Cerpen: Sawali Tuhusetya
Bilik Sarkawi yang sumpek, singup, dan gelap diselimuti asap dupa. Baunya yang khas berbaur aroma kembang telon dan minyak serimpi menyedak hidung. Sarkawi merasakan pikirannya hanyut dan tenggelam dalam arus percumbuan yang ganjil. Melayang-layang. Sepotong kepala yang tergantung dalam bilik itu tampak menjelma bagai wajah bidadari. Anggun, cantik, memesona, putih bercahaya, memancarkan aura kegaiban. Sarkawi merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Diusapnya sepotong kepala itu lembut. Mesra. Darah Sarkawi berdesir. Ada sebuah kekuatan aneh yang tiba-tiba muncul dari balik kepala itu, lantas merayap-rayap dan menjalar bersama aliran darah Sarkawi. Lelaki kurus itu tersenyum penuh makna. Ia paham, sinyal itu memberi isyarat bahwa ia harus segera bersiap memasuki pengembaraan batinnya.
Sembari duduk bersila takzim, mulut Sarkawi mulai komat-kamit merapal mantra. Tidak jelas benar apa yang meluncur dari balik bibirnya yang pucat itu. Lantas dengan gerak refleks, ia segera melolos sisir dari balik saku baju kumalnya. Sekali lagi, dengan lembut dan mesra, wajah sepotong kepala dibelainya seperti memperlakukan seorang kekasih. Rambut sepotong kepala yang menjuntai ke bawah itu disisirnya pelan-pelan. Sarkawi tersentak.
“Di mana gembungku? Ayo kembalikan!”
Suara itu bergaung di gendang telinga Sarkawi menghiba-hiba, menggetarkan sukma. Suara rintihan yang meluncur dari sebuah penderitaan dan ketersiksaan. Entah! Tiba-tiba saja tubuh Sarkawi bergetar. Dadanya berdebar-debar. Keringat dingin meleleh di sekujur tubuh. Namun demikian, jemari tangannya masih terus mempermainkan sisir di sepotong kepala itu. Bersamaan dengan itu, suara-suara yang merintih penuh luapan penderitaan dan ketersiksaan terus membombardir gendang telinganya. Bersambung-sambungan.
Kini, tubuh Sarkawi menggigil dahsyat. Sepotong kepala yang tengah disisir rambutnya itu mendadak menjelma menjadi berpuluh-puluh potong kepala yang berserakan di lantai biliknya. Seperti digerakkan sesuatu yang gaib, secepat kilat, berpuluh-puluh potong kepala itu menyerbu Sarkawi. Ada yang menjilati daun telinga, bibir, dada, perut. Tidak luput, daerah kemaluannya pun diserbu juga. Tubuh Sarkawi tampak tertutup rapat oleh puluhan potong kepala.
Sementara itu, suara rintihan yang penuh penderitaan dan ketersiksaan terus-terusan mendesing di gendang telainganya, bahkan semakin menghebat. Baju kumal yang menempel di tubuhnya basah oleh keringat dingin. Samar-samar, telinganya menangkap suara yang begitu wibawa dari mulut Ki Maruto, dukun yang pernah menjanjikan harapan hidup bagi dirinya.
“Kosongkan pikiranmu, Ngger! Apa pun yang terjadi di sekelilingmu, kamu harus tabah! Lakukan terus seperti yang pernah aku jelaskan!”
Suara Ki Maruto dengan cepat menghilang di balik kegelapan. Sarkawi mencoba bergeming. Ia biarkan puluhan potong kepala itu menggigit dan menjilati sekujur tubuhnya. Jemarinya terus mempermainkan sisir di atas sepotong kepala yang tergantung di depan hidungnya. Namun demikian, telinganya belum sanggup menepiskan suara-suara rintihan yang memberondong dinding nuraninya. Bahkan, puluhan potong kepala itu semakin cepat dan kuat menggigit dan menjilati sekujur tubuhnya.
***
Sarkawi memang lelaki malang. Usianya yang sudah hampir menginjak kepala empat, ia belum bermimpi untuk hidup berumah tangga. Bukannya tidak mau, tapi Sarkawi tahu diri. Dalam kondisi hidup yang serba kesrakat, perempuan mana yang sanggup hidup bersama dirinya? Apalagi, secara fisik, ia memiliki tubuh yang kurang sempurna. Kakinya pincang, besar sebelah. Telapak tangan kirinya buntung, tanpa jari. Bola mata kirinya tertutup rapat seonggok daging yang menggelambir tepat di keningnya. Tidak mengherankan kalau Sarkawi selalu berada di pihak yang dikalahkan setiap kali bergaul dengan teman-teman sekampungnya. Jadi bahan olok-olok dan ledekan.
Sarkawi sakit hati. Ia benar-benar merasa menjadi orang yang tersingkir dan disingkirkan. Kadang ia menggugat Tuhan yang dianggap tidak adil memperlakukan dirinya. Sebuah tindakan yang mendekati keputusasaan.
Seumur-umur, hanya almarhum ayahnya yang dianggap gencar mengayomi Sarkawi dari hujatan dan cercaan orang-orang. Ayahnya bisa tampil garang kalau ada orang yang mencoba mempermainkan Sarkawi. Sarkawi benar-benar tersanjung dan “dimanjakan” di mata ayahnya. Tapi sayang, sang ayah keburu dijemput maut saat Sarkawi masih butuh banyak pembelaan dan pengayoman.
Batin Sarkawi benar-benar terpukul. Ia seperti berada di sebuah tepi jurang yang terjal. Terpeleset sedikit saja, ia akan tersungkur, jatuh. Beruntunglah ia bertemu Ki Maruto, seorang dukun yang menjanjikan harapan hidup bagi dirinya.
“Setiap manusia diberi wewenang mbudi-daya, Ngger!” ujar Ki Maruto suatu ketika, penuh wibawa. “Tubuhmu yang cacat bukan halangan untuk hidup lebih baik.” Kata-kata Ki Maruto menyejukkan nurani Sarkawi. Ia betul-betul terkesan dengan lelaki tua renta bertubuh cebol itu. Jadilah Sarkawi “cantrik” Ki Maruto. Lewat sentuhan “gaib”-nya, Sarkawi digembleng dengan berbagai pelatihan olah batin dan tirakat. Sarkawi sering diajak Ki Maruto menepi ke tempat-tempat yang wingit dan angker.
Bermalam di tengah kuburan merupakan rutinitasnya. Sarkawi juga disuruh untuk melakukan puasa mutih – makan nasi tanpa garam—selama empat puluh hari. Dan pada hari yang terakhir, Sarkawi harus melakukan patigeni –menepi di tempat gelap yang tidak tertembus sinar matahari.
Laku yang berat memang. Namun, tekadnya yang bulat untuk dapat mengubah garis hidup telah membikin Sarkawi tebal nyalinya. Hingga suatu ketika, ia disuruh mencuri sepotong kepala mayat perempuan tetangganya yang meninggal hari Selasa Kliwon. Caranya pun aneh. Sarkawi tidak boleh melakukannya sembarangan, tapi harus membuat lorong bawah tanah, mulai dari biliknya sampai ke tempat mayat itu dikubur. Gila! Ternyata Sarkawi dapat demikian mudah melakukannya. Seperti “petunjuk” Ki Maruto, sepotong kepala itu harus digantung dalam bilik yang tertutup rapat, gelap, dan tak tertembus sinar matahari.
“Itulah srana untuk dapat cepat kaya, Ngger!” bisik Ki Maruto secara gaib di telinga Sarkawi. “Yang perlu diingat, saben malam Jumat, kamu harus rutin memandikannya dengan asap kemenyan, kembang telon, dan minyak srimpi! Kalau ia menangis mencari gembungnya, suruhlah ia memenuhi dulu bilikmu dengan bertumpuk-tumpuk dhuwit!”
***
Para penduduk kampung tercengang melihat perubahan drastis hidup Sarkawi. Lelaki cacat-kesrakat yang pernah jadi bahan olok-olok dan ledekan itu kini kaya mendadak. Dalam tempo singkat, ia berhasil membangun rumah gedong megah berlantai keramik. Perabotnya tergolong mewah. Ia pun tak segan-segan menyumbangkan sebagian dhuwitnya untuk keperluan kampung, membangun masjid, atau memperbaiki jembatan. Karuan saja, nama Sarkawi menjadi perbincangan hangat di mana-mana.
Namun demikian, perubahan mendadak itu membikin orang-orang kampung penasaran. Mereka ingin tahu, dari mana Sarkawi memperoleh kekayaannya. Orang-orang kampung mulai kasak-kusuk. Berbagai prasangka jelek mulai meluncur.
“Ah, mokal toh, Kang! Sarkawi itu kerjanya apa, hem? Kalau tidak cari pesugihan dari mana dia bisa kaya mendadak?” celetuk Pargun serius di sela-sela kerumunan warga kampung di gardu poskamling. Mereka saling bertatapan.
“Ya, jangan terus berprasangka buruk seperti itu, toh! Siapa tahu, dia menjual tanah warisan!” sahut Ramijo tak kalah seriusnya.
“Alah! Warisan apa? Ayahnya itu tak mewarisi apa-apa! Kayak kita nggak tahu saja!” Timpal Pargun bersungut-sungut. Yang lain menimpali. Riuh. Perbincangan semakin hangat, bahkan kadang memanas. Warga kampung kian tenggelam dalam alur perdebatan hingga larut malam, sampai akhirnya mereka kehabisan alasan untuk berdebat.
Sementara itu, malam mulai larut. Tak ada yang berubah di kampung itu. Gelap. Sepi. Letaknya yang terpencil, tampaknya telah membuat desa di tepi hutan jati itu nyaris tak tersentuh kemajuan. Nglangut. Namun demikian, malam ini seantero kampung seperti tersihir ketakutan. Lolongan serigala, tidak seperti biasanya, seperti memanggil-manggil arwah gentayangan dari tengah hutan jati sana. Sesekali, melintas rombongan binatang malam yang terbang di atas rumah-rumah penduduk. Cuaca dingin membeku. Suara serangga malam berirama aneh, membangkitkan bulu kuduk. Jubah malaikat maut seperti tengah dikembangkan memayungi perkampungan.
Tiba-tiba saja bau bangkai yang busuk menyembur-nyembur. Merayap-rayap di sela-sela dinding rumah penduduk. Serentak, orang-orang kampung terbangun. Seisi rumah saling bertatapan, saling tanya, memastikan apakah hidung mereka juga mencium bau busuk? Semakin lama, bau busuk itu kian menusuk-nusuk hidung. Sebagian penghuni rumah sibuk memburu sumber bau busuk itu di kolong-kolong tempat tidur kalau-kalau ada bangkai tikus atau kodok. Namun, mereka tak mendapatkan apa-apa.
***
Fajar memecah di ufuk Timur. Bau busuk kian dahsyat menyengat hidung. Antartetangga saling curiga dan saling tuduh, dianggap tak becus menjaga kebersihan lantaran membiarkan bangkai binatang mengendon di rumahnya. Namun, mereka juga saling mengelak. Kampung gempar. Para penduduk beramai-ramai memburu sumber bau busuk itu. Masing-masing menajamkan kepekaan indra penciumnya. Sambil mengucak-ucak mata yang masih lekat dengan sisa-sisa mimpi, para penduduk berbondong-bondong bagaikan kerumunan manusia purba yang hendak menantikan hukuman para dewa. Seperti dibimbing oleh tangan-tangan gaib, para penduduk menuju ke rumah gedong Sarkawi yang megah. Aneh! Bau busuk itu kian mendesing-desing di lubang hidung. Sebagian penduduk yang tidak tahan langsung muntah-muntah.
Para penduduk berjubel di sekitar rumah Sarkawi sambil menutup rapat-rapat lubang hidungnya. Mereka yakin, di rumah Sarkawi itulah sumber bau busuk menyembur-nyembur. Di rumah gedong itu tampak tak ada tanda-tanda kehidupan. Sarkawi yang biasa bangun pagi juga tidak tampak batang hidungnya.
“Sarkawi, ayo keluar Sampeyan!” teriak penduduk beramai-ramai. Tak ada sahutan. Pintu rumah gedong itu tetap terkunci rapat.
Akhirnya, para penduduk menjebol pintu rumah Sarkawi. Seperti disentakkan, para penduduk beramai-ramai menyerbu rumah Sarkawi. Semua pintu kamar dijebol. Ketika beberapa penduduk menjebol daun pintu bilik paling belakang, mereka berteriak histeris. Mereka melihat tubuh Sarkawi telah terbujur kaku. Dari lubang hidung, telinga, dan mulutnya tak henti-hentinya mengeluarkan ratusan cacing tanah yang terus menggeliat menutupi sekujur tubuhnya. Sementara itu, dalam bilik yang gelap itu tergantung sepotong kepala yang telah berubah jadi tengkorak.
Para penduduk berlarian lintang-pukang. Entah! Khayalan apa yang berada di balik kepala mereka. ***
(Catatan: Cerpen ini pernah dimuat di Suara Merdeka, 15 Agustus 1999)
Wah, lagi-lagi cerpen yang menarik, Pak.
Lagi-lagi saya terseret ke latar cerita. Lagi-lagi juga saya hanyut terbawa oleh alur cerita. Saya seperti tak henti untuk terus membaca sampai ludes cerpen ini. Hehehe… 😀
Tapi, lagi-lagi saya penasaran dengan ending cerpen buatan Pak Sawali ini. 😀
Oh, iya. Nambah koment nih Pak (maaf klo OOT).
Saya juga pengen bisa menulis cerpen. Cerpen yang menarik, yang bikin pembaca tersihir untuk terus membaca sampai habis. Gemana caranya ya? (Ah saya coba-coba aja deh segera bikin. Tapi cerpennya yang ada bau-bau matematikanya, bukan bau-bau kemenyan seperti cerita Sarkawi ini. Boleh kan Pak?). Selama ini saya bikin cerita-cerita, apakah bisa disebut cerpen ya? 😀
Bagus bangat ceritanya,pak.Salut.Meski agak panjang tapi membuat pembaca tidak ingin berhenti membaca.Oh ya, saya bukan pemerhati cerpen, pak.Kebetulan saya senang membaca cerpen atau puisi, he he he.Sekali-kali postingin juga dong puisi bapak, boleh ya ?
@ mathematicse:
Terima kasih Pak Al-Jupri atas apresiasinya.
Saya sering baca cerita matematika Pak Al-Jupri. Tokoh Tom masih sangat kuat dalam benak saya. Tampilkan tokoh itu terus untuk memperkenalkan pernak-pernik matematika, itu cukup bagus dan menarik. Menurut hemat saya cerpen2 Pak Al-Jupri yang membicarakan masalah matematika bisa digolongkan sebagai cerpen science-fiction. Mengungkap persoalan keilmuan dengan menggunakan bentuk cerpen. Di Indonesia, cerpen2 semacam itu masih tergolong langka, Pak. Kalau dibukukan pasti akan banyak peminatnya.
Kalau resep saya dalam bikin cerpen sih biasanya saya letakkan kejutan2 atau surprise pada paragraf pertama sebagai gerbang masuknya cerita. Jika paragraf pertama ada surprisenya biasanya ada kecenderungan pembaca untuk mengikuti kelanjutan ceritanya.
OK, Pak, saya tunggu cerita2 matematika selanjutnya.
Salam.
@ Hanna:
Makasih Mbak Hanna atas apresiasinya.
Wah, kalau puisi gimana, ya, Mbak. Sejak dulu aku tuh belum pernah bikin puisi. Kalau mosting puisi takut ditertawakan Mbak Hanna, hehehehe 😀 Saya hanya senang mengapresiasi dan menganalisis puisi. Kalau bikin, nggak sebagus buatan Mbak Hanna atau Mbak Fira.
OK, salam hangat.
Wele,saya masih dalam proses belajar.Tulisan saya masih jauh tuk di katakan bagus.Apalagi tuk puisi.Mana berani menertawakan bapak,hi3.Bisa-bisa benjol kepala saya.Saya hanya senang mengikat kata,mengores pena, tanpa mengerti nilai sastranya.Wah, kalau memungkinkan saya sangat ingin belajar sastra.Senang deh baca cerpen bapak yang bukan hanya kaya dengan nilai sastra tapi hampir menjadi sebuah cerpen yang hampir sempurna.Ada telling,showing, juga ada action.Alur dan plot ceritanya okey.
Btw, sekali-kali boleh ya muatin, please ??? Pengen baca puisi bapak, saya yakin pasti bagus.Dan saya dengan segala kerendahan hati saya, saya mengatakan saya tidak berani dan tidak akan menertawakan sebuah tulisan apapun hasilnya.Karna sebuah hasil karya patut kita hargai.Agak maksa ya,pak.He3.Maaf ya.Salam hangat.
Hehehehe 😀 Kreativitas kok dipaksakan, hahaha 😀 Okelah, Mbak, tunggu di postingan yang entah ke berapa. Tapi saya cenderung menyukai puisi naratif, lho!
*absen dulu pak.. baca belakangan*
😆
Wah Pak Sawali rupanya sedang terobsesi dengan potongan-potongan kepala ya? Huehehehe…..
Tetapi kali ini ending dari cerita ini berbeda dalam menghayati endingnya dari cerita sebelumnya. Kali ini ending ceritanya memerlukan imajinasi yang tinggi dari para pembacanya (baca: saya!) agar dapat menghayati ending dari cerita ini.
Terus terang kali ini saya masih mencari-cari ending yang pas untuk cerita ini, bukan karena cerita ini kurang menarik, atau karena termasuk cerita mistik, bukan itu, tetapi karena kali ini daya imajinasi pak Sawali benar-benar jauh meninggalkan pesat daya imajinasi saya!
😀
info tambahan:
Maksud saya mencari-cari ending yang pas maksudnya adalah masih berusaha mengerti ending dari cerita tersebut. Huehehe… 😀
Cara penulisan yang enak dicerna.
Mengupas secara tajam, dengan kalimat – kalimat sastra yang memasyarakat. Oke banget, Pak. Bravo !
Pak, mau minta tolong. Kalo masukin clusterMaps / globetrackr atau Banner itu gimana, ya? Maklum saya masih awam dalam dunia blog.
Terima kasih.
Selamat berpuasa.
suerem bang……..lagi2 potongan kepala………..
*begidik*
tapi bener2 buagus sampai terbawa dalam cerita……..
@ almascatie:
OK, Mas, trims.
@ Yari NK:
Wah, terima kasih, Bung yari atas apresiasinya untuk cerpen ini. Terus terang saja, dalam membuat cerpen saya tidak mau membelenggu pembaca untuk terpaku pada ending cerita tertentu. Pembaca, bagi saya, perlu diberikan ruang penafsiran untuk membuka berbagai kemungkinan ending cerita.
Ok, makasih sekali lagi Bung Yari.
@ Orang Awam:
OK, trims, kawan.
Masukin clusterMaps / globetrackr atau Banner? Sepanjang yang saya tahu sih, untuk pasang di sidebar kita perlu registrasi atau sign up di web-nya. Jika login, kita akan diberi kode html-nya, lalu kopi, kemudian pasang di sidebar kita. Caranya, masuk dashboard, pilih presentasi, lalu tekan widget. Pilih box teks di deretan bagian bawah sidebar, seret masuk ke side bar, double klik boks teksnya. Tekan ctrl+v atau paste kode html yang kita kopi. Jangan lupa diupdate. Kira2 begitu, saya juga baru belajar kok, hehehe 😀
Mudah2an berhasil.
@ abeeayang:
Hahaha 😀 Lagi seneng2nya bicara tentang kepala, hehehe 😀 OK, makasih apresiasinya Mas Abee.
Wah, cerpen lagi yang bagus…jadi pengen terus kembali ke sini neh pak Guru. Apalagi cerita yang sekali ini ada mistik-nya, bikin agak sedikit tegang bawaan cerita-nya tapi tetep maunya harus ampe selesai, sekali lagi salut pak Guru 😉
Ass,wah wah wah ini yang selalu membuat saya takjub pak…cerpen-cerpen bapak ngalir membuat pembaca penasaran dan hanyut dalam kalimat yang indah dan gak pernah bosan saya bacanya pak…sippp bisa nih belajar dari bapak yang pakarnya cerpen…boleh dong pak menambah pahala lo pak ngajarin orang tul kan pak…Wassalam.
Seeeeeep dech, minta tolong dibungkusin ah 😀 boleh ndak pak?
Terimakasih Pak. Saya jadi tertantang nih bikin cerita-cerita pendek (matematika).
Insya Allah saya bisa belajar banyak dari cerpen-cerpen bapak.
Btw, kok Pak Sawali ini senengnya cerpen-cerpen potongan kepala ya? 😀 Hehehe..
Duh, Pak. Ceritanya seram pisan. Buat cerpen yang berbau pendidikan atau sekolah donk Pak (kaya Pak Jupri yang niat mo buat cerpen berbau matematik :)). Ditunggu ya Pak. btw, cerpennya bagus, khas Pak Sawali, yang kalimat-kalimatnya mengalir lugas.
mungkin karena emang kepala kalau di apa-apain pasti enak, mo di gulai, di rendang, juga enak
*kamsud-nya itu kepala ikan, kepala ayam, de el el* 😆
Wah, saya ketinggalan nih baca cerpennya. Saya salut pada Pak Sawali pada kekuatan kata-katanya yang bisa membuat cerita yang biasa-biasa saja menjadi cerita yang menarik dan enak dibaca.
saya seperti berjalan di gurun kata-kata…
ohm sawal telah memakai semuanya, habis bahkan untuk sekedar comment…
syaluth ohm…
klu gitu minta ijin nge-link aja nggih..
matur nuwun
SAIA FERNAH BACA!!! SAIA FERNAH BACA!!! SAIA FERNAH BACA!!!
jadi cerfen ini karangannya pak sawali ya!!?? saia fernah baca, waktu itu nemu di tumpukan koran bekas di perpustakaan!!! saia dikasi tugas mbikin kliping n analisa terhadap cerpen yang saia kliping!!! salah satunya ini nih!!!
_______________________
saia tunggu cerpen berikudnya ya pak^^!!!
hhohoho…
Siip, saya sukan guru-guru semacam ini, guru yang menulis. Tapi maaf, saya kira tadi Swali … rupanya Sarkawi. Maaf
*Mohon maaf dalam dua hari terakhir ini konek internet saya di rumah agak trouble sehingga agak terlambat merespon komentar, trims semuanya*
@ extremusmilitis:
Ada bumbu mistiknya, biar blogosphere ini bau dupa, hehehe 😀
OK, makasih, Bung, salam militis
@ fira:
Oh, Mbak Fira, kita sama2 belajar, Mbak, terlalu berlebihan kalau Mbak Fira mesti belajar menulis cerpen sama saya, hehehehe 😀 Dengan blogwalking kan kita secara tidak langsung sama2 belajar. Betul nggak, Mbak?
@ liezmaya:
Hehehe 😀 Apa Mbak Liez mau kubungkusin kepalanya Sarkawi? serem deh!
@ mathematicse:
OK, Pak Al-Jupri kutunggu cerpen2 science-fiction-nya. Selamat berkreativitas, Pak.
@ enggar:
Wah, cerpen2 yang sarat amat dan “menggurui” itu yang kadang2 sulit saya wujudkan, Bu. Ya, semoga kali lain muncul “mood” untuk bikin cerpen seperti itu, hehehe 😀
@ doeytea:
Nggak telak kok Pak Dudi. Makasih banget telah berkenan membaca cerpen ini, pak. Salam.
@ goop:
Mangga2 kalau mau ngelink, saya malah yang berterima kasih. Matur nuwun. Mau saya link balik, link-nya kok nggak ada, ya, kawan?
@ hoek:
Ohoo, syukurlah! Ini murid yang kreatif namanya, hehehe 😀 Jadi dah nggak baca cerpen ini lagi dong!
@ Ersis Warmansyah Abbas:
OK, makasih Pak Ersis atas apresiasinya.
Putus asa itu memang berbahaya nggih pak
Wah maaf, mungkin ada kesalahan teknis di luar kuasa saya ohm sawal…
baiklah, silakan klik saja :
http://www.unclegoop.wordpress.com
Cerpennya bikin bernostalgia dengan cerita-cerita rakyat, ngomong-ngomong, kalau di daerah saya juga banyak cerita kaya gitu pak dan seremnya, bener-bener terjadi lho.
meski sekarang zaman iptek, tapi tetap aja hal-hal seperti itu gak bisa hilang. Baca tulisan ini jadi inget cerita-cerita yang pernah dikisahkan orang tua-tua di daerah saya. sereeeem
@ all:
Trims atas kunjungan dan apresiasinya terhadap cerpen ini.