Pemilihan Presiden (Pilpres) memang baru akan berlangsung 2009 nanti. Namun, denyutnya sudah kita rasakan mulai sekarang. Para calon presiden (Capres) mulai “tabur pesona” dengan menjaga komunikasi seramah dan seefektif mungkin. Sebisa-bisanya membangun citra dan imaji positif di tengah-tengah publik untuk meraih simpati. Sikap kritis terhadap kepemimpinan RI I pun kian gencar dilakukan. Yang pasti, para Capres mulai ancang-ancang dan memasang strategi untuk menjerat rival politiknya sekaligus merangkul berbagai kelompok dan organisasi untuk membangun citra positif secara kolektif.
Dunia pendidikan dan dunia politik memang merupakan khazanah yang berbeda. Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia secara utuh dan paripurna, sedangkan dunia politik sangat erat kaitannya dengan proses bertindak dan mekanisme kebijakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan visi dan platform perjuangannya. Untuk mencapai tujuan, para politikus tidak jarang menempuh langkah dengan menghalalkan segala macam cara. Kawan bisa jadi lawan, lawan pun bisa menjadi kawan. Tidak heran apabila publik sering dibuat tercengang oleh ulah para elite politik yang suka berubah-ubah pendirian.
Lantas, apa hubungan realitas politik dan dunia pendidikan kita? Secara langsung tidak ada memang. Namun, jika kita becermin pada sejarah, dunia pendidikan kita (nyaris) tak pernah bisa steril dari “virus” politik. Pada masa Orde Baru (Orba), misalnya, dunia pendidikan kita diletakkan oleh rezim penguasa dalam “rumah kaca” sehingga seluruh gerak-gerik para pelaku dan praktisi pendidikan bisa dengan mudah dikontrol dan diawasi. Mereka yang tidak sejalan dengan kehendak politik penguasa, dihambat kariernya, bahkan tidak segan-segan disingkirkan.
Doktrin Golkar menjadi “lagu wajib” yang harus dinyanyikan oleh para guru menjelang pemilu. Dunia pendidikan harus menghamba pada ambisi penguasa. Otak dan akal budi para murid diseragamkan lewat penataran P4 atau buku-buku sejarah yang “menyesatkan”.
Kini, realitas politik kontemporer Indonesia tidak hanya bertumpu pada satu kekuatan seperti pada era Orba, ketika Golkar menjadi sebuah kekuatan hegemonik dengan aktor tunggalnya, Presiden Soeharto, tetapi sudah menyebar ke berbagai lini dan kekuatan politik. Puluhan partai dengan aktor-aktor politiknya yang berbeda karakter bermunculan dan saling berlomba untuk meraih simpati rakyat.
Yang kita khawatirkan, dunia pendidikan kita tidak mampu membendung arus dukung-mendukung pada sebuah kekuatan politik tertentu yang terus dihembuskan oleh para politikus. Fenomena semacam itu ditengarai sudah mulai muncul di perguruan tinggi, entah dengan cara terselubung atau terang-terangan. Gerakan moral reformasi yang dulu gencar diperjuangkan para mahasiswa –sehingga sukses menggulung rezim Orba dari panggung kekuasaan– dinilai banyak kalangan hanya tinggal retorika, bahkan sudah mulai dicemari oleh limbah politik keberpihakan, terpecah-pecah ke dalam berbagai kubu. Bentrokan antarmahasiswa yang berselisih paham pun tak jarang terjadi.
Bukan tidak mungkin para politikus yang berkantong tebal akan “melebarkan sayap”-nya, masuk ke lembaga pendidikan menengah (SMA/SMK/MA dan yang sederajat) dengan kompensasi-kompensasi tertentu agar mendukung kebijakan-kebijakan politiknya. Hal itu sangat beralasan, sebab para pelajar yang rata-rata masih polos, murni, dan awam politik, bisa menjadi media strategis untuk menaikkan posisi tawar politik dan membangun opini publik jika mereka diturunkan di jalan-jalan. Jika itu terjadi, lawan politik mereka tentu tidak akan tinggal diam, dan tidak mustahil akan membalasnya dengan aksi serupa. Kalau kondisi semacam itu benar-benar terjadi, quo-vadis dunia pendidikan kita?
Namun, mudah-mudahan kekhawatiran semacam itu tidak terjadi. Kita berharap para elite politik masih menyisakan hati nurani untuk tidak menyeret dan membentur-benturkan para pelajar kita –yang sedang gencar memburu identitas diri– ke tengah-tengah pertarungan dan konflik politik.
Sudah saatnya dunia pendidikan kita terbebas dari “virus” politik. Berikan kemerdekaan kepada dunia pendidikan untuk menentukan dunianya sendiri. Biarlah wilayah politik menjadi panggung permainan para politikus dengan segala akting, ulah, dan alur konflik yang mereka bangun sendiri. Meskipun demikian, tidak lantas berarti bahwa pendidikan politik mejadi “haram” diajarkan dalam dunia pendidikan (baca: sekolah) kita. Justru yang penting dan mendesak untuk segera dipikirkan adalah upaya memberikan pendidikan politik yang baik dan benar kepada para siswa didik, sehingga pada gilirannya kelak mereka mampu menggunakan hak dan kewajiban politiknya secara benar, cerdas, arif, elegan, dan ksatria.
Pola indoktrinasi dan penyeragaman yang berlandas tumpu pada proses “pencucian otak” dan pembodohan politik peserta didik dengan meabukan perbedaan pendapat, kemerdekaan berpikir dan berserikat, serta berprakarsa, seperti yang pernah dipraktikkan rezim Orba, hendaknya segera dibuang jauh-kauh. Peserta didik justru harus dikondisikan untuk mulai terbiasa mengapresiasi sikap berbeda pendapat di tengah pluralisme budaya.
Mereka harus disediakan ruang dan mimbar akademis yang cukup untuk belajar memahami dan mendalami berbagai persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya dalam suasana dan atmosfer pendidikan yang terbuka, dialogis, interaktif, menarik, dan menyenangkan. Persoalan ini menjadi penting dipersoalkan sebab sistem pendidikan kita dinlai belum mampu memberikan landasan yang kuat kepada anak-anak negeri ini untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Mayoritas generasi muda kita, bahkan tidak mendapatkan bekal yang memadai dari sekolah tempat mereka menuntut ilmu mengenai persoalan-persoalan yang sedang dihadapi bersama.
Sekolah dinilai belum mampu memberikan landasan historis yang kuat kepada generasi muda. Anak-anak kita tidak mempunyai bayangan mengenai akar-akar sejarah dari berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Akibatnya, setelah terjun di tengah-tengah masyarakat bagaikan “rusa masuk kampung”, gagap dan asing dengan lingkungannya sendiri. Pernah membaca puisi WS. Rendra “Sajak Seonggok Jagung”? Coba kita camkan sejenak kutipan berikut ini!
….
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“Di sini aku merasa asing dan sepi !”
(Sajak selengkapnya bisa dibaca di sini)
Ya, sebuah parodi terhadap sistem dunia pendidikan kita yang hanya membentuk generasi “robot”; hanya taat komando dan tak tahu harus berbuat apa ketika remote-kontrol dilepas.
Disadari atau tidak, sistem pendidikan kita semacam itu sebenarnya merupakan imbas dari kebijakan penguasa yang “memberhalakan” pembangunan ekonomi, sehingga gagal memberikan pendidikan politik yang mencerahkan bagi peserta didik. Selama belajar di bangku pendidikan, para pelajar kita “dibutakan” dari berbagai persoalan yang dihadapi bangsanya. Mereka hanya dicetak untuk menjadi “penghamba” rezim penguasa yang korup dan otoriter.
Agar terhindar dari stigma semacam itu, dunia pendidikan kita harus benar-benar mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai –termasuk nilai politik– secara utuh dan holistik kepada peserta didik sehingga kelak mereka memiliki kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Kalau harus terjun ke dunia politik, mereka mampu bermain simpatik, amanah, jujur, benar-benar memikirkan kepentingan bangsa, tidak sikut-sikutan dalam memburu ambisi dan gengsi kekuasaan melalui tindakan dan manuver yang vulgar dan tidak populer. Nah, bagaimana? ***
bener juga pak sawali, soale waktu saia kelas tiga, salah satu guru saia juga sedikit berkamfanye soal fartai yang bliau geluti, tafi akhirna malah jadi debad kusir antara saia dan kawand-kawand saia yang sok tau dengan bliau soal folitik..mhehehe
ah ya, tafi justru itu pak, asalkan tidak terlalu “memaksa”, folitik bisa jadi sebuah ajang fembelajaran bagi fara siswa, asalkan itu tadi, tidak ada “femaksaan” dalam bentuk uang dan sebagainya. hehehehe…
Ups… Rasa-rasanya akhir ini ada gosip para Capres mencoba tuk merangkul wakilnya dari luar Jawa…
Apa nanti berpengaruh pada pendidikan di luar Jawa ya. 🙄
Ah, menuju topik. Apa kita bisa mengaplikasikan politik sebagai bahan pelajaran di dunia pendidikan tanpa harus menggelutinya di kemudian hari? 😕
*lagi nggak yakin*
Sayah ndak berpolitik
Seumur-umur baru sekali ikut nyoblos.
(Sayah mau nyari podium 3 ajah….
…. hmmm menarik. Bakal ada kurikulum baru… 🙂
“menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?”
wah…wah paman rendra sangat pas menggambarkannya, dan terima kasih untuk paman sawal yang mengutip puisi ini 😀 semoga saja saya tidak masuk golongan itu.
Kewaspadaan paman sawal, mengaitkan politik dengan pendidikan, sangat menyadarkan. Saya yang semula menganggapnya sebagai dua pulau terpisah, ternyata kini adalah dua mata rantai yang terpaut, ah terima kasih
Sepertinya memang, dunia politik dan dunia pendidikan dapat saling tarik ulur (atau bisa juga dipaksakan untuk saling bertarik ulur! ), bisa jadi para politikus menebarkan ‘virus’ politiknya ke dalam sekolah2, namun bisa juga sekolah2 menetralisirnya dengan mengajarkan cara berpolitik yang baik dan bersih. Bagaimanapun juga politik adalah bagian dari kehidupan suatu masyarakat yang realitasnya tidak dapat ditampikkan.
Menurut saya pribadi, politik sedikit demi sedikit perlu diperkenalkan terutama kepada siswa2 yang lebih dewasa, yang penting di sini ditanamkan kepada para calon pemimpin2 bangsa di masa depan kita ini (dengan cara yang sesuai tentu saja), bahwa apapun kebijakan politik yang akan dilaksanakan haruslah sebersih dan seadil mungkin dan bersifat konstruktif bukan bersifat destruktif!
@ hoek:
Ya, memang dulu seringkali guru ikit kampanye untuk parpol tertentu. Mudah2an saja kini nggak ada lagi pemaksaan kepada guru dari pihak2 tertentu untuk mengikuti kampanye. Tugas guru kan ngurusi pendidikan, lha kok diseret2 ke dalam parati politik itu gimana?
Nah, pendidikan politik dalam dunia pendidikan dimaksudkan untuk membangun kesadaran siswa tentang hak dan kewajiban politiknya, bukan untuk melakukan aksi dukung-mendukung, Mas hoek, ya?
OK, mas hoek, makasih, salam.
@ rozenesia:
Pendidikan politik di sekolah bukanlah politik praktis, melainkan pada pendidikan nilai, Mas Roze. Untuk membangun kesadaran tentang pentingnya hak dan kewajiban politik, membiasakan diri berbeda pendapat, dan menghargai sesama. Kira2 begitu, Mas Roze. OK, mas roze, makasih, salam.
@ mbelgedez:
Wow, mau nyari podium 3? Lha kok kayak Valentino Rassi di ajang GP motor aja, hehehehe 😀 Ya, ya, ya, politik mungkin bisa menjadi madu tetapi juga sekaligus bisa menjadi racun, Mas Mbel. Mungkin begitu, yak! OK, makasih Mas Mbel, salam.
@ Kurt:
Nggak harus bikin kurikulum baru, Mas Kurt. Integrasikan saja pada mapel yang relevan. Kalau terlalu banyak terjadi perubahan kurikulum, ntar murid2 malah nggak sempat belajar. Lha iya, guru2nya sering pergi penataran, hehehehe 😀
@ goop:
Sajak2 Rendra memang sering menelanjangi berbagai fenomena sosial yag terjadi, Mas goop. Dunia pendidikan pun kena ditembaknya juga, kan? hehehehe 😀
Politik dalam dunia pendidikan bukan politik praktis lho, ya? Melainkan untuk membangun kesadaran tentang pentingnya hak dan kewajiban politik, membiasakan diri berbeda pendapat, dan menghargai sesama. Kira2 begitu, Mas goop. OK, mas, makasih, salam.
Kasihan ya pak guru, sudah bikin kurikulum, model belajar, evaluasi dan sekarang dituntut mengajar apolitisasi dalam pendidikan.
Gimana dong pak kalau sang guru itu sendiri adalah aktivis partai anu. yang begitu semangat, militan dan apologetik….. (eh apologetik opo ya )
Bagaimana pendidikan di indonesia bisa maju kalau mereka-meraka (politikus) masuk ke dalam dunia pendidikan . Pendidik hanya akan menjadi santapan mereka aja.
Pendidikan bukan untuk berpolitik .Pendidikan berpolitik juga memang perlu diajarkan yaitu berpolitik yang bersih perlu ditanamkan kepada peserta didik . dan Agaknya mereka yang berpolitik juga seharusnya mereka-meraka yang berpendidikan . Hehh !!
Saya setuju sama bapak Yari NK.
@ Yari NK:
Yak, setuju banget Bung Yari. Pendidikan politik yang mencerahkan, bukan politik praktis bergaya vulgar, kasar, dan kotor. OK, Bung Yari, makasih.
@ kurtubi:
Guru mestinya apolitis praktis. Tugasnya kan melakukan pelayanan publik, mendidik anak dari semua kalangan. kalau sudah terkastakan secara politis, wah jangan2 nanti anak dari partai A yang tak sepaham dengan gurunya, meski cerdas anaknya, tetap dikasih nilai ‘ancur. Bisa repot, kan. Harus jelas aturan mainya.
*Siap menjadi guru apolitis praktis, hehehe 😀 *
OK, makasih, Mas Kurt.
@ Bachtiar:
Ya, ya, ya, OK, jawaban sama dengan Bung Yari. Mantap. OK, makasih Mas Bachtiar.
he eh…. apalah saya ini , bagi seorang siswa yang penting saya mempereloh hak saya , masa depan saya .
Pendidikan di satu sisi dan Politik di sisi lain. Dalam kaitan dengan ini saya ingin menekankan istilah Pendidikan Politik, yaitu usaha untuk membuat masyarakat kita tidak buta terhadap apa itu politik, agar mereka tidak dibodoh2i oleh para politikus “nakal”.
Mnurut saya politik tidak mesti kita maknai sebagai sesuatu yang negatif. Jika kita ikut2an memaknai-nya demikian maka para politikus kita akan terus merasa mendapat legalitas untuk tetap melakukan sesuatu yg “negatip” dalam aksi2 politiknya. Kata-kata,”Ini politik bung..!” seolah2 mengajarkan pada kita bahwa pada politik apa pun boleh dilakukan, kalau tidak demikian maka namanya tidak politik. 🙁
Realita memang memperlihatkan prilaku politikus kbanyakan demikian, tetapi bukankah kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi dan membiarkan makna politik ke arah yg negatif semata.
Menurut saya pendidikan butuh peran politik yg semestinya sebagai salah satu usaha untuk memajukannya. Orang2 politk perlu didekati agar mereka pro terhadap pendidikan. Masalah adanya percecokan di dunia pendidikan ternyata tidak lebih banyak diakibatkan oleh masalah kekotoran politik. Tetapi jika keterlibatan dunia pendidikan dimasuki oleh para politikus2 bermotif kekuasaan semata, maka efek munculnya friksi2 dan perebutan massa memang dapat mengakibatkan suasana kurang kondusif.
Jika diarahkan, politik adalah salah satu jalan untuk memajukan dunia pendidikan.
Salam hangat buat p Sawali atas ide diskusi yg menarik ini.. 🙂
@ Herianto:
OK, makasih Pak Heri. Saya setuju banget, Pak. Politik memang harus dimanfaatkan seefektif mungkin untuk meningkatkan marwah dan martabat bangsa. Salah satu di antaranya adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, saya memandang penting bagaimana dunia pendidikan bisa memberikan pembelajaran politik yang benar dan mencerahkan kepada siswa didik. Tujuannya? Ya, seperti yang dikatakan Pak Heri itu. Untuk membuat masyarakat kita tidak buta terhadap apa itu politik, agar mereka tidak dibodoh2i oleh para politikus “nakal”.
Yak, mudah2an para politikus sadar benar bahwa mereka dipilih untuk mengemban *halah* amanat rakyat, bukan untuk membodohi, apalagi hanya sekadar memanfaatkan rakyat untuk kepentingannya an-sich.
OK, makasih banget Pak Heri masukannya, salam hangat kembali.
Politik dan Pendidikan saling membutuhkan, Pak. Susah untuk memisahkan satu dengan yang lainnya.
@ imcw:
Ya, saya kira pendapat Bapak benar karena kebijakan pendidikan pun merupakan produk politik. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Asalkan politik dimanfaatkan untuk membangun dunia pendidikan secara benar, saya kira masa depan negeri ini akan lebih baik daripada masa2 sebelumnya. Sayangnya, yang sering kita lihat belakangan ini banyak aktor dan petualang politik yang belum memihak pada pendidikan.
OK, makasih Pak kunjungannya, salam hangat.
Dalam skala lokal di Kendal Bagaimana pak? Sekedar info, menjelang ditetapkannya PERDA SOTK Dinas P dan K baru bulan depan. sudah ada orang-orang ambisius yang malah mencari dukungan ke politisi untuk dapat jatah kursi di eselon tertentu. Ujung-ujungnya nanti kan jadi alat politik waktu para politisi butuh suara! Bahkan bisa jadi sapi perahan untuk sumber dana kampanye! bagaimana komentar anda???
@ mas ut:
Waduh, waduh, jadi ruwet, ya, Pak Ut. Kalau saya sih masih tetap berpendapat bahwa dunia pendidikan harus terbebas dari reduksi politik semacam itu karena institusi pendidikan (termasuk Dinas P dan K) berfungsi untuk melakukan pelayanan publik. Kalau sudah ada pengkastaan dan diseret-seret ke dalam arus politik, jelas bisa berdampak pada dunia pendidikan. Saya sependapat dengan pak Ut.
Quovadis dunia pendidikan kita kalau kondisinya sudah tercemari oleh limbah politik? Kapan ya, Pak, dunia pendidikan diurus oleh orang-orang yang punya wisdom alias kearifan dan benar-benar memiliki totalitas serta komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, tanpa memiliki pamrih dan iming2 jabatan atau kursi?
He he, postingnya “berat”
Semoga sekarang sudah tidak terjadi lagi 😉
Sangat sulit karena para pelaksana pendidikan itu manusia
mereka juga manusia..
saya denger sih, beberapa kampus di kotaku (Bandung) bahkan sudah jadi basecamp beberapa partai. sering juga sih melihat beberapa teman yang jadi kader partai. kayaknya mereka pun punya impian membangun negeri ini.
tapi menjadi sebuah dilema karena terkadang hanya menjadi pion2 berjalan kalo dirinya tidak memiliki tujuan hidup.
semoga teman2 bisa tetep fokus pada apa yang seharusnya dilakukan dilingkungan kampus dan pendidikan.
@ sigid:
Postingan yang ringan2 saja kok, Pak. Ya, kita harapkan dunia pendidikan kita bisa terbebas dari limbah politik, Pak Sigid. OK makasih, Pak Sigid, salam.
@ imam mawardi:
Hehehehe 😀 Agaknya memang sulit ya Pak Mawardi membebaskan dunia pendidikan dari limbah politik. Tapi asalkan digunakan untuk memajukan dunia pendidikan saya kira nggak masalah. Repotnya kalau dunia pendidikan hanya diperalat. Ini yang mesti diwaspadai. OK, makasih, pak Mawardi. Salam.
@ bakazero:
Wah lha ya itu Mas Boby, kalau mahasiswa yang dulu gencar melancarkan reformasi sudah terkotak2 dalam arena politik. Jadi rentan konflik. Mudah2an saja para mahasiswa kita measih terus memiliki kepekaan untuk menyuarakan nilai2 kebenaran. OK, mas Boby, salam.
Walah ini dia yang bener artikelnya, sorry mas, tak baca dulu.
Bagaimana pendapat mas Sawali tentang akademisi (guru besar pula) yang berpolitik praktis? idealnya sih orang orang seperti Pak Amin dan Pak Yusril bisa jadi panutan tentang bagaimana seorang akademisi berpolitik. Tapi bagaimana pandangan mas Sawali?
@ Wibisono Sastrodiwiryo:
Kalau menurut hemat saya nih, Bu, *halah* kaum intelektual harus kembali ke khitahnya di dunia keilmuan. Tugasnya kan berkaitan dengan kepentingan orang banyak, sehingga harus mampu membebaskan diri dari keinginan untuk berafiliasi ke partai politik tertentu. OK, trims.
heheheh….
buat saya, sah sah saja akademisi jadi politisi, atau sebaliknya. yang repot, kalau pendidikan yang dipolitisir, atau sebaliknya :).
inget pernah diskusi dengan salah seorang dirjen di Diknas yang menurut saya masih punya idealisme cukup kuat. sering, kurikulum ketika disusun oleh pakar2 pendidikan kita, komponennya masih pada bener. tapi toh kurikulum ternyata harus seijin bapak2 kita di DPR. disinilah masalah mulai terjadi, ketika banyak muatan2 titipan yang sifatnya populis. pas lagi rame narkoba, semua treak2 bahaya narkoba, lalu masuklah pendidikan narkoba dalam kurikulum. pada saat rame soal issue korupsi, timbul permintaan agar pendidikan korupsi diajarkan sejak dini. bahkan ketika tsunami menghantam indonesia, issue tsunamipun diminta masuk kurikulum! maka intisari2 pendidikan itu sendiri akhirnya terpinggirkan oleh issue2 populis yang memang dibutuhkan para politisi untuk mengambil hati rakyat. ironinya, kita kok ya ikut menganggukkan kepala 🙁
ketika saya bilang kenapa sebagai dirjen beliau tidak bertindak? ujung2nya kembali kepada posisi sebagai abdi negara yang harus manut atasan, atau kekurangan kekuatan berhadapan dengan politisi2. karena efek perlawanan bisa berefek pada penolakan anggaran pendidikan, etc. sungguh sebuah ironi!
dan satu lagi, jabatan mentri dari dulu memang selalu jabatan politik 🙂
finally? hiduplah Indonesia Raya…!
@ edo:
Itulah ironi yang terus berlangsung di negeri ini, Pak Edo
Saya sih juga nggak antipolitik. Persoalannya, kalau dunia pendidikan terus2an dicemari *halah* limbah politik, so pasti para praktisi pendidikan tak memiliki kebebasan kreatif dalam melakukan inovasi-inovasi yang menguntungkan bagi kepentingan dunia pendidikan. Mereka harus manut pada selera pengambil kebijakan yang jelas-jelas memiliki afiliasi pada partai politik tertentu. Saya setuju jika politik dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu pendidikan, bukan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. OK, makasih Pak edo. Salam.
Koq lama g di update?.. Pada kemane neh,…
ho ho ho… virus politik..
makasih infonya gan..
sangat menarik dan bermamfaat..
salam kenal dan salam sukses