Kang Sakri dan Perempuan Pemimpi

Puluhan mayat terjepit mengenaskan di sela-sela reruntuhan dan puing-puing bangunan yang porak-poranda. Bau busuk menyembur-nyembur. Ratusan burung pemangsa bangkai terbang rendah. Lantas, dengan kecepatan tak terduga menyerbu mayat-mayat itu. Dengan kekuatan penuh, paruh dan kuku burung-burung ganas itu mencengkeram dan mencabik-cabik puluhan mayat yang sudah penuh belatung.
“Crok… crok … cruok!” Ratusan burung pemakan bangkai berpesta. Rakus. Buas. Lalat dan serangga terbang berhamburan.
Mendengung-dengung. Terbang bergerombol entah ke mana. Burung-burung pemakan bangkai semakin rakus dan buas. Menyambar, menyikat, menggasak daging-daging mayat yang masih tersisa di balik reruntuhan dan puing-puing bangunan. Bau busuk kian dahsyat menyembur-nyembur, diterbangkan angin hingga ke tempat yang jauh.

Perkampungan tak ubahnya bekas sebuah ladang pembantaian, tempat para penjagal berhati iblis memuaskan naluri kebuasannya. Hanya beberapa penduduk yang lolos dari maut. Pusaran puting beliung yang membadai telah menghancurkan semuanya. Ratusan nyawa, harta benda, dan mimpi-mimpi para penduduk telah terkubur bersama dahsyatnya pusaran angin yang tak terduga itu.
***

Bertahun-tahun, para penghuni kampung itu hidup dalam sebuah ikatan kekeluargaan yang kuat. Penduduk dari ujung timur, barat, utara, hingga selatan membaur dalam keakraban yang nyaris sempurna. Peristiwa hajatan dan lelayu menjadi ornamen silaturahmi yang kian mengokohkan rasa senasib dan sepenanggungan. Mereka hidup guyup, rukun, dipayungi semangat kegotongroyongan. Setiap kali ada penduduk yang punya hajat atau kesripahan, penduduk yang lain berduyun-duyun mengulurkan bantuan. Bertahun-tahun, perkampungan itu nyaris tak pernah diguncang konflik dan perseteruan.

Perkampungan makin tumbuh dan berkembang menjadi sebuah perdikan yang menggiurkan. Sentuhan pembangunan makin terasa. Ketika listrik masuk desa, aktivitas penduduk mulai menggeliat. Anak-anak mulai tersihir di depan kotak ajaib; terpesona tayangan sinetron yang kurang membumi hingga melupakan suara azan Maghrib dari surau Kyai Jalal yang menggema di seantero kampung.

Jalanan beraspal makin menjanjikan lalu lintas perekonomian antardesa. Penduduk pun makin melek pendidikan. Banyak sudah anak-anak desa yang berhasil mengenyam bangku kuliah, jadi sarjana, lantas mengisi pos-pos penting dalam pemerintahan yang tersebar di berbagai birokrasi. Bahkan, orang nomor dua di kabupaten pun berasal kampung ini. Tak berlebihan jika perkampungan itu mampu melejit sebagai desa mandiri yang maju dan modern; membikin cemburu sekian desa yang tersebar di berbagai wilayah kecamatan. Meskipun demikian, ada juga penduduk yang luput tersentuh dari dinamika pembangunan desa. Mereka tetap hidup melarat dan kesrakat. Menurut mereka, pembangunan hanya menguntungkan kelompok penduduk tertentu, terutama kerabat penduduk yang memegang posisi kunci di birokrasi pemerintahan.

Kang Sakri termasuk penduduk yang kurang beruntung. Penghasilannya sebagai buruh tani tak sanggup menopang kebutuhan keluarganya yang makin melambung. Tak heran jika istrinya uring-uringan. Dia dinilai sebagai seorang suami yang tidak becus mengurus rumah tangga. Tak hanya itu. Istrinya juga mulai berani menjelek-jelekkan namanya di depan orang lain; tak tahan lagi hidup dalam kepungan kemiskinan dan kemelaratan.

Laju pembangunan desa yang begitu pesat membuat keakraban antarpenduduk mulai berjarak. Mereka mulai membentuk kelas-kelas tertentu sesuai dengan status sosialnya. Mereka yang hidup melarat dan kesrakat mulai disisihkan oleh kelompok penduduk yang lebih tinggi statusnya. Hal ini membuat istri Kang Sakri makin tak mampu menahan gelombang ambisi dan mimpi yang terus-menerus membombardir gendang nuraninya. Perempuan bertubuh sintal itu selalu bermimpi untuk bisa hidup layak dan berkecukupan.

“Lebih baik ceraikan aku, Kang, daripada hidup melarat terus-terusan!” teriak istri Kang Sakri suatu ketika. Meski demikian, Kang Sakri masih bisa menahan amarah yang bergolak di rongga dadanya. Dia tak menggubris rengekan dan mimpi istrinya.

Beruntung di perkampungan itu ada group ketoprak “Madya Laras”, tempat mangkal para penduduk yang memiliki naluri hidup berkesenian. Melalui group itulah Kang Sakri bisa mengalirkan darah seniman tradisionalnya di atas panggung. Bermain total dan ekspresif. Peran apa pun bisa dia mainkan dengan akting yang nyaris “sempurna”. Setiap kali tampil, pentas bagaikan mengandung magnet yang mampu menyedot para penduduk berbondong-bondong menyaksikannya. Setiap kali tampil, Kang Sakri selalu disambut aplaus meriah dari para penonton.

Pamor group ketoprak “Madya Laras” makin bersinar ketika Pak Sastro Tobong, sang bos, menyulap pertunjukan dengan berbagai pembaharuan. Layar pentas diganti geber berlapis-lapis yang mampu menampilkan latar dari berbagai tempat dan peristiwa. Untuk mendukung pertunjukan, para niyaga dan waranggana dipilih yang terbaik. Berlatih rutin memainkan berbagai lagu dan gendhing masa kini untuk memanjakan selera penonton. Perangkat gamelan juga dilengkapi dengan perkusi dan instrumen modern. Anak-anak muda yang terampil memainkan musik direkrutnya. Dhagelan pun dipilih yang benar-benar mampu merangsang syaraf tawa penonton.

Tidak hanya itu. Pak Sastro Tobong juga kreatif dalam menggarap lakon. Lakon-lakon konvensional diolah menjadi cerita memikat. Para pemain diberikan kebebasan untuk berakting dan berimprovisasi. Maka, terwujudlah sebuah pertunjukan ketoprak yang fantastis dan teatrikal. Tepuk tangan membahana hingga menyentuh pintu langit ketika pentas berlangsung. Mengetarkan perkampungan. Para penonton tak mau beranjak dari tempat duduk sebelum layar terakhir turun.

Nama Kang Sakri makin melambung. Dia dikenal sebagai pemain serba bisa. Apa pun peran yang dia mainkan, dia mampu memerankannya hampir tanpa cacat. Ketika memerankan seorang raja, dia benar-benar menjelma menjadi sosok raja yang berwibawa dan amat disegani dengan segenap kebesarannya. Ketika memerankan begal, kecu, atau perampok, Kang Sakri juga mampu menghadirkan karakter kekejaman dan kesadisan di atas pentas. Keliaran bola matanya yang memerah saga, kekerasan yang memancar dari balik tubuhnya, atau kekekaran tubuhnya benar-benar menyulap Kang Sakri menjadi sosok bromocorah yang sanggup menaburkan hawa maut dengan kecepatan tak terduga.

Kang Sakri pun amat bahagia. Di tengah gemuruh tepuk sorak penonton, dia bisa melupakan segala beban hidup yang menindih rongga dadanya. Dia bisa melupakan perangai dan mimpi-mimpi istrinya yang ingin hidup senang dan berkecukupan. Yang lebih membahagiakan, Kang Sakri bisa menjadi seorang raja gung binathara dengan ratusan pajurit yang siap membelanya. Dia juga bisa menjadi seorang perampok ganas yang amat ditakuti siapa pun dan disegani puluhan anak buahnya. Dia tidak lagi berpusing-pusing memikirkan periuk dapur yang tak berasap atau celoteh istrinya yang nyinyir dan menyakitkan. Dia sudah jarang lagi beradu kening dengan istrinya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk membesarkan group “Madya Laras”. Berlatih akting, menghafalkan dialog, mengatur blocking, atau melantunkan gending-gending asmara untuk adegan gandrung, menjadi aktivitas rutin Kang Sakri sehari-hari di rumah Pak Sastro Tobong.

Nama group ketoprak “Madya Laras” pun makin berkibar. Setiap ada penduduk yang punya hajat, Pak Sastro Tobong bersama awak pemainnya selalu ditanggap untuk memeriahkan acara. Dari mulut ke mulut, nama “Madya Laras” pun kian dikenal hingga ke desa-desa tetangga, meluas hingga ke wilayah kecamatan, bahkan hingga kabupaten. Pesanan pentas pun terus mengalir. Hampir tak ada bulan yang kosong untuk pentas. Yang membanggakan, mereka pernah diundang untuk memeriahkan acara festival seni rakyat di alun-alun kota kabupaten.

Sementara itu, istri Kang Sakri makin gencar memburu mimpi-mimpinya. Perempuan berwajah bulat telor itu makin bernafsu memuaskan kebuasan naluri kesenangannya. Tubuhnya selalu dibalut parfum dan busana mini yang mengundang selera laki-laki untuk menjamahnya. Dia menyiapkan banyak jurus dan perangkap untuk menjebak para lelaki asyik-masyuk ke dalam cengkeraman nafsunya. Untuk mewujudkan mimpi-mimpinya itu, istri Kang Sakri menemui Mbah Marto Pelet untuk memasang susuk ke dalam tubuhnya.

Susuk yang bersemayam di dalam tubuh istri Kang Sakri ternyata memancarkan pesona dan “aura” kecantikan yang luar biasa. Di dalam tubuhnya seperti dialiri darah kecantikan perempuan dari berbagai suku. Di mata lelaki, istri Kang Sakri menjelma bagaikan bidadari dari kahyangan. Cantik, anggun, memesona, merak ati, dan memancarkan daya pikat. Tak heran jika banyak lelaki kampung yang takluk di bawah ketiaknya. Istri Kang Sakri menjadi incaran para lelaki berkantong tebal. Juragan tembakau, blantik sapi, bahkan seorang pejabat penting di kecamatan tak luput tersihir tuah kecantikan yang memancar dari susuk perempuan bertubuh sintal itu. Bagi istri Kang Sakri, siapa pun lelaki yang mengincarnya, pantang ditolak, asalkan sanggup mengalirkan kerincing dhuwit ke dalam tabungan mimpi-mimpinya. Dia akan memberikan pelayanan yang mampu memanjakan naluri kelelakian. Istri Kang Sakri mulai bisa mewujudkan mimpi-mimpinya. Hidup senang dan berkecukupan, bahkan mampu menyulap gubuk reotnya menjadi sebuah rumah yang kokoh dan mentereng, tanpa campur tangan Kang Sakri, suaminya.

Akibat kebinalan istri Kang Sakri, banyak perempuan kampung yang cemburu dan khawatir. Didorong oleh perasaan senasib, mereka menyebarkan intrik dan kasak-kusuk. Berbondong-bondong mereka melabrak istri Kang Sakri.

Emosi para perempuan bersuami itu makin tersulut ketika melihat sebuah mobil plat merah bertengger di pelataran rumah bercat kuning itu. Hanya dengan sekali komando, perempuan-perempuan bersuami itu segera berkelebat menuju pintu rumah dengan wajah penuh kebencian.

“Keluar perempuan sundal! Cuah!”

“Dasar pelacur! Keluar!”

“Ya! Kalau tidak, kami akan menyeretmu secara paksa!”

Emosi perempuan-perempuan bersuami itu makin tak terkendali. Mulut mereka terus menumpahkan kata-kata hujatan; kotor dan menyakitkan. Mulut mereka ngedumel tak jelas juntrungnya, saling bertatapan.

Di dalam sebuah kamar, istri Kang Sakri dan seorang lelaki berperut buncit dicekam kepanikan. Mereka tak tahu harus berbuat apa menghadapi suara-suara perempuan yang kotor, kasar, dan penuh kebencian di luar sana. Sepasang lelaki-perempuan itu hanya bisa saling pandang, malu, cemas, dan merasa sangat berdosa. Bergegas menutup aurat.

“Kalau tidak segera keluar, terpaksa kami dobrak!”

“Ya, ayo, kita jebol saja pintunya!”

“Ayo, ibu-ibu!”

“Satu … dua … tiga!”

Terdengar suara gemeretak. Berdebam. Begitu pintu rumah jebol, perempuan-perempuan bersuami itu berebut masuk bagaikan air bah. Wajah mereka liar. Dengan gerak cepat, mereka berkelebat menuju sebuah pintu kamar sambil membawa pentungan kasti, batu, pisau dapur, linggis, dan benda-benda tumpul lainnya. Seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, mereka segera menobrak pintu kamar seperti gerombolan manusia purba yang hendak menjebol dinding goa. Beringas. Pintu kamar pun jebol.

“Ibu, ibu! Inilah kedua jahanam yang telah mencemarkan kampung kita!”

“Ya, kita arak saja beramai-ramai!”

“Betul! Kita arak dan kita telanjangi!”

“Kita …”

Belum sempat perempuan-perempuan berwajah beringas itu melakukan aksinya, tiba-tiba terdengar pusaran puting beliung yang begitu kuat dan dahsyat. Bumi bergetar hebat. Pekik dan jeritan histeris membahana di seantero kampung. Ratusan Malaikat Maut seperti beterbangan dari pintu langit, melecut-lecutkan cambuk, menggetarkan perkampungan. Pusaran puting beliung makin dahsyat memorak-porandakan seisi kampung. Rumah-rumah dan bangunan hancur berkeping-keping. Pepohonan tumbang tak tentu arah. Para penduduk yang gagal menyelamatkan diri terkubur hidup-hidup di balik reruntuhan rumah dan puing-puing bangunan. Dalam sekejap, perkampungan rata dengan tanah.
***

Deru truk membelah perkampungan yang porak-poranda. Pak Sastro Tobong, Kang Sakri, dan awak pemain ketoprak “Madya Laras” yang baru saja pentas di sebuah kecamatan sungguh-sungguh tak percaya kalau pemandangan di depannya adalah kampung halaman, tempat mereka menuntaskan nalurinya dalam berkesenian. Sejauh mata memandang hanya terlihat reruntuhan dan puing-puing bangunan yang telah rata dengan tanah. Mereka tak bisa mengenali lagi di mana bekas rumah-rumah mereka. Tangis dan pekik histeris tumpah di antara puing-puing bangunan yang telah tersapu oleh perilaku alam yang tengah murka. Mengabarkan duka ke seluruh penjuru semesta. Mereka saling bertatapan dengan dada diserbu tanda tanya.

Dengan langkah tersaruk-saruk, Kang Sakri menginjakkan kakinya di antara reruntuhan bangunan. Lelaki bertubuh kekar itu bergidik ngeri ketika bola matanya hinggap di balik reruntuhan itu. Masyaallah! Beberapa sosok tubuh terjepit dan tergencet di balik reruntuhan bangunan dengan kondisi yang mengenaskan dalam keadaan tak bernyawa. Ada yang putus kakinya, pecah kepalanya, terburai isi perutnya, bahkan ada beberapa potongan organ tubuh yang berserakan di atas reruntuhan. Entah milik siapa.

Kang Sakri tak sanggup lagi menatap mayat-mayat yang tergencet dan terjepit di balik reruntuhan. Pikirannya menerawang. Di layar benaknya muncul bayangan istrinya yang tengah gencar berjuang memburu dan mewujudkan mimpi-mimpinya. Rongga dadanya tiba-tiba saja terasa sesak. Ingin rasanya dia segera memerankan Bandung Bondowoso yang sanggup membangun kembali rumah-rumah yang porak-poranda itu dalam waktu semalam. Lantas, menghidupkan istrinya menjadi sosok Roro Jonggrang dengan segenap kelincahan dan kegenitannya.

Namun, Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang hanyalah sebuah legenda yang hanya bisa dihidupkan di atas panggung ketoprak. Bukan dalam kehidupan nyata yang kini tergelar di pelupuk matanya. Kang Sakri tiba-tiba saja merasa lemas dan tak berdaya. Tubuhnya limbung di atas reruntuhan dan puing-puing bangunan. Matanya berkunang-kunang. ***
Yogyakarta-Kendal, Februari 2007

No Comments

  1. Wow, cerita yang sangat hebat, Pak! Ini kisah nyata atau fiksi, Pak?

    Saya termasuk orang yang suka baca-baca cerita. Cerita menarik, humor, ataupun cerita anak-anak. Jadi teringat waktu dulu, semasa kecil, bila baca buku bahasa Indonesia, yang pertama-tama dibaca ya cerita-cerita yang ada di dalamnya. Apalagi kalau baca majalah Bobo, wah cerita-ceritanya biasanya saya baca sampai habis.

    Oh, iya. Saya mencatat beberapa istilah, yang bagi saya merupakan tambahan kosa-kata. Seperti berikut ini:
    -Lelayu
    -Guyup
    -Kesripahan
    -Perdikan
    -Kotak ajaib = TV?
    -Kesrakat
    -Kecu = begal
    -Niyaga
    -Waranggana
    -Dhagelan = dagelan
    -Merah saga
    -Gending = gendhing
    -Merak ati
    -Berdebam

    Mudah-mudahan Pak Sawali tak keberatan untuk menuliskan padanan katanya (walaupun mungkin saya mengerti lewat konteks, cuma suka ragu-ragu, kurang yakin. :D)

    Oh, iya lagi. Di artikel ini Bapak menggunakan sebutan untuk panggilan orang ketiga tunggal “dia”. Pertanyaan saya, apa bedanya antara penggunaan “dia” dan “ia”? Bila sama saja, tak ada beda, kapan kita membedakan penggunaan keduanya?

    Terimakasih banget atas penjelasannya, Pak. Saya benar-benar belajar bahasa Indoensia nih…. 😀

    ————————

    Wah, terima kasih, Pak Al-Jupri, sempat-sempatnya membuka arsip cerpen, he3x. Luar biasa kalau Bapak sejak kecil dah senang membaca cerita. Konon, kecerdasan emosi diawali dengan membaca cerita. Ok, Pak, dengan senang hati saya mencoba untuk sedikit menjelaskan makna kata-kata yang ada dalam cerpen “Kang Sakri…” yang berwarna kultur-etnik Jawa.

    -Lelayu = kabar duka (kematian)
    -Guyup = rukun, akrab
    -Kesripahan = kesusahan karena ada keluarganya yang meninggal
    -Perdikan = perkampungan
    -Kotak ajaib = TV? (betul, Pak)
    -Kesrakat = miskin dan hina
    -Kecu = begal (perampok)
    -Niyaga = penabuh gamelan
    -Waranggana = sindhen (penyanyi Jawa diiringi gamelan)
    -Dhagelan = dagelan (lawak)
    -Merah saga = ungkapan untuk menyatakan amarah yang memuncak (matanya merah sekali)
    -Gending = gendhing (lagu Jawa)
    -Merak ati = menarik hati (memikat)
    -Berdebam = jatuh (menimbulkan suara berdeman = onomatope)

    * tentang ia dan dia nggak ada bedanya, keduanya bisa saling dipertukarkan. Namun, dalam perasaan saya, dia memiliki konotasi yang lebih akrab dan tidak formal, sedangkan “ia” konotasinya kurang akrab dan terlalu formal (resmi).
    Ok, Pak Al-Jupri. Salam buat keluarga. Trims. *

  2. Wah terimakasih, Pak, atas penjelasannya. Menambah kosa-kata saya.

    Tentang penggunaan kata “dia” dan “ia”, saya seringnya menggunakan “ia”, ternyata resmi ya? Pantas saja ada yang mengatakan bahwa tulisan saya itu kesannya formal banget. Tapi, biarlah, itu kan kebiasaan saya. Boleh kan, Pak? 😀

    Oh, iya. Insya Allah salamnya akan saya sampaikan ke keluarga (Bapak, Ibu, tetah, dan adik-adik saya di Indonesia…). 😀

    sekali lagi terimakasih banyak, Pak. Salam juga buat keluarga bapak.

    —————-
    Ok, boleh-boleh saja, Pak. “Dia” atau “ia” bisa sama-sama digunakan, hanya konotasinya memang memiliki nuansa makna yang sedikit berbeda. Makasih kembali, Pak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *