Guru yang Dibenci Sekaligus Dirindukan

Saya seperti diingatkan Mas Moer. Saat blogwalking, saya temukan postingan terbaru yang menarik dan menggelitik “Orasi didepan Guru Dungu”. Menarik karena ditulis oleh seorang siswa sebuah sekolah kejuruan yang usianya belum genap berkepala 2. Menggelitik lantaran bersifat reflektif, sehingga bisa menjadi “warning” bagi segenap komponen pendidikan untuk bersama-sama melakukan sebuah perubahan. Bahkan, postingan tersebut juga dilengkapi sebuah banner “Stop Kekerasan dalam mengajar!” Sebuah “keberanian” yang layak diapresiasi. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana reaksi guru-gurunya ketika membaca postingan tersebut. Geram, tersipu, atau justru diam-diam mengagumi sikap kritis Mas Moer.

Secara tersirat, Mas Moer mengungkapkan kegelisahannya terhadap aksi kekerasan yang berlangsung di sekolah. Dia tidak sedang membual. Dia mengalami sendiri ditendang seorang guru gara-gara nongkrong di atas bangku untuk membetulkan tali sepatunya. *Halah, tragis amat.*

Pada saat yang (hampir) bersamaan, saya mendapatkan tracback dari Bang Guhpraset. Postingannya “GuRu, diGugu ditiRu diGugat dibuRu” masih membicarakan seputar guru. *Halah, sosok guru ternyata masih menarik juga yak untuk diomongkan, hehehehe 😆 * Dengan gaya khasnya, “sederhana, tulus, jujur”, Bang Guhpraset mengungkapkan kesan-kesan “apa adanya” tentang sosok guru yang pernah ditemui sepanjang sejarah kehidupannya. Ada Ibu Guru SD yang mengancam akan menjewer kupingnya jika tidak hapal perkalian 1 sampai 10, ada guru kesenian yang pernah menamparnya berkali-kali, ada Ibu Guru ngaji yang memprogram dan mencuci otaknya untuk membenci ajaran dan penganut agama-agama lain, bahkan ada juga guru Bahasa Indonesia yang suka berbicara dengan melecehkan. *Walah, banyak juga, yak!”

Sepanjang sejarah peradaban umat manusia, kehadiran guru agaknya menjadi sebuah keniscayaan. Kehadirannya diharapkan dapat mewarnai “kanvas” zaman. Di situlah tugas-tugas kemanusiaan dipertaruhkan. Dinamikanya pun mengalami pasang-surut. Kadang-kadang dibenci, tetapi sekaligus juga dirindukan.

Ketika masyarakat dunia menjadi satu atap dalam sebuah peradaban global, guru dihadapkan pada kondisi “anomie” –pinjam istilahnya Durkheim. Pada satu sisi, guru harus menanamkan nilai-nilai luhur hakiki, tetapi pada sisi yang lain, guru juga harus lentur dan fleksibel menghadapi perubahan. Perubahan sudah demikian nyata terjadi di depan mata. Bendera konsumtivisme, materialisme, bahkan juga hedonisme berkibar di setiap sudut dan lapisan masyarakat. Masyarakat makin abai terhadap persoalan-persoalan moral. Bahkan, cenderung bersikap permisif terhadap maraknya penyakit sosial yang berlangsung vulgar dan telanjang di depan mata. Perilaku korup, manipulasi, tawuran antarpelajar, pesta pil setan, atau ulah anomali sosial lainnya sudah dianggap sebagai hal yang wajar.

“Halah, moral itu kan urusan guru di sekolah! Buat apa sih repot-repot ikut ngurusin? Nanti guru ndak ada kerjaan!” Hehehehehe 😆 Bisa jadi pertanyaan semacam itulah yang sempat meluncur dalam layar memori kita.

 

cuci-otak-siswa.gif

Disadari atau tidak, kini makin banyak keluarga yang ditindih berbagai macam kesibukan. Orang tua dinilai hanya sekadar menjalankan tugas-tugas biologisnya; melahirkan, membesarkan, atau mencarikan pasangan hidup kelak setelah dewasa. Selebihnya, tugas kultural dan kemanusiaan diserahkan guru sepenuhnya. Dalam kondisi demikian, seringkali nilai yang ditanamkan guru di sekolah tidak klop dengan kenyataan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Guru menanamkan nilai-nilai kejujuran, kerendahhatian, keadilan, moral, atau budi pekerti. Namun, apa yang dilihat oleh anak-anak di tengah kehidupan masyarakat sungguh bertentangan secara diametral. Korupsi, arogansi kekuasaan, ketidakadilan, amoral, atau perilaku vandalistis lainnya marak terjadi. Aduh, guru seringkali “stress”, sehingga acapkali tidak sabar dan gagal membendung emosi. Tak ayal lagi, praktik kekerasan seorang guru kepada muridnya pun tak jarang terjadi, atau juga sebaliknya.

Kalau kondisi semacam itu terus berlangsung, idiom “sekolah sebagai agen kebudayaan” bisa dipastikan hanya akan terapung-apung dalam slogan belaka. Semua komponen bangsa harus bersama-sama melakukan perubahan secara kolektif. Apa pun alasannya, motif-motif kekerasan mestinya pantang berlangsung dalam dunia persekolahan. Secara reflektif, Dorothy Law Nolthe, mengingatkan:

Jika anak dibesarkan dengan Celaan, ia belajar Memaki
Jika anak dibesarkan dengan Permusuhan, ia belajar Berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan Cemoohan, ia belajar Rendah Diri
Jika anak dibesarkan dengan Penghinaan, ia belajar Menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan Toleransi, ia belajar Menahan Diri
Jika anakdibesarkan dengan Dorongan, ia belajar Percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan Pujian, ia belajar Menghargai
Jika anak dibesarkan dengan Sebaik-baik perlakuan, ia belajar Keadilan
Jika anak dibesarkan dengan Rasa aman, ia belajar Menaruh Kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan Dukungan, ia belajar Menyenangi Dirinya
Jika anak dibesarkan dengan Kasih sayang & Persahabatan, ia belajar menemukan Cinta dalam Kehidupannya

Semoga akhir tahun 2007 memberikan banyak pengalaman berharga bagi insan pendidikan sehingga mampu merumuskan misi 2008 secara visioner. Untuk selanjutnya, diimplementasikan secara nyata. Semoga! ***

Comments

  1. nyesel dulu ndak nurut gituh…ndak belajar bener2…ternyata sekarang ilmu yang dulu diajarin tuh dibutuhin banget.
    dibilang nyakitin sih ndak pernah, wong ya saya yang paling lumayanlah diantara sekelas haha, bisa dibilang murid teladan. yaa tapi gitu ndak bener2 ajah menimba ilmu dulu 😀

    LieZMaya membuat tulisan terbaru berjudul…Tips Plugin Smilies Yang saya Gunakan

  2. alfie

    Ngomong-ngomong, maksud gambar di atas itu apa ya, pak? hubungannnya dengan moralitas? O iya,pak, inyonge perempuan, jadi jangan disebut ‘pak alfi’ dong…. 😕

  3. @ Adis:
    Hehehehe 😆 Hanya guru biasa, Pak.

    @ LieZMaya:
    Hebat juga tuh Mbak Maya. Nggak belajar bener2 aja peringkat teratas. apalagi kalo belajar sungguhan, ckckckckc, salut3x

    @ alfie:
    Maaf Bu Alfi, hehehehe 😆 Gambar itu hanya memperlihatkan bahwa selama ini siswa hanya sekadar objek, Bu, kayak bejana berhubungan, hehehehe 😆 Mereka harus siap menerima setumpuk ilmu tak sedikit pun diberi kesempatan utk berinteraksi, hehehe

    @ ekowanz:
    Walah, malah saya bekum pernah denger lagu itu, Mas eko, hehehehe 😆 Kira2 apa yak maksud lagu itu, hehehehe 😆 Perlu banyak belajar musik nih sama Mas ekowans

    Sawali Tuhusetya membuat tulisan terbaru berjudul…Guru yang Dibenci Sekaligus Dirindukan

  4. kalo saya mikirnya semua guru melakukan kekerasan ataupun kelembutan karena rasa sayang mereka. Pasti ada keinginan baik dibalik semua usaha guru. Apa ada sih, guru yang kepingin anak didiknya jadi rusak?

    Iwan Awaludin’s last blog post..Mencari Jodoh Terbaik

  5. @ Iwan Awaludin:
    Bener, Pak, sangat sepakat. Tapi apa pun motifnya kalau guru melakukan kekerasan terhadap murid, menurut hemat saya, sudah menyalahi hakikat pendidikan yang ingin memanusiakan manusia.

    Sawali Tuhusetya’s last blog post..Surat Buat Mak di Kampung

  6. tapi sekarang spertinya udah kompleks banget ya pak. Guru ga lagi di gugu lan ditiru, orang tua juga sudah ga bisa ngatur anaknya, negara punya hukum ya hanya untuk dilanggar.
    jadi inget perkataan seorang teman beberapa waktu lalu : “Kalau manusia sudah sulit di atur oleh sesama manusia, maka alamlah yang akan mengaturnya”

    ari’s’s last blog post..Tuhan agaknya marah

  7. Jika anak dibesarkan dengan Sebaik-baik perlakuan, ia belajar Keadilan
    Jika anak dibesarkan dengan Rasa aman, ia belajar Menaruh Kepercayaan
    Jika anak dibesarkan dengan Dukungan, ia belajar Menyenangi Dirinya
    Jika anak dibesarkan dengan Kasih sayang & Persahabatan, ia belajar menemukan Cinta dalam Kehidupannya.
    Saya setuju dengan ungkapan ini….Alhamdulillah saya juga seorang Guru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *