovasi-inovasi yang lebih “liar” dan bermakna bagi perkembangan kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual siswa. Dalam kondisi yang sarat intervensi dan tekanan, bagaimana mungkin seorang guru mampu melahirkan generasi-generasi jempolan yang amat dibutuhkan dalam membangun peradaban bangsa yang berbudaya, terhormat, dan bermartabat?
Guru sebenarnya tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka juga harus memerankan dirinya sebagai –meminjam istilah Paulo Freire (2002)– pekerja kultural (cultural workers). Dalam konteks demikian, pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Dalam pandangan Freire, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.
Ini artinya, guru perlu diberikan keleluasaan dalam mengembangkan kemampuan para siswanya melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan keterampilan hidup agar siswa memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif, koperatif, dan kompetitif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-hari.
Namun, kenyataan yang terjadi, selama ini dunia pembelajaran jauh dari idealisme semacam itu. Para siswa didik justru sering dikarantina dan dimasukkan ke dalam “kerangkeng” ilmu pengetahuan untuk menjadi penghafal kelas wahid sehingga menjadi asing dan buta terhadap persoalan-persoalan riil yang terjadi di sekelilingnya. Ruang kelas tak ubahnya sel penjara yang amat menyiksa; pengap dan singup; jauh dari sentuhan keilmuan yang dialogis, interaktif, menarik, efektif, dan menyenangkan bagi peserta didik. Kondisi pembelajaran semacam itu jelas tidak relevan dengan amanat UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas yang mewajibkan guru untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis (Pasal 40 ayat 2). Tidak heran apabila keluaran dunia persekolahan kita menjadi bebal dan tidak responsif terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsanya.
Terlepas dari atmosfer politik yang sangat tidak menguntungkan bagi guru pada era otonomi daerah, secara jujur juga harus diakui, guru masih belum mampu tampil optimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya. Kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial yang harus dimiliki oleh guru sebagai agen pembelajaran sebagaimana diamanatkan PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) masih dipertanyakan banyak kalangan.
Dari keempat kompetensi yang harus dimiliki guru, dua di antaranya dinilai masih menjadi problem serius dan krusial di kalangan guru, yakni kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Dari aspek kompetensi pedagogik, misalnya, guru dinilai belum mampu mengelola pembelajaran secara maksimal, baik dalam hal pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, maupun pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Dari aspek kompetensi profesional, banyak guru yang dianggap masih gagap dalam menguasai materi ajar secara luas dan mendalam sehingga gagal menyajikan kegiatan pembelajaran yang bermakna dan bermanfaat bagi siswa.
Dua kompetensi guru yang dinilai masih carut-marut itulah yang tampaknya kini tengah diupayakan secara serius oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) dalam bentuk program pemberdayaan MGMP di jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (SMP dan SMA). Sejumlah dana block-grant dikucurkan oleh pemerintah untuk membantu guru dalam mengembangkan dan mengimplementasikan berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan proses pendidikan (khususnya proses pembelajaran dan manajamen).
Kucuran dana block-grant tersebut jelas memiliki makna tersendiri bagi organisasi profesi guru mata pelajaran itu, sebab selama ini (nyaris) tak ada sebuah institusi pun yang peduli dan mau melirik MGMP sebagai forum atau wadah yang memiliki peran strategis dalam memberdayakan profesionalisme guru mata pelajaran. Tidak berlebihan jika selama ini kiprah MGMP hanya sebatas “papan nama” yang bagus dalam visi dan misi, tetapi “miskin” implementasi program. MGMP yang diharapkan ikut mengurangi beban dan kegelisahan guru dalam memecahkan problem-problem pembelajaran pun hanya sebatas retorika. Bahkan, tidak jarang jajaran pengurus yang diharapkan mampu mengurus sekaligus menjadi pionir pengembangan mutu pembelajaran justru harus menjadi “urusan” di kalangan internal MGMP akibat terhadang oleh problem manajemen dan silang-sengkarutnya organisasi.
Jika dicermati, tampaknya dana menjadi problem serius bagi pengurus MGMP dalam menjalankan program, baik jangka panjang, menengah, maupun pendek. Untuk menyiasati minimnya dana, ada beberapa pengurus yang mencoba mencari “terobosan” penggalian sumber dana dengan mengajak teman-teman sejawat untuk sedikit kreatif mengembangkan ilmu dengan menerbitkan Lembar Kerja Siswa (LKS). Namun, LKS yang diterbitkan, diakui atau tidak, masih jauh dari standar mutu, bahkan cenderung mereduksi pengetahuan siswa karena hanya berisi rangkuman materi, latihan, dan tugas-tugas; tanpa pendalaman. LKS inilah yang sering dijadikan sebagai “bisnis terselubung” para pengurus yang sebagian keuntungannya dimanfaatkan untuk menggelar pertemuan, anjangsana, membeli jaket, atau studi banding. Dalam kondisi demikian, (hampir) tak ada waktu untuk menggelar kegiatan yang cerdas dan kreatif yang mampu memberdayakan profesionalisme guru. Sebagian besar waktu pengurus habis untuk mengurus distribusi LKS dan kalkulasi untung ruginya bersama penerbit. Bagaimana mungkin guru mata pelajaran mampu mengembangkan kompetensi pedagogik dan profesionalnya kalau tak pernah diajak untuk berkiprah mengikuti kegiatan-kegiatan MGMP yang cerdas, kreatif, dan mencerahkan?
Beruntunglah kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi dunia pendidikan semacam itu cepat direspon oleh para pengambil kebijakan. Melalui dana block-grant, problem dana yang selama ini menjadi kendala serius bagi pengurus dalam mengimplementasikan program setidaknya bisa sedikit teratasi. Para pengurus yang selama ini hanya sibuk mengurus LKS pun bisa mulai berpaling untuk benar-benar serius mepemberdayaan MGMP sehingga keberadaannya tidak hanya sekadar “papan nama”.
Persoalannya sekarang, mampukah program pemberdayaan MGMP yang dibiayai oleh dana block-grant itu mampu mendinamiskan kegiatan MGMP secara terus-menerus dan berkelanjutan? Mampukah MGMP tetap eksis dan bermakna ketika dana block-grant tak lagi bisa dikucurkan?
Menurut hemat saya, program pemberdayaan MGMP yang dibiayai dana block-grant perlu dimaknai sebagai “therapi kejut” yang akan terus menjadi pemicu dinamika MGMP dalam memberdayakan guru. Artinya, dana block-grant harus dipahami sebagai suntikan dan stimulan agar benar-benar mampu memosisikan MGMP sebagai wadah profesi yang vital dan strategis dalam memberdayakan guru. Dengan penafsiran demikian, seandainya dana block-grant tidak lagi mengucur, MGMP masih punya “gigi” untuk berkiprah menggelar berbagai program dan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan guru.
Oleh karena itu, perlu ada penajaman program yang riil dan praktis agar MGMP benar-benar mampu membantu guru dalam menguasai kompetensi sesuai standar pendidik yang disyaratkan dalam SNP. Paling tidak, ada enam agenda utama yang perlu segera digarap. Pertama, program memotivasi guru untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan, dan membuat evaluasi program pembelajaran dalam rangka meningkatkan keyakinan diri sebagai guru profesional. Kedua, agenda unjuk kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan.
Ketiga, agenda diskusi untuk membahas permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari solusi alternatif pemecahannya sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing, guru, kondisi sekolah, dan lingkungannya. Keempat, agenda penyebaran informasi teknis edukatif yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan kurikulum, metodologi, dan sistem pengujian yang sesuai dengan mata pelajaran yang bersangkutan.
Kelima, agenda saling berbagi informasi dan pengalaman dari hasil lokakarya, simposium, seminar, Diklat, penelitan tindakan kelas, referensi, atau kegiatan profesional lain yang dibahas bersama-sama. Keenam, agenda penjabaran dan perumusan kegiatan reformasi sekolah, khususnya reformasi pembelajaran di kelas (classroom reform) sehingga berproses pada reorientasi pembelajaran yang efektif, menarik, menyenangkan, dan bermakna bagi siswa didik.
Yang tidak kalah penting, pemberdayaan MGMP harus dimaknai sebagai sebuah proses yang terus hidup, tumbuh, dan berkembang sepanjang waktu; tidak seperti “obor blarak” yang –meminjam idiom puitik Chairil Anwar– sekali berarti sesudah itu mati. Melalui pemberdayaan secara terus-menerus dan berkelanjutan, MGMP diharapkan mampu berperan sebagai reformator dalam classroom reform, mediator dalam pengembangan dan peningkatan kompetensi guru, agen “penyemangat” dalam inovasi manajemen kelas dan manajemen sekolah, serta kolaborator terhadap unit terkait dan organisasi profesi yang relevan.
Keberhasilan MGMP dalam memberdayakan diri akan sangat dipengaruhi oleh etos kerja segenap pengurus, anggota, dan guru mata pelajaran sejenis dalam membangun semangat kebersamaan dan persaudaraan dalam sebuah wadah yang memiliki karakter dan jatidiri, kemampuan membangun jaringan dengan unit terkait, serta kesanggupan untuk tetap steril dari berbagai godaan dan kepentingan. Kini, sudah tiba saatnya MGMP mendinamiskan gerak dalam mentransformasikan dirinya secara utuh dan total ke dalam hiruk-pikuk dunia pendidikan yang semakin rumit, kompleks, dan penuh tantangan. ***
oOo
Keterangan: Gambar seutuhnya merupakan karya Mas Jujuk Suwandono
Mungkin karena selama ini salary guru di tanah air masih sangat2 minim ,bahkan kadang ada guru yg sampai untuk ongkos kendaraan saja kurang, demi anak didiknya dia sampai berani membela2-in.Intinya salary guru perlu ada pembaharuan (salary di hitung skill yang dimiliki ) jadi nggak asal orang bisa jadi guru.Karena selama ini guru itu identik copas,baik soal maupun cara mengajar..karena jarang dikasih bonus..jadi sdm-nya lelet banget dan kuang semangat.
Diahs last blog post..Menangis
nanti jangan-jangan block-grant itu malah membuat MGMP makin mandul. pemberi dana kan biasanya memberi pesan-pesan khusus… 😛
sebetulnya pengembangan LKS menurut saya bisa jadi bagus. masalahnya kan “…cenderung mereduksi pengetahuan siswa karena hanya berisi rangkuman materi, latihan, dan tugas-tugas; tanpa pendalaman.” berarti perlu adanya idealisme dari para pengurus, tidak sekadar mengelola produk LKS. bisnis sih emang perlu lah supaya para guru jadi lebih mandiri memenuhi dalam kebutuhannya, di samping menjalankan tugas mulianya.
tapi, dari atasnya juga harus punya konsep dan arah yg jelas. selama ini menurut saya penyelenggara negara sebenarnya masih bingung mau ngapain. information overload. tidak punya gagasan sendiri kayaknya. sibut liat dan dampak tanpa mencari sebabnya. MGMP kan cuma wadah aja (dampak). dana juga sarana doang. 😡
wis segitu aja deh numpang mbacotnya… sawek mumet piyambak 😮
Salam Kang Sawali,
Pertama saya ucapkan terima kasih atas postingan ini.
Kalau saya lihat kebelakang sewaktu saya jadi guru muda pada saat itu, ada juga sejenis kegiatan guru mirip mgmp yaitu spkg, setelah pkg.ada beberapa hal yang menjadi catatan saya tentang spkg di wilayah saya bekerja;
1.kegiatan spkg yang langsung dari nara sumber (expert), mereka terjun langsung tidak hanya teoritik (omdo/omong doang).
2.pengawasan terpadu tentang kegiatan tersebut, antara pihak sekolah (dikbud)dan penyelenggara kegiatan yang bertarget jelas.
3.Keuangan tentang penyelenggaraan pun jelas dan terukur.
Nah 3 catatan ini yg tidak ada sekarang di mgmp, saya pernah mengikuti kegiatan mgmp kurang lebih 1,5 tahun,dan hasilnya seperti yang di paparkan Kang Sawali di atas. Malah ada kesan kegiatan mgmp ini hanyalah kegiatan yg seharusnya dilaksanakan antara kepsek+pengawas, tetapi yang kerja adalah guru dari a-z, sementara mereka penunggu kegiatan saja.Kemudian meminta laporannya ke ketua mgmp, dan menutup acara tersebut. 8)
Tapi bagaimanapun juga, kita harus membenahi diri, mau belajar jadi guru yang baik, mau belajar dari kekurangan kita,belajar , belajar, dan terus belajar hata dalam kondisi apapun, karena perkembangan teknologi dan budaya berubah cepat dan dinamis.tanpa meng-update diri kita , profesi guru akan di cemooh dan di jadikan kambing hitam sebuah kebijakan otoriter. wallahu’alam.
mohon maaf nyampahnya pannnnnjang.
aminherss last blog post..Break Those 3 Bad Habits
Ya begitulah Pak. Kami lagi bikin program percepatan peningkatan mutu pendidikan, dan dengan empasis bagaimana guru menolong dirinya meningkatkan kompetensi. Ya, MGMP itu dijadikan jalan untuk yang lebih diberdayakan. Program kami (maaf) mendidik ulang (in servive training) guru-guru; mulai dari mempertebal kompetensi, merancang RPP, TIK, PTK, LKS, buku ajar, dan seterusnya. Kami dipercaya mengelola dana beberapa M. Tidak mudah memang membangun budaya guru, tapi … berkat ketabahan guru itu cerdas-cerdas kog. Kami, tidak begitu percaya dengan program pemerintah (pusat), kami kreasi sendiri.
Sejak negeri ini merdeka kan mereka yang menginstruksikan segala hal, hasilnya? Semutpun tahu. Kami berkolaborasi, bekerjasama dengan guru. Doain ya, Pak.
Ersis Warmansyah Abbass last blog post..Menulis ‘Membunuh’ Diri
guru, orang yang takkan saya lupakan sedari dulu..
masih inget saya guru2 dari TK bahkan guru tidak resmi saya yaitu “kehidupan” dan pengalaman
hmmm, mudah2an pemerintah bisa meningkatkan harkat dan derajat serta kehidupan yang layak untuk para guru, seperrti dijepang..
kakak saya juga seorang guru, guru komputer, kadang sempet prihatin klo liat gajinya, tapi beliau orientasi terhadap transfer ilmu…
kita doakan guru2 diindonesia mendapatkan segala penghidupan yang layak…
amin
salam kenal pak sawali…thx buku gratisnya hihihh
arizanes last blog post..Selamat Datang Ubuntu
Mungkin saya pada sisi “Underground” dalam bagian kecil (item) pada sistem dunia pendidikan. Kenyataan sangat sulit mencari seorang pendidik (dosen di PT) yang memiliki dedikasi “tanpa pamrih”. Terutama di PT Negeri, Dosen lebih banyak mencari proyek dibandingkan dengan memberi pelayanan seperti bimbingan kepada mahasiswa dalam penyusunan skripsi/tesis. Hal ini semakin banyak ketika para profesor yang mengecar jabatan baik dipemerintahan maupun di perusahaan swasta. Hal ini mungkin salah satu dari phenaomena munculnya orang2 seperti saya (hehehe). Di sini guru atau dosen berstatus pegawai, hal yang berbeda dengan dinegara maju atau mapan, bahwa guru atau dosen adalah kontrak, sehingga bagaimana mereka dapat memberikan kinerja yang maksimal sehingga kontrak diperpanjang. Mungkin situasinya berbeda dengan para guru yang ada di sini 😡
Laporans last blog post..Pharaoh, La Doncella (Part 3)
:DD Kita membentuk terlalu banyak organisasi, tapi terlalu sedikit yang mau melakukan pekerjaan sederhana, nyata, di sini, dan sekarang. :DD
Robert Manurungs last blog post..Komnas HAM Pun Tersihir Oleh Blue Energy
jadi intinya MGMP gak jalan karena gak ada dananya gitu pak? 😀
chodirins last blog post..Keanehan Gmail dan Keuntungannya
MGMP cuma jadi alasan buat mangkir mengajar??? waduh… gawat tuh… :DD
Kalau seperti itu berarti MGMP tuh sama dengan Musyawarah Guru Meninggalkan Pendidikan dong!! :DD
Qizink La Azivas last blog post..Anak Krakatau Dinyatakan Aman
Yach begitulah Mas…namanya saja MGMP …tapi jangan di plesetkan Mumpung Guru Mau Pulang….
Tapi saya rasa itu masih perlu lho Mas asal cara ngemasnya lebih Profesional sedikit…..(jangan banyak banyak)
Salam
FADs last blog post..Advetorial – Berocca untuk tantangan Stamina dan Konsentrasi
Saya membayangkan menjadi guru pada zaman sekarang adalah dipaksa untuk terus menerus belajar, karena perubahan lingkungan yang begitu pesat, demikian juga dengan perkembangan teknologi informasi, yang merubah segalanya. Untuk bisa mengikuti perkembangan ini, para guru harus diberikan waktu, kesempatan, peluang…namun juga gaji guru yang rendah membuat gerakan terbatas, terutama jika tinggal di kota besar, yang biaya hidup mahal, transportasi dari rumah ke sekolah perlu waktu yang lama.
Padahal guru diharapkan berperan mengajar, mendidik, memberi contoh perilaku, serta memahami segala perubahan sesuai perkembangan zaman….sedihnya, masih banyak para orangtua yang menyalahkan guru jika anaknya tak berhasil di sekolah (dari beberapa surat pembaca). Padahal keberhasilan pendidikan anak dihasilkan dari kerja sama para pejabat yang membuat kebijakan, para guru serta orangtua murid. Betapapun sibuknya orangtua murid, namun anak memerlukan perhatian, dan sebetulnya tak ada alasan ortu sibuk. Saya mengenal seorang ibu yang menjadi Direktur, Dirjen, bahkan Menteri, yang tetap hadir di sekolah pada saat penerimaan rapor, pertemuan POMG dsb nya…dan anak-anaknya diterima di PTN terkenal di Indonesia, baru setelah S2 meneruskan ke luar negeri, itupun melalui beasiswa yang berarti anak-anaknya memang hebat.
Jadi, pemahaman kita yang harus diubah……bagaimana pak Sawali?
(Saya mungkin termasuk ortu yang tak berani melepas anak, dan tetap mengawasi dari jauh, walaupun saat itu mereka udah menjadi mahasiswa di UI dan ITB). Caranya adalah secara tak langsung, menghadiri seminar yang diadakan fakultas tempat anak kuliah (dengan membayar tentunya), ikut grup diskusi orangtua mahasiswa, mengenal dari dekat teman kelompok belajar, kadang mengajak makan-makan teman-teman anak dsb nya. Sayapun punya no hp teman-teman anak seangkatan, yang sering punya kegiatan sama dengan anakku, tapi ini hanya digunakan jika keadaan darurat. Saat SD s/d SMA, minimal setiap bulan pada hari Sabtu, saya kesekolah untuk memantau kenakalan anak (artinya apakah anakku pada bulan ybs berbuat hal diluar kewajaran).
edratnas last blog post..Hubungan antar tetangga dilingkungan tempat tinggal
Wah, kok yang dibahas mirip dengan diskusi saya semalam ? Kalau menurut saya sih, pemberdayaan mgmp ini mampu menjadi terapi kejut. Namun itu tergantung pada orang-orang yang terlibat di dalamnya 😉 *kembali ke masalah SDM lagi
suandanas last blog post..ujian…ujian…ujian…
“Secara jujur harus diakui, keberadaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) selama ini terkesan “mandul”…” 😡
Pada kontek ini…, ternyata kata “Musyawarah” telah terjadi pergeseran makna. Kata “Musyawarah” lebih sering dimaknakan bahwa segala sesuatu itu bisa di”Musyawarah”kan alias “diatur” alias “cing-cai-lah”. Sehingga kata “Musyawarah” lebih cenderung ber-konotasi negatip. 😛
Oleh karena itu, usul Pak… kalo MGMP itu sebuah organisasi, maka ganti aja menjadi KGMPYGPM (Kumpulan Guru Mata Pelajaran Yang Gak Pernah Mandul)
Sedangkan kegiatannya bukan lagi “Musyawarah” tapi Pokja… biar ada sesuatu yg dihasilkan dan ndak hanya sekedar ber-musyawarah aja.
Gemana Pak…??? Mathuk ndak.??? 🙄
serdadu95s last blog post..Berada di Persimpangan (part 3)
hmm.. jadi inget kembali hasil diskusi kemaren hari tentang kesenjangan guru pak..
yainals last blog post..Prospek Kerja Lulusan SCTC di Solo Techno Park
Aku pernah tinggal bertetangga dgn sekolahan. Duh, aku suka tertawa mendengar suara guru ngajar. Apa waktu sekolah menjadi guru, tidak diajar utk mendapatkan kharisma atau mengolah suara ya?
Juliachs last blog post..Masa Kecilku di Siwalan Barat Semarang
Hari ini aku baru aja ikut seminar tentang anggaran pendidikan… pusing kepala!!! Rata-rata peserta ngomongin masalah biaya pendidikan 20 persen. Sedemikian pentingkah angka 20 persen tersebut. Kalau menurut saya sih, yang penting anggaran yang ada saat ini udah tepat sasaran kah? efektif kah? nggak ada kebocoran kah?
kalau
Kalau anggaran digedein terus kebocorannya gede juga… percuma dong!!!!…
Qizink La Azivas last blog post..Pengumuman UN 2008 Tertutup
Tapi bukankah selalu terganjal dengan kurikulum yang terlalu sering berganti pak? 😉
azaxss last blog post..Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (kecuali Ahmadiyah)
Guru adalah cita2 aLe mulai masuk smster 2 hingga smester 7 kemaren, sekarang? semoga masih bertahan
huhuhu bener3 kompleks rumit dan penuh tantangan yah pak… saya malah hampir tak mengerti sebagian besar dianataranya hehehe.
suatu program dan sitem dibangun pada dasarnya untuk meningkatkan kinerja tapi sayangnya lagi-lagi semua itu harus di dukung dengan kesiusan orang yang ada di dalam sistem tersebut.
tapi kalau guru aja udah nggak serius membenahi diri meningkatkan mutu pendidikan sepertinya nggak salah juga kalau ternyata muridnya malah ikut2an malas untuk berbenah. maap pak sotoy banget yah hehe,
ssMGMP tetap penting terlepas kiprah dan kontribusinya belum begitu terasa. Berdasarkan pengamatan saya, MGMP yang tetap eksis ketika manajer/ketuanya memiliki idealisme, tanggung jawab dan kemmampuan memimpin teman-temannya.
Dana memang penting, tapi bukan segalanya. Banyak dana tapi pengurus dan anggotanya tidak mau bergerak juga sama saja.
Semoga MGMP kedepan bisa lebih optimal terutama dengan adanya proses pembimbingan dan perhatian dari semua pihak, kepala sekolah, dinas pendidikan dan pemerintah setempat.
Saya membayangkan suatu saat nanti, MGMP itu menjadi kawah candradimuka guru-guru untuk saling sharing dan mendapatkan inspirasi untuk pembelajaran yang inovatif, kreatif, rfektif dan menyenangkan.
Misal, seorang guru punya alat peraga bagus kemudian ditularkan ke yang lain. Ada yang bikin CD pembelajaran bagus, diinformasikan ke anggota lain.
Semoga… 😯
Deni Kurniawan As’aris last blog post..SKB 3 Menteri Tidak Jelas
mas….ajax nya error klo setiap buka blognya (pakai opera).
wagh….kesenjangan guru perlu diperhatikan tuh 😉
okta sihotangs last blog post..U Comment, I Follow
salam
SEmoga stimulan itu akan benar-benar memberdayakan para guru, ya intinya berbanding luruslah dengan kualitas, guru dan anak didiknya kelak. btw jangan karena guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa kemudian tidak dihargai secara materil, coba kayak di Jepang or malysia, memberikan salary yang sesuai buat mereka. Amin
nenyoks last blog post..Efektifkah Penerbitan SKB Ahmadiyah
jadi inget dulu waktu kecil..
dulu diriku pernah punya cita2 jadi guru…
tetapi semenjak smp gara2 mendapat guru yg masa bodoh yg penting mengajar, tak penting baginya para murid bs mengerti atau tidak..
Semoga saja terapi kejut tersebut bisa terealisasikan dg sukses y pak…
hanggadamais last blog post..Diriku Bukan Untukmu
Kok saya makin pusing ya pak Sawali?? :411 Kenapa kok sudah banyak program2 yang diadakan bahkan sekarang sudah terlalu banyak program2 tetapi kemajuan kok seperti jalan di tempat?? Malah bikin pusing dan bikin capek aja hehehe….
Yah…. kalau saya sih sudah maklum dengan sistem pendidikan di sini… mau apa lagi?? Kita mau mengeluh juga hanya buang2 energi…. yang penting saya berusaha untuk menjadi ko-pengajar di rumah, di mana kekurangan2 yang didapatkan anak2 saya di sekolah, saya usahakan untuk saya tutup sendiri sebisa2nya, dan mudah2an kekurang2an tersebut dapat tertutupi dan bukannya malah lebih terbuka lebar…. wakakakak…. :292
Yari NKs last blog post..Film Disc Kodak, Sebuah Produk Gagal !
Idealnya guru itu kreatif semuanya kayak Pak Sawali ini. Kesejahteraan sebagai daya tarik juga tidak boleh dilupakan. Jika menjadi guru sangat menjanjikan, pasti lulusan terbaik akan berlomba menjadi guru, seperti di Finlandia.
Sistem ujian yang masih berbasis pada hapalan memang bertabrakan dengan standar isi (kompetensi dasar) yang didengungkan pemerintah. (halah sok tahu, macam awak guru aja).
Hery Azwans last blog post..Taman Safari
Mudah”an ke depannya kualitas ilmu dan kesejahteraan guru mendapat perhatian lebih baik lagi.
Terus terang salut sama orang masih punya cita” menjadi guru di Indonesia ini..
t i n is last blog post..Konsentrasi, Elemen Penting dalam Menghadapi Pelanggan
waduh, pak! ketinggalan postingan banyak nih! rss feed saya kok gak menangkap tulisan terbarunya pak sawali! *mode apologi on* xixixixixixixi…
MGMP memang syarat kelemahan. Tak perlu jauh-jauh antar sekolah, dalam satu sekolah saja sangat sulit merealisasikan kegiatan MGMP sekolah. Seringnya hari MGMP dianggap hari libur dan guru tidak masuk sekolah juga tidak hadir dalam MGMP kota.
Permasalahan sebenarnya banyak, tapi tak disikapi dengan dedikasi. MGMP sebenarnya sangat memiliki peran vital dalam pelaksanaan team teaching yang diharapkan mampu mengatasi problem baru pasca sertifikasi di mana guru harus mengajar minimal 24 jam.
Bukan begitu pak? maaf, karena bukan lulusan keguruan jadi gak ngerti babar blas! hahahahahahaha
:acc saya suka baca komentar-komentar tentang guru. Karena saya kebetulan seorang guru, kadang bikin tersenyum kadang bisa bikin marah dan tersinggung. Guru juga manusia punya rasa punya hati jangan samakan dengan pisau belatiii..(lagu siapa ya ?) asal comot aja. Postingan yang bagus pak, perlu dibaca semua orang jangan cuma lewat blog aja, apa sudah dikirim ke media massa. kasihan guru yang ga bisa buka internet ga bisa baca. 😡
>>>
makasih apresiasinya, bu, hehehehe 😆 biasa aja kok. tulisan ini ndak saya kirim ke media mana pun bu najwa 💡
😐 ngeditnya susah ni ga keliatan postingan komentarnya, terlalu menjorok ke kanan
>>>
wah, saya malah ndak tahu tuh, bu. kok bisa begitu, yak? 😛
MGMP IPA kami juga masih jauh dari harapan.
Tapi kalau melihat prestasi guru-guru yang merupakan anggota kami akhir-akhir ini lumayan membahagiakan.
Kami selaku pengurus selalu memberikan kesempatan kepada guru-guru yang serius (kebanyakan yang muda-muda) untuk ditampilkan dalam kegiatan-kegiatan di luar agenda pembinaan LPMP dan bebas dari intervensi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Hulu Sungai Utara.
Kesulitan kami dalam menjalankan MGMP adalah letak sekolah yang tersebar dengan jarak yang berjauhan.
Moga ke depan semua MGMP makin tambah maju ya Pak. 🙄
>>>
wah, salut juga dengan rekan2 sejawat guru di sana, pak. mudah2an MGMP mampu menjembatani kepentingan mereka sehingga mampu mengembangkan profesionalisme utk kemajuan pendidikan, khususnya utk siswa didik kita. tetep semangat, pak 💡
bapa,, 😥 😥
maria jusufs last blog post..Aku Tentang Aku…
>>>
wew… emangnya kenapa bu nisya, haks :181
Fenomena yang telah disampaikan dalam artiikel di atas terjadi hampir di seluruh belahan negeri tercinta ini, harap maklum dan aku sendiri juga bingung kebijakan pemerintah untuk melakukan sertifikasi terhadap guru terlihat kurang dihargai dimaknai. Dapat kita bayangkan sekarang rata-rata guru yang telah lulus sertifikasi gajinya sekarang sudah mendekati lima juta perbulannya, terus bagaimana dengan kinerjanya? Saya masih banyak melihat bahwa ternyata tambahnya pendapatan (gaji) bagi guru sangat sedikit pengaruhnya terhadap kualitas kinerja guru. Terus apa yang harus dilakukan lagi oleh pemerintah jika tambahan gaji tidak juga dapat merubah mutu kinerja guru? jawabannya ada dalam hati bapak ibu guru tentunya, yang jelas perlu adanya dedikasi dan komitmen yang baik.
Baca juga tulisan terbaru lanjar pramudi berjudul Revitalisasi MGMP
MGMP atau lebih dikenal dengan sebutan Musyawarah Guru Mata Pelajaran idealnya memang menjadi suatu organisasi yang mandiri tidak berada dibawah bendera MKKS namun keduanya bisa saling bekerjasama secara sinergis untuk memajukan pendidikan di Kab/Kota masing-masing. Apakah blokgrant untuk menyangga dana MGMP diperlukan oh itu sangat perlu, apalagi jika untuk mengegolkan visi dan misi nya MGMP tentu butuh dana besar, fakta banyak agenda terbengkalai karena tidak ada dana, namun jangan terlalu banyak berharap bung… karena tanpa blog grant pun MGMP Kota Semarang tetap eksis dengan kerjasama dengan stake holder yang peduli pendidikan, royalti penulisan LKS, memanfaatkan jaringan sponsoring sehingga dana bisa tersedia kegiatan bisa eksis.
semoga MGMP tidak mandul lagi..bekerjalah dengan ikhlas.
I Soens sekarang sbg ketua sanggar kota Smg
Pak,pedes juga ya, cuma yang pedes itu kerap dicari untuk merangsang selera makan, sekian banyaknya tugas yang diemban guru, kalau tidak dilaksanakan semua, guru profesional, kalau dilaksanakan semua, seperti hidup tanpa keluarga, melulu ngurusi pendidikan. Kayaknya sih perlu urutan apa yang mesti dikerjakan lebih dulu..agar guru tidak hanya sejahtera dari sisi finansial…, agar pekerjaan bisa selesai pada waktunya dan qualified gitu, karena yang terakhir ini juga merupakan kesejahteraan tersendiri bagi guru. Ghak perlu mengeluh untuk menghadapi suatu perbaikan kan Pak, hanya bagaimana kita bisa menghadapi dinamika pendidikan di era ini, dengan masih pada satu cita-cita mulia, mencerdaskan kehidupan bangsa…dan semuanya perlu waktu