“Wejangan” di “Pertapaan” Cokrokembang

Ketika banyak orang tenggelam dalam kesibukan menyiapkan “pesta” pergantian tahun, 18 “cantrik” dari “Padepokan” STESA (Studi Teater dan Sastra) Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kendal justru “menyepi” di “Pertapaan” Cokrokembang, Desa Mentosari, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ke-18 cantrik yang digembleng di bawah kharisma “Resi” Aslam Kussatyo itu mulai “bertapa” sejak Sabtu, 29 Desember hingga Senin, 31 Desember 2007. Ada banyak “jurus” yang hendak diasah dalam “kawah candradimuka” itu, seperti manajemen pertunjukan, imajinasi, refleksi diri, olah tubuh, pernapasan dan vokal, penyutradaraan, keaktoran, make-up, artistik, kepekaan indera, improvisasi gerak dan kata, penciptaan, dan penyajian.

Ya, para “cantrik” itu adalah beberapa gelintir anak muda yang telah berniat memilih dunia sastra dan teater sebagai bagian dari “panggilan” hidup. Sebuah dunia yang (nyaris) tidak banyak diminati oleh anak-anak muda di tengah-tengah gencarnya gerusan nilai materialisme, konsumtivisme, dan hedonisme. Di bawah gemblengan Aslam Kussatyo, dedengkot teater Kota Kendal, mereka sengaja mengisolir diri menjelang pergantian tahun untuk melakukan refleksi, berimajinasi, mengolah daya cipta, dan berlatih jurus-jurus bermain teater.

Saya yang kebetulan didaulat untuk memberikan “wejangan” kepada para “cantrik” di sebuah “pertapaan” yang dkelilingi banyak bukit itu pun tak kuasa menolak. Di bawah “ancaman” cuaca buruk yang membadai, saya langsung memacu sepeda kumbang motor *halah* di atas jalan berlubang. Guyuran hujan rintik-rintik dan jalanan yang licin tak menyurutkan nyali saya *halah* untuk segera bertemu dengan para “cantrik” yang sedang “ngangsu kaweruh” masalah teater dan sastra itu.

aslam42.jpg

Saya dan “Resi” Aslam Kussatyo di depan para “cantrik”.

aslam7ok.jpg

Membeberkan *halah* “wejangan” sastra di depan para “cantrik”.

*Maaf kawan, fotonya kabur, cuaca mendung dan berkabut, hehehehe πŸ˜† Alasan klise*

Inilah “wejangan” yang saya “khotbah”-kan kepada mereka.
Kreativitas dalam dunia Penciptaan Teks Sastra

β€œJalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri.”
(Seno Gumira Ajidarma:1997)
***
Kreativitas berkaitan dengan kemampuan daya cipta. Kehidupan berkaitan dengan penafsiran nilai-nilai hidup dan kehidupan yang bermakna dalam upaya meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam dunia penciptaan teks sastra, seorang penulis, mau atau tidak, harus mampu memadukan dua β€œkekuatan” itu sekaligus dalam teks-teks ciptaannya.

Dunia sastra sangat berkaitan dengan dunia yang tidak kasat mata. Teks sastra menyajikan persoalan hidup dan kehidupan secara fiktif, tetapi secara moral dan logika harus dapat ”dipertanggungjawabkan”. Bisa saja seorang penulis menyajikan konflik perjalanan hidup seorang pencandu narkotika yang tega menyiksa diri dan merusak masa depannya melalui ”pil atau serbuk setan”, misalnya. Namun, peristiwa yang digambarkan tetap harus utuh dan menampakkan kewajaran dari sisi moral dan logika. Jadi, meskipun hanya merupakan karya imajinatif, teks sastra tetap harus menampakkan keutuhannya sebagai teks yang runtut penalarannya.

Emha Ainun Najib mengatakan, pekerjaan sastra memang merupakan pekerjaan halus, pekerjaan rohaniah. Namun, bagi yang berminat mengembangkan bakatnya tidak sesulit menekuni olahraga. Jika dalam sepak bola aturan-aturan main harus dipahami sebelum main sepak bola, sedangkan sastra –meski belum jelas; apakah itu soal kosa kata, dan sebagainya– tulis saja terus, sambil mencari waktu membaca karya sastra, kemudian karya tersebut disimpan, dibaca lagi, diperbaiki lagi, diendapkan lagi.

“Semua penyair/cerpenis mengalami kesulitan menulis. Kalau tak demikian, tak lahir karya bermutu. Jadi, tulis saja dulu, meski katanya keliru, nanti akan ada komparasi, perbaiki kekeliruan, supaya ada dialektika dengan diri. Puisi menarik karena ia merangsang pikiran. Bisa saja dalam sebuah karya ada analisis sosiologis, antropologis dan sebagainya,” ungkap Emha. Hal senada juga dikemukakan Wisran Hadi. Menurutnya, bila banyak “peraturan” atau teori justru bisa jadi penghambat dalam menulis. Untuk itu, jangan peduli dulu dengan aturan ini-itu, yang penting menulis, dan terus menulis. Nah, bagaimana, menulis teks sastra tak perlu teori, bukan?
***

Bagaimana mengawali penulisan teks sastra? Tidak usah mempersulit diri. Apa pun yang ada di sekitar kita bisa dijadikan bahan cerita. Teman yang putus cinta, konflik dengan orang tua, gagal naik kelas, kecelakaan lalu lintas, korban narkoba, dan semacamnya bisa diracik menjadi sebuah teks yang menarik. Jadi, kita mesti jeli mengamati berbagai peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan di sekitar kita sehari-hari. Lalu, sajikan peristiwa itu secara menarik dengan menggunakan kata-kata yang ekspresif. Ekspresif artinya mampu menyajikan peristiwa dengan menggunakan kata-kata yang dapat menggambarkan apa yang dilihat, didengar, diraba, dicium, atau dirasakan oleh penulis secara tepat. Hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan ungkapan (idiom), majas, atau ujaran langsung.

Coba perhatikan kutipan cerpen berikut!

β€œMelati … Melati … harum dan mewangi …”
Setiap potongan syair dangdut itu terdengar, para tetangga segera paham, Sarkawi baru saja pulang dari hutan. Ia pasti sedang terlihat leyeh-leyeh, sembari memeluk kucingnya.
Mulanya para tetangga memang merasa aneh dengan dendang Sarkawi. Ya, selama ini ia lebih dikenal akrab dengan tembang Jawa atau lagu-lagu tayuban, baik dari mulutnya maupun dari radio kotaknya yang besar itu. Tapi, mereka kemudian mengerti juga, syair dangdut itu ternyata bukan pertanda peralihan selera. Bukan. Ia hanya ungkapan sayang bagi momongannya, si Melati.

Kalau saja punya cucu, Pak Wi, begitu lelaki pencari kayu bakar itu dipanggil, tentu pantas dipanggil kakek. Tapi, jangankan kok cucu, sampai usianya yang menginjak senja, seorang anak pun tak ia miliki. Pernah memang seorang bocah mewarnai kehidupannya, perempuan lagi. Tapi nasib malang merenggut hidup bocah itu ketika belum genap berumur 10 tahun. Sejak itu, Pak Wi dan istrinya tak pernah lagi dikaruniai seorang anak pun. Sebenarnya ada keinginan untuk memungut anak dari famili atau tetangga. Namun, hidupnya yang tak pernah lepas dari kesulitan membuat keinginan itu hanya sebagai keinginan …

(Dikutip dari cerpen β€œMelati” karya Mahfud Ikhwan)

Struktur cerpen terbentuk dari lima unsur yang saling berkaitan, yaitu perbuatan, penokohan, latar, sudut pandang, dan alur (plot). Tokoh yang dikisahkan melakukan perbuatan atau tindakan yang terjadi pada waktu dan tempat (latar) tertentu berdasarkan tahapan-tahapan tertentu (plot) dari sudut pandang (pusat pengisahan) penulisnya. Daya pikat sebuah teks cerpen sangat ditentukan oleh keterampilan sang penulis dalam menyatukan unsur-unsur cerita sehingga mampu merangsang minat pembaca untuk mengetahui jalan cerita selanjutnya.

Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah membangun karakter tokoh. Ada banyak cara yang bisa digunakan, di antaranya:

  • Melalui ucapan-ucapan si tokoh: Ucapan si tokoh dalam menggambarkan karakternya. Orang yang sopan tentu berbeda cara ngomongnya dengan orang yang bengal. Orang pemarah tentu beda cara ngomongnya dengan orang yang penyabar. Demikian seterusnya.
  • Melalui pemberian nama: Dalam kehidupan nyata, nama seseorang memang tidak identik dengan sifat dan perilaku orang tersebut. Namun, dalam dunia fiksi, kita bisa memberikan nama-nama tertentu untuk memberikan kesan karakter yang berbeda-beda. Misalnya, nama Dewi cenderung berkesan anggun dan keibuan. Sedangkan, nama Susan cenderung berkesan centil dan genit. Pemberian nama juga hendaknya disesuaikan dengan setting cerita dan karakter etnis dari tokoh tersebut. Misalnya, aneh rasanya jika kamu menceritakan seorang tokoh yang beragama kristen, tetapi dia bernama Abdullah. Atau, kamu menceritakan tentang seorang tokoh yang ber-etnis Jawa, dan sejak lahir hingga dewasa tinggal di Kendal, tetapi dia bernama Michael. Kalaupun kamu harus memberikan nama yang seperti itu, hendaknya kamu memberikan penjelasan yang memadai mengenai hal itu (mengapa orang Jawa yang sejak lahir tinggal di Kendal bisa punya nama Michael, dan sebagainya)
  • Melalui diskripsi yang disampaikan oleh si penulis: Ini adalah cara yang cukup umum dan gampang. Contohnya: “Wina adalah gadis yang amat penyabar, ia selalu memulai ucapannya dengan senyuman.”
  • Melalui pendapat tokoh-tokoh lainnya di dalam karya tersebut, contoh: Nia berkata, “Joko itu pelit banget deh. Masa udah ketahuan di dompetnya banyak duit, dia ngaku lagi bokek!”
  • Melalui sikap atau reaksi si tokoh terhadap kejadian tertentu, contoh: Ketika seorang anak memecahkan gelas, apa yang dilakukan ibunya? Dalam hal ini, kita harus merumuskan dulu secara jelas, bagaimana karakter si ibu. Apakah dia pemarah, penyabar, suka mencaci-maki, dan sebagainya. Jika yang diceritakan adalah seorang ibu yang penyabar dan penuh pengertian, tentu tidak akan membuat kalimat yang menceritakan bahwa si ibu marah besar lalu memaki-maki anaknya.

Jangan sekali-lagi merusak karakter tokoh dengan hal-hal yang kontradiktif. Misalnya: kamu menceritakan tentang tokoh Ali yang penyabar dan selalu santun dalam bicara. Namun dalam sebuah bagian cerita, kamu membuat kalimat seperti ini: Ali sangat terkejut mendengar cerita Hasan. Dadanya bergemuruh, mukanya merah, dan ia menatap Hasan penuh kebencian. “Bajingan loe!” teriaknya dengan kasar.
***
Teks sastra yang kamu buat akan menjadi lebih bermakna jika dibaca orang lain. Oleh sebab itu, kamu perlu memublikasikan teks karyamu ke media massa, majalah sekolah/remaja/umum, koran, atau tabloid. Sekarang ini, cerpen/puisi ”dimanjakan” oleh berbagai media. Hampir setiap penerbitan selalu menyediakan rubrik cerpen/puisi. Peluang ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Ada baiknya, kamu memiliki beberapa alamat redaksi majalah/koran. Lebih bagus lagi jika memiliki alamat e-mail; lebih murah dan praktis.

Jangan putus asa kalau gagal dimuat. Resep menjadi penulis sukses tidak mengenal putus asa dalam kamus hidupnya. Yang penting menulis, menulis, dan menulis. Yang tidak kalah penting, kamu harus banyak membaca teks sastra yang dimuat di berbagai koran atau majalah. Kalau mengalami kebuntuan dalam menulis?
Salinlah beberapa paragraf atau halaman dari buku kesukaanmu.

  • Tirulah gaya penulis favoritmu.
  • Berusahalah menulis dengan gaya yang baru bagimu.
  • Petakan kebuntuanmu menulis dalam bentuk gambar. Gunakan imajinasimu. Gambarlah apa saja. Melalui kegiatan ini β€œkedua belah otak” kamu bekerja dan merangsang pikiran kreatif.

(Sebagian “wejangan” saya “curi” dari berbagai sumber yang saya sendiri sudah lupa dari mana dulu saya “mencuri” :mrgreen: )

***

Tentu saja, mereka tidak puas hanya sekadar mendengarkan “wejangan-wejangan” yang tidak jelas juntrungnya itu, hehehehe :mrgreen: Mereka saya beri kebebasan untuk ngomong apa saja. Bertanya dan berdiskusi pun jadilah. Hangat dan menarik. Ada keluguan dan kepolosan. Ada juga kekenesan.

Walhasil, saya pun meminta mereka untuk menerapkan “jurus-jurus” dalam menulis; puisi dan cerpen. Beragam jadinya. Ada yang bicara soal “Pohon Cinta”, “Terlambat”, “Putri Malu”, atau “Durian”. Macam-macamlah pokoknya. Tanpa terasa selama 3 jam saya menemani para “cantrik” itu. Hasilnya pun belum kelihatan memang. Namun, melihat semangat dan talenta yang mereka miliki, saya punya keyakinan, kelak akan muncul penulis dan penggiat sastra baru dari para “cantrik” yang baru saja usai melakukan “pertapaan” di Cokrokembang itu. Semoga! ***

32 Comments

  1. Waaah nasehatnya sangat jelas apalagi pake bahasa “kamu” lebih mengena. Namun ternyata itu ditujukan kepada anak-anak cantrik di sana.

    Btw, sebaiknya dipertajam lagi pak nasehat2nya saya mengikuti dengan jelas. Banyak detil yg baru saya ketahui. Dan ini sangat bermanfaat untuk tulisan saya ke depan.

    Yakin banget deh, gak sia2 baca postingan ini. Saya benar2 disemangati oleh Pak Sawali untuk berkarya dalam teks dan konteks tentunya.

    Selamat malam tahun baru ya pak. di sini hujan deras. Saya tidak jadi mengikuti acara tahun baru. sehingga di depan monitor saja. πŸ™‚

  2. saya kok melihat foto2 itu sengaja dikabutkan atau memang hawa di sana berkabut sehingga wajah ngganteng njnengan kok tak sejalas naskahnya.. πŸ™‚

  3. Terima kasih, Pak, Tulisannya. Aduh, senang banget ya saya membacanya. Banyak ilmu yang bisa dipetik.

  4. @ Kurt:
    Mas Kurt ketularan virus hetrix, yak, hehehehehe πŸ˜† walah, hanya “wejangan” ringan yang cocok untuk anak-anak ABEGE, Mas Kurt yang lagi mau nulis. Mas Kurt kan dah piawai nulis, hehehehe πŸ˜† jadi anggap saja “wejangan” itu nonsens.
    Tentang foto yang kabur, saat emang cuaca mendung dan berkabut, dekat perbukitan sih, hehehehe :mrgreen: *walah jujur aja kalo ngga bisa ambil gambar, iya, ya!*

    @ Hanna:
    Walah, Mbak hanna terlalu berlebihan nih. hanya cocok untuk anak abege yang lagi belajar nulis kok, mbak, hehehehe πŸ˜† untuk mbak hanna mah resep nulisnya bukan yang ini lage. *halah*

  5. Waaaaaah, wejangan ini pun bermanfaat bagi saya untuk menulis cerpen-cerpen-an saya…… πŸ˜€

    Terimakasih Pak! Benar-benar bermanfaat!

    Baca lagi aaaaaaaaaaaah biar makin paham!

    Ternyata menggambarkan tokoh, walaupun fiktif, juga harus konsisten, kontekstual, masuk akal, dst ya Pak?

    πŸ˜€

  6. Thanks pak, saya jadi ingat alm ayah saya (dulu guru bahasa Indonesia, kemudian dosen IKIP Surabaya).

    Saat saya masih kecil, ayah sering latihan teater bersama murid2nya dirumah….mungkin ini yang sedikit banyak membuat anak-anak ayah suka membaca buku-buku sastra.

  7. Saya yakin, resi Sawali turun tangan, talenta para cantrik langsung bersinar.. garapan apik dari pak sawali tak dapat diragukan lagi..

    Saya teringat sub header blog saya dulu:
    Mencintai sastra adalah keberanian, Menghasilkan karya sastra dalam bingkai langit adalah keagungan

    Hidup sastra…!

  8. Saya sebenarnya suka sastra (makanya saya suka berkunjung ke sini πŸ™‚ ), padahal [secara akademik] saya seorang teknisian (engineer/IT) yang kata teman2 prilaku berpikir antara sastrawan dan engineer (termasuk tulisan tentunya) berbeda. Yang satu menonjolkan keindahan bahasa, yang satunya menonjolkan kejelasan (eksak) bahasa. Karena yg indah kan tidak mesti selalu jelas maknanya. Dan yang jelas (eksak) tidak mesti indah. πŸ˜†
    Saya kadang protes karena saya bisa dua2 nya kok, …. *halah* maksudnya suka dua2 nya.
    Menurut saya tidak ada yg terganggu dalam keprofesian. Tetapi kenapa mereka kadang menertawakan. *curhat hoi :mrgreen:

    Mohon pencerahannya tuan resi eh suhu sastra … πŸ™‚

  9. Aku selalu kagum dan takjub dengan usaha nyata beginian, gairah seks … eh semangat berbuat makin memacu adrenalin. Lanjutkembangkan terus Pak

  10. Wah… latihan akhir tahun… Ide bagus tuh Pak… Bisa diterapkan di kelompok teater di sekolah saya… Dan, terima kasih atas wejangannya… πŸ˜€

  11. Waahhh,…..
    Mulai gawul sama
    cewek abegeh, negh….

    ke…ke…ke… πŸ˜†

  12. @ mathematicse:
    Hahahahaha πŸ˜† “wejangan” untuk abege, pak, untuk pak jupri mestinya sudah beda triknya, hehehehe πŸ˜€

    @ edratna:
    menurut saya bener banget Bu Eny. Bisa jadi emang ibu dan saudara2 ibu seneng baca sastra karena faktor bapak juga yang kebetulan guru dan sekaligus dosen bahasa dan sastra. salut bu.

    @ gempur:
    walah, saya sih guru biasa aja, pak gempur, jangan terlalu berlebihan :mrgreen: saya sepakat banget dengan subheadernya pak gempur. emang bener, pak. Idiom:” Mencintai sastra adalah keberanian, Menghasilkan karya sastra dalam bingkai langit adalah keagungan” ini luar biasa maknanya. Hidup sastra!

    @ Herianto:
    Kalo pak heri suka teknik dan sastra sekaligus, wah salut pak, justru, menurut saya nih, pak, yang bener seperti itu. yang satu berkaitan dengan otak kiri, yang lainnya lagi (sastra) bersentuhan langsung dengan otak kanan. jadi imbang kan, pak *halah sok tahu nih* yang keliru justru temen2 pak heri yang metertawakan itu. saya yang senneg sastra pun juga seneng teknik, pak, khususnya informatika. sayangnya, gaptek terus, mrgreen: salut buat pak heri nih!
    *walah kok ada tambahan resi eh suhu sastra segala toh, pak heri, hehehehe πŸ˜† biasa2 aja kok.*

    @ Ersis W. Abbas:
    makasih pak ersis atas apresiasinya. mudah2an upaya semacam itu kelak membuahkan hasil pak. mohon doanya pak ersis.

    @ suandana:
    emang rutin, pak tiap akhir tahun. di sekolah pak adit pasti lebih ok kalo acara itu digelar di kelompok teater. walah, itu tuh wejangan buat abege, pak adit, hehehehe πŸ˜†

    @ mbelgedez:
    walah, mas mbel. eh, ini mah memberikan “wejangan”, hehehehe πŸ˜† nggak ada mangsud lain getuh. hehehehe πŸ˜†

  13. wah..
    pak tipsnya bagus…
    saya jadi lebih bersemangat nih..

    tahun baruan yah pak..

  14. @ Moerz:
    makasih mas moerz, kalau ada yang baik silakan dipakai aja *halah* tahun baru di rumah aja kok, mas.

  15. Memang pada zaman sekarang, agar sebuah kelompok seni ingin bertahan di tengah “kemajuan zaman dan globalisasi” sepertinya memang harus mengetahui ilmu yang multifaset termasuk manajemennya yang profesional. Meskipun tentu saja, kualitas “barang dagangan” **halaah** tetap harus yang paling diutamakan. Dan saya yakin “wejangan” Pak Sawali pasti dapat meningkatkan kualitas “barang dagangan” mereka.

    Btw, saya protes, moso gambar2 dan foto2nya burem seh?? Padahal kaca monitor saya udah saya lap pakai “Clear” tapi tetap aja burem!!! Huehehehehe…. :mrgreen:

  16. Saya bersedia lho pak menjadi cantrik disana, sungguh
    nanti nama saya puthut karang tunggal ya πŸ˜€
    jadi begitu ya teks sastra itu, saya malah baru tau…
    *pulang membawa oleh-oleh*
    ____________________________________
    oiya Selamat Tahun Baru

  17. @ Yari NK:
    protes bung yari diterima :mrgreen: sayangnya gambar nggak ada gantinya, hehehehehe πŸ˜†

    @ sitijenang:
    walah

    @ anggara:
    selamat tahun baru juga pak anggara, makasih, yak.

    @ kangguru:
    @ selamat tahun baru juga kangguru, makasih, yak.

  18. nyamar jadi cantrik untuk mendengarkan wejangan… πŸ™‚

    Selamat tahun baru…

  19. @ goop:
    hehehehehehe πŸ˜† puthut karang tunggal itu tokoh dalam nogososro sabuk inten yak mas goop *jadi malu, tanya? hehehehehe πŸ˜† * walah, hanya layak utk abege mas goop, hehehehe πŸ˜€ Wah, makasih mas goop ucapannya. met tahun baru juga yak, semoga sukses selalu buat mas goop.

    @ regsa:
    walah, pake nyamar jadi cantrik segala. ok, makasih, selamat taun baru juga yak, semoga sukses selalu buat mas regsa.

  20. jadi belajar banyak tentang sastra nih, saya jadi terheran2 dulu waktu SMP/SMA yang mengajari saya bahasa Indonesia tidak memberikan nilai sastra itu indah, tapi lebih ke teori yang monoton.
    btw suasana badainya tergambarkan dengan fotonya agak buram, trus dijatuhi salju2 wordpress πŸ™‚

  21. Maaf sebelumnya kalau saya mau bersumpah… :mrgreen:
    Wallahi, ini benar-benar membuka pintu akal saya untuk memahami dunia kepenulisan. Sekalipun pernah “nyantren: di fakultas ilmu komunikasi, tapi petuah tentang penulisan sastra gak saya peroleh lengkap seperti ini. Wejangannya sama seperti rangkuman 1 semester kuliah formal…

    Saya tipikal penakut dalam menulis lho prof… Padahal nyemplung jadi wartawan sudah cukup lama. bawaannya kaku… lha nulis dengan gaya begini saja setelah ngeblog… :mrgreen:

    Sebelumnya, kalau nulis saya selalu memperhatikan aturan-aturan baku… jadi daya kreatifitasnya seringkali terhambat. Untungnya awal-awal ngeblog dapat nasihat dari Kyai Kurt supaya melepaskan diri dari aturan-aturan formal kaya begitu… biar bisa EJAKULASI saat menulis…

    Makasih Prof…

  22. Omon-omon soal foto yang kabur, sepertinyakamera yang digunakan adalah kamera digital. Pada kamera digital biasanya menggunakan auto fokus. kemungkinan besar warnanya menjadi kabur karena setingnya menggunakan soft untuk luar ruangan. Atau karena pixelnya kecil… hehehe. jadi bukan salah kabut atau mendung…
    *halah… sok tahu!*

  23. wah… berjodoh kayaknya ma gus ram nih… komen di sana sini, sering urutan… hehehe… sebuah kebetulan aja kali ya.. πŸ˜€

    Pak Guru, bagus banget tulisannya… membuka alam pikir saya utk trs berkreatif, dg menulis tentunya…. 2 kata yg saya garis bawahi: kreativitas dan tentang kehidupan…. Dengan menulis otak kita bekerja berkali-kali lipat daripada sekedar membaca. Orang yg menulis pasti membaca, orang membaca belum tentu menulis… jayalah pendidikan indonesia..!!!

  24. Betul pak, karya sastra harus bisa dipertanggungjawabkan secara moral.
    Kalau lihat sinetron-sinetron di tivi itu rasanya jadi sebel πŸ™

  25. @ aRuL:
    hanya wejangan untuk abege, mas aRul, hehehehehe πŸ˜† ttg salju hanya nunut fasilitas mr matt, hehehehe πŸ˜†

    @ Ram-Ram Muhammad:
    walah, lha kok pakek ikrar sumpah segala toh, mas ram-ram. seorang jurnalis kan sebenarnya bukan penakut, apalagi hanya sekadar menulis, hehehehe πŸ˜† halah, lha kok malah pakai gelar prof segala, emangnya guru besar, hehehehe πŸ˜† ada2 aja nih.
    wah, tentang fotonya? waduh, makasih bangewt infonya nih. emang bener pake kamera digital, cuma beulm biasa pake, hehehehe πŸ˜† yang ambil kebetulan juga anak2. jadi, mendung ato kabut bukan menjadi masalah kaburnya foto, yak? oh …

    @ Ansori:
    bener udah jodohnya kali mas ansori, hehehehe πŸ˜† di mana ada mas ram-ram di situ pasti ada mas ansori. salut nih. walah, wejangan tuh hanya layak utk abege, mas, hehehehe πŸ˜† terima kasih support dan apresiasinya, yak!

  26. Assalamualaikum bapak. Wah bagaimana kabarnya sekeluarga? STESA emang top cer abis. kapan gembleng GENTA lagi. kasihan ga ada yang bimbing. kan kalo bapak yang bimbing ntar di masukin di blog juga. he..he..he.. oya pak. kunjungo blog saya ya. di farhantaqwa.wordpress.com

  27. Maaf pak sawali, pesan tersebut untuk pak Aslam. untuk pak sawali, salam kangen aja dech

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *