Revitalisasi Seni Rakyat di Tengah Peradaban Global

Seiring dengan dinamika zaman yang terus bergerak pada arus globalisasi, dunia kesenian diharapkan bisa ikut berkiprah dalam melakukan pencerahan terhadap peradaban yang “sakit”. Seni tidak cukup hanya dipahami sebagai produk estetika, tetapi juga mesti diapresiasi sebagai sebagai produk budaya yang mampu memberikan sesuatu yang bermakna bagi umat manusia. “Dulce et utile”, kata Horace.

Berkaitan dengan keberadaan seni rakyat yang hingga kini masih tumbuh subur di kantong-kantong seni, khususnya di daerah pedesaan, pada era global justru akan semakin dilirik dan diperhatikan sebagai “mutiara yang hilang”. Seni rakyat justru akan semakin penting dan strategis setelah manusia-manusia yang hidup pada masa post-modern sudah mulai jenuh dengan berbagai produk seni modern yang dinilai mulai kehilangan basis dan tuah falsafinya. Oleh karena itu, produk-produk seni rakyat perlu dikemas sedemikian rupa sehingga kehadirannya semakin dicintai dan dirindukan oleh publik.

Dalam konteks demikian, kaum seniman dituntut untuk bersikap adaptif, sigap, dan cekatan dalam menerjemahkan, menginternalisasi, dan mengapresiasi nilai-nilai seni sehingga desain peradaban yang kita bangun menjadi lebih bermartabat, santun, arif, dan terhormat. Kelambanan kolektif kita –meminjam istilah Taufiq Ismail –akan diterjang tanpa ampun oleh kencang lajunya peradaban milenium yang akan datang ketika batas-batas geografi dan berbagai sekat peraturan sudah diangkat orang. Kita yang terkenal lambat, lamban, lalai, dan lengah akan tergeser, tergusur, tergasak, dan kemudian tergeletak di pinggir jalan raya peradaban dunia. Ini sebuah “warning” yang layak kita renungkan bersama untuk memberikan perhatian yang lebih serius dan intens terhadap persoalan kesenian agar jatidiri dan kepribadian bangsa kita yang kuyup akan nilai-nilai adiluhung terevitalisasi dan teraktualisasi dalam tataran praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, kita jangan sampai terjebak dan latah dalam kelancungan slogan-slogan moral dan keluhuran budi yang kehilangan basis estetika dan kulturalnya.

Harus diakui, teknologi telah banyak membawa perubahan besar dalam sejarah kehidupan umat manusia. Sudah tak terbilang kelompok maupun perorangan yang mampu hidup mapan berkat teknologi. Meskipun demikian, teknologi dinilai juga membawa dampak munculnya manusia berkarakter –meminjam istilah Hasyim Anwar– oportunis, pembangkang, munafik, hedonistik, bermoral lemah, megalomaniak, maupun schizophronik, atau menurut pemikiran filsafat Hobbesian merupakan entitas manusia yang bersosok serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Manusia-manusia yang memiliki karakter semacam itu konon akan mudah tergelincir dalam kubangan kemanjaan nafsu dan selera hidup yang tega tertawa ngakak di atas derita dan bangkai sesamanya. Tatanan hidup tak jauh berbeda dengan siklus kehidupan hukum rimba, di mana makhluk yang lemah dan tak berdaya akan menjadi santapan empuk bagi makhluk yang kuat dan berkuasa. Dengan kata lain, bingkai kehidupan tereduksi oleh peradaban bar-bar, sadis, keras, dan lepas dari kontrol nilai kemanusiaan.

Suasana Sarasehan “Revitalisasi Dewan Kesenian Kendal”

rewv3.jpg

rev1.jpg

rev23.jpg

Atmosfer kemajuan teknologi yang begitu terbuka dalam menawarkan nilai-nilai baru yang dinamis dan progresif agaknya tak berdaya dalam membangun peradaban yang lebih cerah, bermartabat, dan terhormat. Sikap latah dalam memburu gengsi dan kemaruk dalam menumpuk-numpuk harta, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan sosial dan nurani kemanusiaan, bahkan cenderung menghalalkan segala cara dalam menggapai ambisi.

Dalam konteks demikian, seni diharapkan mampu memanfaatkan teknologi untuk membangun desain peradaban yang lebih bermoral dan berbudaya. Kaum seniman sebagai manusia yang memiliki “dunia panggilan” untuk memberikan pencerahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat perlu “mengawinkan” antara seni dan teknologi sehingga berbagai produk seni yang dihasilkannya bisa lebih adaptif, lentur, manjing-ajur-ajer, dan bisa diterima oleh masyarakat. Harus ada kesadaran baru bahwa produk seni tidak boleh berada dalam keadaan elitis dan terasing di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang hanya bisa dinikmati oleh beberapa gelintir orang saja.

Tumbangnya produk-produk seni masterpiece” dan komunitas keseniannya di atas panggung kehidupan sosial kita dinilai lebih banyak disebabkan oleh gagalnya kaum seniman sendiri dalam mengemas seni pertunjukan. Pertunjukan wayang orang, misalnya, dinilai masih tabu mengawinkannya dengan teknologi masa kini sehingga gagal menghasilkan pertunjukan yang sesuai dengan “selera” masyarakat masa kini. Ini tidak lantas berarti bahwa produk kesenian harus menghamba pada selera pasar, melainkan perlu dimaknai sebagai kiat dan strategi dalam upaya mendinamiskan produk-produk kesenian di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern.

***

Upaya “mengawinkan” seni dan teknologi juga dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan apresiasi masyarakat yang (nyaris) sudah terjebak dalam budaya instan. Untuk menggapai sesuatu, masyarakat tidak lagi menghargai proses, tetapi lebih berorientasi pada hasil. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran, telah tersulap menjadi sikap suka menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, dan manipulasi sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk menggapai ambisi tertentu tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika.

Kesibukan memburu gebyar materi untuk memanjakan selera dan naluri konsumtifnya juga memiliki dampak terhadap gaya hidup seseorang dalam berkesenian. Nilai-nilai klangenan dan hiburan lebih ditonjolkan ketimbang kandungan nilai filsafat yang terkandung dalam seni pertunjukan. Orang tidak lagi betah menonton seni pertunjukan yang melelahkan dan bertele-tele. Menikmati kesenian bagi sebagian besar masyarakat pada masa sekarang hanya sekadar untuk memperoleh hiburan di sela-sela rutinitas dan kesibukan. Oleh karena itu, tidak salah apabila dalang-dalang kondang semacam Ki Manteb, Entus, Joko Edan, atau dalang-dalang lokal lainnya bersikap adaptif dengan memasukkan unsur-unsur teknologi masa kini agar seni pakeliran yang mereka gelar tampil beda. Dan ternyata, masyarakat menyukainya. Agaknya sikap sebagian besar masyarakat kita dalam menikmati produk kesenian pun telah mengalami pergeseran. Seni pertunjukan yang semata-mata hanya menghamba dengan pakem, miskin inovasi, dan tabu teknologi, seringkali gampang ditinggalkan.

Dalam konteks demikian, kaum seniman juga dituntut untuk mampu menghasilkan kemasan dan produk seni yang lebih kreatif dan inovatif, sehingga keberadaannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat tetap dicintai dan dirindukan. Jangan sampai terjadi, produk seni rakyat yang sudah teruji oleh sejarah mampu mencerahkan peradaban ditinggalkan oleh para penonton hanya karena kelengahan kaum seniman yang tidak peduli terhadap derap dan dinamika zaman. Harus ada upaya revitalisasi secara serius agar produk-produk seni rakyat tetap dicintai penonton dari berbagai kalangan usia.

***

Zaman akan terus berubah. Nilai-nilai baru akan terus bermunculan. Konsumtivisme dan hedonisme telah menjadi “paham” baru yang melanda sebagian besar masyarakat kita, bahkan telah telanjur menjadi sebuah kelatahan. Manusia modern, dalam pandangan Hembing Wijayakusuma, telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan teknologi telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat teknologi dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhksan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.

Dalam konteks demikian, kaum seniman harus tampil sebagai “pencerah” dan katalisator peradaban agar masyarakat tidak terus-terusan terjebak dalam perilaku anomali sosial. Seniman bisa dikatakan sebagai seorang resi yang “tapa ngrame”, menyatu di tengah-tengah kehidupan masyarakat sambil membawa misi “pencerahan” sesuai dengan bidang seni yang digelutinya. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam seni rakyat perlu terus dikembangkan, dikemas secara kreatif, dan disesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman. Kaum seniman jangan sampai terjebak dalam sikap elitis dan terisolir dari tengah-tengah kehidupan masyarakat. Ketika banyak masyarakat yang lupa terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, kaum seniman mesti terpanggil untuk mengingatkan mereka. “Sabeja-bejane wong kang lali, isih beja wong kang eling lan waspada” (seuntung-untungnya orang yang lupa masih beruntung orang yang ingat dan wapada), demikian kata Ranggawarsita melalui Serat Kalatidha-nya.

Melalui misi “pencerahan” yang diembannya, kaum seniman juga dituntut untuk selalu tampil adaptif dan fleksibel sesuai dengan tuntutan zaman. Ini artinya, kaum seniman harus selalu tanggap dan peka dalam menangkap suara dan hati nurani masyarakat dalam berkesenian.

***

Era peradaban pada milenium ketiga dinilai banyak pengamat akan menawarkan kemajemukan persoalan hidup yang semakin rumit dan kompleks. Franz Magnis Suseno –dengan meminjam fenomena Zaman Edan yang pernah dikemukakan oleh Ranggawarsita—mengungkapkannya dengan satire: Wong lugu keblenggu, wong bener thenger-thenger, wong jahat munggah pangkat, pengkhianat saya nikmat, surjana saya kepenak (orang lug terbelenggu, orang jujur terperosok, orang benar terdiam kehilangan akal, orang jahat naik pangkat, pengkhianat tambah nikmat, orang tak baik jadi semakin enak).

Ketika fenomena Zaman Edan sudah tampak di depan mata, lantas apa kontribusi yang bisa dilakukan oleh kaum seniman? Ya, sebagai pengemban misi “pencerahan”, kaum seniman tidak boleh kehilangan sikap arif dan bijak dalam menyiasati dan menyikapinya. Intensitas dan totalitas penghayatan nilai-nilai moral, religi, kemanusiaan, dan kultural harus terus dihembuskan dalam setiap dimensi ruang dan waktu. Tujuannya? Agar masyarakat kita tidak telanjur kehilangan kepekaan dan sikap responsif terhadap segala macam bentuk fenomena kehidupan yang mencuat ke permukaan.

Paling tidak, ada dua tugas utama kaum seniman dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama, membentengi bangsa dari gerusan nilai-nilai mondial, global, dan kosmopolit, sehingga jatidiri dan kepribadian luhur bangsa yang sudah teruji melalui sejarah yang panjang tetap menampakkan eksitensinya. Hal ini tidak terlepas dari substansi kesenian sebagai produk budaya yang mampu menumbuhkan kepekaan nurani, nilai-nilai kesalehan, dan kearifan makna hidup. Melalui seni, mata hati kita akan semakin terbuka terhadap persoalan-persoalan konkret yang dihadapi masyarakat dan bangsanya sehingga mampu melihat setiap persoalan secara jernih, tidak mudah terjebak dan tergelincir ke dalam rajau-ranjau peradaban yang sakit.

Kedua, menjadikan “paket” kesenian sebagai bagian dari mata rantai zaman yang menjanjikan keuntungan materiil dan spiritual bagi kebesaran nama bangsa di mata dunia. Seni-seni “lokal jenius” harus terus ditumbuhkembangkan melalui kesadaran kolektif untuk merevitalisasinya menjadi sebuah produk dan kemasan seni yang memiliki “nilai jual” dan daya pikat bagi masyarakat.

Para pelaku seni hendaknya juga sigap menangkap momen dan gerak peradaban dengan menciptakan karya-karya monumental dan representatif yang mampu menembus batas-batas geografi, tak sekadar menjadi karya masterpiece di daerah sendiri. Lobi-lobi kesenian perlu terus dihidupkan dan dikembangkan. Nah, selamat berkarya rekan-rekan seniman, semoga misi “pencerahan” yang kita emban dapat terwujud. Hidup kaum seniman! ***

————————–
Catatan:
Tulisan ini saya sajikan di depan peserta “Revitalisasi Dewan Kesenian Kendal” pada hari Selasa, 20 November 2007, yang dihadiri sekitar 140 seniman se-Kabupaten Kendal dari 20 Komisariat Kecamatan. Setiap komisariat kecamatan mengirimkan 7 orang. Acara berlangsung selama dua hari (Senin-Selasa, 19-20 November 2007). Penyelenggara kegiatan adalah Dewan Kesenian Kendal yang dikomandani oleh Itos Budi Santosa. Saya ketiban sampur untuk membidangi Komite Sastra.

AddThis Social Bookmark Button

Comments

  1. Membaca ini seperti hadir di sarasehan itu, Pak.
    Memeng menyedihkan melihat seni dan kearifan tradisional secara umum, makin kehilangan tempat di era sekarang, di mana semua serba cepat, gersang, tanpa nilai, instan, dan akhirnya kosong.
    Padahal kalau memang mau cepat, sebenarnya ada cara sederhana: bunuh aja bayi yang baru lahir. Toh hidup seperti mesin, tak layak disebut sebagai kehidupan.

  2. SQ

    Pak Sawali? berhubung tema yang diusung masalah kesenian, saya minta tanggapannya ya. 🙂

    Menurut bapak, bagaimana dengan contoh karya epik imajinasi? sesuatu yang menyerupai Harry Potter atau L.O.T.R mungkin. Soalnya jarang saya temui referensi demikian yang ditelurkan dari dalam negeri.

    Apa karena dianggap terlalu imajinatif mungkin, padahal kan juga banyak menyentuh nilai-nilai kemanusiaan? (mohon penjelasannya 🙂 )

  3. Ini, ulasan yang menarik Pak Guru, dan seperti-nya ini pertama kali aku membaca postingan yang menganut idealisme untuk mem-bangkit-kan budaya bangsa yang semakin hari semakin hilang 😉

    Para pelaku seni hendaknya juga sigap menangkap momen dan gerak peradaban dengan menciptakan karya-karya monumental dan representatif yang mampu menembus batas-batas geografi, tak sekadar menjadi karya masterpiece di daerah sendiri.

    Aku pikir ini yang paling tepat untuk saat ini, jadi para pelaku seni tidak hanya pasrah dan menunggu durian jatuh, tapi harus meng-aplikasi-kan prinsip jemput bola, serta proaktif menjual seni yang mampu ber-tahan dari gerusan globalisasi seperti yang Pak Guru khawatir-kan juga 🙂

  4. @ Toga Nainggolan:
    Yak, itu yang jadi persoalan Bung Toga. Nilai2 tradisi seolah-olah mulai tersingkir dan disingkirkan dengan cara yang mengenaskan. Banyak yang silau dengan budaya2 baru yang dinilai lebih bergengsi dan mengglobal. Tapi apakah dengan cara membunuh setiap baru yang baru lahir, Bung Toga, hehehehe :mrgreen: OK, salam.

    @ SQ:
    Waduh2, pak Syam kok jadi naya ke saya sih? Apa nggak salah alamat tuh, hehehe 😆 Sebenarnya bangsa kita mampu menghasilkan karya2 imajinatif. Yang jadi persoalan, agaknya sebagian besar masyarakat kita masih belum siap menerimanya tuh, apalagi kalau produk seni yang bersinggungan dengan masalah agama. Wah, tahu deh, Pak Syam. OK, salam.

    @ extremusmilitis:
    Tepat sekali Bung Militis. Pada era global dan mondial seperti sekarang ini kalau seniman tradisional hanya menunggu, saya yakin produk seni yang mereka kreasikan akan tergilas oleh laju peradaban modern yang tak henti2nya menggerus nilai2 tradisi. Saya setuju banget tuh dengan komentar Bung Militis. OK, salam.

  5. mengawinkan seni dan teknologi ? bagus juga tuh pak , seni mungkin bisa menjadi sebuah karya yang bisa dengan mudah dinikmati masyarakata dengan rasa yang baru .

  6. Upaya “mengawinkan” seni dan teknologi juga dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan apresiasi masyarakat yang (nyaris) sudah terjebak dalam budaya instan. Untuk menggapai sesuatu, masyarakat tidak lagi menghargai proses, tetapi lebih berorientasi pada hasil. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran, telah tersulap menjadi sikap suka menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya usap, kolusi, dan manipulasi sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk menggapai ambisi tertentu tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika.

    Jadi tersadar , betapa besar pengaruh seni terhadap prilaku anak bangsa ini…

  7. Kedua, menjadikan “paket” kesenian sebagai bagian dari mata rantai zaman yang menjanjikan keuntungan materiil dan spiritual bagi kebesaran nama bangsa di mata dunia.

    Hehehe repotnya sekarang yang dikejar bukan “keuntungan materiil dan spiritual” melainkan “keuntungan materiil atau spiritual” eh malahan yang lebig apes karena hubungan yang dipakai adalah “atau” maka seringkali keuntungan spirituil terpinggirkan oleh keuntungan materiil.

  8. Sayah liat kawinan seni dan tekno Ki Manteb malah merusak esensi jalan cerita wayang….

    Meski orang pada suka lantaran ada ekstra pertunjukkan ditengah cerita, semisal goyang ngebor, ngesot, ngecor. Sayah liat malah ngerusak kesenian wayang…

    Apa sayah nyang kolot ???

  9. Tapi anu pak, kadang timbul pandangan di kalangan anak muda jika kesenian lokal itu ketinggalan jaman. Yang hebat itu yang dari luar negri. Susah juga ya jika seperti itu bagi seniman untuk menyuguhkan sebuah kesenian yang mampu menarik kembali masyarakat tanpa harus selalu “menghamba pada selera pasar”.

  10. Yang hebat itu yang dari luar negri.

    Padahal yang luar negeri juga lokal di negeri asalnya.
    Misalnya ada yang memuji “seppuku” di Jepang, padahal di Jepang sono anak mudanya juga banyak yang anggap “seppuku” tuh konyol dan ketinggalan zaman. 😀

    Intinya adalah bagaimana menjadikan kesenian lokal menjadi dilirik dunua internasional, tapi apakah itu akan menjadikan ‘generasi teknologi modern’ menjadi tersadar? Entah…

  11. Hidup seniman! Wih!, meskipun saya bukan seniman jadi ikut bersemangat juga neh, pak. Tulisannya panjang tapi enak dinikmati. Ya, semoga kesenian bangsa kita semakin maju dan tidak dianggap kulot atau ketinggalan zaman. Menurut saya, kesenian bangsa kita ini memang unik dan antik. Itu yang harus dipertahankan dan dikembangkan.

  12. mas ut

    Wah wah, misi seniman itu nggak hanya tampil beda ya, rambut gondrong, baju kumal, bicara sinis, tapi punya beban mengubah peradaban. Tapi kalau yang dikedepankan penampilan yang nggak ngenakkan gitu ya, mana orang percaya pak! he hee

  13. Saya setuju dengan ide kalau kesenian rakyat harus mengikuti zaman, dalam arti kata sangat luas. Baik itu tema ceritanya, kemasan komersialnya, teknologinya bahkan manajemen yang profesional agar kesenian rakyat ini dapat survive di era globalisasi ini.

    Kita harus mengikuti langkah2 negara2 tetangga terutama Jepang, bagaimana teater2 rakyat tradisional negara tersebut dapat survive di tengah gempuran hebat budaya2 modern di era globalisasi saat ini. Bukan begitu kan Pak Sawali?? :mrgreen:

  14. ah ya, saia cuma urun fendafad soal fertanyaan SQ tentang efik imajinasi…
    dari dalam negeri sefertina suda banyak sangadh, cuma karena itu adalah sebuah “produk lokal”, jadina ndak begitu laku… :mrgreen:
    munkin begitu kali ya….

  15. Entah setiap kali saya mampir ke sini, tak bisa langsung “mencelat” begitu saja tanpa menikmati tulisan njenengan hingga tuntas. 🙂

    Inginnya, baca sekilas dari judul dan beberapa paragraf, langsung kabur dan tinggalkan pesan, “hello”, “salam kenal”, “salam tempel” de el el..

    Ehhhm, sepertinya seniman selaku subyek dan atau produk budaya selaku obyek yang njenengan katakan sebagai “mutiara yang hilang” itu harus segera berkompromi dengan media. Harus dicari “entry point” untuk ber-kongkow2-ria dengan media. Karena era teknologi tak bisa tidak, harus berselingkuh dengan media untuk mengangkatnya kembali ke permukaan dan menjadikannya tak lagi marginal dan kesepian.

    Segera, setelah terjalin hubungan yang harmonis dengan media, lakukan research, improvisasi dan apalah namanya agar menjadikan produk budaya tersebut tak mudah dilupakan dan membosankan ketika media memberikan tempat baginya.

    Kemas produk tersebut agar laku di pasaran dan memiliki trademark sendiri. Tapi, memang harus berkompromi dengan media yang ujung tombaknya adalah rating dan kepentingan ekonomi. Lagi-lagi, harus melacurkan diri untuk kepentingan ekonomi. Ampun deh!

    Atau dibalik!

    Mungkin kuncinya satu, pak! Jadikan bangsa ini bangsa yang besar dulu dengan menguasai bidang apapun. kalo sudah besar, masyarakat pasti akan bangga dengan apapun yang dihasilkn oleh bangsa yang besar. Nantinya, anak muda akan dengan bangga “nembang asmaradhana” di Hongkong, Amerika, Eropa dan penjuru dunia lainnya dan tentunya mereka [orang luar] pasti akan gemar dan mau tak mau harus menerima produk budaya dari bangsa yang besar tersebut sebagai sebuah atribut yang membanggakan, simbol kemajuan, simbol peradaban, sebagai sebuah manifestasi invasi kebudayaan yang tersamar.

    Bukankah yang berkuasa dan berdaya yang menentukan kiblat budaya dan peradaban?!!

    Nuwun sewu, pak! Saya tak kabur duluan!

  16. @ bachtiar:
    Betul Mas Bach, “perkawinan seni dan teknologi” diharapkan bisa menghasilkan kemasan produk seni yang sesuai dengan tuntutan peradaban zaman sehingga seni tidak terasing lagi di tengah2 kehidupan modern. OK, salam.

    @ Herianto:
    Ya, ya, Pak Heri. Melalui seni, kehidupan semodern dan seglobal apa pun tetap memiliki kepekaan dan kearifan hidup sehingga tidak mudah terjebak dalam perilaku anomali. OK, salam.

    @ deKing:
    Hehehehehe 😆 Tapi paling nggak, produk seni yang dikemas dalam paket yang sesuai dengan tuntutan zaman akan menghilangkan trade-mark seni rakyat sebagai paket seni yang “primitif”, ndesa, atau terasing di tengah2 peradaban global, Pak deKing. Persoalan nilai spiritualnya dikalahkan oleh nilai materiil, saya kira sangat ditentukan oleh “The man behind the gun”-nya. OK, salam.

    @ mbelgedez:
    Hahahaha 😀 Kalau hanya sekadar digresi alias selingan, kok masih bisa ditolerir ya Mas Mbel. Kecuali kalau pakeliran wayangnya berubah jadi goyang ngebor ala Inul, hehehehe 😆 OK, salam.

    @ sigid:
    Ya itulah repotnya Pak Sigid. Pandangan semacam itu agaknya perlu diubah, pak. Kalau pemikiran “luar negeri minded” masih terus berlangsung dari generasi ke generasi, wah, ya sampai kapan pun produk2 seni dalam negeri nggak akan laku dijual.OK, salam.

    @ rozenesia:
    Itulah kenyataan yang masih terjadi hingga saat ini, Mas Roze. Kaum muda masih memandang bahwa seni tradisional itu sudah nggak njamani. Saya setuju dengan Mas Roze, produk luar negeri belum tentu bagus karena di negeri asalnya juga belum tentu dianggap sebagai produk unggulan. OK, salam.

    @ HANNA:
    Makasih, Mbak Hanna. Pelestarian dan pengembangan seni tradisional yang masih tumbuh di daerah pedesaan masih perlu terus dimodifikasi sehingga mampu menghasilkan produk seni yang sesuai dengan tuntutan zaman. OK, salam.

    @ mas ut:
    Tampilan kaum seniman yang selama ini kahas dengan rambut gondrong dan pakaian dekil saya kira kok hanya aspek lahiriahnya saja. Dan seniman saya kira tidak identik dengan rambut gondrong. Banyak juga kok Pak seniman yang tampil necis dan perlente, hehehehe 😆 OK, salam.

    @ Yari NK:
    Setuju sekali Bung Yari. Harus ada upaya serius untuk mengemas seni rakyat agar memiliki “nilai jual” secara kreatif dan inovatif. Contoh2 yang dikemukakan Bung Yari memang bisa kitsa tiru agar seni rakyat tidak tenggelam digerus zaman. OK, salam.

    @ hoek:
    Betul sekali Mas Hoek. Saya kira banyak karya seni yang imajinatif, melebih batas2 konvensional. Sayangnya, masyarakat masih banyak yang belum bisa menerima kehadiran produk seni yang semacam itu. OK, salam.

    @ gempur:
    Makasih banget Pak Gempur. Setuju banget nih Pak. Pada era global seperti saat ini,. kehadiran media memang sangat diperlukan sebagai “juru bicara” dunia kesenian. Tanpa ditopang media, seni sebagus apa pun tidak akan dikenal oleh masyarakat. Selain itu, memang diperlukan “intervensi” penguasa melalui diplomasi dan atase budaya sehingga seni rakyat di negeri kita bisa dikenal oleh dunia internasional. OK, salam.

  17. setuju banget pemaparan makalah pak guru ini. Mantep blas!
    aku belum sampai selesai bacanya.. tapi saya teringat oleh wayang listrik yang pernah tayang di TIM Jakarta… apakah ini berarti dunia pewayangan telah “ijab kabul” dengna dunia teknologi… so kapan seni2 lain bisa menirukannya???

    *

  18. @ myresource:
    Hehehehehe 😀 Juga generasi muda *halah soh tahu nih* yang lain pastinya. OK, salam.

    @ Pandapotan MT Siallagan:
    Hahahaha 😀 Terlalu gagah, ya, Bung! Dulu Triyanto dkk juga pernah menggagas Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) yang akhirnya bisa melejitkan namanya. Tapi yang ini nggak kayak gitu. Di daerah pedesaan, seni rakyat itu masih ada, Bung, masih eksis, bahkan penari kuda kepang rata2 malah berusia muda. Hanya saja seni rakyat yang mereka geluti belum dikemas sehingga belum sanggup menembus batas2 geografi. OK, salam.

    @ kurtubi:
    *Halah* Mas Kurt iki piye toh, belum selesai baca kok bilang mantap, hehehe 😆
    Yak, “perkawinan” antara seni dan teknologi bisa jadi seperti yang Mas Kurt ceritakan itu. Bisa diadopsi abis kayaknya. OK, salam.

  19. Beberapa hal yang bisa saya tangkap diantaranya, perlunya inovasi dalam berkesenian, yang disinkronkan dengan keluhuran budi, nilai-nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaan (mohon koreksi bila ada yang salah).
    Berikutnya maaf kalo sok tau paman, saya setuju dengan rangkuman saya sendiri yang maaf mungkin tidak lengkap hal tersebut, namun benar apa kata paman Mbelgedhes dalam komennya, sepertinya ada pakem yang kemudian dilanggar. Mungkinkah ini karena inovasi yang malah kebablasan? Saya khawatir kok ini bentuk lain dari latah? Hanya *sekedar* inovasi dengan melupakan nilai-nilai yang lain.
    Syip paman, saya akan mengingat postingan ini, agar kesenian sebagai bagian pesta rakyat kian semarak, dengan inovasi, tanpa berlawanan dengan nilai-nilai dan bisa berkompromi dengan pakem mungkin 😀
    Tabik!

  20. @ goop:
    Setuju banget nih Mas Goop, “Perkawinan” antara teknologi dan seni jangan sampai menabrak esensi keagungan nilai seni itu sendiri; jangan kebablasen, gitulah, OK, salam.

  21. PAOX IBEN

    Tulisan yg sangat bagus, cukup jujur dan menyentuh. hanya, mungkin kesimpulan akhirnya yang hrs dipertimbangkan lagi : Seni-seni “lokal jenius” harus terus ditumbuhkembangkan melalui kesadaran kolektif untuk merevitalisasinya menjadi sebuah produk dan kemasan seni yang memiliki “nilai jual” dan daya pikat bagi masyarakat.

    itu artinya qt mesti bersekutu dg industri. Seni, pd akhirnya seni hanya mjd sebuah produk. dinilai secara material. jualan bungkus, spt apa yg trjadi saat ini. spt kata Ronggowarsito diatas, qt hrs hati2 dan waspada,terutama terhadap kata Globalisasi, Industri, nilai jual dsb itu. Seni adalah ruh masyarakat. mengembalikan Seni sebagai jati diri bangsa menurut saya adalah mengembalikan seni pada lokusnya. seni ada sebagai jembatan kosmologis antara masyarakat dan alam kehidupannya.

  22. PAOX IBEN

    Tulisan yg sangat bagus, cukup jujur dan menyentuh. hanya, mungkin kesimpulan akhirnya yang hrs dipertimbangkan lagi : Seni-seni “lokal jenius” harus terus ditumbuhkembangkan melalui kesadaran kolektif untuk merevitalisasinya menjadi sebuah produk dan kemasan seni yang memiliki “nilai jual” dan daya pikat bagi masyarakat.

    itu artinya qt mesti bersekutu dg industri. Seni, pd akhirnya seni hanya mjd sebuah produk. dinilai secara material. jualan bungkus, spt apa yg trjadi saat ini. spt kata Ronggowarsito diatas, qt hrs hati2 dan waspada,terutama terhadap kata Globalisasi, Industri, nilai jual dsb itu. Seni adalah ruh masyarakat. mengembalikan Seni sebagai jati diri bangsa menurut saya adalah mengembalikan seni pada lokusnya. seni ada sebagai jembatan kosmologis antara masyarakat dan alam kehidupannya.

    salam, dr LOMBOK-NTB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *