Sastrawan Masuk Sekolah (SMS) yang dulu pernah gencar digelar oleh Yayasan Indonesia, Majalah Horison, dan Depdiknas, agaknya kini tak terdengar lagi gaungnya. Agenda yang pernah menghadirkan sastrawan papan atas semacam Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, atau Taufik Ikram Jamil di balik tembok sekolah itu kini seolah-olah sudah “tamat” riwayatnya. Apakah lantaran The Ford Foundation tak lagi turun tangan menjadi sponsornya? Entahlah!
Memang, agenda SMS pernah dikritik oleh Mursal Esten. Ia khawatir, agenda semacam itu bisa membuat para guru dan siswa lebih tertarik pada akting sang sastrawan ketimbang secara suntuk melakukan penjelajahan komunikasi imajinatif terhadap teks-teks sastra yang merupakan arus utama dalam kegiatan apresiasi. Dengan kata lain, kehadiran sastrawan ke sekolah justru hanya akan melahirkan apresiasi semu yang berujung pada pendangkalan dan pengerdilan nilai-nilai sastrawi. Para guru dan siswa cenderung menjadi snobis gaya baru yang mengagumi sastrawan tertentu secara berlebihan, naif, dan “membabi buta”, tanpa diimbangi dengan intensitas apresiasi yang sesungguhnya.
Kalau itu yang terjadi, bukankah SMS hanya akan menjadi ajang pameran bagi sastrawan tertentu guna mendapatkan pengukuhan, popularitas, dan legitimasi baru lewat institusi pendidikan?
Harus diakui, apresiasi sastra bukanlah pelajaran yang bisa dengan mudah “menghipnotis” siswa untuk menggemari teks-teks sastra. Pertama, pelajaran apresiasi sastra dianggap tidak prospektif dan menjanjikan masa depan, amat “miskin” nilai praktisnya jika dikaitkan dengan denyut kehidupan. Hal itu berbeda dengan pelajaran Fisika, Matematika, atau bahasa Inggris yang dianggap memiliki pertautan langsung dengan nilai-nilai praksis kehidupan dan masa depan. Tidak mengherankan jika hanya beberapa gelintir siswa yang memiliki “dunia panggilan” untuk bersikap serius, total, dan intens dalam mengapresiasi sastra.
Kedua, tidak semua guru sastra memiliki minat dan “talenta” sastra yang memadai. Alih-alih menyajikan teks-teks sastra secara menarik dan memikat bagi peserta didik, sekadar menafsirkan teks sastra untuk dirinya sendiri pun masih sering kedodoran. Akibatnya, proses pembelajaran apresiasi sastra berlangsung monoton, miskin kreativitas, sekadar mencekoki siswa dengan setumpuk teori model hafalan. Yang lebih memprihatinkan, pelajaran apresiasi sastra tak jarang dilewati begitu saja lantaran jarang diujikan dalam soal ulangan umum maupun ujian. Guru tidak mau bersikap konyol dengan menyajikan apresiasi sastra secara total dan serius kepada siswa didik kalau pada akhirnya nilai ujian nasional yang selama ini “didewa-dewakan” jadi merosot.
Ketiga, langkanya buku-buku teks sastra di sekolah. Sudah bukan rahasia lagi, “kemauan politik” pemerintah untuk membumikan sastra lewat dunia pendidikan masih amat minim. Diakui atau tidak, para birokrat masih punya basis asumsi klise bahwa sastra tidak memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan bangsa. Bahkan, tidak jarang yang memahami bahwa parodi dan kritik dalam teks sastra sebagai penghambat laju pembangunan, sehingga perlu dilakukan sensor ketat terhadap teks-teks sastra yang hendak diluncurkan ke sekolah. Tidak berlebihan jika pusat perbukuan amat jarang –lebih tepat dibilang langka– memasok buku-buku sastra mutakhir yang berbobot ke sekolah. Yang tersedia di perpustakaan sekolah hanyalah teks-teks sastra pendukung kebijakan penguasa yang tergolong “basi” dan ketinggalan zaman yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Akibatnya, wawasan dan “kecanggihan” sastra para guru dan siswa didik (nyaris) tak pernah bergeser dari kondisi stagnan.
***
Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi yang ditandai dengan makin terbukanya persaingan di era pasar bebas, sastra justru menjadi penting dan urgen untuk disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para keluaran pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global secara arif, matang, dan dewasa. Dalam konteks demikian, sastra menjadi semakin penting, bukan saja lantaran sastra memiliki kontribusi besar dalam memperhalus budi, memperkaya batin dan dimensi hidup, melainkan juga lantaran telah masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, para siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas persoalan yang dihadapinya.
Untuk membedah kompleksnya nilai-nilai estetika dan dimensi hidup yang terkandung dalam teks sastra jelas bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan pemahaman dan penghayatan secara serius dan total lewat pembimbingan apresiasi secara intensif; bukan sekadar digelembungkan lewat slogan dan retorika.
Nah, ketika guru sastra mulai gencar dipertanyakan kapabilitasnya dan dianggap tak berdaya dalam melakukan sosialisasi dan apresiasi sastra kepada siswa didik, apa salahnya menghadirkan sastrawan ke sekolah untuk memberikan “sugesti” dan “injeksi” agar muncul gairah apresiasi baru dalam proses pembelajaran sastra. Ini artinya, agenda SMS perlu dimaknai sebagai bagian dari upaya untuk ikut menjawab kegelisahan dan kegagapan guru sastra di sekolah yang dinilai “miskin” kreativitas dan kurang “canggih” dalam menyajikan apresiasi sastra, sehingga tingkat apresiasi sastra peserta didik berada pada titik yang rendah.
***
Kekhawatiran bahwa SMS hanya akan menyesatkan apresiasi sastra siswa lantaran hanya memunculkan kekaguman pada “keaktoran” sastrawan ketimbang pada teks sastranya, memang sah-sah saja apabila tidak diimbangi dengan kreativitas sang sastrawan dalam meluncurkan teks-teks sastra berbobot yang mengalir dari tangannya. Kehadiran mereka tak lebih dari seorang selebritis yang menaburkan mimpi keglamoran bagi penggemar dan pengagumnya. Namun, sepanjang kepiawaian sang sastrawan dalam berakting disempurnakan lewat kiprah dan gairah bersastra yang tak henti-hentinya mengalir, kehadiran mereka justru akan mampu menjadi “oase” bersejarah di tengah kegersangan apresiasi sastra yang sudah lama dirasakan oleh dunia pendidikan.
Jelas, yang dibutuhkan bukan sastrwan yang semata-mata pandai berakting mengartikulasikan teks-teks sastra di depan guru dan siswa didik, melainkan mereka yang mampu mengomunikasikan nilai estetika dan ide-ide cemerlang yang terpancar dari teks-teks sastra secara cerdas sehingga mampu memberikan imaji positif sekaligus mampu membebaskan mitos sastra sebagai dunia kaum pengkhayal yang miskin kontribusinya terhadap gerak dan dinamika peradaban.
Lewat kehadiran sastrawan ke sekolah, teks-teks sastra yang selama ini berada di puncak keterasingan bisa membumi dan tersosialisasikan secara intensif di bangku sekolah. Harapannya, teks sastra tidak hanya sekadar dipahami sebagai sebuah produk budaya, tetapi juga sebagai sebuah kenikmatan rohaniah yang mencerahkan.
Persoalannya sekarang, kenapa para sastrawan lokal –yang tak kalah hebatnya dengan sastrawan ibukota– dan sekolah-sekolah yang ada di daerah belum juga tergugah untuk membangun jaringan mutualistis yang identik dengan SMS? Sudah bukan saatnya lagi sekolah menjadi “tempurung” ilmu pengetahuan yang tabu dimasuki sumber-sumber belajar dari luar. Justru sebaliknya, sekolah harus benar-benar memosisikan diri sebagai basis pendidikan nilai, menggambarkan diorama masyarakat mini yang lentur dan terbuka terhadap segala tantangan dan perubahan konstruktif dalam mempersiapkan peserta didik memasuki kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Demikian juga sang sastrawan. Mereka diharapkan tidak hanya sekadar melahirkan teks sastra, tetapi juga dituntut untuk mengomunikasikan kepada publik, termasuk lewat agenda SMS.
Sampeyan punya cara lain? ***
Pertamaxxx!
SMS? kayaknya menarik juga, soalnya waktu sekolah saya dulu asupan sastra sangat minim. hanya siswa yang berminat dan gemar membaca yang mencari sendiri literatur sastra di rak perpustakaan yang juga jarang dikunjungi siswa.
Samsul’s last blog post..Pemberkasan Honorer: Sudah Mencetak Form D.1.a
ooo
wah, siswa semacam itu akan lebih bagus lagi kalo mendapatkan bimbingan apresiasi sastra yang cukup dari gurunya, mas sam.
iyah saya juga jadi berfikir, kenapa dulu waktu SMP atau SMA jarang mau berkutat dengan namanya sastra…
apa karena gurunya yang mengajarkannya ngak sampe ke hati yah? padahal sastra itu indah sampai masuk ke hati…
m….
baru sadar setelah ngeblog dan menikmati beberapa sajian sastra di internet ternyata betul2 indah…
aRuL’s last blog post..Berduka sedalam-dalamnya
ooo
wew…. bisa juga karena faktor sang guru, mas aRul. kalo ngajarnya hanya teoretis dan hafalan, *halah* ya begitu deh ceritanya. anak2 jadi makin jauh dari sastra.
saya jadi bertanya, apa ini sulit dilakukan ya pak?
peyek’s last blog post..Mempermalukan Diri Sendiri
ooo
sebenarnya ndak sulit, mas peyek, tapi juga bukan hal yang gampang. *halah* faktor guru agaknya masih sangat kuat peranannya. kalo gurunya mau membimbing secara intensif, meurut saya, anak didik akan cinta sastra juga.
waduh…kalau ngomong soal sastra, terus terang ilmu sastra saya dangkal sendiri. tapi disekolah dulu entah kenapa kelas jurusan bahasa seringkali mendapat cibiran, padahal peminatnya cukup banyak. mungkin itu yang membuat para sastrawan kurang tertarik untuk SMS. karena dari sekolah sendiri sastra itu kurang mendapat dukungan. CMIIW. 🙄
cK’s last blog post..I Love You?
ooo
wew… mbak chika jangan terlalu merendah, dong. nah, begitulah nasib jurusan bahas, mbak. bahkan, sampai sekarang pun masih berlangsung. sebenarnya kalo mau sms, banyak juga yang tertarik. jadi, sebenarnya bukan itu yang menjadi penyebab agenda sms jadi ndak jalan sampe ke daerah2. makanya, sudah saatnya sastrawan lokal yang ambil bagian berkolaborasi dg pihak sekolah!
Kalau menurut sya sih Ok banget. Sebagai kembangannya saya diminta berpartisipasi. Saya membeber Menulis Kreatif. Di Kalsel dipusatkan di sekolahnya Zulfaisal, SMA 2 Banjarmasin. Bukan karena itu menganggap bagus lho. Tapi, memang programnya bagus. Soal sastrawan mejeng, ya ngak pa pa juka kan?
Nah, soal sastrawan lokal, kan harusnya lebih kreatif. Sastrawan nasional bermain dari pusat, nah tantangannya, sastrawan lokal mengembangkan dalam kemitraan dengan Pemrov dan Pemkab, pemko dong. Kreatiflah.
Ersis W. Abbas’s last blog post..Antropologi: Kepribadian, Pengantar Popular
ooo
wew…. bener pak, saya dah baca postingan pak zul. agaknya metode yang pak zul lakukan layak dicontoh tuh.
duuuh knp pas jamanku ga da program menulis sastra yaah??klo ada kan bisa terasah sejak awal..kegemaran cuap2nyah hehehehe 🙂
theloebizz’s last blog post..JaNjI SuCi
ooo
masak ndak ada sih, mas. kali aja pihak sekolah dan gurunya kurang berminat untuk membangkitkan sastra.
sastra…? wah pinter bikin puisi donk…wah wah..acung jempol deh.nanti bisa bikin cerita kaya romeo & juliet..dengan gaya dan lakon yang berbeda yach..
ooo
walah, sastra ndak hanya puisi doang kok, mbak, hehehehe 😆
Jika satu guru jadi sastrawan, minimal satu siswa jadi sastrawan. Kalau bisa begitu, jumlah sastrawan makin banyak, donk!
Mardies’s last blog post..Benar-benar Sudah Muak dengan CCNA
ooo
wew… tugas guru ndak harus mendidik siswa jadi sastrawan kok mas mardies, tapi mengajak mereka agar bisa mengapresiasi sastra. *halah*
Kalau menurut saya, dan hal itu menurut pengamatan di daerah saya tinggal, penikmat sastra dikalangan siswa dan mahasiswa sangat sangat minin, apalagi sastrawan lokal yang mau SMS. Dan kenapa hal ini bisa jadi demikian, ya… seperti yang bapak sebutkan, “pelajaran apresiasi sastra tidak prospektif dan menjanjikan masa depan, ‘miskin’ nilai praktisnya jika dikaitkan dengan denyut kehidupan”.
Ozan’s last blog post..Cang Panah dan Maryamah
ooo
yaps, kayaknya memang begitu mas ozan. sastra belum bisa menjadi magnet bagi siswa dan juga mahasiswa.
Karena lingkungan, sejak bisa membaca, saya menyenangi karya sastra. Jika ada mata pelajaran bahasa Indonesia, dari tata bahasa dll…pasti nilaiku terangkat karena pengetahuan yang memadai tentang bacaan sastra. Sekarangpun rumahku penuh buku bacaan…ibaratnya uang saku sejak dulu habis untuk beli buku.
Saya akui, pasanganku sendiri awalnya juga kurang memahami hal ini, dia lebih menyukai hal-hal teknik dan seni…jadi heran kalau melihat jika saya sedang membaca buku, ada orang teriakpun tak mendengar. Syukurlah setelah hidup sekian lama, dia menjadi lebih memahami.
Saya pernah menulis bahwa sikap dan perilaku seseorang, selain diakibatkan oleh unsur genetik, juga karena pengaruh lingkungan sekitarnya….dapat dilihat di http://edratna.wordpress.com/2007/05/04/
apakah-sikap-dan-perilaku-diturunkan-dari-orang-tua/.
edratna’s last blog post..Capek
ooo
wah, saya sependapat dg bu enny. orang2 di sekitar kita punya pengaruh yang cukup kuta terhadap peribadi seseorang, termasuk di bidang sastra.
Kelihatannya sudah menjadi ke-khas-an anak muda jaman sekarang klo segala sesuatu yg gak ada hubungannya dgn tekhnologi dan seni dlm hal ini musik maka mereka gak begitu tertarik, sehingga oleh karenanya diperlukan suatu trobosan dlm mengenalkan/mempopulerkan sastra dikalangan generasi/anak muda. Menurut saya bukan hanya sekedar menghadirkan para sastrawan ke sekolah2 saja (SMS) tapi lebih pada kemasan cara penyampaiannya yg perlu di-inovasi-kan. Di satu sisi…, sastra sangat dekat dgn yg namanya kelembutan tapi di sisi yg lain….kenyataan membuktikan bahwa dlm penyampaian/pengenalan/pemopuleran sastra “kebanyakan” sarat dgn kekakuan atau sangat monoton (sprti yg Bapk sampekan di atas). Mengabungkan (sastra) dgn tekhnologi dan atau musik dlm memopulerkan sastra, saya rasa adalah suatu cara yg (lebih) efektif/baik dari pada (mengadakan) seminar atau kursus (ttg sastra). Seperti halnya yg dilakukan WS Rendra saat beliau bergabung dgn Iwan Fals, Sawung Jabo, Setiawan Jodi dan konco2-nya dlm group “Kantata Taqwa” dimana pada saat itu Rendra menghadirkan “Paman Doblang, Nocturno”(dll.) yg mampu mendorong saya untuk lebih kenal siapa itu WS. Rendra dan karya2-nya. Atau mungkin juga perlu dicoba diadakan pembelajaran tentang bikin Weblog yg digabung dgn gimana caranya bikin tulisan/satra (dalam satu acara). Dan pada akhirnya para sastrawan klo mau sastra bisa populer dan diterima di kalangan anak muda jaman sekarang…. maka mau tidak mau mereka (para sastrawan itu) harus belajar juga tentang tekhnologi dan atau musik yg bagi kebanyakan anak muda…keduanya (tekhnolodi&musik) adalah “darah” dan “Roh” yg mem-bikin hidup mereka (jadi)lebih hidup.
ooo
wowo… mencerahkan sekali pendapat bung serdadu. saya sepakat banget. sastra perlu berkolaborasi juga dengan teknlogi yak!
mmmm … SMS? kita yang di kampus malah sedang mengagendakan SMK (sastrawan masuk kampus). tapi bukan itu istilah yang kami buat. iya pak, kita pecinta sastra yang tercecer di IAIN walisongo, akhirnya mendirikan rumah yang bernama Beranda Sastra Edukasi, ingin mengagendakan sastrawan masuk kampus. Dulu, 2006, setelah berhasil mandatangkan penulis novel best seller yang filmnya sedang booming sekarang, Habibur Rahman Elsyrazi, September kemarin Mas Pras (S Prasetyo Utomo). Dan nantinya kita belum tau siapa yang berkenan mengunjungi beranda kami yang ala kadarnya. Bagaimana dengan pak Sawali?
*Oya pak, foto yang sedang pegang mick itu mas pras ya?*
ooo
wew.. ternyata di iain ada beranda sastra. salut nih mbak hibah. wew… aku? kenapa mesti ditolak? walah, ge-er nih! bener, mbak, itu foto mas pras waktu jadi moderator ksi di kudus.
sastrawan butuh talenta yang kuat pak… selain dari didikan, akat juga menentukan.. dan mungkin guru bahasa lebih banyak ke linguistiknya ketimbang di sastranya.. jadi wajar kalo mereka tidak begitu tertarik dengan sastra dalam pengajaran.. kalo tertarik, pasti porsi sastra akan lebih dikedepankan meski jamnya dalam pengajaran minim… 😀
gempur’s last blog post..Reporter Berjilbab Mulai diterima?
ooo
yups, bisa jadi, pak. kenyataan memang begitu, apalagi ujian banyak menampilkan soal bahasa ketimbang sastra. mestinya porsinya imbang.
Memang sedikit sekali orang yg suka sama sastra. Mungkin hal itu dikarenakan pada saat masih sekolah, sastra merupakan salah satu pelajaran yg membutuhkan penalaran yg tinggi. Jadi jarang orang yang minat. Sebenernya saya juga minat ke sastra, eh malah kul saya ke IT, jadi ya pas da waktu saja coba2 cari pengetahuan tentang sastra. Eh pak, btw yahoo id bpk apa? Kan lumayan bisa tanya2, (maksudnya kalo lagi gak sibuk)
😆
GBU
Elfrida’s last blog post..Bisakah Karakter Seseorang Diubah?
ooo
sebenarnya sih bukan penalaran, melainkan *halah sok tahu* emosi dan intuisi. eh, ym kan dah kupasang di bar samping, mbak frida. ok deh, kapan2 kita bisa chat kok, halah!
saya jadi berpikir: apa sebaiknya guru bahasa & sastra indonesia itu juga seorang sastrawan/peminat sastra biar siswa termotivasi dan pelajarannya bisa nyampe ya. konsekuensinya, guru tsb harus certified dan punya portofolio karya sastra, kan udah ada lembaga sertifikasi guru sekarang. hehehehe, cuma ngudoroso lo pak…
Samsul’s last blog post..Pemberkasan Honorer: Sudah Mencetak Form D.1.a
ooo
walah, kukira kok ndak harus sastrawan kok mas sam, nanti malah repot. tetp seorang guru, paling tidak yang bisa memahami dan menapresiasi sastra itu aja kok sehingga siswa termotivasi utk cinta sastra.
terkenang saat SMP dulu pernah disuruh membuat Resensi Sastra Pujangga Baru & Katalog profil Sastrawan Indonesia 😀 cuma dulu hanya berpikir sebagai tugas sekolah aja
tomy’s last blog post..Badan Asli Pambudidaya Amal Kebutuhan
ooo
tapi metode seperti itu bagus juga pak tomy; memaksa siswa agar banca buku sastra, hehehehe 😆
Pak Sawali, dulu ceritanya bagaimana sih, kok pelajaran sastra bisa gabung sama Bahasa Indonesia menjadi Bahasa dan Sastra Indonesia? Padahal, sastra itu penyeimbang jiwa. Semestinya dia dihormati untuk menjadi satu mata ajar tersendiri yaitu Satra. Nggak usah pakai embel-embel Indonesia karena luasnya sastra. Sastra Arab oke, sastra Indonesia oke, sastra Jawa oke, sastra Inggris oke.
Karena sastra menjadi bagian dari Bahasa dan Sastra Indonesia makanya dia jadi mata ajar yang serinng hanya dijadikan pelengkap penderita. Coba kalau dia menjadi mata ajar tersendiri, pasti kegiatan SMS akan lebih sukses.
Moh Arif Widarto’s last blog post..Kopdar II Komunitas Bloger Benteng Cisadane
ooo
itu juga tak lepas dari kebijakan depdiknas seperti yang tertuang dlm kurikulum, mas arif. sebenarnya sih sudah banyak yang berpendapat agar bahasa dan sastra dipisahkan. tapi kayaknya ndak pernah direspon. tapi setelah ktsp diberlakukan, kayaknya porsi bahasa dan sastra seimbang kok.
wah sastra itu bagi saya njelumit, riweh bin susah
hanggadamai’s last blog post..Penasaran?
ooo
wew…. sebenarnya nggak juga mas angga. sastra malah asyik dan menyenangkan kok. nggak njlimet.
apresiasi thp sastra perlu ditingkatkan, dengan penyuluhan dan juga penyediaan perpustakaan tentunya. gratiiiiisssss !
menyedihkan setiap kota diindonesia tidak punya perpustakaan yang memadai, bahkan bisa jadi perpustakaan digusur menjadi pusat perbelanjaan.
resi bismo’s last blog post..anak indonesia, setumpuk harapan itu ada padanya
ooo
yups, sepakat banget mas ario. mestinya begitu. sediakan buku2 sastra yang cukup di perpustakaan.
Wah, kayaknya susah banget ya jadi sastrawan itu.
Lebih susah daripada belajar IT, barangkali begitu.
ooo
wah, kalo persoalan ini sangat tergantung pada orangnya, pak edi, hehehehe 😆
“Sastrawan Masuk Sekolah: Sebuah Agenda yang Tertinggal”
Eladhalah….
Tak kira cuma saya yang Agendanya sering ketinggalan (di kelas).
Jebul2 Sastrawan juga lalen to…
Maaf lho Pak, saya sudah sering bilang, kalau saya gak mampu komentar yang berat2. Aku bukan Sastrawan. Aku adalah orang yang berpikiran merdeka.
Bukankah blog ini ditujukan buat 2 golongan ?.
1. Orang yg peduli pada Bahasa & Sastra Indonesia
2. Orang yg berpikiran merdeka.
Lhah saya yang kedua aja….
ooo
wew…. iya, ya, pak mar. makasih yak!
Ah, sebenarnya saya dulu juga sangat tertarik dengan sastra, membaca cerpen-cerpen dengan bahasa yang “aneh-aneh”, puisi-puisi pendek yang membingugkan, saya suka semua itu…
Tapi apa daya, saya malah terdampar di dunia di mana hanya ada nol dan satu
🙁
ooo
wew… menarik juga mas nazieb. kalo ilmu sih sama aja mas. nikmati aja!
mantap oi kalau ini memang sudah jalan
ooo
wew… mantap apanya mas?
Mesti sudah ada aturannya, tapi sekarang nggak jalan lagi karena nggak ada yang mendanai ya, Pak?
SMS sekarang yang terkenal itu ya ketik C spasi D, hehe, becanda…
isnuansa’s last blog post..Kunjungan Ke Lampung
ooo
wew… pakek spasi. itu hp, mbak, hehehehe 😆 kayaknya setelah ndak ada topangan sponsor jadi begini deh nasibnya, hehehe 😆 nggak rame.
Seneng banget dunx, pak… kalo Sastrawan Masuk Sekolah (SMS)…
Jadi pengen sekolah lagi neh… 😉
Rieny’s last blog post..Tertipu di Malaysia
ooo
wew… malah ingin kembali ke sekolah? mbak salwa ada2 aja nih, hehehehe 😆 tapi kalao sekolah ada agenda sms kayaknya memang ada daya tariknya, mbak!
Mestinya begitu,
Malaysia saja mengadopsi buku buku Sastra Indonesia sebagai rujukan..masa kita sendiri lupa ?
cerita indonesia’s last blog post..Situbondo
ooo
bener juga mas iman. kita jangan mau kalah dg negeri jiran kita itu.
Pak, bagaimana sih cara mengapresiasi karya sastra yang baik dan benar? 😀 Beneran, saya masih belum paham loh…
Donny Reza’s last blog post..Dia yang Kurindu
ooo
wew…. mas donny pura2 nggak tahu juga. *halah*
yang parah saya pak, ngajar fisika dengan pendekatan sastra karena ngak pernah praktikum
kangguru’s last blog post..Soal Ulangan PLN
ooo
wakakakaka …. malah bagus banget tuh, pak. kolaborasi, hiks,
Sudah bukan saatnya lagi sekolah menjadi “tempurung” ilmu pengetahuan yang tabu dimasuki sumber-sumber belajar dari luar.
—–
Setuju!!!!!
Mereka diharapkan tidak hanya sekadar melahirkan teks sastra, tetapi juga dituntut untuk mengomunikasikan kepada publik, termasuk lewat agenda SMS.
—–
Setuju lagi!!!!
Kalau saja dulu ada SMS ini di zaman saya sekolah….
Ah, tak baik berandai-andai…
‘Nin’s last blog post..Bagiku Dialah Sang Juara
ooo
wew…. memang dulu waktu nin sekolah belum ada sms, yak?
Rasanya gak ada istilah terlambat or tertinggal deh Pak,
Mumpung Belanda belon jauh-jauh amat buruan kita kejar dengan Bus Way
..he..he..
Sepertinya SASTRA adalah wahana untuk mengekspresikan dan mengeksplorasi kedalam Samudera Batin seseorang deh Pak, Lantas mengapa hal ini tidak kita berikan WADAH yang mengakomodir Siswa yang memiliki BAKAT dan MINAT dalam menuangkan ungkapan ROSO PANGROSO nya..??. Kita sudah tidak bisa lagi memandang sebelah mata terhadap para SASTRAWAN/WATI atas karya-karyanya dalam menuangkan entah itu berupa IMAJINASI atau ILUSI. Tapi faktanya biasanya Karya-karya itu memiliki KEKUATAN RELIGI kan..??. Artinya apa..?? Sastra boleh jadi sebuah manifestasi manusia dalam perwujudannya untuk mengenal DIRI dan Khaliq-Nya.
Dodotiro, dodotiro,
Kumitir bedhah ing pinggir,
Dondomono, Jlumatono,
Kanggo sebo mengko sore…
Halah…halah…nyambung gak sih tulisanku iki Pak…?
Salam SMS ( Semoga Misinya Sukses ) Pak…
Santri Gundhul’s last blog post..SHALAT/DZIKIR KHUSU? atau HIDUP KHUSU????
ooo
walah, nyambung banget mas santri gundhul, hehehehehe 😆 memang seharusnya sastra bisa mendekatkan pembaca kepada Sang Khalik. sekolah, sebagai sebuah institusi, idealnya bisa menjadi wadah yang tepat untuk mengembangkan minta dan talenta siswa dalam bersastra. yup, makasih banget mas santri gundhul.
Mungkin…. ini mungkin lho…. jurusan bahasa atau bidang kesusastraan kurang diminati para siswa karena menganggap jurusan bahasa atau bidang kesusastraan tidak mampu dijadikan tumpuan hidup secara finansial kelak. Mungkin itulah gambaran yang ada di benak banyak para siswa. Untuk itu sastrawan tidak cukup hanya memperkenalkan nilai2 kesusastraan di sekolah2 namun juga meyakinkan bahwa memilih jurusan bahasa dan bidang kesusasteraan adalah tidak salah pilih dan juga mereka harus menunjukkan bahwa bidang kebahasaan dan kesusastraan dapat menjadi tumpuan hidup seseorang yang berminat terhadap bahasa dan sastra. Itu mungkin yang juga sama pentingnya…. **halaah**
Yari NK’s last blog post..Anda Disindir?? Sindir Balik Dengan Kata-Kata Mereka Sendiri!!
ooo
yup, sepakat banget bung yari.
aku pingin nanya nich.,.. gimananich enaknya menjelaskan ttg sex education ke anak2 kita. aku takut dengan lingkungan zaman edan spt ini meraka taunya dari arah yang salah…
ooo
ttg sex education ini agaknya para psikolog yang lebih tepat utk menjawabnya, mbak franya. sepanjang yang saya tahu, memang sudah saatnya anak2 kita perlu mendapatkan pendidikan seks yang tepat agar kelak mereka tak gampang melakukan tindakan konyol yang bisa merugikan masa depannya.
Tapi, ada juga sastrawan lokal yang menolak masuk sekolah, Pak… 😕
Kan jadi repot tuh… 🙁
suandana’s last blog post..sidang?
ooo
bener juga pak adit. kalo memang ada sastrawan yang “alergi” ke sekolah, sebaiknya ya nggak usah dipaksakan.
huhuhu jadi inget film dead poet sociaty. ama film “writter” kalo nggak salah lupa lagi. di film2 itu guru sekolah berhasil membuat murid-muridnya mencintai sastra karna memang lewat dia sastra menjadi suatu hal yang sangat menyenangkan.
kayanya lebih asyik lagi kalau mudrid2nya yang ditanyaain mereka mau siapa yang di datangkan ke sekolah-sekolah itu. karna kadang-kadang sastra terlalu berat untuk langsung di cintai kalau memulainya dengan tulisan2 yang berat.
tapi lagi2 saya tidak terlalu yakin dengan pendapat saya ini pak. tapi kebayang yah kerennya pasti kalau anak-anak sekolah itu pada rame-rame menulis. pasti seru membaca tulisan-tulisan mereka mengenai kehidupannya.
pak gimana kalau nggak cuma sms tapi juga smb juga.
jadi Sastrawan Masuk Sekolah dan Siswa Masuk Blog huhuhu kayanya keren tuh.
bedh’s last blog post..Are you listening?
ooo
siswa masuk blog (smb) wew… asyik juga tuh mas bedh. sayangnya, belum semua sekolah punya akses net. kalau itu bisa terwujud pasti daya pikat anak2 utk menulis makin heboh.
Apapun caranya, tujuannya harus jelas dulu. Apa manfaat bagi seseorang dengan mengenal dan mengapresiasi sastra? Mengasah budi kah, atau menajamkan hati kah? Atau ngga ada manfaatnya?
Kalau ngga ada manfaatnya, buat apa dilakukan?
Tujuan pendidikan di Indonesia itu apa ya? Membangun manusia Indonesia seutuhnya yang seimbang? Mungkin sastra masuk dari sisi keseimbangan tadi (otak kiri dan otak kanan).
Lalu pakai cara apa biar seimbang? Lha jumlah jam pelajarannya saja sudah sedikit. Sastra masuk lewat budaya Pop deh akhirnya. Tapi sayangnya budaya Pop, bukan ditujukan membangun manusia yang seimbang melainkan cari duit hehehe.
Jadi, tetep aja ngga bisa masuk.
Yah, sudahlah biarkan orang-orang memakai caranya sendiri untuk membawakan sastra. Soalnya, tujuannya juga beda-beda. Guru sastra juga mengajarkan sastra dengan tujuan cari uang (ngga semua sih).
ooo
kalau apresiasi sastra tujuannya jelas, pak iwan, yakni untuk membekali siswa agar memiliki tingkat paresiasi yang cukup terhadap karya sastra. sekarang tantangan itu dilemparkan kepada guru bahasa. sanggupkah mereka mencapai tujuan itu? itu saja, hehehehe 😆
Apa kabar, Mas!
Boleh koreksi dikit?
Setahu saya Gerakan Sastra Majalah Sastra Horison yang di backup Yayasan Ford Foundation bukan bernama SMS, tetapi SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya. Kegiatan ini dirintis oleh Pak Taufik Ismail dengan tujuan lebih mendekatkan sastrawan dan karya sastranya kepada siswa. Gerakan ini satu paket dengan disisipkannya suplemen Kaki Langit di Majalah Sastra Horison. Di samping itu ada kegiatan tahunan (masih berlangsung sampai sekarang) yaitu Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) dan Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) antarguru Bahasa Indonesia SMA sederajat. Trus, guru-guru diundang untuk mengikuti diklat Menulis, Membaca, dan Apresiasi Sastra (MMAS) dan Lokakarya Sastra Indonesia dan Daerah. Kegiatan SBSB telah berhasil mendekat karya sastra kepada siswa di SMA dan SMP. Apalagi dengan dilatihnya guru-guru Bahasa Indonesia tersebut untuk mampu menulis, membaca, dan apresiasi sastra, yang telah banyak menciptakan guru-guru beprestasi dalam tulis menulis (diklat ini tiap tahun 2 angkatan, tiap angkatannya sekitar 100 orang).
Menurut hematku, Taufik Ismail dan SBSB telah melakukan langkah terbaik dalam mengenalkan dan mendekatkan sastrawan dan karya sastranya pada siswa, yang selama ini belum pernah dilakukan oleh sastrawan manapun secara nasional. Jika ada beberapa pengamat atau sastrawan memberikan komentar minor, itu karena mereka tak bisa berbuat seperti itu dan tidak diajak Taufik untuk mengelola dan meramaikan kegiatan. Banyak sastrawan terlibat dalam SBSB. dari sekelas Rendra sampai Jamal T. Suryanata (sastrawan daerah).
Sebenarnya kita harus salut kepada mereka yang telah bekerja dan berusaha untuk lebih mengenalkan sastra sebagai pelajaran dan keahlian. Taufik bukan hanya berbuat sampai di situ, Kurikulum SMP dab SMA yang sekarang memberi ruang lebih untuk materi sastra pada pelajaran Bahasa Indonesia dan kewajiban membaca 15 buku sastra selama SMP atau SMA adalah hasil pendekatan, usulan, dan campur tangan Taufik dan teman-teman.
Ford Foundation sekarang sudah habis kontraknya. SBSB diambil alih dan diteruskan oleh Diknas Pusat dan dilaksanakan terbatas. Banjarmasin tahun ini akan kembali jadi tuan rumah. Sementara kegiatan LMCP, LMKS, MMAS, dan Lokakarya masih tetap berlangsung karena sejak dulu bekerjasama dengan Diknas.
Tugas kita sekarang adalah memelihara dan meneruskan.
Jika tidak bisa berbuat, beri mereka tempat untuk berjuang.
Selamat bersastra dengan cerdas dan independen.
Tabik!
Zulfaisal Putera’s last blog post..Nonton Film Ayat-Ayat Cinta Bareng Siswa : Sebuah Pembelajaran
ooo
alhamdulillah, sehat pak zul. apa yang pak zul sampaikan itu benar adanya. istilah sms saya gunakan utk lebih memudahkan penamaan agenda untuk menindaklanjuti SBSB itu. sayangnya agenda sbsb ndak sampai bergaung di daerah. ok, makasih infonya pak zul.
yang penting pengadaan buku dan media untuk memuat karya-karya saatra. Kalau kita terlalu mengharap dari sastrawan yang turun ke sekolah, aku malah kuatir hasilnya hanya reproduksi…percuma!
Robert Manurung’s last blog post..Sitor Situmorang, Sisingamangaraja XII & Tele
ooo
yup, sepakat juga bung robert. meski demikian, untuk membagkitkan minat siswa terhadap sastra, agenda sms perlu juga dilakukan. juga untuk membantu guru dalam meningkatkan proses apresiasi siswa terhadap sastra.
Menarik bener, Kang Sawali. Sasaran juga optimal dengan sms ntu. Ya guru, murid, sastrawannya, juga simultansi sastra ma kehidupan.
Cara lain Carik’e? Lha Carik’e juga gak tek mudheng tentang sastra. Tapi topik ini menarik Kang. Ya saya minta ijin juga untuk ngelink ini ke postingan blog Carik’e ya, Kang. Nuwun sebelumnya (*sok yakin kalo diijinkan)
dhodotes’s last blog post..Cruising seks Carik’e. finally?
ooo
silakan saja kang dhodotes. matur nuwun juga, yak!
Hfffff..gini nih hasil ngelink SMS cintanya Sastro dari Kang Sawali. Mau nglaras sampai kopi panas jadi dingin kali. Nglarase Carik’e gagal total.
dhodotes’s last blog post..SMS cinta (*bukan ngeseks lho) bwat Sasto dari tetangga kelurahan
ooo
wew… kreatif juga nih carike. matur nuwung yak kang carik dah mau ngelink segala.
jaman saya sekolah, pembelajaran sastra amat minim, makanya saya paling ga suka sama yg berbau sastra itu. dulu!
cuma baru-baru ini setelah akses bebas ke berbagai sumber, saya mulai jatuh cinta.
boleh juga sms itu menjajah sekolah lagi.
tan’s last blog post..tag-novee award-sekarung paket
ooo
wew… syukurlah. btw, postingan mas tan ttg sastra juga oke banget, kok. saya suka membacanya.
Pingback: SMS cinta (*bukan ngeseks lho) bwat Sastro dari tetangga kelurahan | dhodotes’ imagination
Amoxicillin….
Amoxicillin. Amoxicillin kills acne. Amoxicillin and alcohol….
sekarang udah gak ada lagi gan