Cerpen: Sawali Tuhusetya
Warni tercenung di kamarnya. Dadanya tiba-tiba sesak. Benaknya jatuh ke tempat yang jauh. Ia rindu Emak, Bapak, dan adik lelaki satu-satunya di tanah Jawa, yang sudah hampir sepuluh tahun ditinggalkannya. Kenekadan Warni untuk menerima tugas sebagai guru di luar Jawa seakan bebar-benar telah memutuskan hubungan darah dengan keluarganya. Ia sudah berkali-kali mencoba mengirim surat ke Jawa, tapi belum pernah sekali pun mendapatkan balasan. Warni tidak tahu, apakah surat yang dikirim memang tidak pernah sampai ke alamat yang dituju atau surat itu sampai ke tangan keluarganya, tapi sengaja tidak dibalas, yang bisa diartikan ia sudah tidak lagi dianggap sebagai anggota keluarga.
“Kamu hanya perempuan, Warni. Buat apa jauh-jauh meninggalkan kampung halaman hanya untuk memburu duit? Tanpa harus bekerja pun ayah sanggup menanggung hidupmu, bahkan sampai kelak kamu hidup berumah tangga!” kata-kata ayahnya menari-nari di lorong ingatannya.
Ayah Warni memang tergolong orang kaya yang terpandang di kampung. Sawahnya berpetak-petak. Rumahnya paling besar dan megah. Sebagai seorang mantan kepala desa, ayah Warni begitu dihormati para penduduk. Namun, Warni tidak sepenuhnya setuju dengan sebagian sikap yang ditunjukkan oleh ayahnya yang dianggap tidak adil dalam memperlakukan dirinya. Dalam soal jodoh, misalnya, ayahnya bersikap otoriter. Warni tidak diberi kesempatan untuk memilih. Oleh ayahnya, Warni hendak dijodohkan dengan Joko, putra Pak Mantri Darpan. Tapi, Warni tidak suka dengan Joko yang pemalas dan congkak, sering membangga-banggakan kekayaan orang tuanya. Oleh sebab itu, ketika ia memperoleh nota tugas sebagai guru dan ditempatkan di luar Jawa, Warni amat senang. Paling tidak, hal itu bisa dijadikan dalih untuk menghindari Joko.
“Maaf, Ayah! Soal tugas adalah soal tanggung jawab. Bukan perkara lelaki atau perempuan! Lagi pula kenapa, sih, Ayah masih saja membedakan perempuan dan lelaki. Lantas bedanya di mana?” berontak Warni.
“Warni! Apa pun alasanmu, perempuan itu dalam kehidupan rumah tangga kelak tetap di bawah lelaki. Dan ingat, secara moral kamu sudah punya ikatan dengan Joko, putra Pak Mantri itu!”
“Itulah yang membuat saya tidak setuju! Di zaman yang sudah modern ini, Ayah masih saja memaksakan jodoh. Kalau cocok, sih, enggak masalah. Tapi kalau enggak, apa ada jaminan aku bisa hidup bahagia?” berondong Warni.
“Sudah, aku tidak mau berdebat. Sekarang tinggal pilih, tetap nekad atau mengikuti kemauan Bapak!”
Dua buah pilihan yang sama-sama sulit bagi Warni. Kalau harus mengikuti kemauan ayahnya, itu berarti ia menolak panggilan hidupnya sebagai seorang guru dan harus siap hidup berumah tangga dengan Joko yang tidak dicintainya. Itu sama saja ia telah ikut mengembangkan budaya patriarki yang selama ini ditentangnya. Warni memang bukan tipe feminis, tapi ia amat tidak sependapat kalau kaum perempuan selalu dimitoskan sebagai kanca wingking, yang hanya diserahi tugas mengurus dapur, sumur, dan kasur. Namun, jika ia tidak mengikuti keinginan ayahnya, itu sama artinya telah melempar telur busuk ke wajah ayahnya yang begitu dihormati oleh orang-orang kampung.
Beberapa hari lamanya, warni hanya ngendon di kamar. Ada segumpal mendung yang menggelayuti pikirannya. Sulit mengambil keputusan. Apalagi Ayah, Emak, dan adiknya selalu memasang wajah cemberut yang agaknya sudah sulit diajak kompromi. Namun, nota tugas yang ada dalam genggaman tangannya seperti sudah mengisyaratkan kalau ia harus secepatnya menunaikan tugas suci itu. Dalam kondisi seperti itu hanya pamannya, Om Rajimo yang cukup toleran, dapat memahami keinginannya.
“Warni, kalau itu sudah menjadi keyakinanmu, berangkatlah. Om merestuimu. Om hanya berpesan, hati-hati membawa diri di kampung orang. Apalagi di sana nanti tak ada sanak saudara,” kata pamannya lembut dan penuh pengertian. Kata-kata pamannya seperti mampu menyibak mendung yang bergelayut di benaknya, memantapkan langkahnya untuk segera menunaikan panggilan nuraninya, menjadi seorang pendidik di daerah yang jauh.
Akhirnya, Warni menetapkan pilihan menjadi seorang guru. Ketika hendak pamitan dengan keluarganya, ia sudah tak sanggup berkata-kata. Semua perasaannya ditumpahkan lewat surat yang dititipkan kepada Om Ramijo untuk disampaikan pada ayahnya. Dalam surat itu, Warni dengan gamblang menjelaskan bahwa kepergiannya bukan dimaksudkan menentang kehendak orang tua. Namun, semata-mata memenuhi panggilan suci sebagai seorang pendidik yang mesti dijalaninya. Selain itu, Warni dengan tegas memohon pengertian ayahnya agar tidak diskriminatif. Sudah saatnya kaum perempuan diberi hak yang sama dengan kaum lelaki. Bebas menentukan pilihan hidup sesuai dengan fitrah dan hati nuraninya.
Warni tidak tahu bagaimana reaksi ayahnya setelah membaca surat itu. Ia hanya tahu, saat ia dilepas ayahnya dengan wajah dingin dan sorot mata memancarkan amarah. Beruntung, Warni masih merasakan sikap arif dan kelembutan dari emaknya. Meski tidak setuju atas kepergiannya ke luar Jawa, Warni masih merasakan sisa-sisa perhatian dan kasih sayang di rongga hati emaknya. Dipeluknya erat-erat tubuh emaknya. Desah napas dan getaran hati mereka menyatu dalam keharuan. Warni serasa tak sanggup menahan arus air mata yang deras menjebol bendungan pelupuk matanya. Demikian juga ketika berpamitan dengan Totok, adiknya. Kedua bola mata adiknya itu tampak berkaca-kaca. Terasa amat berat melepas kepergiannya. Akhirnya, Warni benar-benar terbang ke daerah yang jauh, tempat yang diharapkan dapat menyematkan pengabdiannya untuk kepentingan sesama.
***
Di tempat tugasnya, Warni diterima dengan ramah dan sambutan hangat dari kepala sekolah dan rekan-rekan gurunya yang sudah lama bertugas. Rumah dinas pun sudah disediakan, berada di kompleks sebuah gedung SLTP yang tampak kokoh dan megah.
Sebagian besar, rekan-rekan gurunya adalah kaum pendatang. Dari berita yang ia dengar, penduduk asli daerah itu masih terbilang kolot. Kehidupan mereka masih amat tergantung pada alam. Berladang dan berburu merupakan mata pencaharian utama mereka. Memang ada beberapa perkebunan kopi yang menghampar luas, tapi itu pun dikuasai oleh para pemilik modal dari luar. Kesadaran penduduk asli akan pentingnya pendidikan tampaknya belum tumbuh. Anak-anak mereka masih enggan duduk di bangku sekolah. Sejak kecil, anak-anak sudah diperkenalkan dengan pola hidup sederhana oleh orang tua mereka masing-masing. Magang di lahan dan di hutan, setelah besar menikah, lantas membangun permukiman liar di sekitar hutan. Tampaknya, mereka belum bisa hidup menyatu dengan kaum pendatang. Mereka lebih suka hidup di pinggir-pinggir hutan, menyatu dengan alam. Hanya sebagian kecil penduduk asli yang mau hidup membaur dengan kaum pendatang, terutama mereka yang bekerja sebagai pegawai pemerintah.
Waktu terus berlalu. Pembawaannya yang lincah dan sikapnya yang luwes membuat Warni mudah diterima dalam pergaulan. Tak ada hambatan yang ia rasakan selama bertugas. Semuanya berjalan lancar. Hanya terkadang ia harus berhadapan dengan siswanya yang tergolong nakal.
Naluri sebagai pendidik membikin Warni sering gelisah melihat anak-anak penduduk asli yang nyaris tak pernah tersentuh kemajuan. Hidup mereka seperti tersekap dalam lorong yang gelap dan sunyi. Terisolir. Warni berkeinginan membuka mata hati mereka akan pentingnya pendidikan. Ia ingin mengajari mereka baca tulis dan menghitung. Keinginan itu ternyata tak disetujui Pak Harahap, kepala sekolah. Menurutnya terlalu riskan kalau itu harus dilakukan. Apalagi, mereka belum bisa hidup menyatu dengan para penduduk yang lain. Bisa-bisa timbul kesalahpahaman. Namun, hasrat Warni agaknya sulit dibendung. Gagal mengajak Pak Harahap bekerja sama, Warni bergegas menemui Pak Matilda, camat setempat yang sudah ia kenal baik. Oleh Pak Matilda, gagasan Warni disambut dengan baik.
Sebenarnya, jarak antara rumah dinas Warni dengan permukiman penduduk asli tidak terlalu jauh. Hanya dipisahkan sebuah bukit kecil setelah melintasi sebuah hamparan kebun kopi yang agak luas. Namun, lantaran tidak ada jalinan komunikasi, jarak yang dekat itu terasa jauh. Oleh Pak Matilda, Warni diperkenalkan kepada para penduduk. Ia tak tahu persis bahasa yang mereka ucapkan. Warni hanya bersikap seramah mungkin dan selalu tersenyum. Para penduduk yang berkumpul tampak mengangguk-angguk. Terasa benar Pak Matilda berhasil berkomunikasi dengan mereka. Sementara itu, puluhan anak kecil sibuk dengan dunianya, bermain pedang-pedangan. Riuh.
Agak merinding juga menatap wajah-wajah penduduk asli yang tampak dingin dan acuh melihat kehadiran dirinya. Namun, Pak Matilda sering menghiburnya. Konon, hal itu sudah menjadi ciri khas penduduk setempat dalam menyambut kehadiran orang asing. Pak Matilda terus memberikan dorongan. Lama-lama, Warni terbiasa bergaul dengan para penduduk, hingga akhirnya ia berhasil mengajak anak-anak belajar membaca, menulis, dan berhitung. Warni betul-betul menikmati misinya itu di sela-sela tugas utamanya sebagai guru di sebuah SLTP. Para penduduk mulai bisa menerima kehadirannya.
Misi pendidikan Warni ternyata membawa hikmah tersendiri. Entah bagaimana alur ceritanya, tiba-tiba saja warni terpikat oleh kehadiran Leode, seorang pendatang yang sukses sebagai pengusaha perkebunan kopi. Orangnya masih muda, tampan, dan berkulit bersih. Namun, bukan semata-mata itu yang membikin hati Warni terpikat, melainkan perhatian Leode yang cukup besar untuk mengentaskan penduduk asli dari keterbelakangan. Dengan kekayaannya, Laode sering memberikan bantuan kepada mereka. Bahkan, pemuda itu bersedia membangun sebuah gedung sekolah di tengah-tengah pemukiman para penduduk. Hati Warni semakin terpikat. Oleh sebab itu, Warni tak kuasa menolak ketika Laode meminang dirinya sebagai pendamping hidup.
***
Tanpa terasa, sudah sembilan tahun Warni meninggalkan kampung halamannya. Kini, ia sudah dikaruniai dua anak yang sehat, hasil perkawinannya dengan Laode yang simpatik dan penuh pengertian itu. Warni benar-benar bahagia. Tekad dan keyakinan yang kuat untuk mengentaskan penduduk setempat dari kebodohan dan keterbelakangan membuat dirinya begitu disegani dan dihormati oleh berbagai kalangan. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Memasuki tahun kesepuluh, sebuah peristiwa besar terjadi. Saat itu, di Jakarta pecah demonstrasi besar-besaran menuntut rezim yang lama lengser dari panggung kekuasaan. Tak lama kemudian, bola reformasi menggelinding ke seluruh penjuru Tanah Air. Rakyat yang selama ini tertekan tiba-tiba berubah bagaikan kuda liar, larut dalam eforia. Rakyat merasa bebas untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya sendiri.
Imbas reformasi menembus ke tempat Warni bertugas. Penduduk asli yang selama ini merasa dirampas kekayaannya oleh kaum pendatang tiba-tiba saja menuntut keadilan secara sepihak. Entah dihasut siapa, warga asli tiba-tiba berubah. Secara berkelompok mereka beramai-ramai mendatangi pemukiman para pendatang sambil membawa senjata tajam. Gedung-gedung milik pemerintah dibakar, gedung sekolah dihancurkan, toko-toko dijarah, pemiliknya dianiaya. Termasuk juga kebun kopi milik Laode yang siap dipanen, dijarah beramai-ramai. Kebaikan Laode dan pengorbanan Warni terhadap penduduk setempat sudah tidak dianggap. Berkali-kali keluarganya diteror.
Aparat pemerintah dan keamanan gagal mengendalikan ulah beringas penduduk setempat. Keadaan itu membikin kaum pendatang geram. Mereka bertekad menyatukan diri untuk membalas tindakan penduduk setempat yang dinilai sudah di luar batas. Kaum pendatang mempersenjatai diri. Pertikaian terbuka tak dapat dihindari. Korban berjatuhan di sana-sini. Kaum pendatang dan penduduk setempat sama-sama kalap. Akal sehat dan nurani terbang entah ke mana.
Suasana perkampungan benar-benar mencekam. Denting senjata tajam, suara tangis, dan jeritan histeris membahana, membelah langit, membelah hati nurani. Setiap hari selalu saja ada korban yang terbunuh atau terluka parah, meregang nyawa terkena sabetan senjata tajam. Darah segar tercecer di mana-mana, di depan pintu rumah, di perkebunan, di ladang, di tepi hutan, bahkan di tempat ibadah. Sudah puluhan nyawa melayang, menjadi korban pertikaian sia-sia.
Warni terguguk di kamarnya. Hatinya pedih teriris-iris. Laode, suaminya, kini entah berada di mana. Warni hanya bisa mengurung diri di rumah dengan kedua anaknya, tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Tiba-tiba saja Warni ingin pulang ke Jawa. Ia sudah demikian rindu hidup di kampung halamannya yang tenteram. Menyatu bersama orang tua dan sanak saudaranya. Namun, ia sangsi, apakah ia masih bisa diterima di tengah-tengah keluarganya, terutama ayahnya.
Sementara itu, di luar rumah, kecamuk pertikaian masih terus berlanjut. Bau anyir darah terbang menusuk hidung. Warni gusar. Ia makin panik ketika pintu rumahnya mendadak digedor-gedor orang dengan paksa, ditingkah langkah-langkah kaki dan teriakan orang memanggil-manggil nama suaminya dengan kasar. Entah, tiba-tiba saja Warni merasakan rumahnya diselubungi hawa kematian. ***
cerpen yang multimakna,pak. nggak jauh dari kisah profesi seorang guru yang penuh liku.
Hmmmm….. untuk postingan pak Sawali kali ini, saya akan mengomentari salah satu aspeknya saja ya, yaitu masalah emansipasi. Ngga papa kan pak? 😀
Saya sendiri pertama kali bingung bentuk dari emansipasi. Emansipasi wanita, hmmm sepertinya aneh…. emansipasi wanita kok maunya yang enak2 saja, yang nggak enak seperti angkat2 barang berat, ngayuh becak, dsb., kok nggak mau dilakukan perempuan…. padahal kalo mau emansipasi kan seharusnya semuanya digeluti tidak pilih2! Ya walaupun sudah kodrat bahwa laki2 lebih kuat secara fisik dari perempuan tetapi setidak2nya walaupun barang2 yg diangkat tdk bisa seberat laki2 tetapi yg penting usaha dan niatnya dan tidak memilah2: “itu pekerjaan laki2”, “itu pekerjaan perempuan” dsb.
Begitu juga wanita karier. Dulu wanita karier identik dengan wanita modern yang nggak bisa masak, nggak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dsb. Menurut saya sih, wanita karier yg bisa masak tentu jauh lebih hebat daripada wanita karier yg nggak bisa masak. Wanita karier bukan harus nggak bisa masak ‘kan??
Tetapi sebagai laki2, kita juga harus ‘diemansipasikan’, sebagai laki2 kita juga harus bisa masak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga walaupun sedikit2 (lama2 jadi bukit). Nah, itu yg adil kan?? Walaupun kita laki2 lebih dituntut untuk pergi mencari uang di luar, tapi apa salahnya kita bisa memasak atau bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga, ya kan? Itu namanya emansipasi kedua belah fihak….. Huehehehe…..
Waduh jadi OOT nih! Maaf ya pak Sawali.
Hiks, tragis Pak Guru, ketika harus dan telah mengorban-kan banyak hal untuk memberikan yang ter-baik bagi rakyat, ternyata rakyat-nya sendiri yang kehilangan pikiran-nya hanya karena asal muasal dan per-bedaan 😐
saran utk warni:
temui mas warna di
http://axireaxi.wordpress.com/2007/12/24/menikmati-warna/
salam,
(^_^)
Ade ingin jadi ibu rumah tangga saja, gak mau jadi warni… dirumah mengurus suami dan anak-anak, menyediakan syurga untuk mereka.
-Ade-
Lhadalah…!!!
Mau komen, tapi diputer-puter doloo sama server…….
Keburu fuyenk, jadi lupa mau komen apa……..
***ditimpuk dompet sama nyang punya Blog…..***
@ iNyoNk:
Hahahaha 😆 Profesi guru memang banyak tantangannya Mas Abee. Siap2 saja untuk memasuki belantara dunia pendidikan yang kompleks, yak, Mas Abee.
@ Yari NK:
Sepakat Bung Yari. Kayaknya perlu penafsiran uilang mengani kodrat perempuan. Kodrat perempuan itu *halah sok tahu* berkaitan dengan amanat biologis yang mustahil bisa dilakukan oleh kaum lelaki, seperti haid, hamil, dan menyusui. Selebihnya bukan kodrat. Dus, seandainya lelaki memasak atau mencuci, saya kira ndak ada masalah. Cuman yang menarik, perlukah emansipasi perempuan juga perlu diperluas dengan menggantikan pekerjaan “kasar” yang biasa dilakukan oleh kaum lelaki, hehehehehe 😆
@ extremusmilitis:
Bener Bung Militis. Kalau kecemburuan sosial dilandasi oleh faktor dan latar belakang ethnis agaknya sangat berbahaya, Bung. Padahal, negeri ini kan jelas2 multikultur.
@ axireaxi:
Walah, ada Mas warna nih, Pak Adi nih ada2 aja, hehehehe 😆
@ Sayap KU:
Cita2 ysang tak kalah mulianya tuh Ade. Kudoakan moga2 cita2 Ade terkabul, yak. Hidup bahagia dalam sebuah keluarga yang sakinah mawahdah warahmah.
@ mbelgedez:
Kok pakai2 muter segala toh Mas Mbel, hehehehe 😆
*bener, nimpuk dompet kosong*
Saya pikir warni belum berhasil mendekati masyarakat dengan teknik pendidiknya. Sebab gejolak reformasi yang berhembus di kota besar justru ikut menghantam diri dan keluarganya. Apalagi ia ingin pulang. Seolah ia lari dari tantangannya sendiri
assalamualaikum
saya seorang murid sma yang baru mengetahui ada blog seorang guru yang memuat cerpen se menarik ini.
lewat guru komputer saya, saya mulai beranikan untuk memberi tanggapan walaupun mungkin tanggapan dari saya hanya sekelumit air di padang pasir.
memang sulit menjadi seorang penulis, tapi setelah mengunjungi blog ini dan membaca cerpen warni diatas, saya jadi semangat kembali untuk membuat sebuah cerpen lagi yang mungkin selama ini saya sudah menyerah membuat cerpen karena saya anggap membuat cerpen hanya menghabiskan waktu.
cerpen warni diatas menunjukkan bahwa kesederajatan antara laki2 dan perempuan memang belum sepenuhnya terbukti. tapi mungkin dari cerpen diatas kita sadar kalau betapa susahnya jadi pendidik apalagi dia adalah perempuan.
maaf jika kata2 saya kurang sopan.
wassalamualaikum
Menginspirasi!
@ sutoro:
Yak, makasih, Pak Sutoro atas penilaiannya terhadap tokih Warni. Bisa jadi, ya, Pak, mungkin bisa dibilang gagal dalam menjalankan tugasnya selaku pendidik, Namun, secara manusiawi, dia telah berhasil, Pak. Punya nyali untuk meninggalkan keluarga demi memenuhi panggilan jiwanya sebagai seorang guru. Kalau dia akhirnya ingin pulang, rindu kepada keluarganya, ini juga nalurinya sebagai seorang anak manusia yang telah lama berpisah dengan orang2 yang disayanginya.
@ djagung:
Makasih, Mas atau Mbak, nih, telah mampir ke gubug saya, hehehehe 😆 Baru SMA, tapi sudah punya blog. Hebat bener. Saya kira menulis cerpen lebih ditentukan oleh kerutinan dalam berlatih menulis. Jika sering berlatih, saya yakin, menulis cerpen bukan yang sulit lagi. OK, selamat ngeblog, posting cerpen2nya, yak. Taoi jangan lupa belajarnya, yak. *Halah sok nasihatin*
@ Fadli:
Mengisnpirasi! Walah, komennya singkat banget, hehehehehe 😆 Menginspirasi ingin menulis cerpen atau ingin jadi guru seperti Warni, 😀
Hemmmm, sebel, gara2 banyak yang ngrecokin sejak subuh tadi hingga sore hari, jadi gagal dapat pertamax.. laen kali tak incer beneer.. *mangkel kerjaan dari pagi sdh menunggu, padahal kudunya liburan khan pak*
Tragis bener kisah sang warni, di ujung pengorbanannya, mungkin nyawa juga yang harus melayang.. karena pak sawali mengambangkan akhir cerita dengan kalimat “Entah, tiba-tiba saja Warni merasakan rumahnya diselubungi hawa kematian.”.. maka sependek imajinasi saya, pasti ia mati.. jadi sedih lagi…
Tapi, berapa manusia yang mampu menghargai pengorbanannya? mengheningkan cipta untuk warni..
cerpen anda benar – benar menggugah rasa
*jika pak sawali membuat novel, saya berani lhoh membandingkan dengan novel ayat – ayat cinta*
Saya hanya membayangkan, ketika Warni pulang kampung, ternyata kondisinya pun tidak sedamai dulu lagi…hehe 😀
Pak Sawali, terimakasih banyak yah atas nasihatnya di blog saya.
Sudah 6 tahun lamanya saya meninggalkan bangku SMA dan di perkuliahan hanya menyentuh bahasa pemrograman, sehingga sudah mulai lupa dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Cerpen ini akan saya cermati dan saya jadikan sebagai cermin pembanding.
Sekali lagi terimakasih 🙂
Permisi belum dibaca dulu… saya titip komentar dulu yaa
Pak Sawali sedikit bertanya…? Pada saat Warni menikah denagn Laode, apakah warni pulang ke Jawa?
Kalau tidak, siapa yang jadi wali pernikahannya?Sepertinya, kisah ini diinspirasi oleh kejdaian yang pernah menimpa negeri kita beberapa tahun ke belakang… 😀
… Kebaikan Laode dan pengorbanan Warni terhadap penduduk setempat sudah tidak dianggap …
…. tiba-tiba saja Warni merasakan rumahnya diselubungi hawa kematian …
*** ….
Wah pertanyaan saya sudah diwakliiki kang AL Jupri… heheh 🙂
setelah dibaca urutan penulisan itu tenang, biasa, tapi akhirnya tragis.. apakah ini ciri khasnya Pak Sawali?
Saya justru berharap hubungan antara Laode dengan buguru Warni itu lebih di pertajam pak. Kalau sperti yang ditulis:
Semua wanita pasti kepincut padanya pak… terus begitu mudahnya antara Laode dengan Warni ini terjalin … tidak ada konflik di sini…
Tapi rupanya Pak Sawali lebih mengarahkan drama itu justru di akhir yaa.. sebuah pesan kepada wanita bahwa sang ayah jangan semena2 pada anak wanitanya? atau keinginan pulangnya Warni ini untuk sungkem pada ibunya, sebab tak ada jejak Ibunya buguru Warni di sini diceritakan….
waks jadi kepanjangan yaa… 🙂 maaf abis “greget” baca cerpen ini…
wah kasihan si warni….
jaman emansipasi saat ini menurut saya terlalu membuat obsesi wanita sederajat dengan pria itu berlebihan….
*hehehe sok keren deh..*
@ gempur:
*walah, sabar, pak, nggak usah kebawa emosi, hehehehe 😆 *
Nah itu juga, Pak Gempur, kayaknya perempuan kayak Warni yang mau ditempatkan di daerah terpencil sbg guru agaknya masih langka, ya, Pak? Mudah2an akan muncul warni2 yg lain.
@ adipati kademangan:
Walah jangan ketinggian mujinya, Pak, ntar jatuh saya, hehehe 😆 hanya cerpen begitu doang kok. Saya juga baru belajar menulis nih, Pak.
@ Donny Reza:
Bisa juga begitu mas Reza, yak.
@ Fadli:
sama2 Mas Fadli, kita sama2 belajar, yak!
@ kurtubi
ok, Mas Kurt. Kayaknya begitu ya Mas Kurt. Seorang ayah yang memaksakan kehendak kepada anaknya kok sdh bukan zamannya lagi, hehehehe 😆
@ mathematicse:
Bener, Pak Jupri, nggak pulang ke Jawa. Ingat kalao ayahnya masih marah kepadanya, sehingga terpaksa menikah dg Laode tanpa wali dan saksi dari pihak keluarganya.
Bener juga, Pak, cerpen ini diilhami ketika awal2 masa reformasi.
@ Ersis WA:
Hahahaha 😆 *berpikir keras menafsirkan makud Pak Ersis* ok, makasih, Pak.
@ Moerz:
oh, begitu yak pendapat Mas Moerz. ok, juga!
Cerita di atas banyak terjadi. Banyak kebun-kebun yang dijarah oleh rakyat sekitarnya, menurut saya karena adanya kecemburuan terhadap keberhasilan pendatang. Padahal sebetulnya yang berhasil adalah memang yang bekerja keras. Inilah yang membuat saya semangat jika ditugaskan mengajar ke beberapa daerah, karena bisa membantu menyadarkan teman-teman asli didaerah(yg telah berpendidikan, dan merupakan murid saya) agar mendorong masyarakat pribumi di wilayahnya, dan membantu meningkatkan pendidikan, serta berjuang meningkatkan perekonomian rakyatnya.
Cerita di atas tak bisa dikaitkan dengan emansipasi, justru kasihan sama Warni yang telah berjuang untuk memperbaiki pendidikan dilingkungannya, namun seperti itu imbalannya. Jika demikian terus, siapa yang mau membangun daerah terpencil? Benarkah kaum laki-laki mau? Bukankah banyak yang hanya menggerombol di pulau Jawa?
Saat saya mau berangkat kuliah di Bogor, ibu sedih sekali…namun sedihnya beliau karena membayangkan saya jauh dari orangtua. Ternyata akhirnya kedua adikku (kami 3 bersaudara) justru mengikuti kuliah di IPB. Bahkan tetangga-tetanggaku juga…karena bapak sangat bangga, setiap akhir semester mendapat surat dari Dekan, yang melaporkan kemajuan putrinya….. dan cerita ayah ini menginspirasi kaum ortu untuk tak segan mengirim putra putrinya kuliah jauh dari kampungnya
Wah, saya suka cerpen ini, Pak. Mengangkat kisah tentang perempuan dan perjuangan. Terinspirasi kejadian Mei98 ya, hehehehehehe. Warni malang, perjuang masih panjang tapi akhir cerita nasib Warni, Pak Sawali yang menentukan, hehehhehehehehe.
Membaca cerpen kalau loncat-loncat pasti bingung sendiri, ya, Pak. *Nanti saya ditimpuk sama seseroang*.
@ edratna:
Terima kasih Bu Enny. Komentar Ibu mudah2an makin banyak memberikan inspirasi bagi rekan-rekan sejawat guru dan calon guru utk tidak segan-segan menunaikan panggilan hatinya sebagai pengajar sekaligus pendidik meski harus ditempatkan di daerah terpencil.
Hahahahaha 😆 Bener juga ya, Bu, kasihan si Warni, tapi maaf, Bu, ini fiksi, lho. Makasih juga Bu Enny telah berkenan menurutkan kisah Ibu waktu kuliah, mudah2an bisa memberikan suntikan semangat bagi kaum perempuan dalam menutut ilmu.
@ Hanna:
Oh, bener, Mbak, Peristiwa Mei 1998 banyak memberikan inspirasi kepada para penulis, barangkali termasuk saya, yak, hehehehe, *halah narsis* utk mengabadikan tragedi kemanusiaan itu ke dalam sebuah teks.
Walah, mau ditimpuk seseorang? Siapa itu, Mbak? Jadi penasaran, hehehehehe 😆
Warni hidupnya penuh warna dan berakhir tragis.
Waspadalah-waspadalah kekejaman bukan hanya karena niat seseorang tetapi juga karena adanya kesempatan (tapi jangan disergap lho Pak Sawali)
Sesekali ceritanya yang happy ending dong PAK.
Pak, tetap saja masih mengenaskan nasib warni-warni yang lain yang tinggal jauh dari keluarganya.. Saya berharap, di kenyataan, ada sosok warni yang benar2 mendapatkan kebahagiaan dan penghargaan yang layak.. Saya masih berharap dan memiiki segunung harapan untuknya..
Terus terang saya malu setelah baca cerpen ini, jauh dari apa yang saya alami.. pengorbanannya itu yang membuat terharu.. dan saya kira di kenyataan, mungkin lebih berat lagi..
seperti teman saya yang di Tarakan, untuk mengajar, harus naik perahu bot dari pulau ke pulau, seperti suster apung yang menang dalam film dokumenter metro tv itu lho pak..
kini, setelah istrinya yang sedang mengandung 7 bulan meninggal karena ISPA, atasannya menyarankan untuk kembali ke Jawa. Sekedar melupakan trauma kesedihan yang menimpanya.. sekarang menjadi teman saya satu sekolah.. perjuangannya menginspirasi saya..
Mudah2an apresiasi masyarakat untuk guru yang penuh pengabdian semakin tinggi pak! amin Allahumma Amin..
@ hadi arr:
hahahahahaha 😆 Pesannya seperti Bang Napi, Pak Hadi, hahahaha 😀 Kalo bikin cerita yang happy ending kayaknya bukan porsi saya, Pak. Lagi seneng2nya bikin teror kepada sang tokoh cerita, hehehe
@ gempur:
Kisaha teman Pak Gempur kayaknya seperti dalam lakon sebuah sinetron, bahkan film spt yang diceritakan Pak Gempur itu. Saya yakin ada, pak, Warni dalam alam kenyataan, meskipun persentasenya bisa dibilang sangat kecil. Akan muncul banyak Warni yang lain. Seiring dg itu, mudah2an benar seperti yang diharapkan Pak Gempur, apresiasi masyarakat trhdp profesi guru makin membaik.
Warni itu nama ibu saya
*halah nda’ penting*
___________________________
Btw, ini Pak, saya mau tanya,
bagaimana membuat bgitu banyak dilema dalam sebuah cerita??
Keren sekali, dari mulai konflik keluarga, kepentingan dan harapan seorang guru, menikah sebagai wujud keinginan berumah tangga, sampai dengan konflik sosial di akhirnya…
errr…
sungguh berwarna warni
yah, meski tragis 🙁
*request, skali2 yang happy ending dong Pak*
karena saya, suka yang akhirnya berciuman
*halah, ditendang*
Halo pak, salam kenal. sy terperosok k blog ini karena habis main dari hutannya Kg.Jupri. Kapan Cerpen ini dilanjut pak ?
“Warni Nurbaya” 😀
btw dah baca laskar pelangi pak ?
Semangat pengabdian yang menyentuh… Tapi, ada pesan moral lain yang ingin disampaikan ya, Pak? Jadi anak itu jangan menentang keinginan orang tua… Begitukah? 😕
@ goop:
Oh, ibunya Mas Goop juga Warni namanya, yak? Walah, nggak sengaja Mas Goop, hanya kebetulan saja, hehehehe 😆 Dilemanya warna-warni, meski berakhir tragis? saya sendiri juga nggak tahu nih mas goop. ceritanya yang hanya segitu doang, mengalir dengan sendirinya kok, hehehehe 😆 utk cerita yang happy ending? waduh, nanti saya ndak isa meneror pembaca dong, hehehehe
@ zona90:
Terperosok? *halah* nggak apa2, mas. dah baca laskar pelangi tapi belum rampung juga, hehehehe 😆
@ suandana:
Bisa juga begitu, pak adit, tapi juga bisa *halah kok saya jadi juru bicara sendiri sih? * ditafsirkan bahwa sebaiknya orang tua memberikan kebebasan kepada anak dalam memilih jodoh, hehehe
Ya pak, pertikaian hanya menyisakan kesedihan. Jadi kenapa kita manusia sepertinya sangat hobi bertikai ya? Padahal sudah banyak sejarah yang mengajarkan kepedihannya.
Para Perusuh, Provokator adalah manusia berhati binatang. Warni jika tak kautemukan Laode aku siap mempersuntingmu, tunggu kapalku merapat ke darmagamu….he…he…he…
@ danalingga
Bener sekali Mas Dana. Persoalan perbedaan seringkali menjadi pemicu pertikaian. Warni benar2 merasakan derita itu.
@ daeng limpo:
hahahahaha 😆 walah, kita juga belum tahu kejelasan nasib Warni Pak Daeng. Apakah dia bener2 menjadi korban kerusuhan atau tidak, masih menjadi tanda tanya.
*Dibairkan menggantung, hehehehe 😆 *
Pingback: Mereka yang mulai duluan! « all hail rozenesia™
Pingback: Mereka yang mulai duluan! | GunawanRudy[dot]Com
lha dalah endingnya mengambang ya Bos? gimana warni selanjutnya? adalah warni next generation? tapi asyik juga. satire gitu loh. salam takzim buat mbah sawali.
mohon walau sepuluh detik. kiranya mbah wali berkenan menengok monitor blog saya. sesama orang kendal. aku lagi menrusin perjuangan sastrawan. baru belajar mbah. mohon sudi. ya mbah ya. please. kapan aku diajak diskusi bareng?
undang ya mbah kalau ada acara diskusi bareng.
AWW.
apa kbr pak Sawali?
lama ni rita g berkunjung ke blog bpk.
jd malu ni he….coz baru tau klo bpk barusan ngluncurin kumpulan cerpen.
SELAMAT ya pak!!
moga kiprah bpk di dunia bahasa dan sastra Indonesia makin bermakna dlm perkembangan BSI dan jg utk dunia pendidikan di Indonesia.
rita jg mhon doa mg rita bisa menghasilkan karya2 yang bermakna seperti bpk.
oh ya pak, mf sy g mo mgomentari cerpen bpk, ttp mo sdkt curhat ni…ngomong2 sy kok masih sulit ya utk smakin mrambah kjenis tulisan2 yg laen.slama ni sy msh berkutik di puisi trus.dan sy punya mimpi2 di dunia puisi.pkh slah jk smentara ni sy lbh mengedepankn penulisan puisi dulu daripada jnis tulisan yg laen?mhon nasihat dr bpk.
sampai ktemu…
trima ksh
http://WWW.
rita(cah srogo)
Pak, cerpennya bagus & penuh moral..
Terima kasih sdh mau berbagi dengan sahabat blogger..
Terkadang yg sulit dlm penulisan cerpen adalah bahasanya, saya sering mengalami kesulitan di bagian ini..
Namun saya pasti akan terus mencoba..
Terus berkarya ya Pak..
Kl sempat silahkan mampir ke blog saya di http://classically.wordpress.com/
salam hangat,
classically