Tak Harus Bilang “Brengsek”

(Catatan untuk Kusprihyanto Namma)

Tulisan Kusprihyanto Namma di Suara Merdeka (21 April 1989) berjudul “Penerbitan Puisi, Sekadar Dokumentasi) menarik disimak. Menurut pewmahaman saya, minimal ada dua hal yang ingin digarisbwahinya. Pertama, sajak yang termuat di koran (sajak koran) terpola oleh selera media massa cetak sehingga penyair terjebak dalam sikap hipokrit (kepura-puraan). Denagn demikian, sajak bukan hasil penjelajahan proses kreativitas yang intens.

Karya Sastra yang Baik Tak Lepas dari Dimensi Hidup

Sebuah artikel yang cukup menggelitik disajikan oleh Suara Merdeka Minggu, 15 Oktober 1989 dengan judul “Kritik Sosial dalam Sdastra”. Menurut pemahaman saya, dalam artikel itu ada tiga hal yang ingin digarisbawahi oleh penulis artikel tersebut. Pertama, karya sastra yang mengandung amanat, tendens, bersifat edukatif, dan memberi nasihat kepada pembaca kurang proporsional dan berlebih-lebihan.

Dimensi Sosial dalam Sastra

Sudah terlalu sering memang dimensi sosial dalam sastra ini diangkat ke permukaan sekaligus menjadi sebuah pembicaraan yang hangat. Namun, seperti dapat ditebak bahwa persoalannya justru kian kabur lantaran telah merembet ke berbagai ranah kreativitas para sastrawan sesuai dengan persepsi yang dikukuhinya. Para sastrawan makin getol mempertahankan visi personalnya masing-masing.

Menemukan Kristal Hakikat Danarto

(Sambung rasa dengan Bung Rosa Widyawan)

Sungguh tak terduga kalau tulisan saya “Menguak Absurditas Cerpen Danarto” (Wawasan Minggu, 26 Juni 1988) yang sekadar selentingan itu mendapatkan respon yang sangat menarik dari Bung Rosa Widyawan RP dengan judul “Tentang Cerpen Danarto: Absurditas Macam Apa?” (Wawasan Minggu, 4 September 1988). Ya, sebuah judul yang bernada retorika, namun justru menggelitik untuk dicarikan bias-bias jawabannya. Dengan munculnya tulisan itu, saya bermaksud mengadakan sambung rasa dengan Bung Rosa. Atau, boleh juga dibilang sebagai hak jawab saya atas pertanyaan yang diluncurkan Bung Rosa.

MENGUAK ABSURDITAS CERPEN DANARTO

Berdasarkan pengakuannya sebagai sastrawan, Danarto tergolong lamban dan sangat tidak produktif. Dalam kurun waktu 12 tahun (1975-1987) hanya muncul tiga buku kumpulan cerpen, yaitu Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), dan Berhala (1987). Hal ini bisa dimaklumi, sebab selain Danarto menggeluti dunia sastra, ia juga mengakrabi dunia seni lain, yakni seni leukis. Baginya, menulis dan melukis berjalan bersamaan. Sebuah pengakuan jujur.

Antologi Sastra

PALING tidak dalam paro dekade terakhir muncul fenomena baru dalam jagat kesastraan Indonesia mutakhir. Yakni, memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya lahir sebuah antologi (baik cerpen maupun puisi).

OTONOMI PENGAJARAN SASTRA

GAUNG kegagalan pengajaran apresiasi sastra di sekolah sudah lama terdengar. Banyak pengamat menilai pengajaran apresiasi sastra selama ini berlangsung monoton, tidak menarik, bahkan membosankan. Siswa tidak diajak untuk menjelajah dan menggauli keagungan nilai yang terkandung dalam teks sastra, tetapi sekadar dicekoki dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang bercorak teoretis dan hafalan.

MEMBANGUN “OTONOMI” PEMBELAJARAN SASTRA

Tak henti-hentinya pembelajaran sastra di sekolah disorot para pengamat, pemerhati, dan peminat sastra. Hal itu memang cukup beralasan. Proses pembelajaran sastra di sekolah selama ini dinilai belum optimal; berlangsung seadanya, kaku, tanpa bobot, dan membosankan, sehingga tidak mampu membangkitkan minat dan gairah siswa untuk belajar sastra secara total dan intens. Akibatnya, apresiasi sastra siswa tidak bisa tumbuh dan berkembang secara maksimal. Buku-buku sastra di perpustakaan sekolah dibiarkan terpuruk tak tersentuh, kepekaan moral dan nurani siswa pun dinilai mulai menipis. Tidaklah berlebihan kalau Danarto pernah menyinyalir, salah satu penyebab maraknya tawuran antarpelajar ialah lantaran siswa tidak pernah diajar sastra dengan baik.

Membangun Budaya Demokrasi melalui Pendidikan

Perilaku elite politik politik partai “kecil” yang menyangsikan kejurdilan Pemilu 1999 tanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bertingkah “inkonstitusional” dengan tetap bertahan diri meskipun partainya jelas-jelas tidak dipilih rakyat atau minta jatah kursi di parlemen yang amat-sangat tidak rasional, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan.