Tulisan ini mungkin bisa dikatakan terlambat. Pasalnya, fenomena “Gerakan Syahwat Merdeka” ini telah mencuat pada 20 Desember 2006 yang lalu dalam sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan Taufiq Ismail di depan Akademi Jakarta. Namun, sekadar untuk ikut urun rembug dalam menyikapi dinamika dunia sastra, tak apalah kalau akhirnya saya ikut-ikutan latah membuat postingan “sampah” ini. hehehehe 😀
Di depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” yang berisi 37 paragraf. Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 itu mengeluhkan dan merisaukan munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Menurutnya, gerakan tersebut tak bersosok organisasi resmi yang tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa yang mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya. Dismpulkan oleh Taufiq Ismail, GSM telah mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.
Disebut-sebut ada 13 komponen yang melahirkan gelombang Gerakan Syahwat Merdeka, di antaranya: (1) praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi; (2) penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP; (3) produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi syahwat; (4) 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno; (5) penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat – sastra dan – sastra; (6) penerbit dan pengedar komik cabul; (7) produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan penonton VCD/DVD biru; (8) fabrikan dan konsumen alkohol; (9) produsen, pengedar dan pengguna narkoba; (10) fabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin; (11) pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan; (12) germo dan pelanggan prostitusi; dan (13) dokter dan dukun praktisi aborsi.
Pidato kebudayaan Taufiq Ismail mendapatkan respon yang cukup keras dari Hudan Hidayat, salah seorang penggagas Memo Indonesia. Dalam sebuah esainya, “Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya yang dimuat di harian Jawa Pos, sastrawan muda itu menyatakan seperti berikut ini.
“Nakal” dan”‘santun”, “pornografi” atau “suara moral”, “gelombang syahwat” seperti kata Taufik Ismail, ternyata bersandar pada-Nya jua dalam scenario nasib manusia dan takdir dunia. Budaya “kekerasan” itu telah ditandaskan Tuhan sebagai nasib manusia dan takdir dunia. Turunlah kamu semuanya. Sebagian dari kamu akan berbunuhan satu sama lain…(QS 2 ayat 30). “Berbunuhan”, bagi saya adalah nasib manusia dan takdir dunia. “Berbunuhan” bisa dirujuk pada semua yang diteriakkan Taufik Ismail. Kata-kata saling “membunuh” ini, dalam sastra, menemukan bentuknya pada pelbagai cerita yang seolah “menjauh” dari Tuhannya. Sastrawan akan membuat kisah, dengan “pornografi” sebagai sampiran, bukan inti cerita. Pornografi diletakkan sebagai pintu ke dalam makna yang lebih luas, di mana keluasaannya akan mengatasi scene pornografi. Cerita bergaya Nick Carter, kata Taufik Ismail, telah meruyak ke dalam sastra. Tapi, saya belum pernah menemukannya. Lagi pula, apa yang salah? Bukankah “pembaca” dewasa akan menerobos “ketelanjangan” Adam dan Hawa di surga, dalam dua versinya.
Alhasil, esai Hudan Hidayat (HH) pun mendapatkan respon yang tak kalah seru dari Taufiq Ismail. Di harian yang sama, dalam sebuah esainya “HH dan Gerakan Syahwat Merdeka”, penyair yang liriknya sering dinyanyikan oleh group musik Bimbo ini menyatakan bahwa ada serangkaian rencana kegiatan menarik yang disarankan dilaksanakan HH sebagai seorang penulis fiksi. Rangkaian kegiatan ini merupakan suatu bentuk sosialisasi karya ke masyarakat, terdiri dari empat tahap. Tujuannya adalah untuk memperjelas posisi sebagai penganut paham neo-liberalisme dari HH dan kawan-kawannya. Salah satu tahap yang penting dilakukan saya kutipkan berikut ini.
Tahap keempat, undanglah seluruh komponen Gerakan Syahwat Merdeka berkumpul melakukan show of force seminggu di ibu. Komponen itu terdiri dari pembajak-pengedar VCDDVD porno, redaktur majalah cabul, bandar-pengguna narkoba, produsendistributor-pengguna alkohol, penulispengguna situs seks di internet, germopelaku prostitusi, dokter spesialis penyakit kelamin, dokter aborsi, dan dokter psikiatri. Bikin macam-macam acara sosialisasi. Penulis FAK beramai-ramailah baca karya di depan publik dengan peragaannya. Mintakan pelopor penulis Angkatan FAK Ayu Utami dan Djenar Mahesa Ayu tampil lebih dahulu baca cerpen. Lalu adakan promosi buku kumpulan cerpen dan novel FAK dengan diskon 40 persen. Catatlah bagaimana reaksi publik. Tarik kesimpulan. Dalam evaluasi terakhir sehabis tahap keempat, tim dokter psikiatri akan menentukan diagnosis terhadap para pasien penulis Angkatan FAK, sampai seberapa parah sindrom patologis kejiwaan mereka. Terutama dalam kasus klinis nymphomania, overproduksi kelenjar hormon kelamin dan obsesi genito-philia, yaitu cinta berlebihan pada alat kelamin, termasuk adiksi pada onani-masturbasi.
Pasca perdebatan seru antara Taufik Ismail dan Hudan Hidayat, seperti biasa, akan memancing reaksi pro dan kontra dari kubu-kubu yang berseberangan. Tanpa bermaksud untuk memperuncing polemik, yang pasti dalam hampir setiap polemik, suasana “narcisme” tampak betul “menyetubuhi” masing-masing pihak dalam mempertahankan kebenaran pendapat mereka. Justifikasi terhadap nilai-nilai kebenaran tampak “belepotan” untuk menghantam “kesesatan opini” yang dilancarkan oleh kubu lawan.
Dalam konteks ini, ada baiknya kita bercermin dari Goenawan Mohamad dalam merespons polemik yang seolah-olah mempertentangkan antara kebebasan berkarya dan standar-standar moralitas itu. Goenawan Mohamad yang juga pengelola blog Catatan Pinggir yang juga dituding berada di balik Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) karena aktif di Teater Utan Kayu yang berkolaborasi dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori Ulil Abshar Abdalla itu menilai bahwa “TUK itu Bukan Organisasi, Bukan Mazhab”. Berikut kutipan wawancara Rizka Maulana (RM) dengan GM yang berlangsung di Teater Utan Kayu (TUK)
RM: Wah, kan Mas GM orang TUK. Kan TUK tidak suka karya-karya sastrawan yang tidak dekat dengan TUK. Apalagi Saut.
GM: TUK itu bukan organisasi. TUK tempat kegiatan seni dan gagasan. Di TUK tidak selamanya kami sepaham dalam menilai karya – dan kami umumnya tidak membicarakan karya Saut, atau yang lain, karena masing-masing sibuk. Kami cuma bertemu seminggu sekali untuk merancang program. Itu saja sudah berat.
RM: Jadi Mas GM, Hasif Amini, Nirwan Dewanto dan Sitok Srengenge tidak selalu sependapat?
GM: Ya, dong. Sekali lagi, TUK itu bukan organisasi, bukan mazhab. Hasif Amini bekerja untuk Kompas dengan timnya sendiri, Nirwan di Koran Tempo begitu juga. Malah sajak saya pernah tidak dimuat oleh Hasif.
(Sekadar catatan: Saut Situmorang adalah penggagas “Ode Kampung” di Rumah Dunia Banten yang sering “menghajar” TUK. Dia beserta kelompoknya dinilai tak kenal lelah terus ‘mengonceki’ para tokoh TUK, seperti Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Hasif Amini, Sitok Srengenge dan lainnya. Menurutnya, mereka tidaklah layak digelari sebagai sastrawan.)
Ya, betapa penyair yang mencuat lewat antologinya Parikesit (1969) dan Interlude (1971) yang disebut-sebut sebagai puisi ber-genre puisi kontemplatif, puisi imajis, atau puisi suasana itu terasa lebih tenang dan arif dalam menghadapi berbagai tulisan yang memojokkan dirinya. Sampai-sampai Gerakan Syahwat Merdeka yang disingkat GSM pun dinilai identik dengan singkatan namanya GSM (Goenawan Soesatyo Mohamad).
Saya bukanlah anggota TUK. Saya juga bukan pengikut setia Taufiq Ismail. Namun, mencermati polemik yang terjadi, agaknya masing-masing kubu perlu menurunkan tensi dan “syahwat”-nya dalam berpolemik. Sastra adalah sebuah dunia imajiner yang sangat erat kaitannya dengan kemerdekaan berkarya dan berkreasi. Persoalan standar moral itu sangat erat kaitannya dengan penafsiran-penafsiran. Oleh karena itu, daripada menghabiskan waktu dan tenaga untuk terus berpolemik, lebih baik dimanfaatkan untuk berkarya.
Pak Taufiq Ismail, sebagai sosok “pinisepuh” yang amat disegani dan dihormati dalam dunia sastra, –mohon maaf bukan sok menggurui– hendaknya juga lebih banyak memberikan apresiasi, dorongan, dan suntikan moral kepada sastrawan-sastrawan muda yang kini banyak bermunculan, bukannya mencemooh dan”menistakan” karya-karya mereka lantaran dianggap bertentangan dengan standar moral bangsa. Biarkanlah publik sastra yang akan menilai sebatas mana kualitas karya-karya mereka. Jangan sampai terjadi pemberangusan karya-karya sastra dari kalangan sendiri yang justru akan melahirkan sebuah preseden dalam dunia penciptaan teks-teks sastra.
Demikian juga bagi sastrawan-sastrawan muda yang kebetulan terkena imbas dan stigma “gerakan syahwat merdeka” mungkin sudah saatnya melakukan refleksi agar tak lagi “men-syahwat-kan” teks-teks sastra yang diluncurkannya. Nah, salam budaya! ***
SAHUURRRR….SAHURRRR…!!!
*nabok-nabok kentongan sambil kliling kompleks blogosphere*
.
.
.
eh, pertamaxkah saia?!
blom baca postingannya, mo sahur dolo!
.
.
.
pak sawali uda sahur blom?
sori, nyuamfah lage…hohoho
gimana kalo skalian hettrix sebelum maem sahur…
sah-sah aja khan?
ntar ya pak, saia baca abis sahur, tnang aja!
saia suka nih ada kata-kata syahwatna!
.
.
.
hohoho *mupeng mode ON*
.
.
*ditabok malekat gara-gara mupeng*
hmm…jadi pak taufik
savalasismail nuding kalo sastrawan-sastrawan muda pada bersyahwat ria ya?susa juga c, soale kalo uda bicara soal pornografi sendiri, emang tergantung orangnya, kalo misalna yang mbaca/ngliat/menikmati sebuah sastra tuh pikirannya emang kotor (bukan saia lho! sumfah bukan saia!!! :P) pastinya nilai sastra tersebut jadi rusak…
tafi, menurut saia sendiri, bener sangadh yang disarankan sama pak sawali wat sastrawan-sastrawan muda yang biasa make pornografi sebagai pintu ke dalam makna yang lebih luas (liad paragraf 5 baris 10 postingan diatas>.<) seharusnyalah melakukan refleksi agar stigma “syahwad” itu berubah…
tafi pak sawali, contoh dari refleksi itu begimana? kalo refleksi itu emang mesti dilakukan untuk merubah stigma tersebut, bukankah itu akan membatasi ruang gerak penciptaan sebuah karya sastra itu sendiri?
“4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno…”
wah, pak taufik
savalasismail punya linkna ngga ya? empat juta dua ratus ribu situs porno…hwaduh…saia cuma baru khatam 68% doank negh…….hohoho.
.
.
yess…TOP SCORE!!!
dengan hasil :
1. komen 1, 2, 3, 5 = samfah
2. komen 4 = serius…
.
.
hohoho
Benar-benar sulit deh kalau syahwat yang sudah berbicara! Huehehehe… Masalahnya biasanya di dalam karya sastra yang murahan, justru ‘syahwat’nya yang ditonjolkan! Jadinya memang sangat murahan!
Namun saya juga sering melihat karya sastra apakah itu dalam buku atau film (terutama produk luar negeri! 🙁 ) yang menampilkan ‘syahwat’ hanya sebagai latar belakang saja, sementara alur cerita dan skenario utama dari karya tersebut tetap menarik dan cukup bernilai sastra.
@ Mas hoek:
Komen komen 1, 2, 3, 5 = samfah = dimaklumi
Komen 4: makud saia, syahwatnya dikurangilah meski itu juga tergantung penafsiran pembacanya. Ini juga untuk mengurangi reaksi keras dari kubu yang bertumpu pada standar moral. Win2 solution gitulah yau, hehehehe 😀
Nah itu dia masalah yang lumayan rumit.
Untuk menumpas GSM (secara total) berarti kita harus mematikan ke-13 komponen tsb. Masalahnya adalah akan sulit menumpas GSM jika kita mematikan ke-13 komponen tsb secara pelan-pelan atau satu per satu. Karena ketika salah satu (atau salah dua sampai 3) dimatikan dulu maka ketika kita akan melakukan proses pematian komponen selanjutnya, bisa saja komponen yg masih hidup akan menyebarkan GSM tsb atau mungkin bahkan komponen yang masih hidup tsb akan menghidupkan kembali komponen2 yang sudah mati.
Kita mungkin agak bisa menganalogikan dengan proses karat pada logam.
Jika kita mematikan perkembangan karat secara perlahan maka kemungkinan saat kita menumpas di sebelah kiri sangat mungkin karat di bagian kanan akan menyebar semakin jauh. Jadi mungkin solusi untuk karat tsb adalah secara tegas memotong semua bagian logam yang berkarat dan menggantinya dengan logam baru (dengan dilas)
Tapi…
Mungkinkah kita menumpas komponen GSM secara bersama?
aslkm..
wah kalo menrut saya yang berbau memancing syahwat harus cepat2 dibumi hanguskan..hihihi…wunk syahwat itukan sudah ada dari dalam tubuh kita,ngapain segala dipancing2 lagi..wunk itu banyak mudharatnya dari pada kebaikannya…hanya orang2 pemuja nafsu yang pasti bakal mendukung hal2 pengumbar syahwat…
wassalam…
http://www.likalikulaki.wordpress.com
Wah, bicara soal syahwat, bagi saya memang relatif. Tapi kita ambil pengertian umumnya saja. Jika dunia sastra dan seni dicampuradukkan dengan syahwat, apalagi jika ada gerakan tertentu yang sengaja membonceng seni dan sastra untuk promosi syahwat, ini yang jadi masalah. Namun jika unsur “ehem” dalam seni dan sastra itu benar-benar ‘pure’, bagi saya ga masalah. 😉
Duh, lapar, ntar komen saya disambung.
@ Bung Yari NK:
Tepat sekali, Bung Yari. Adegan yang dinilai pornografi asalkan tidak terlau mendominasi atau ditonjolkan saya kira tidak akan mengurangi mutu sebuah teks sastra, kecuali teks2 picisan yang emmag sengaja diciptakan untuk memburu selera pasar. Tesk2 sastra ciptaan almarhum Umar Khayam bisa dijadikan contoh. Sebagian besar cerpen2nya sedikit menggambarkan adegan2 ranjang, tetapi itu hanya sebuah digresi. Dan banyak pengamat bilang, teks2 ciptaannya termasuk bermutu bagus.
@ Pak deKing:
Tepak sekali Pak. Tapi untuk apa mesti diberantas? Lha wong itu juga baru sebatas penafsiran Pak Taufiq Ismail. Apa benar para sastrawan yang dinilai menjadi penggerak GSM itu mesti didanai kaum kapitalis dunia? Belum juga terbukti, kan, Pak? Makanya, kalau saya nih, biarlah kearifan dan kecerdasan pembaca sebuah teks tergolong “sayhwat” atau bukan, hehehehe 😀
@ Bung marwan:
Hehehehe 😀 Betul memang wong setiap kita punya syahwat sendiri2, kenapa mesti dipamer-pamerkan? Hehehehe 😀 Persoalannya saya kira tak sesederhana itu. Ada tuduhan — namanya tuduhan kan belum terbukti– para penulis yang tergabung dalam Teater Utan Kayu tuh menjadi penggerak GSM. Kalau menilik kredibilitas orang2 yang ada di sana, seperti GM, Nirwan Dewanto, Sitok, dll kayaknya mereka kok masih memiliki tanggung jawab moral yang bagus. Terlalu remeh kalau mereka hanya sekadar menciptakan teks2 sastra berbau mesum dan mengumbar syahwat.
@ Mbak rozenesia:
Setuju banget, Mbak. Syahwat atau tidak itu juga tergantung penafsiran. Kalau memang adegan syahwat tidak dieksploitasi tetapi hanya sekadar digresi agar cerita lebih yahud, saya kira nggak masalah.
Ha ha … aku ta sanggup berkomentar …ih terlalu seru
Ga telat koq, pak ,postingannya.Dua bulan yang lalu topik ini juga sempat di bahas di koran kompas.Saya belum tau banyak tentang sastra, tapi saya sangat menyukainya.Hi3.
Satra tuk di rasakan, di jiwai, bukan sekedar di baca, tul ga ? Wah, tentang sha… ga sanggup koment dah, hi hi hi.
jadi penasaran ma TUK
cari tau dulu baru komen deh
saya sempat mengikuti polemik tsb di media. membaca dua paragraf terakhir yang merupakan pendapat pak guru Sawali, saya bisa mengambil kesimpulan bapak cenderung “permisif” [tidak straight setuju pendapatnya TI] dengan GSM dengan beberapa syarat [seperti alinea terakhir]. sayapun sependapat dengan itu.
mungkin sakarang adalah jaman arus balik* jika setiap kebaikan sudah menjadi barang aneh maka syahwat dan segala macam bentuk kejahatan lain seakan-akan barang langka yang tidak perlu disembunyikan… uhmmm sayah melihat pemberontakan para sastrawan untuk sedikit beda dan bangga dengan itu..
dibilang salah malah dituduh melanggar kreatifitas dan seribu alasan lain..
ah jaman aneh
Saya sendiri tidak terlalu concern dengan masalah GSM ini.
Tapi sepertinya ada beberapa catatan.
Saya paham dengan kegalauan Taufik Ismail. Tapi sepertinya Pak Taufik harus sadar juga bahwa Sastra adalah multiinterpretasi. Disitu banyak interpretasi yang terlibat dan itulah yang membuat sastra berkembang.
Saya masih ingat dengan cerita perseteruan politik sastra Indonesia tahun 1960-an antara Lekra (Pram, dkk) dan Manikebu (M. Lubis, dkk). Itulah contoh bahwa sastra bisa menjadi kendaraan politik. Sastra bisa menjadi kendaraan kepentingan termasuk kepentingan penguasa. Tapi konflik-konflik itulah yang membuat sastra diminati dan berkembang.
Pada masa Pra-reformasi, sastra dibelenggu. Pascareformasi, sastra akhirnya terlepas bebas dengan segala ekspresinya. Dan salah satu jalan ekspresi sastra itu adalah “menampilkan/menuliskan segala hal yang dianggap tabu selama ini“, termasuk seks dan seksualitas perempuan. Seksualitas adalah hal yang biasa ditulis dalam sastra, yang berbeda itu kadar keterbukaannya saja. Dan setelah reformasi, arah seperti itu dalam sastra adalah hal yang biasa.
Apa yang ditulis oleh Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, dkk yang sering mengungkapkan ekspresi ke-perempuan-annya dalam novel-novel mereka, menurut saya masih dalam batas. Itu bukan penyebaran pornografi dalam bentuk sastra. Itu tidak bisa disamakan dengan koran Lampu Merah atau Majalah Playboy. Itu juga berbeda dengan VCD porno atau situs-situs porno di internet. Mereka menuliskannya dengan cerdas dan orang yang membacanya juga harus membaca dengan keterbukaan pikiran.
Lalu gimana menyikapinya ? Kalau banyak sastrawan besar yang resah, mereka tinggal menuliskan karya sastra dalam tema yang lain, misalnya tema religius atau nasionalisme. Sudah sampai disitu saja. Sastra jangan dibelenggu [lagi] hanya dengan tema-tema tertentu. Pembelengguan dan batasan dalam sastra hanya akan mengkerdilkan sastra [Indonesia].
*saya jadi ingat perseteruan Bang Roma Irama dengan Inul Daratista di pentas dangdut* 🙂
@ Pak Ersis Warmansyah Abbas
Karena ada serem2nya syahwat, ya, Pak, hehehehe 😀
@ Mbak hanna
Satra memang untuk didinimati dan diapresiasi, Mbak. Konon, jiwa kita akan mengalami proses katharsis dan pencerahan jika banyak membaca karya satra, hehehe 😀
Karena ada kata2 syahwatnya itu, ya, Mbak, sehingga ogah berkomentar, hehehe 😀
@ Jendral Bayut™
OK, Jenderal, hehehehe 😀 Selamat nguber-ubur TUK, ya?
@ isnuansa
Tepat sekali, kawan. Sastra adalah dunia yang bebas. Artinya, aiapa pun yang merasa terpanggil, nggak boleh dikekang-kekang kreativitasnya. Saya setuju itu. Sastra akan kehilangan kemerdekaannya jika pihak2 yang merasa tidak sepaham lantas “menghabisinya” dengan berbagai cara, hehehehe 😀
@ almascatie
Mungkin bertul, Bung. Zaman telah berubah. Meski demikian, sastra yang erat kaitannya dengan dunia kreativitas dan imajinasi, saya kira, bisa mendedahkan berbagai macam persoalan hidup. Termasuk di dalamnya hal2 yang dinilai porno itu. Porno atau tidak itu kan juga soal penafsiran, asalkan tidak dieksploitasi saja.
@ Bung fertob
Hahahaha 😀 Inilah yang saya senangi dan selalu saya tunggu dari Bung Fertob tentang komennya di dunia sastra. Manurut hemat saya sih, Bung, Pak Taufiq terlalu berlebihan. Kena sindrom “LEKRA” kali, ya? Pidato kebudayaannya memancarkan kecemasan yang sebenarnya nggak perlu terjadi di era keterbukaan seperti sekarang. Sastra “wangi” yang kebanyakan ditulis oleh Ayu Utami, Dee, Fira Basuki, atau Djenar, saya kira masih dalam batas2 yang tidak melanggar nilai2 kesantunan, apalagi ini juga erat kaitannya dengan dunia imajiner. Jadi, sah2 saja dong kalau mereka menciptakan teks sastra yang sesuai dengan penafsiran dan kepekaan mereka terhadap masalah kehidupan.
Tentang perdebatan dan polemik, seperti yang Bung Fertob sampaikan, saya kira akan membuat sastra makin dinamis, asalkan tidak menang2an. Biarkan para sastrawan menciptakan teks sastra yang sesuai dengan dunia mereka masing-masing. Sangat tidak adil kalau ada yang memaksakan gaya dan caranya berkesenian kepada sesama sastrawan.
OK, salam hangat, Bung, komentar Bung Fertob makin memperkaya dinmaika sastra kita.
seperti cerpen yg saya buat, pak?
tapi saya kan bukan sastrawan…
Dulu saya hobi alias gandrung juga dengan gaya Sastra (puisi).
Sekarang dan seterusnya… biarkan saya untuk tetap berpuisi untuk-NYA…
#Binunk mo ngasi komentar apa, ya gitu aja dah# 😀
IYA BETUL UDAH BASI.
SAYAH DULU MBACA SYAHWAT INI DI REPUBLIKA.
http://mbelgedez.wordpress.com/2007/09/23/security-sandals-corporation/
@ mbelgedez:
Emang betul, kawan! Kan dah saya akui di awal tulisan, hehehehe
Dulu aku pernah kagum dengan Taufik Ismail. Apalagi dengan lirik-liriknya yang sering dibawakan dengan bagusnya oleh Bimbo.
Tapi sayang, lama-kelamaan jadi menjenuhkan. Pemahaman religiusnya menjadi terkesan dipaksakan pada pihak lain, seolah-olah beliaulah sastrawan maha-sepuh yang berhak menentukan yang mana sastrawan dan mana bukan, yang mana yang harus diterima dan mana yang bukan.
Kasihan saja melihatnya. Tenggelam dalam egoisme pendapatnya sendiri. Padahal, beliau sendiri juga nggak pernah melahirkan sastrawan-sastrawan baru yang segar dan memiliki kekhususan sendiri. Beda dengan H.B. Jassin yang memilah dan memilih angkatan dulu, tanpa perlu mendoktrin mereka tunduk pada patron-patron sastra sebelumnya.
Kelemahan Taufik Ismail adalah kecenderungannya menggeneralisir orang seenaknya. Aku jadi ingat dengan puisinya tentang Rokok yang menyamaratakan perokok seakan seperti orang idiot dan berdosa semua. Itu belum lagi dengan egonya yang mengancam memulangkan Ragmon Magsaysay Award karena Pram mendapat penghargaan yang sama.
Menggelikan.
Hmm… sejarah “perang” antara Lekra dan Manikebu terulang kembali…
😐
Mau ikut yang mana nih? Atau ngga ikut dua-duanya?
Sastra, adalah produk budaya yang disampaikan melalui sesuatu yang dipakai setiap hari. Misalnya melalui bahasa. Nah, kalau sastranya sudah berubah kemungkinan besar budayanya juga sudah berubah.
Sekarang pertanyaannya, berubah ke arah yang baik kah atau ke arah yang buruk.
Mana yang akan kita pilih? Lalu kapan Indonesia akan menjadi maju, kalau budayanya (melalui sastra) tidak mendukung kemajuan?
Saya ngga tau mana yang lebih menopang kemajuan, sastra macam taufiq ismail kah atau hudan kah. Tapi saya punya keinginan, Indonesia maju dan sejahtera. Sastra yang paling sesuai dengan keinginan saya itu, yang akan saya dukung.
Indonesia sudah terlalu banyak digerogoti oleh budaya malas, korupsi, dan yang jelek lagi lainnya. Entah oleh budaya apa lagi Indonesia akan bertambah hancur.
Gerakan Syahwat Merdeka (GSM)? Gerakan orang yang belum dapat menyalurkan syahwatnya, yang sukanya maen sendiri, saya tidak puas dengan pasangannya, yang ingin tukar2 pasangannya, yang suka jajan, yang alergi dengan hal religius dll… yang intinya kotor hati.
Freedom & Liberal adalah celoteh belaka, karena masih malu2 maen2 sama sodokannya didepan publik, belum kaya model amrik yang termasuk 4jt itu. Makanya mau nggagas ngajak yang laen dulu nyemplung ke api kaya setan rame2…
Padalah mereka belum coba sweetest thing of religion, dan mungkin sekali mereka tidak akan pernah bisa walau mecicipinya. Kuacihan… GeeSeM…
Taufik Ismail, sosok penyayang umat, umat yang lagi “dikarbit” hidup2. Apa elo juga dah “mendem”?
Pingback: Catatan Sawali Tuhusetya