Benarkah Dunia Pendidikan Kita Sedang “Sakit”?

(Refleksi Hardiknas 2008)

Seabad sudah bangsa kita melalui sebuah fase historis berjargon kebangkitan nasional. Dinamika bangsa pun mengalami pasang-surut. Dunia pendidikan yang notabene menjadi basis pencerahan peradaban bangsa pun telah mengalami fase-fase bersejarah dan telah banyak menghasilkan out-put yang turut mewarnai dinamika perjalanan hidup bangsa dari generasi ke generasi. Kita tidak bisa mengingkari sebuah kenyataan bahwa pendidikan menjadi sebuah entitas yang akan sangat menentukan nasib masa depan bangsa. Namun, secara jujur harus diakui, dunia pendidikan kita masih carut-marut. Persoalannya makin rumit dan kompleks, baik yang berkaitan dengan masalah suprastruktur maupun infrastrukturnya.

Sementara itu, di tingkat praksis, banyak kalangan menilai, dunia pendidikan kita belum juga bergeser dari persoalan klasik. Pergantian kurikulum, anggaran pendidikan, profesionalisme guru, atau ujian nasional merupakan beberapa contoh persoalan klasik yang terus mengundang perdebatan dari tahun ke tahun.

Pergantian kurikulum, misalnya, setidaknya negeri kita sudah mengalami tujuh kali perubahan (1962, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK, dan KTSP). Celakanya, pergantian kurikulum semacam itu konon bukan berbasiskan semangat visioner untuk membuat bangsa ini cerdas, melainkan lebih dipengaruhi oleh sentimentalisme politis sang menteri yang ingin ”unjuk upeti” kepada sang penguasa untuk menunjukkan bahwa sang menteri layak mengemban tugasnya di bidang pendidikan melalui gebrakan pergantian kurikulum.

Namun, apakah pergantian kurikulum semacam itu sudah mampu memberikan imbas positif terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial? Jawaban terhadap rentetan pertanyaan semacam itu selalu saja membuat kita mesti prihatin dan mengelus dada.

Berdasarkan laporan UNESCO (2007), mislanya, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia hanya 0.935 yang berada di bawah negeri jiran kita Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Bisa jadi, kualitas pendidikan kita yang masih jauh dari harapan itulah yang gampang memicu sentimen negeri jiran kita untuk gampang menyepelekan dan melecehkan kita. Kita seperti bangsa ”tempe” yang loyo, tak berdaya, dan hanya bisa mengernyitkan jidat ketika muncul klaim bangsa lain terhadap hasil budaya dan kreativitas bangsa akibat rendahnya posisi tawar kita di mata percaturan global.

Anggaran pendidikan pun lebih sering menjadi ajang komoditas dan tawar-menawar politik ketimbang memikirkan substansinya. Jelas-jelas dalam undang-undang dinyatakan secara eksplisit bahwa anggaran pendidikan harus 20% dari total anggaran belanja negara. Namun, klausul-klausulnya sengaja dibuat kabur sehingga mengundang penafsiran mulur-mungkret. Yang tak habis pikir, ketika pemerintah bermaksud merealisasikan anggaran pendidikan 20% itu, ternyata gaji guru masuk di dalamnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana dengan nasib sekolah-sekolah pinggiran yang miskin donatur kalau anggaran 20% itu sebagian besar habis dipakai untuk menggaji guru? Apalagi, jika BHP (Badan Hukum Pendidikan) nanti benar-benar diberlakukan. Saya membayangkan, sekolah-sekolah yang selama ini bernaung di bawah yayasan ”Senin-Kemis” dengan modal pas-pasan akan gulung tikar lantaran kesulitan mencari subsidi. Imbasnya, jelas akan memberikan peluang kepada kaum kapitalis untuk melebarkan sayapnya dan menjadikan dunia pendidikan sebagai wilayah imperium untuk melebarkan sayap bisnisnya. Apalagi, pemerintah demikian bersahabat dengan para pemodal asing melalui Peraturan Presiden Nomor 77/2007 yang mengizinkan masuknya modal asing di dunia pendidikan dengan batasan kepemilikan saham hingga 49%.

Lantas, bagaimana dengan pemberdayaan profesionalisme guru? Yang ini lebih celaka lagi. Isu mutakhir, para guru mesti memiliki sertifikat pendidik sebagai bukti dan legalitas guru profesional. Untuk itu, guru mesti mengikuti uji sertifikasi. Celakanya, uji sertifikasi itu dilakukan melalui pengumpulan dokumen portofolio sebanyak 850 poin yang dianggap sebagai bukti sahih bahwa guru yang bersangkutan benar-benar profesional. Bagaimana bisa digunakan untuk mengukur tingkat profesionalitas guru melalui bukti fisik semacam itu kalau kenyataannya telah ditemukan banyak dokumen fiktif? Kalau memang memiliki ”kemauan politik” untuk meningkatkan kesejahteraan sebagai starting point dalam meningkatkan kinerja guru, mengapa mesti melalui cara-cara yang kurang populer semacam itu? Naikkan saja gaji guru berdasarkan prestasi dan masa kerja. Lalu, berdayakan komunitas dan organisasi profesi guru sebagai wadah untuk berbagi dan bersilaturahmi. Selain itu, penyediaan anggaran untuk mengagendakan program re-edukasi bagi guru yang dinilai belum memenuhi standar kualifikasi, agaknya lebih masuk akal ketimbang dihambur-hamburkan sekadar untuk mengurusi dokumen-dokumen ”fiktif” semacam itu.

Ujian nasional pun layak dijadikan sebagai isu hangat dalam dinamika dunia pendidikan kita. Sudah terlalu banyak masukan dan kritik dari para pengamat dan pemerhati dunia pendidikan bahwa ujian nasional yang selama ini dilaksanakan sudah jauh menyimpang dari hakikat ujian itu sendiri. Kalau memang mau konsisten dan taat asas terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), idealnya ujian nasional itu sudah lama dikubur. Yang tahu persis kompetensi siswa didik adalah guru. Namun, lantaran dalam Undang-Undang Sisdiknas dan Standar Nasional Pendidikan, yang berhak memberikan penilaian terhadap peserta didik juga termasuk pemerintah, bolehlah ujian nasional (UN) dikendalikan dari pusat. Meski demikian, UN mestinya bukan sebagai penentu kelulusan, melainkan sebatas sebagai media pemetaan mutu pendidikan, sehingga bisa terlihat potret institusi pendidikan yang bermutu dan yang belum. Yang sudah bermutu terus dimotivasi, yang dinilai belum bermutu, terus diperhatikan, jika perlu dipermudah dalam mengakses anggaran peningkatan mutu.

Agaknya pemerintah memiliki agenda tersendiri di balik UN itu. UN hendak dijadikan sebagai “martir” pencitraan publik di mata dunia bahwa pemerintah benar-benar serius dalam menangani masalah pendidikan. Kriteria kelulusan pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, agaknya ada yang dilupakan bahwa model UN semacam itu hanya akan makin memperparah penyakit ”pemujaan” bangsa ini terhadap angka-angka. Ujian yang seharusnya mampu memotret kompetensi siswa didik secara menyeluruh telah direkayasa sebatas pencapaian angka-angka semu. Siswa didik dinilai cerdas jika mampu meraih nilai UN tinggi. Akibatnya, hasil lebih diutamakan ketimbang proses. Menghalalkan segala cara pun akhirnya dianggap hal yang wajar terjadi.

Sepintas mereka memang tampak pintar, tetapi tanpa disadari, pola ujian semacam itu telah memiliki andil nyata dalam ”menjerumuskan” masa depan anak-anak bangsa ini ke dalam sebuah liang pembantaian potensi anak. Mereka hanya dijadikan sebagai penghafal kelas wahid dengan setumpuk teori. Namun, pemahaman dan pendalaman mereka terhadap dunia keilmuan menjadi sangat naif dan dangkal. Meminjam istilah Paulo Freire (1970), praktik pendidikan hanya dipahami sebatas sarana pewarisan ilmu dan bukannya transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang lebih menekankan pada proses pendewasaan pemikiran dan mengartikan belajar sebagai proses memaknai dan mengkritisi atas peristiwa-peristiwa kehidupan nyata yang kerap terjadi di lingkungan sekitar kita. Bukan hanya mencari ijazah dengan nilai yang tinggi maupun sebagai sarana meningkatkan status sosial.

Melihat banyaknya praktik anomali dan penyimpangan terhadap hakikat pendidikan itu sendiri, agaknya tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa dunia pendidikan kita saat ini benar-benar dalam keadaan “sakit”. Negeri ini membutuhkan “shock therapy” yang mampu memberikan perubahan paradigma agar dunia pendidikan kita benar-benar mampu menjadi “kawah candradimuka” peradaban, di mana jutaan generasi masa depan negeri ini mampu belajar secara baik dan mampu mengenal jatidirinya secara utuh.

Kita kembali diingatkan petuah Ki Hajar Dewantara bahwa hakikat pendidikan adalah sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dari sini tampak jelas bahwa kehadiran seorang anak dalam kancah dunia pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteksnya sebagai bagian dari alam dan kehidupan masyarakat. Namun, akibat pemahaman yang keliru terhadap hakikat pendidikan, potensi anak-anak justru dikerangkeng dan dipenjara, serta dijauhkan mereka dari konteks kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya.

Kalau kita merunut sejarah gerakan kebangsaan pada permulaan abad XX, dunia pendidikan memiliki titik singgung dengan perkembangan dan dinamika spirit kebangsaan sebagai kerangka kerja sosial pembebasan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. Namun, disadari atau tidak, praktik pendidikan kita selama ini justru makin menjauhkan siswa didik dari spirit kebangsaan itu. Siswa didik terus dicekoki bejibun teori model hafalan dan dijauhkan dari persoalan-persoalan kebangsaan secara riil. Pendidikan yang sejatinya berfungsi sebagai kerangka kerja sosial pembebasan manusia demi meraih martabat dalam kehidupan telah tereduksi sebagai sistem sosial yang menanggalkan misi profetik penguatan kesadaran kebangsaan itu. Nah, bagaimana? ***

Keterangan: Gambar diambil dari sini.

Comments

  1. Yap, itulah masalah kita pak. Masalah yg sebenarnya harus dipikirkan semua anak bangsa yg pernah sekolah.

    Posting pendeknya ada di blog saya pak. Dasar guru, pemikirannya sering serupa.
    😯

    Zulmasris last blog post..Sumbangsih

    ooo
    yups, oke banget pak zul. makasih dan segera meluncur ke TKP, hehehehe 💡

  2. memang pak. coba, di jaman dulu malaysia butuh orang Indonesia yg menjadi guru di sana, sekarang pendidikan kita kalah sama mereka.

    samsuls last blog post..Alternatif Engine CMS Yang Ringan

    ooo
    itu juga yang ndak habis pikir, mas sam. kenapa dunia pendidikan kita justru mengalami stagnasi, bahkan mengalai kemunduran :DD

  3. Melihat mahalnya pendidikan di Indonesia, saya semakin yakin bahwa pendidikan berkualitas hanya untuk mereka yang mampu saja. Menyedihkan.

    -kiMi-s last blog post..

    ooo
    kalau itu benar2 terjadi, sungguh malapetakan buat masa depan bangsa, mbak kimi. :DD

  4. Dunia pendidikan kita memang sakit dan sudah sangat kronis dengan 1001 macam komplikasi. Ini semua karena cara pikir dan pola pengambilan ‘kebijakan’ yang sangat tidak bijak. Atau, boleh dibilang tidak waras.

    Suhadinets last blog post..Cerita Pendek yang Jadinya Gak Pendek: Pubertasnya Muhammad Satria Pamungkas (Part 3)

    ooo
    wah, repot juga ya , mas suhadi. dunia pendidikan yang seharusnya menjadi “panglima”, tetapi selalu saja dinomorsekiankan, hik :DD

  5. 😡 😡 😐
    lagi- lagi para siswa yang jadi penerima “award” atas ketidakberhasilan pendidikan di Indonesia.
    kapan ya pendidikan kita gratis tapi bujan hanya sekedar gratis tapi gratis yang benar- benar tanpa embel- embel apapun tentunya lengkap dengan kualitas yang diatas rata2. jangan mentang2 gratisan dapetnya yang dibawah standar.
    lalu kapan “kita” bisa pinter???

    1 lagi apakah hardiknas hanya sekedar hari nasional saja tanpa ada sesuatu penghargaan atau setidaknya sebuag tindakan untuk mengingat kembali dan menghargai siapa pengentas pendidikan kita dari sebuah kubangan lumpur yang saya yakin tak akan kita biosa keluar hanya dengan mengandalkan diri sendiri.

    mana ucapan terima kasih kepada Ki Hajar Dewantara??
    yang ada hanya sebuah ingatan kecil di sela otak kita ” oh ini yang namanya ki Hajar dewantara?”

    djagungs last blog post..TERTIDUR SELAMANYA

    ooo
    nah, memang siswa yang akhirnya sering jadi korban, bahkan sdh berkali2 jadi kelinci percobaan akibat pendidikan yang salah urus. penghargaan utk ki hajar dewantara akan lebih bermakna jika semangat dan jiwa beliau dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu bisa direalisasi, 🙄

  6. ntar kalo ganti presiden, ganti mendiknas, ganti juga aturan main pendidikan kita. pusing. mumet. mau mencerdaskan bangsa kok jadi bahan “mainan” oknum..

    eNPes last blog post..eNPe bertugas di SMA Negeri 2 Pontianak

    ooo
    sepertinya kondisi semacam itu sudah menjadi tradisi dan budaya di negeri ini, bu ita, hiks :mrgreen:

  7. Sedih memang melihat wajah pendidikan negeri ini. Tapi dengan saling berbagi dan terus belajar semoga pendidikan di negeri kita dapat berubah sedikit demi sedikit. Iya kan, Pak? Semangat!

    enggars last blog post..2 Mei

    ooo
    yups, sepakat banget bu enggar. kita pun tetap semangath!

  8. Benarkah Dunia Pendidikan Kita Sedang “Sakit”?
    Perasaan saya, Dunia Pendidikan Kita malah “belum pernah sehat”.
    Tapi ini perasaan saya saja lho Pak. Perasaan orang kan beda2.
    Apalagi yang namanya pendapat.
    Tentang “diri saya” sendiri saja kadang saya bingung kok Pak. Saya ini “anak” apa “bapak”.
    Orangnya satu, yaitu “saya”, tapi kok dijuluki beda2. Anak saya memanggil saya “bapak”, tapi bapak saya memanggil saya “anak”
    Simbah saya nambahi rancu, kalau manggil saya “cucu”. Istri saya gak mau kalah dalam kerancuan. Manggil saya malah “mas”.
    Weleh… weleh, wong siji kok panggilane akeh meni…

    marsudiyantos last blog post..

    ooo
    wew.. ternyata malah belum pernah sehat, ya, pak mar. eaduh, tepot juga. ttg sebutan pak mar yang berganti-ganti itu, mestinya pak mar kan harus bangga, hehehehe 😆 satu orang dengan seribu nama 🙄

  9. Saya setuju dengan komentar Marsudiyanto diatas:

    Benarkah Dunia Pendidikan Kita Sedang “Sakit”?
    Perasaan saya, Dunia Pendidikan Kita malah “belum pernah sehat”.

    Jadi judulnya mungkin seharusnya:
    Benarkah Dunia Pendidikan Kita Masih Belum Sehat? :d

    Riyogartas last blog post..Gerakan Mengurangi Dosa di Sektor IT

    ooo
    yups, makasih banget mas riyo masukannya 🙄

  10. Salah satu yang menjdi polemik adalah status badan hukum pendidikan yang dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk cuci tangannya pmerintah dalam dunia pendidikan. Logika sederhana yang saya miliki: jika biaya pendidikan mahal, pastinya yang bisa kuliah hanya mereka yang berduit saja, sementara yang miskin tetap dalam kebodohan. Akibatnya, senjang semakin terasa, terlebih bila mereka yang telah lulus kuliah dan mecari kerja, tentunya akan berharap tinggi bisa balik modal. entahlah, pak!

    ooo
    yups, bener banget, Pak Gempur. Kalau BHP bener2 diluncurkan alamat celaka bagi sekolah2 pinggiran. repots! :mrgreen:

  11. Masalah pendidikan aja belum beres, gmana mau beresin masalah lainnya ?

    Bambosis last blog post..Strategi Paid Review Agar Tetap Eksis

    ooo
    nah, itu dia, mas. repot juga. padahal, pendidikan kan menjadi basis (hampir) semua permasalahan yang ada di negeri ini! :oke

  12. saya tidak merayakan hardiknas sejak teman-teman guru ditangkapi dan dipenjarakan karena menolong siswa yang hak dasarnya untuk berkembang dan memperoleh pendidikan dirampas oleh para penguasa yang sok pintar. saya telah membuat sebuah tulisan judulnya PENJARAKAN SAJA SEMUA GURU di endangmuhtadin.wordpress.com mohon dukungan dan solidaritas dari rekan-rekan guru untuk mengakhiri semua kepura-puraan ini. mari kita HARDIK(UJIAN)NAS
    kita semua memang sakit, parah lagi

    endang muhtadins last blog post..PENJARAKAN SAJA SEMUA GURU

    000
    yups, kalau motivasinya memang untuk menyuarakan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran, saya pribadi sangat mendukung, pak muhtadin. semangath, pak. mari kita lwan tirani dan fasisme dalam dunia pendidikan.

  13. Kalau Kita tahu Dunia Pendidikan kita sakit mengapa enggak kita obati saja supaya sembuh dengan cara : Profesional dan Saling Berbagi
    Percuma saja kita berteriak teriak ( Maaf ya Mas) dan tidak ada yang pernah mendengar.
    Salam

    Simbahe Saless last blog post..Saatnya Pemasar mengambil keputusan dramatis

    ooo
    berteriak saja tidak ada yang mendengar, mas, apalagi kalau tidak sama sekali, hehehehehe 😆 yang jelas, kita tdk akan pernah berhenti berteriak dan menyampaikan kritikan, entah itu didengar atau tidak, sebab utk mewujdukan dunia pendidikan yang bermutu, pemerintah yang memiliki wewenang dalam pengambilan kebijakan perlu mendengar juga suara2 dari pihak lain. utk mengobati dunia pendidikan yang sakit kan butuh keterlibatan semua pihak secara kolektif. 🙄

  14. Entah ya Mas. Sekarang pahlawan tanda jasa pun mencari jasa, demi jati diri yang semakin tenggelam.

    Mas blog pean saya link ya?
    Salam
    TB

    Musthafas last blog post..Sair Sajak Moehammad Zaini (05)

    ooo
    nah, sepertinya hedonisme dan materialisme sdh demikian jauh merasuk dalam dunia pendidikan, mas. yups, makasih kalau sudah mau ngelink mas. nanti saya link balik, yak? 💡

  15. mencari sistem pendidikan ideal?
    mmm seperti pergantian menteri (penguasa) maka berganti pula sistemnya.
    ah kapan bisa tetap dan berkualitas yakz..
    btw pak sawali met hari guru pak yak…
    semoga idealisme para guru membangun mata siswanya untuk membangun bangsa ini.

    aRuLs last blog post..Belajar merokok dari TK

    ooo
    yuups, makasih, mas arul. btw, tuyisan ini dalam rangka hardiknas loh, mas. utk hari guru sendiri kalao tdk salah kan tanggal 25 november.

  16. Kalau saya jadi murid sih… jalanin saja apa adanya sistem yang telah ada….. kalau saya jadi orang tua murid (seperti sekarang) saya pantau perkembangan kemajuan pendidikan anak2 saya dari rumah, saya “tambal” sendiri kekurangan2 yang didapat oleh anak2 saya sebisa mungkin akibat sistem pendidikan yang carut marut ini. Pendek kata, perbaikan dalam sistem kependidikan kita memang harus terus dilaksanakan tapi saya sebagai orang tua murid tidak boleh hanya terus berkeluh kesah dan melakukan resistensi. Terus2an berkeluh kesah dan melakukan resistensi hanya akan memperburuk keadaan si anak didik.

    Menurut saya, setiap sistem pasti ada kelemahannya. Tergantung kita pandai2 menutupi kelemahan tersebut. Di Malaysia saja misalnya, yang konon katanya pendidikan lebih berhasil, saya masih banyak melihat orang2 yang tak bermutu dari negeri itu. Saya punya teman asisten dosen Fisika di sebuah universiti terkenal di Malaysia yang tidak tahu planet Jupiter itu apa!!! Dan juga saya melihat banyak juga warga Malaysia yang Bahasa Inggrisnya parah, tidak lebih bagus dari Bahasa Inggrisnya orang Indonesia. Pendek kata, ayo, sembari kita memperbaiki sistem pendidikan kita, kita pergunakan saja sistem yang telah ada sebaik mungkin agar dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari sistem yang belum baik tersebut…

    Yari NKs last blog post..Ekonomi Pasar Lawan Ekonomi Terpusat

    ooo
    sepakat 100% bung yari. makasih info dan masukannya. 💡

  17. itu ngena banget deh gambar ilustrasinya..

    anggaran 20% itu kayanya udah kurang yah pak, eh malahan gaji guru dimasukin ke dalamnya.. 🙁

    gimana donk nasib pendidikan kita, terutama.. itu di daerah yg terpencil, dan juga sangat berdampak pada kaum marjinal, yang untuk makan pun susah banget..

    ooo
    itu dia akar permasalahan pendidikan di negeri ini, ridu. kalau anak2 cerdas dari golongan tak mampu tdk punya kesempatan menikmati pendidikan akibat mahalnya biaya, bagaimana nasib masa depan negeri ini? 😛

  18. “benarkah dunia pendidikan kita sedang sakit?”

    bukan sedang sakit pak, tapi masih sakit dan ngga sembuh2 pak.
    apa yang salah? segitu susahnya kah membenahi pendidikan? padahal sudah begitu banyak negara yang bisa kita contoh untuk metode pendidikannya. Mungkin memang belum ada niat dan kesungguhan dari departemennya untuk konsern dalam perbaikan. Pergantian kurikulum saya lihat hanya jadi ladang nyari uang tambahan pak, BISNIS pendidikan.
    Ya mau gimana pak, uang negara habis buat nyervis partai yang jumlahnya bentar lagi bakal masuk guiness book of record.. hehehehe

    brainstorms last blog post..get married??

    ooo
    wah, ternyata memang dunia pendidikan dah bener2 sakit parah ya, mas brain. susah juga kalau dunia pendidikan di negeri ini belum jadi panglima. akhirnya selalu saja dikalahkan oleh persoalan2 politis kayak gitu. 😛

  19. Setujuh banget dengan komentar Pak Yari. Tetap jadi solusi di tengah masalah. konkret. Walaupun seperti mencari jarum di kotak bumbu dapur (mana ketemu?? :mrgreen: ), berlarut-larut membicarakan sistem pendidikan kita tanpa tindakan nyata hanya akan memperparah sakitnya pendidikan kita. *OOT ney.. *

    mezzalenas last blog post..Rindu Itu …

    ooo
    juga sepakat, mbak hibah. meski demikian, dunia pendidikan kita juga perlu diberi kritik dan masukan agar memiliki trend yang lebih jelas dan terarah! 💡

  20. Pendidikan kita tidak sakit, tapi sekarat. Sebab, insan-insan pendidikan tidak pernah mengerti, bahwa mereka ‘sakit’ yang karena terlalu ‘sakit’ tidak menyadari bahwa mereka ‘sakit’. Lalu, ketika ‘sakit’ dan ‘disakiti’ tidak berasa ‘sakit’. Sakit telah menjadi satu dengan perjalanan pendidikan.

    Ketika pendidikan diurus orang-orang ‘sakit’, para pendidik tidak pula mengerti, bahwa mereka akan terus sakit (sekarat) dan disakiti. Sakin sakitnya, sudah tidak berasa.

    Dunia Pendidikan kita sedang dicabut rohnya. Ya, rohnya dicabut. Sekali lagi dalam proses pencabutan roh. Setelah itu, tidak ada rasa lagi.

    Ersis Warmansyah Abbass last blog post..Novel: Merah Putih (1.2)

    ooo
    waduh, makin tragis saja kondisi pendidikan di negeri ini, pak ersis. kalau sakitnya sudah bener2 akut, wah, sakitnya malah makin tdk terasa. ini sinyal betapa makin suramnya dunia pendidikan kita, apalagi kalau yang mengurusnya juga sakit. 😛

  21. Iya Pak
    Lagi sakit
    Bapak bisa lihat kejadian UN SMA kemaren
    dari liputan media masa
    ternyata banyak dagelannya
    Coba aja Bapak cek sendiri di sekitar Bapak
    Bener kan?

    Sedih ya Pak 😥

    achoey sang khilafs last blog post..Cinta, Rindu dan Cemburu

    ooo
    yups, makasih info dan masukannya mas achoey. UN memang selalu begitu dari tahun ke tahun, tapi ndak pernah dituntaskan 😛

  22. konklusinya:GENERASI ini produk pendidikan yang sakit?

    PENDIDIKAN yang mana ?

    Siapa yang SAKIT :pengelola pendidikan,pengambil keputusan pendidikan,pendidik,orang yg suka mengambil keuntungan dari pendidikan,organisasi pendidik,yang membuat aturan pendidikan ,lembaga pendidikan…?

    let’s pray!
    aminhers

    aminherss last blog post..Ujian Nasional SMA 2008 dalam Berita

    ooo
    ndak jelas juga, pak amin. yang jelas, laju gerbong pendidikan ini akan sangat ditentukan oleh masinisnya. kalau masinisnya sakit, wah bisa jadi gerbong2nya saling bertabrakan. ancur deh! 😛

  23. Dunia Pendidikan kita sedang sakitkah…?
    Bisa iya enggak kali…?
    Tergantung kita menyikapinya

    Latips last blog post..Latihan Soal UAS/UNAS SD

    ooo
    yups, bener juga, pak Latip. tapi yang pasti dari kacamata pengamat, dunia pendidikan kita sedang bener2 sakit!

  24. Tulisan yang luar biasa pak, sangat jeli dengan referensi yang banyak…

    Yup, saya rasa pendidikan kita memang sedang sakit :181 dan ini merupakan tanggung jawab dari kita semua [bukan hanya pendidik] tapi semua komponen bangsa yang masih dan mengharapkan kemajuan kedepan.. 💡

    azaxss last blog post..Kontemplasi Singkat Pendidikan Indonesia

    ooo
    walah, biasa aja, mas azaxs. setuju banget, mas, utk memperbaiki dunia pendidikan kita memang butuh sinergi dan kerja sama semua komponen bangsa 💡

  25. tulisan yg luar biasa pak……
    memang pendidikan dinegeri lg sakit parah.smg ini mnjd bhn introspeksi diri bg negara ini

    dafhys last blog post..sebuah renungan

    ooo
    wew… tulisan biasa aja kok mas dafhy. mudah2san teriakan ini terdengar juga oleh para pengambil kebijakan. yups, makasih 💡

  26. asl.

    Masalah pendidikan adlh masalah yg sangat krusial dlm sebuah bangsa yg ingin mendirikan peradaban, semuanya bermula dari pendidikan. kemudian kenapa pendidikan tdk membentuk anak didik itu cerdas secara intelektual,emosional,spritual? karena dunia pendidikan kita hari ini hanya pada pendekatan intelektual saja, sedangkan emosional, spritual itu kurang jika tdk mau dikatakan tidak ada. maka lahirlah politikus yg intelek tapi jiwanya culas, lahirlah pejabat yg pintar tapi korup, dan lahirlah pengusaha yg hebat namun mentalnya kapitalis, serta lahirlah ilmuan-ilmuan yg hanya berusaha utk kepentingan pribadinya.

    Kemudian kita hanya mengejar kurikulum setiap tahunnya, tanpa mau mendidik, memahamkan, dan melakukan pembinaan terhadap peserta didik kita.

    Lalu, begitu juga dgn kesejahteraan guru, fasilitas utk guru masih minim, bagaimana mereka para guru bisa mengajar dg baik jika dia harus memikirkan juga makan sehari2nya ? anggaran 20% utk pendidikan yg disahkan dlm UU oleh DPR namun belum direalisasikan oleh pemerintah.

    Kemudian juga masalah pendidikan ini terkait dgn ketegasan Pemimpin. Moga saja negeri ini mendapatkan pemimpin yg Amanah dan Adil.

    semangat2 :112

    Alex Abdillahs last blog post..USAH LARA, PASTI SLALU ADA ASA

    ooo
    yups, makasih banget masukan dan tambahan infonya, bung abdillah. persoalan pendidikan kita memang rumit dan kompleks. permsalahan itu bisa teratasi seandainya negeri ini, seperti yang didampaikan bung abdillah, dipimpin oleh orang yang bener2 adil dan amanah. 💡

  27. Saya puasa dulu bicara pendidikan. Menyinggungnya hanya menelanjangi carut-marut bangsa kita.

    arifs last blog post..SBY Datang GPRS Hilang

    ooo
    yups, gpp, mas arif, matur nuwun!

  28. Masa sih sedang sakit Pak? Kalau sakit kira-kira resepnya ngobatinya apa dong Pak? Kalo ujian nasional dikubur lalu penggantinya apa dong Pak?
    Menurut saya kalau semua penilaian diserahkan kepada guru pengajarnya, guru kan juga manusia pak. Menurut saya kalau para pakar dan pengamat hanya melemparkan isu bahwa dunia pendidikan sedang sakit, malahan akan membuatnya semakin parah. Sebab, masyarakat yang tadinya beranggapan bahwa dunia pendidikan kita sehat-sehat saja jadinya ikut-ikutan berfikir bahwa dunia pendidikan kita memang sedang sakit.
    Apakah tidak ada sisi positif dunia pendidikan kita yang bisa terus digali dan terus dipromosikan oleh para ahli pendidikan? :acc

    ooo
    saya kira dari substansi pendidikan itu sendiri masih banyak sisi positifnya, pak rafky. tapi dari sisi yang lain kalau kita mau jujur, masih banyak persoalan yang mesti diselesaikan, mulai dari pemberdayaan guru, kurikulum, sarana dan prasarana, bahkan juga dari sisi suprastrukturnya. untuk menyelesaikan persoslan pendidikan yang rumit dan kompleks semacam itu, menurut hemat saya, memang butuh masukan dari pengamat dan pemerhati dunia pendidikan. kalau saya sih hanya seorang guru, pak,hehehehehe :mrgreen: bisanya hanya bersuara, terserah didengar atau tidak. tentang imaji publik jadi ikut2an memberikan citra yang kurang bagus terhadap dunia pendidikan, walah, tanpa membaca ini pun saya kira masyarakat sdh bisa merasakan dampak masalah pendidikan kita itu, mulai mahalnya biaya pendidikan hingga merebaknya budaya instan. masyarakat juga semakin kritis, kok, pak. tapi makasih juga, pak rafki, masukannya. bagaimanapun juga pendidikan di negeri ini masih banyak sisi positifnya.

  29. Di lingkungan saya, rasa hormat murid terhadap guru mulai berkurang. Lambat tapi pasti. Mungkin terpengaruh sinetron-sinetron nggak mendidik. Mungkin juga karena citra guru sekarang yang banyak kelihatan komersil. Menjual buku, nilai, dsb.

    Tapi yang namanya pendidikan kan bukan cuma dari guru formal. Kita pun bisa menjadi guru bagi kawan lain. Bukankah begitu Pak Sawali? 🙂

    Mardiess last blog post..Mendambakan Ada E-mail Gratisan 1 Gigabyte Made In Indonesia

    ooo
    waduh, repot juga ya, mas, kalau rasa hormat murid terhadap guru sudah luntur. jelas, mereka akan kesulitan dalam menanamkan nilai2 luhur baku. ttg. guru, sepakat banget, mas mardies. guru tak hanya ada di sekolah formal kok, tapi bisa ada di sekolah kehidupan yang sesungguhnya. 💡

  30. Tak dapat dipungkiri bahwa secara konsep Indonesia begitu bersemangat untuk membangun dunia pendidikan melalui penciptaan manusia yang seutuhnya, lihat saja Propenas yang tertuang dalam UU 25/2004,,, begitu dashyatnya… Faktanya…ya tetap sama saja dari tahun ke tahun. Kita harus sepakat untuk mendorong pemerintah agar dengan legowo memberikan wewenang sepenuhnya kepada guru dalam menentukan kelulusan siswa. Memang guru adalah manusia biasa yang tentunya bisa saja terjebak pada hal yang berbau “KKN” dalam menentukan kelulusan. Tapi untuk itulah peran pemerintah dan masyarakat untuk mengontrolnya. Dan dengan yang namanya profesionalisme sang guru, tentunya guru harus malu apabila melakukan kecuarangan..ingat guru (digugu dan ditiru)…terima kasih!!! 😛

    ooo
    terima kasih supportnya untuk guru, *mbak atau mas nih* maesa, hehehehe 😆 mudah2an saja ke depan dunia pendidikan kita menjadi lebih baik dan tertata. jangan hanya bagus di tingkat suprastrukturnya saja.

  31. sudarwin

    Emg udah dari sononya mgkn ngra kita yang cintai ini sakit,cb kita bayangkan udh keta huan nyolong senyumpula itu, satu hal yang harus kita lihat mari kt bgn dnia pnddikan ini biar jagn sprt pejbt skrg yng sk nipu dan suka ngonggong ke :-?,
    ingatlah pejbg sknya nipu dan sk daun md aj,cb serius nangani pendidikan pasti kt udh maju,eh ml molor ke kolor kendor aja….:
    buat pejabat yang duduk di kursi empuk itu cb perbaiki dan turun langsung ke lapangan jgn duduk aja taunya, sama[-(,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *