Revitalisasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah

Sebagai bahasa resmi (negara), usia bahasa Indonesia sudah mencapai bilangan ke-62 tahun. Bahkan, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah berusia 79 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat “kematangan” dan “kesempurnaan” hidup, sebab sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah. Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar pun pemerintah telah menempuh “politik kebahasaan” dengan menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.

Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?

karikatur.gifSementara itu, jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para penuturnya masih dihinggapi sikap inferior (rendah diri) sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing –padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan, juga telah menunjukkan perhatian yang cukup besar dan serius dalam upaya menumbuhkembangkan bahasa Indonesia. Melalui “tangan panjang”-nya, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), pemerintah telah meluncurkan beberapa kaidah kebahasaan baku agar dapat dijadikan sebagai acuan segenap lapisan masyarakat dalam berbahasa Indonesia, seperti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum pembentukan Istilah (PUPI), Tata Bahasa Indonesia Baku (TBIB), maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan susah-payah itu tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak. Pemakaian bahasa Indonesia bermutu rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari penuturnya.

Bahasa Kedua
Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa masyarakat seolah-olah cuek dan masa bodoh terhadap segala macam kaidah kebahasaan yang telah ditetapkan sebagai acuan?

Menurut hemat penulis, setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang cukup mendasar. Pertama, dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Indonesia hanyalah merupakan bahasa kedua setelah bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Keadaan semacam ini, paling tidak ikut memengaruhi rendahnya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan penutur terhadap bahasa Indonesia, sebab mereka telah terbiasa bertutur dengan menggunakan kerangka berpikir bahasa daerah, sehingga menjadi “gagap” ketika mereka harus menggunakan bahasa Indonesia secara langsung.

Kedua, kesalahan dalam berbahasa Indonesia lolos dari jerat hukum. Tampaknya tak ada sebuah ayat pun dalam hukum kita yang memberikan perhatian terhadap para penutur yang dengan sengaja “merusak” bahasa. Akibatnya, mereka bisa leluasa dalam mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya, tanpa ada rasa takut terkena denda atau sanksi apa pun.

Kedua sebab mendasar tersebut diperparah lagi dengan masih banyaknya tokoh masyarakat tertentu yang seharusnya menjadi anutan, tetapi nihil perhatiannya terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam situasi masyarakat paternalistik seperti di negeri kita, keadaan semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan, sebab masyarakat akan ikut latah, beramai-ramai meniru bahasa tutur tokoh anutannya sebagai bentuk penghormatan dalam versi lain.

Revitalisasi
Selain kondisi yang kurang kondusif semacam itu, bobot dan mutu pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah pun tak henti-hentinya dipertanyakan. Hal ini memang beralasan, lantaran sekolah diyakini sebagai institusi yang diharapkan mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki kebanggaan terhadap bahasa nasional dan negaranya, berkedisiplinan dan berkesadaran tinggi untuk berbahasa yang baik dan benar, serta punya penghargaan yang memadai terhadap bahasa Indonesia.

Namun, yang terjadi hingga saat ini, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dinilai belum menunjukkan hasil optimal seperti yang diharapkan. Proses pembelajarannya berlangsung timpang; seadanya, tanpa bobot, dan monoton sehingga peserta didik terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku dan membosankan. Singkatnya, pembelajaran bahasa Indonesia masih memprihatinkan hasilnya. Keterampilan berbahasa siswa rendah sehingga tidak mampu mengungkapkan gagasan dan pikirannya secara logis, runtut, dan mudah dipahami.

Keadaan semacam itu jelas sangat memprihatinkan kita semua, sebab –seperti dikemukakan J.S. Badudu (1994)– bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang sangat penting bukan saja karena bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang terpenting dalam masyarakat, melainkan juga karena penguasaan bahasa Indonesia yang baik akan sangat membantu siswa dalam memahami mata pelajaran lain yang menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin seorang siswa mampu belajar fisika, matematika, biologi, atau kimia, kalau penguasaan bahasanya nol.

Kondisi pembelajaran bahasa Indonesia yang demikian memprihatinkan, mau atau tidak, mengharuskan kita untuk melakukan langkah “revitalisasi”, yaitu dengan menghidupkan dan menggairahkan kembali proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah didukung semangat guru yang profesional dan gairah siswa yang terus meningkat intensitasnya dalam belajar dan berlatih berbahasa.

Langkah “revitalisasi” yang mesti ditempuh, di antaranya, pertama, menciptakan dan mengembangkan profesionalisme guru. Upaya menciptakan profesionalisme hendaknya dimulai sejak calon guru menempuh pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) agar kelak setelah benar-benar menjadi guru tidak asing lagi dengan dunianya dan siap pakai. Jelas, tuntutan ideal semacam ini bukan tugas yang ringan bagi LPTK, sebab selain harus mampu mencetak lulusan yang punya kemampuan akademik tinggi, juga harus memiliki integritas kepribadian yang kuat dan keterampilan mengajar yang andal.

Kedua, guru hendaknya tidak terlalu banyak dibebani oleh tuntutan kurikulum yang dapat “memasung” kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran bahasa bukanlah untuk menjadikan siswa sebagai ahli bahasa, melainkan sebagai seorang yang dapat menggunakan bahasa untuk keperluannya sendiri, dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya apa yang ada di luar dirinya dari mendengar, membaca, dan mengalami, serta mampu berkomunikasi dengan orang di sekitarnya tentang pengalaman dan pengetahuannya. Ini artinya, guru harus diberikan keleluasaan untuk mengekspresikan kreativitas mengajarnya di kelas sehingga mampu menciptakan atmosfer pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Hal ini bisa terwujud jika kurikulum tidak semata-mata dijadikan sebagai “kitab suci” yang secara “zakelijk” harus diterapkan di kelas, tetapi juga perlu dikembangkan dan dieksplorasi secara kreatif sehingga pembelajaran benar-benar bermakna bagi siswa didik.

Ketiga, buku paket yang “wajib” dipakai hendaknya diupayakan untuk dicarikan buku ajar yang sesuai dengan tingkat kematangan jiwa dan latar belakang sosial-budaya siswa. Hal ini perlu dipikirkan, sebab bahan ajar yang ada dalam buku paket dinilai belum sepenuhnya mampu menarik minat dan gairah siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.

Dan keempat, guru bahasa bahasa hendaknya diberi kebebasan untuk mengembangkan kreativitasnya di sekolah secara bebas dan leluasa, tanpa harus diindoktrinasi dengan berbagai macam bentuk tekanan tertentu yang justru akan menjadi kendala dalam mewujudkan situasi pembelajaran yang ideal.

“Revitalisasi” tersebut hendaknya juga diimbangi pula dengan peran-serta masyarakat agar bisa menciptakan sauasana kondusif yang mampu merangsang siswa untuk belajar dan berlatih berbahasa Indonesia secara baik dan benar, dengan cara memberikan teladan yang baik dalam peristiwa tutur sehari-hari. Demikian pula media massa (cetak/elektronik) hendaknya juga menaruh kepedulian yang tinggi untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah kebahasan yang berlaku.

Jika langkah “revitalisasi” di atas dapat terwujud, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah bukan mustahil diraih, anjuran pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada seluruh masyarakat pun tidak akan bersifat sloganistis. Bahkan, mungkin pada gilirannya nanti bahasa Indonesia benar-benar akan menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang wibawa dan punya prestise tersendiri di era globalisasi, luwes dan terbuka, dan para penuturnya akan tetap bangga dan setia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah derap peradaban zaman. Sebab, jutaan generasi yang memiliki kebanggaan dan kecintaan terhadap bahasa nasional dan negaranya akan lahir dari sekolah. ***

No Comments

  1. Beginilah nasib bahasa indonesia kita.Jangankan siswa,pak.Para pejabat aja sepertinya lupa bahwa bahasa menunjukkan bangsa.Mereka lebih bangga mengunakan bahasa asing daripada bahasa negeri sendiri.Biar keren kali…

    Bicara berbahasa Indonesia dengan baik dan benar,saya sendiri masih perlu belajar lebih lagi untuk itu.

    Ide yang cemerlang,pak.Moga apa yang di sampaikan dan di harapkan dapat terwujud.

  2. *Lagi begadang rupanya, ya, Mbak*
    Betul, Mbak Hanna. Agaknya para pejabat tuh malah lebih suka pakai bahasa asing ketimbang bahasa sendiri. Wah, bagaimana rakyatnya kalau gitu, hehehehe 😀
    Ya, paling tidak ada perubahan sedikit demi sedikitlah, gitu!

  3. :mrgreen:
    ah ya…saia sama pak sawali seferti ada ikatan afa ya…ko tiaf fosting hamfir selalu berbarengan…^^
    “Akibatnya bisa ditebak. Pemakaian bahasa Indonesia bermutu rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya.”
    *tersindir sangadh*
    *ngafurancang*
    maafkan saia saya pak…tapi, saya sudah terbiasa menggunakan gaya penulisan yang kacau, afalagi apalagi dalam berbicara..haduh….

  4. Hehehehe 😀 Asa benarnya juga Mas Hoek, ya?
    *Nggak usah merasa tersindir dan ngapurancang*
    Ragam bahasa blog mah perlu dibedain dengan ragam bahasa yang lain, seperti jurnalistik atau ragam bahasa resmi yang lain. Bukankah blog itu bersifat personal? Jadi sah2 saja pakai bahasa takbaku. Bagaimana, setuju, Mas Hoek?

  5. @ hoek

    Huahahaha… hoek kena ‘tembak’ pak Sawali! :mrgreen: Tapi don’t worry hoek… you are not sendiri yang bahasa Indonesianya broken kok! :mrgreen:

    MODE serius ON

    Sebenarnya masih banyak harapan bagi bahasa Indonesia untuk diapresiasi oleh bangsanya sendiri dan juga oleh bangsa-bangsa lain. Caranya? Paling efektif tentu saja kalau bangsa kita ini menjadi maju dalam bidang ekonomi, industri, teknologi dan budaya. Lihat aja bahasa Mandarin yang 30 tahun lalu masih dianggap sebelah mata, kini banyak orang yang ramai2 mempelajarinya, bukan hanya di negeri ini saja tapi juga di luar negeri. Juga bahasa Jepang, yang dari dulu udah maju, bahkan Jepang juga berhasil sukses menyusupkan budaya mereka (bukan hanya bahasanya saja) ke film-film Hollywood. Lihat saja berapa banyaknya film2 hollywood yang diproduksi yang bertemakan ninja, karate, samurai dan lain-lain, itu menandakan bahwa banyak orang Amerika yang terpesona oleh budaya negeri matahari terbit tersebut, dan lewat budaya orang Jepang juga berhasil menyusupi bahasa mereka ke AS, ini bisa dilihat betapa banyaknya buku-buku pelajaran bahasa Jepang terbitan Amerika. Begitupula dengan bahasa Mandarin (dan Korea). Dengan cara itu seyogianya bahasa Indonesia juga bisa meraih kehormatannya di negeri sendiri dan di negeri orang. 😀

  6. Selamat Pagi,salam kenal.Menurut hemat saya kemajuan bahasa sebuah negara tergantung kepada hal:

    1.Bagaimana cara bangsa itu mengapresiasi bahasanya sendiri
    2.Kemajuan budaya,teknologi dan ekonomi bangsa tersebut
    3.Jumlah suku bangsa tsb yang tersebar di seluruh dunia

    Nampaknya tiga syarat di atas yang dipenuhi negara Tiongkok saat ini ( harus dibedakan dengan B.Inggris yang berkembang akibat kolonisasi dan kemajuan teknologi ).

    Cerita tentang aprisiasi terhadap bahasa,nampaknya pemakai Bahasa Indonesia harus diberi nilai (maaf) kurang termasuk saya sendiri.Coba bayangkan, akibat malas menulis panjang atau dengan alasan untuk menghemat ruang banyak singkatan2 yang tidak lazim muncul di media resmi yang banyak dibaca publik.Misalnya miras(minuman keras ),senpi ( senjata api ) dan masih banyak lagi singkatan yang kadang2 membingungkan pembaca.Mungkin suatu hari kita akan mambaca “kata” seperti TKYP! ( Terima Kasih Ya Pak! ),bingungkan Pak? MYP! ( Maaf Ya Pak!),semakin bingungkan ? Terima kasih Pak!

  7. Hi3, pak sawali tau aja nih.Sama2 begadang kan ?.Posting tulisannya jam satu liwat dini hari.Salut sama bapak.Asal jangan sampe terngantuk-ngantuk di kelas yo.

  8. saya masih amat bangga berbahasa Indonesia
    walopun ga selalu dalam tiap kesempatan

    yg jadi kendala buat saya sekarang ini
    belum adanya layanan KBBI dan acuan lain yg online, pak
    padahal itu penting banget lho

  9. Gak gaul kalo bhs indonesia kt mereka, kadang liat aja kalo ngomong campuran bhs indonesia dan inggris jadi lucu dan rancu dan mereka-pun bangga padahal.???

  10. @ Yari NK:
    Saya setuju, Bung. Tidak ada salahnya kita meniru dan mengadopsi bagaimana bahasa Jepang dan Mandarin sekarang ini bisa mendunia. Agaknya memang dibutuhkan “politik kebahasaan” agar BI tidak hanya sekadar jadi bahasa komunikasi di negeri sendiri, tetapi juga di mata dunia.

    @ Yung Mau Lim:
    Betul sekali, kawan, apresiasi pemakai bahasa Indonesia sendiri agaknya memang masih rendah tuh. Gejala penyingkatan dan akronimisasi memang sudah muncul sejak lama. Asalkan digunakan sesuai dengan situasi dan konteksnya mungkin masih bisa dimaklumi. Mengenai penyingkatan dan akronimisasi kan sudah jelas aturannya. Jadi, sebenarnya nggak bisa penutur membuat singkatan menurut seleranya sendiri :mrgreen:

    @ Hanna:
    OK, makasih, Mbak Hanna. Ngeblog jangan sampai lupa mengajar, hehehehe 😀

    @ caplang™:
    Sebenarnya di internet dan blog juga sudah ada yang membahas tentang masalah kaidah kebahasaan ini, Bung, seperti websitenya Pusat Bahasa.
    OK, salut buat Bung Caplang yang masih tetap memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia karena memang begitulah seharusnya. *salut*

    @ dwi Yanto:
    Wah, pandangan seperti itu, Pak, yang menghinggapi generasi sakini. Mereka merasa inferior untuk menggunakan bahasa Indonesia. Belum afdol rasanya kalau belum diselipi dengan setumpuk istilah asing.

    @ kangguru:
    Apa betul begitu Kangguru, ya? Saya kira itu relatif dan faktor kebiasaan saja. Mereka yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia secara enjoy saya kira nggak masalah. Yang agak sulit mungkin pada ketatabahasaannya, ya, Kangguru? Dan itu memang harus diakui karena menyangkut kaidah yang lebih rumit dan kompleks.

  11. menyelipkan setumpuk istilah asing –padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

    Menyelipkan setumpuk istilah asing sudah menjadi seperti candu Pak. Betul sekali yang dikemukakan bapak, ada kecenderungan apabila seseorang menggunakan istilah-istilah asing dalam kalimatnya, maka dia akan dianggap lebih sophisticated (ha ha, nyelipkan istilah asing juga ah :mrgreen: ).

    Hal serupa juga terjadi dalam dunia perdagangan dimana produk yang memakai merek berbahasa asing memiliki kesan sebagai produk yang mewah dan bukan ecek-ecek (saya rasa). Hal ini terlepas dari produk tersebut memang buatan luar negeri atau produk dalam negeri.

  12. oh ada toh situsnya?
    wah brati saya yg ketinggalan dong, pak 😀

    mengenai istilah asing yg diselipkan ini
    saya menganggap karena padanan kata yg ‘telat’ datengnya
    bahasa Indonesia kurang cepat tanggap
    ato ahlinya yg kurang?

    saya sendiri lebih suka menulis dan berbicara dng bahasa
    tapi kalo seting hape ato kompie ya tetep enak linggis
    karena itu tadi, padanan katanya belum pas menurut saya

  13. “setuju, Mas Hoek?”
    setuju sangadh donk pak!!! :mrgreen:
    _____________________________________
    ah ya, seferti kata yung mau lim, kalo bgitu bagaimana pak? soal miras, senpi, sajam? saia rasa hal itu fun juga termasuk “merendahkan” bahasa itu sendiri? atau, dianggap sebaliknya?

  14. @ sigid:
    Ya, boleh jadi lantaran masyarakat kita saat ini sudah demikian tersugesti oleh produk2 kaum kapitalis. Semua yang berbau asing seolah-olah telah menjadi jaminan mutu. Merk dagang pun seringkali merasa lebih afdol jika menggunakan istilah asing. Ini juga tak lepas dari masyarakat sendiri sebagai konsumen yang telah kadung mendapatkan citra bahwa produk luar negeri lebih bermutu ketimbang produk dalam negeri. Wah, bahasa ternyata memberikan dampak luas dan kompleks, ya, Pak Sigid.

    @ caplang™:
    Hehehehe 😀 Iya sih. Bung Edi Caplang bisa melihatnya di http://www.pusatbahasa.depdiknas.go.id/ atau di http://pelitaku.sabda.org/ atau http://polisieyd.blogsome.com/
    Betul, Bung, seringkali istilah asingnya meluncur lebih dulu ketimbang padanannya. Ini juga tak lepas dari peran Pusat Bahasa yang seringkali terlambat dalam merespon masalah kebahasaan.

    @ Imam Mawardi:
    Hahahaha 😀 Pak Mawardi ketahuan nih Jawa aslinya, hehehe. Memang ada kalanya secara kultural kata2 bahasa Jawa terasa lebih indah ketimbang bahasa Melayu, ya, Pak. Tapi bagi saudara-saudara kita yang lain jelas punya nilai rasa yang berbeda lagi. Apalagi kalau sudah masuk pada tataran tata bahasa dan struktur. Wah, bahasa Jawa, menurut hemat saya, lebih rumit, Pak, hehehehe 😀

    @ hoek:
    Hahahaha 😀 Ya, mesti setuju, gitu loh.
    Akronim dan penyingkatan saya kira tidak merendahkan bahasa Indonesia sepanjang pembentukannya mengikuti kaidah yang berlaku.

  15. Sangat setuju saya dengan ohm Sawal…
    Saya kasihan juga mengingat JS. Badudu di Dadu (ini nama lengkap beliau bukan??), untunglah saat ini ada ohm Sawal…

    Dukung ohm Sawal

    *pegang tongkat saya, dan berdiri dibelakang ohm Sawal*

Tinggalkan Balasan ke kangguru Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *