Kepala di Bilik Sarkawi

Bilik Sarkawi yang sumpek, singup, dan gelap diselimuti asap dupa. Baunya yang khas berbaur aroma kembang telon dan minyak serimpi menyedak hidung. Sarkawi merasakan pikriannya hanyut dan tenggelam dalam arus…

Kang Panut

Nada tangis pilu memecah perkampungan, mengiris atap-atap rumah, mengusik mimpi-mimpi yang membadai di layar bawah sadar para penduduk. Fajar baru saja menggeliat dari kepungan malam yang busuk. Sambil mengucak-ucak pelupuk…

Sepotong Kepala

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Para penduduk bergidik ngeri menyaksikan jasad Sukardal yang hanya tinggal gembungnya, seperti bangkai babi yang barusan dibantai tukang jagal. Sepotong kepalanya menggelinding entah di mana. Bayangan kebiadaban menggerayangi setiap kepala.

“Untuk apa orang gemblung seperti Sukardal dibunuh!” teriak seseorang disambung gumam-gumam lirih yang tumpah di tengah kerumunan penduduk.

“Benar-benar biadab!” sahut yang lainnya.

“Kalau bukan iblis, pasti demit yang melakukannya!”

“Belum tentu juga, Kang! Aku yakin, pelakunya pasti manusia! Zaman sekarang, cukup banyak orang yang perangainya melebihi kebiadaban iblis dan demit!”

“Eh! Jangan sok tahu, sampeyan! Jangan suka memastikan sesuatu yang belum jelas kebenarannya! Bisa-bisa sampeyan diperkarakan orang!”

Warni Ingin Pulang

Warni tercenung di kamarnya. Dadanya tiba-tiba sesak. Benaknya jatuh ke tempat yang jauh. Ia rindu Emak, Bapak, dan adik lelaki satu-satunya di tanah Jawa, yang sudah hampir sepuluh tahun ditinggalkannya.…

Pulang

Si Ratih muntah-muntah lagi. Badannya panas menyengat. Napasnya sengal. Dadanya seperti terhimpit beban yang teramat berat. Aku mulai panik. Menurut petugas puskesmas yang memeriksanya tadi pagi, si Nok yang belum…

Di manakah Empati Kita terhadap Sesama?

Belakangan ini praktik kehidupan yang terpampang di atas panggung peradaban makin liar dan buas saja. Praktik kekerasan dan vandalisme (hampir-hampir) menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dalam dinamika perjalanan bangsa ini. Lihat saja di layar TV! Kotak ajaib itu seolah-olah sudah belepotan darah setiap hari. Tawuran antarkampung, perampokan, pencurian, penggusuran, pemerkosaan, dan lain-lain sudah menjadi berita jamak sehari-hari. Becermin dari berbagai kejadian tragis itu, ada sebuah pertanyaan yang mengusik nurani kemanusiaan kita. Benarkah kita telah kehilangan empati terhadap sesama sehingga demikian tega menyakiti dan tak peduli lagi terhadap penderitaan hidup sesama?

Banyak pertanyaan yang bisa dikemukakan, mengapa sikap empati kita terhadap sesama seolah-olah sudah terkikis dari dinding hati dan nurani kita. Seiring dengan merebaknya pola dan gaya hidup materialistis, konsumtif, dan hedonistis, yang melanda masyarakat kita belakangan ini, diakui atau tidak, telah membikin perspektif kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyempit. Kesibukan berurusan dengan gebyar duniawi, disadari atau tidak, telah membuat kita abai terhadap persoalan esensial yang menyangkut interaksi dan komunikasi sosial terhadap sesama. Jangankan mengurus nasib orang lain, mengurus diri sendiri saja masih payah? Mengapa kita mesti repot-repot merogoh uang recehan untuk gelandangan dan pengemis kalau mencari duwit haram saja sulit? Mengapa kita susah-payah membantu korban kecelakaan lalu lintas kalau pada akhirnya kita mesti repot-repot memberikan kesaksian di depan aparat yang berwenang? Kenapa kita mesti membebani diri mengurus anak-anak telantar dan yatim piatu kalau setiap pagi kita masih kerepotan memberikan uang saku untuk sekolah anak-anak kita?

Wisuda

Cerpen: Sawali Tuhusetya Bola mata Mak Sarmini berkaca-kaca. Tanpa terasa, kedua pipinya yang nampak keriput basah oleh air mata. Dadanya ditimbuni rasa haru yang sulit diterjemahkan. Tubuhnya yang kurus tenggelam…

8 Pantangan

Dalam rangka menjalanken amanat penderitaan rakyat blogger yang suka bikin hetrix comment, dengan ini saia saya nyataken 8 pantangan yang tidak boleh dilakuken oleh saia saya: 1. Menjadi murtad. 2.…

Pengakuan

Warti hamil! Kabar itu segera menyentakkan kampung. Kalau Warti bersuami, jelas tak bermasalah. Tetapi, perempuan bertubuh pendek, berwajah kasar, dan berambut keriting itu jelas masih perawan, meskipun tergolong perawan kasep…

Sastra Koran vs Sastra Cyber

Semenjak dunia sastra merambah dunia maya alias internet, banyak kalangan –terutama mereka yang mengklaim dirinya sebagai sastrawan– merasa gerah. Pasalnya, lewat berbagai blog yang gratisan, hampir setiap orang bisa memublikasikan teks-teks sastra ciptaannya. Bahkan, teks sastra yang tergolong “sampah” pun bisa dengan mudah terpublikasikan. Hal yang (hampir) mustahil terjadi dalam sastra koran. Untuk bisa meloloskan teks sastranya di sebuah media cetak, minimal harus lolos dari “barikade” selera sang redaktur. Ini artinya, tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.

Menurut hemat saya, dikotomi sastra koran versus sastra cyber bukanlah perkara substansial. Sastra sangat erat kaitanya dengan dunia imajiner yang bebas ditafsirkan oleh orang dari berbagai kalangan. Ini artinya, siapa pun punya hak untuk menafsirkan nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika alias pesan moral yang terkandung di dalamnya. Persoalan sastra koran dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra koran selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber (hampir) tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Setiap orang pun bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk memublikasikan karya-karyanya. Selain itu, koran juga mengenal batasan dimensi ruang dan waktu. Pembacanya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan sebagai “suplemen” hiburan, melengkapi kolom-kolom keluarga dan entertainment lainnya.