RENDAHNYA tingkat apresiasi sastra di kalangan pelajar sudah lama mencuat ke permukaan. Berbagai macam forum diskusi digelar unluk menemukan solusinya. Terakhir, program ‘Sastrawan Masuk Sekolah’ diusung oleh Yayasan Indonesia, Majalah Horison, dan Depdiknas. Tidak main-main. Sastrawan-sastrawan papan atas semacam Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ikram Jamil, atau Hamid Jabar dilibatkan. Namun, seperti dapat ditebak, forum semacam itu hanya sekadar melahirkan sejumlah slogan dan retorika. Kondisi apresiasi sastra di kalangan pelajar tetap saja memprihatinkan.
Saya bukannya tidak setuju forum semacam diskusi sastra atau “Sastrawan Masuk Sekolah” digelar. Bagaimanapun juga, forum semacam itu bisa sangat berarti dalam upaya menumbuhkan minat pelajar terhadap sastra. Namun, menurut hemat saya, ada agenda yang lebih substansial untuk digarap,yakni pemberdayaan guru “sastra”. Dengan sengaja sastra diberi tanda kutip, sebab selama ini sastra belum menjadi sebuah mata ajar yang otonom dan mandiri. Sastra masih nunut pada pelajaran bahasa. Dengan kata lain, guru bahasa harus menjalankan tugas ganda. Selain mengajarkan materi kebahasaan, mereka juga menyajikan materi apresiasi sastra.
Kalau guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai, jelas tidak ada masalah. Mereka bisa mengajak siswa didiknya untuk ‘berlayar’ menikmati samudra sastra dan estetikanya. Melalui sastra, siswa bisa belajar banyak tentang persoalan hidup dan kehidupan, memperoleh “gizi” batin yang mampu mencerahkan hati nurani, sehingga sanggup menghadapi kompleks dan rumitnya persoalan kehidupan secara arif dan dewasa.
Namun, tidak semua guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai. Minat dan kecintaan guru bahasa terhadap sastra masih menjadi tanda tanya. Tidak berlebihan jika pengajaran sastra di sekolah cenderung monoton, kaku, bahkan membosankan.
Tidak semua guru bahasa mampu menjadikan sastra sebagai “magnet” yang mampu menarik minat siswa untuk mencintai sastra. Yang lebih memprihatinkan, pengajaran sastra hanya sekadar menghafal nama-nama sastrawan beserta hasil karyanya. Siswa tidak pernah diajak untuk menggumuli dan menikmati teks-teks sastra yang sesungguhnya.
Kalau kondisi semacam itu terus berlanjut bukan mustahil peserta.didik akan mengidap “rabun” sastra berkepanjangan. Implikasi lebih jauh, dambaan pendidikan untuk melahirkan manusia yang utuh dan paripurna hanya akan menjadi impian belaka.
Figur Sentral
Kini sudah saatnya dipikirkan pemberdayaan guru “sastra” dalam pengertian yang sesungguhnya. Format pemberdayaan guru semacam seminar, lokakarya, penataran, atau diklat yang cenderung formal dan kaku, tampaknya sudah tidak efektif. Forum non-formal semacam bengkel sastra barangkali justru akan lebih efektif. Mereka bisa saling berbagi pengalaman dan berdiskusi. Simulasi pengajaran sastra yang ideal bisa dipraktikkan borsama-sama, sehingga guru “sastra” memperoleh gambaran konkret lentang cara menyajikan apresiasi sastra yang sebenarnya kepada siswa.
Guru ‘sastra’ menjadi figur sentral dalam menaburkan benih dan menyuburkan apresiasi sastra di kalangan peserta didik. Kalau pengajaran sastra diampu oleh guru yang tepat, imajinasi siswa akan terbawa ke dalam suasana pembelajaran yang dinamis, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Sebaliknya, jika pengajaran sastra disajikan oleh guru yang salah, bukan mustahil situasi pembelajaran akan terjebak dalam atmosfer yang kaku, monoton, dan membosankan. Imbasnya, gema apresiasi sastra siswa tidak akan pemah bergeser dari “lagu lama”, terpuruk dan tersaruk-saruk.
Kini, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang terjabarkan dalam Kurikulum Tingkat satuan pendidikan (KTSP) sudah diluncurkan. Dari sisi muatan materi ajar, KBK terkesan lebih ramping dibandingkan dengan Kurikulum 1994. Namun, dari sisi pendalaman materi pun KBK lebih intens dan konkret dalam memberikan bekal kompetensi kepada siswa.
Secara eksplisit, KBK sudah mencantumkan standar kompetensi dan kompelensi dasar yang harus dikuasai siswa. Konsekuensinya, guru harus benar-benar mumpuni dan berkompeten di bidangnya. Jika tidak, kegagalan KBK sudah menanti, menyusul kegagalan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Demikian juga halnya dengan pengajaran sastra. Guru bahasa yang sekaligus guru “sastra” jelas dituntut memiliki kompetensi dan talenta sastra yang memadai.
Pertanyaan yang muncul, sudah siapkah guru “sastra” melaksanakan KBK alias KTSP? Untuk menjawab pertanyaan ini, seyogyanya pemerintah segera melakukan pemetaan, sehingga dapat diketahui guru bahasa yang memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra. Merekalah yang kelak diharapkan menjadi guru sastra yang mampu membawa dunia siswa untuk mencintai sastra.
Guru bahasa yang nihil talenta dan miskin minat sastranya tidak usah dibebani tugas ganda. Biarkan mereka berkonsentrasi di bidang kebahasaan, sehingga mampu memberikan bekal kompetensi kebahasaan secara memadai. Sebaliknya, biarkan pengajaran sastra diurus oleh guru bahasa yang benar-benar memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra. Dengan spesialisasi semacam itu, kompetensi bahasa dan sastra siswa diharapkan bisa berkembang bersama-sama tanpa ada yang dianaktirikan. ***
Pingback: Guru Sastra Saya Sawali Tuhusetya | Sumintar.Com
untuk menjadi seorang guru yang berlatarbelakangi dengan disiplin ilmu sastra. maka sastra itu dapat menjadikan suatu cerminan kehidupan dalam pendidikan. pendidikan yang digunakan dan diterapkan dapat menjadikan suatu pemahaman kepada murid bahwa sastra itu indah. dengan keindahan yang dipergunakan dalam bahasa sebagai media mewujudkan sastra, maka sastra itu akan dapat menjawab segala tantangan yang dihadapi.
mantap gan infonya sangat bermanfaat
terima kasih