13 November 2006 yang lalu, Mendiknas menandatangani Permen No. 45/ 2006 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007. Secara substansial, tak ada sesuatu yang baru. Dalam pasal 4, misalnya, dinyatakan bahwa hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan.
“Jas bukak iket blangkon”, sama juga sami mawon. Ketentuan itu masih sama dan sebangun dengan tahun lalu. Kritikan para pakar agar UN tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan, tetapi hanya untuk memetakan mutu pendidikan pun hanya dianggap angin lalu. Kalau dicermati, perbedaan substansial terletak pada SKL, POS, dan kriteria kelulusan, atau pelaksanaan UN yang dimajukan minggu ke-3 dan ke-4 bulan April 2007.
Pada pasal 8 (ayat 2) dinyatakan bahwa SKL UN-2007 merupakan irisan (interseksi) dari pokok bahasan/sub pokok bahasan Kurikulum 1994, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kurikulum 2004, dan Standar Isi. Ini artinya, semua sekolah, baik yang menggunakan Kurikulum 1994, 2004, maupun KTSP tidak akan banyak mengalami kesulitan. Artinya, materi dalam kurikulum apa pun cukup terakomodir. Sekaligus hal ini sebagai jawaban terhadap beberapa kekhawatiran yang sempat merebak akibat kebelumjelasan mengenai materi UN.
POS –disusun dan ditetapkan BSNP—UN tampaknya juga cukup tegas. Hampir tak ada celah untuk melakukan kecurangan. Pengawas dan peserta tak boleh bawa HP, peserta dilarang interupsi, pengawas pun dilarang baca soal. Agaknya, BSNP cukup geram terhadap berbagai tindak kecurangan yang terjadi tahun lalu. Teknologi SMS, misalnya, telah menjadi piranti “kongkalingkong” guru dan siswanya. Oleh BSNP, hal itu dianggap sebagai “dosa” tak terampuni. Kita setuju dengan ketegasan BSNP. Kecurangan harus dilibas. Hukum harus ditegakkan. Kita tak bisa membayangkan nasib anak-anak bangsa negeri ini kalau mereka sudah terkooptasi oleh budaya manipulasi dan korup. Kalau kecurangan terus-terusan ditolerir, hal itu identik dengan membunuh masa depan anak kita sendiri. Imbasnya, negeri kita akan terus tenggelam dalam kubangan lumpur “kenistaan”.
Sementara itu, dalam pasal 18 (ayat 1) dinyatakan bahwa peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN, yaitu (a) memiliki nilai rata-rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25; atau (b) memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal 6,00.
Dilihat dari bobot dan kriteria kelulusan, beban peserta UN tahun ini jelas lebih berat daripada tahun lalu yang mematok angka minimal 4,26 dengan rata-rata nilai 4,51. Dipatok nilai sebesar itu saja, pemerintah banyak menuai protes. Implikasi sosialnya cukup kompleks. Persoalan hukum dari masyarakat yang merasa dirugikan pun hingga kini belum klar. Nah, tahun ini rupanya Depdiknas kembali melakukan gambling. Ibarat menunggu lonceng kematian, para peserta UN tahun ini harus siap-siap sport jantung. Apalagi dalam Permen 45 itu, Pak Menteri tidak membuka peluang adanya ujian ulang.
Kita berharap, lonceng kematian yang ditabuh Pak Menteri tidak menimbulkan korban dan implikasi sosial yang makin ruwet dan kompleks. Namun, justru menjadi starting point sekaligus “therapi kejut” bagi dunia pendidikan yang selama ini dimanjakan oleh sikap permisif terhadap bentuk kecurangan dan manipulasi. Sudah saatnya kita menggeliat dari semak-belukar untuk mengejar kemajuan negeri jiran yang sudah melaju kencang di jalur tol. Nah, selamat menyongsong UN.
Oh saya pikir ada yang mau mati.
Terus pamit…
Wah maaf pak. Ternyata masalah pendidikan, bapak sangat paham betul
Salam sukses
Pendidikan ala Barat punya kelebihan juga kekurangan. Salah satunya adalah pendidikan model pabrik. Ibarat yang diilustrasikan Dave Meier–seingat saya namanya begitu, bukunya masih dipinjam teman–bahwa terjadi teknik produksi massal pada pendidikan umum. Sekolah adalah jalur perakitan: dibuat berurutan; dikotak-kotakkan; distandarkan oleh kantor pusat; guru adalah penyelia produksi; birokrasi raksasa untuk mengontrol, mengukur & mengelola.
Kata Dave Meier, sekolah ibarat rumah tahanan. Para siswa berusaha untuk keluar dari penjara bernama “sekolah”. Para guru pun juga berjuang agar para “tahanan sekolah” segera menghirup udara bebas. Terjadilah berbagai kecurangan dalam ujian.
Itulah lonceng kematian pendidikan kita. Pendidikan bukan menjadikan manusia beradab dan berakhlaq mulia. Namun mengajarkan para siswa untuk melakukan berbagai cara mencapai tujuan “mulia” dengan cara “kotor” adalah “dosa yang bisa dimaafkan”.
Persoalan untuk memajukan dunia pendidikan kita adalah pada masalah infrastruktur (teknologi, SDM, dan fasilitas). Terjadi ketimpangan di suatu daerah dengan daerah lainnya. Bila pemerintah menetapkan standar UN dengan patokan nilai yang bisa dilewati siswa sekolah dengan infrastruktur bagus, siswa dari sekolah infrastruktur kualitas rendah jelas tak mampu melewati.
Itulah lonceng kematian pendidikan kita. Kelompok masyarakat yang terpinggirkan malah semakin tersingkirkan.
Sebaiknya pemerintah meningkatkan kualitas infrastruktur.
Perbaikilah teknologi dan fasilitas pendidikan agar bisa menyemangati masyarakat akan pentingnya pendidikan. Gedung-gedung sekolah yang hampir ambruk harus diperbaiki. Sarana sekolah seperti laboratorium sekolah, sarana olah raga, sanitasi umum, peribadatan, dsb harus diadakan. Fasilitas seperti ini tanggung jawab pemerintah. Bukan dibebankan pada orangtua dengan label “uang gedung”, “uang bangku”, dsb.
Pemerintah harus meningkatkan kualitas SDM. Sejahterakan para pendidik. Guru adalah stakeholder dalam sekolah. Bagaimana mungkin sekolah bisa mendapatkan guru berkualitas bila menjadi guru adalah profesi yang penuh kesengsaraan. Gaji kecil, masih “disunat” lagi. Bila guru tak sejahtera, tak ada lulusan SMA yang pandai mau masuk universitas kependidikan. Bila guru bukan jaminan hidup layak, tak ada sarjana berkualitas mau jadi guru. Sejahterakan para guru, termasuk para guru yang mengajar di daerah pelosok dan terpencil. Beri gaji mereka dua kali atau lebih yang mengajar di kota. Mana ada orang mau bekerja di tempat terpencil, penuh perjuangan fisik dan kesengsaraan finansial. Bila gurunya tak berkualitas, mana mungkin dunia pendidikan Indonesia jadi berkualitas.
Jadi, bukan standar nilai UN yang dinaikkan. Naikkan kualitas infrastruktur sekolah.
Penulis “Ice Lemon Tea for School”
walaupun tulisan lama tapi memang masih menjadi saksi sejarah carut-marutnya pendidikan 🙂