Cerpen: Sawali Tuhusetya
Bola mata Mak Sarmini berkaca-kaca. Tanpa terasa, kedua pipinya yang nampak keriput basah oleh air mata. Dadanya ditimbuni rasa haru yang sulit diterjemahkan. Tubuhnya yang kurus tenggelam di antara hiruk-pikuk dan tepuk sorak yang membahana. Gedung besar dan megah itu seperti hendak roboh. Para tamu undangan yang berjubel larut dalam suasana gemuruh. Menuntaskan impian yang telah lama terpendam. Menyaksikan sukses putra-putri yang tengah menjalani prosesi “bersejarah”, wisuda! Senyum ceria pecah di sana-sini. Kilatan lampu kamera tak henti-hentinya membidik wajah dan gerak-gerik sang wisudawan.
Tubuh Mak Sarmini gemetar. Merinding. Masa depan gemilang seakan berada di balik toga kebesaran yang dikenakan anaknya, Sarman. Perempuan separuh baya itu berulang-ulang mengusap kelopak matanya yang basah. Rasa haru, bangga, bahagia, dan tangis menyesak di rongga dadanya.
Mak Sarmini mengambil napas panjang. Benaknya menerawang. Selama Barman berkutat menuntut ilmu di bangku perguruan tinggi, perempuan yang nampak lebih tua dari usia sebenarnya itu (nyaris) tak bisa bernapas. Beban berat serasa menindih tubuhnya. Dalam keadaan menjanda, ia harus terus-terusan mengucurkan biaya kuliah yang membubung. Hampir saja ia putus asa dan menyuruh Sarman berhenti kuliah. Tapi masih untung, niat itu ia urungkan. Naluri keibuannya tak sanggup melihat anak bungsunya itu terpuruk dalam lubang kebodohan.
Semula, biaya kuliah Sarman memang tak begitu menjadi beban ketika suaminya, Padiyo, belum dijemput maut. Dagangan kelontongnya selalu laris diserbu pembeli. Keuntungan pun tak sedikit ia kumpulkan setiap hari. Apalagi, saat itu suaminya masih perkasa mengayunkan cangkul di sawah. Rezeki terus mengalir membanjiri tubuhnya.
Namun, saat Sarman menginjak tahun kedua duduk di kursi perguruan tinggi, kehidupan rumah tangganya mulai berkabut. Suaminya mendadak diserang penyakit paru-paru kronis. Barang-barang berharga, perhiasan dan dua petak sawahnya ludes untuk berobat, baik lewat dokter maupun lewat jasa dukun. Namun, hasilnya tetap nihil. Penyakit suaminya tak kunjung sembuh, bahkan kian bertambah parah, hingga akhirnya Malaikat Maut menjemput nyawanya. Meninggal.
Keadaan itu membuat ekonomi rumah tangganya morat-marit. Dagangannya pun kian menipis. Para pembeli pun jarang menjamah kiosnya lagi. Sementara itu, beban yang mesti digendongnya semakin bertambah berat. Barang-barang yang dianggap berharga pun sudah ikut terkubur bersama jasat suaminya.
Mak Sarmini banting setir. Ia beralih jadi pedagang pisang di pasar dengan modal seadanya. Tenaganya terus diperas setiap hari, namun wajahnya menampakkan semangat yang luar biasa dahsyatnya. Ia ingin melihat anak bungsunya lulus dengan menggondol gelar sarjana. Dan itu berarti kemenangan besar baginya. Sebab ia bisa menunjukkan bahwa ledekan dan cemooh para tetangga dan sesama pedagang di pasar yang meragukan kemampuannya membiayai pendidikan Sarman tak terbukti. Selain itu, ia juga punya kebanggaan. Sarmanlah satu-satunya penduduk kampung yang bergelar Sarjana Pendidikan.
Tepuk sorak bersambung-sambungan dan suara gemuruh yang gegap gempita membuyarkan lamunan Mak Sarmini. Dari sela-sela tamu undangan yang berjubel, sepasang matanya tertuju ke tempat para petinggi kampus berdiri. Ia hampir tak percaya ketika Sarman dinyatakan sebagai wisudawan terbaik dengan indeks prestasi tertinggi. Air matanya tak terbendung ketika anaknya itu diberi ucapan selamat Pak Rektor dan para dekan. Segenap tamu undangan pun tak henti-hentinya memberikan aplaus. Mengelu-elukan.
***
Wisuda usai. Masing-masing wisudawan sudah meninggalkan gedung besar dan megah itu sambil menenteng ijazah sarjana kebanggaannya. Tak lupa, peristiwa itu juga diabadikan menurut selera dan kemampuan keluarga masing-masing. Sarman membawa foto yang begitu bermakna sepanjang sejarah kehidupannya. Ia berdiri gagah dengan toga kebesaran didampingi ibunya yang kurus.
Tiba di rumah, langkah Mak Sarmini terasa ringan. Ia seperti telah berhasil menyingkirkan beban yang menggelayuti hidupnya selama ini. Senyum lepas tak henti-hentinya tersinggung dari bibirnya yang sedikit pucat setiap kali beradu muka dengan tetangga terdekat yang berjubel di rumahnya. Di sudut matanya menari-nari bayangan Sarman yang telah jadi priyayi terhormat.
“Bagaimana perasaan Mak waktu melihat Sarman diwisuda?” tanya Darmi, anak sulungnya yang sudah beranak dua. Orang-orang yang berkerumun manggut-manggut seakan-akan hendak mengorek dan menyelidik pengalaman Mak Sarmini.
“Tentu saja senang toh, Dar! Aku sempat menangis. Bagaimana tidak?” sahut Mak Sarmini terbata-bata dengan bola mata berair. Orang-orang saling bertatapan. “Wong kita ini orang kampung, wong ndesa, kok ya bisa kumpul dalam satu gedung dengan orang-orang berpangkat!”
“Kalau begitu Sarman sebentar lagi pasti jadi priyayi, Mak! Berpangkat tinggi dan dihormati banyak orang! Sarman kan sarjana toh, Mak!”
“Doakan saja, Dar! Adikmu itu mudah-mudahan segera jadi priyayi dhuwur! Kita semua tentu senang, toh?”
“Iya, Mak!”
“Eh, Dar! Adikmu itu memang benar-benar bocah pinter. Waktu diwisuda, ia disalami para priyayi yang gagah-gagah. Kata orang tua dulu, itu pertanda adikmu itu juga akan ketularan jadi priyayi!” cerocos Mak Sarmini bangga. Orang-orang bertatapan ke sekian kalinya. Dada mereka dihujani rasa iri dan cemburu atas keberhasilan Sarman. Sejurus kemudian, mereka segera terlibat dalam pergunjingan yang tidak jelas. Riuh. Sesekali ditingkah suara tangis bayi, batuk-batuk, dan gumam yang tertelan di tenggorokan. Di luar, anak-anak kecil bercanda dan bermain menuruti nalurinya. Tak kalah riuhnya.
***
Mak Sarmini mengadakan syukuran. Foto dirinya bersama Sarman yang mengenakan toga kebesaran dipasang di dinding yang mudah dilihat semua orang. Mata para tamu yang diundang jatuh ke foto yang telah diperbesar dan diberi bingkai itu. Decak kekaguman mencair di wajah para tamu. Selanjutnya, mereka segera terlibat dalam perbincangan hangat sembari menikmati hidangan. Macam-macam topik dilemparkan di sela-sela kerumunan. Mereka menanggapinya dengan alur piiran masing-masing. Riuh. Bahkan, sesekali beberapa orang terlibat adu debat yang sering ditingkah engan emosi berlebihan. Suasa mendadak senyap ketika Kyai Muslih membaca doa. Takzim dan khusyu’ dengan harapan semoga yang punya hajat terkabulkan semua permohonannya.
Sarman ngungun di kamarnya. Gelar sarjana yang barusan ia sabet, justru menjadi beban tersendiri bagi dirinya. Ia sangat iba pada Emaknya. Hingga saat ini, di kepalanya belum tergambar bayangan masa depan yang pasti. Berhasilkah aku mewujudkan impian, Mak? Pertanyaan itu terus bergaung di rongga kepalanya.
***
Hasrat Mak Sarmini akan predikat priyayi yang disandang Sarman begitu menggebu, sampai-sampai ia terus berkoar kepada para tetangga dan sesama rekan pedagangnya di pasar.
“Mengapa Sampeyan masih mau berdagang pisang, Mak? Toh anak Sampeyan sudah jadi priyayi dhuwur?” tanya Mbok Bakul yang sebenarnya bermaksud menyindir. Mak Sarmini tetap menyunggingkan senyum lewat bibirnya yang sedikit pucat. Ia tak merasa tersindir.
“Ini pekerjaan yang bisa mengantarkan anakku jadi priyayi, mana mungkin aku meninggalkannya?” sahut Mak Sarmini tenang.
Tapi, kerut di wajah Mak Sarmini semakin berlipat-lipat ketika melihat anaknya masih terus menganggur di rumah. Senyum khasnya mulai sirna. Ia sering melamun. Dadanya sering terasa sesak memikirkan impian yang tidak segera terwujud.
Jantung Mak Sarmini seperti hendak meledak ketika tiba-tiba saja Sarman mohon pamit mau mengadu nasib ke kota. Sarman mulai risih terhadap gunjingan para tetangga yang terus mempertanyakan pekerjaan. Entah! Tiba-tiba saja kepala Mak Sarmini seperti dihujani bongkahan batu besar bertubi-tubi. Pusing. Matanya berkunang-kunang. ***