Stop Pengadaan Seragam Sekolah!

Mohon maaf kalau dalam beberapa hari ini blog “Jalur Lurus” tanpa postingan terbaru. Bukan apa-apa. Hanya kebetulan saja selama sepekan ini (25 s.d. 31 Juli 2007) saya “ketiban sampur” mengikuti Workshop ToT Bintek KTSP SMP di Hotel Mars, Jalan Raya Puncak Cipayung Bogor. Sebenarnya dari rumah saya sudah menyiapkan HP CDMA agar bisa saya gunakan secara online. Sayangnya kabel data lupa dimasukkan ke dalam tas oleh istri saya. Ya sudah, akhirnya dengan seribu maaf, saya tak bisa posting selama sepekan. Meskipun demikian, saya sempatkan menuliskan beberapa tulisan selama di Bogor. Bukan hal-hal yang berkaitan dengan masalah workshop, melainkan persoalan pendidikan yang masih sering menjadi hambatan bagi “wong cilik” dalam mendapatkan akses dan layanan pendidikan yang memadai dalam dunia persekolahan kita, terutama yang berkaitan dengan masalah seragam sekolah bagi anak-anak mereka.

Sudah jadi rahasia umum, selama ini pengadaan seragam sekolah masih serba diatur oleh kepala sekolah. Para bapak sekolah yang terhormat pun beralasan, mereka tak sanggup menolak “kebijakan” atasannya. Ya, seperti lingkaran setan. Saling melempar masalah dan tanggung jawab. Padahal, pengadaan seragam sekolah semacam itu jelas-jelas melanggar esensi aturan mengenai seragam sekolah itu sendiri. Tujuan utama seragam sekolah adalah untuk menghindarkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Dengan mengenakan seragam sekolah, anak-anak yang tengah gencar menuntut ilmu secara sosial akan memiliki kedudukan yang egaliter, sederajat, dan setara. Tak ada bedanya antara si kaya dan si miskin. Yang membedakan adalah kemampuan dan kompetensi mereka dalam “mentransfer” sejumlah ilmu yang disampaikan gurunya. Apa jadinya jika anak-anak dibiarkan mengenakan pakaian sebebas-bebasnya? Bisa jadi anak-anak dari keturunan orang berduit akan berpakaian seragam serba glamour. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mereka akan melengkapi asesori dirinya dengan berbagai perhiasan yang terhitung mahal. Sementara itu, bagi anak-anak si miskin akan mengenakan pakaian seadanya, sehingga secara sosial mereka akan dihinggapi penyakit “inferior”, minder, alias rendah diri. Bukankah ini akan menjadi pertanda buruk dalam dunia persekolahan kita?

Namun, kita juga nggak habis pikir ketika aturan seragam sekolah telah jauh menyimpang dari esensi dan tujuan yang paling mendasar. Pengadaan seragam sekolah telah diatur sedemikian rupa sehingga justru memberatkan rakyat kecil yang selama ini sudah tertindih beban persoalan hidup yang begitu berat, mulai membengkaknya harga-harga kebutuhan pokok hingga mahalnya biaya sekolah.

Persoalan seragam sekolah mestinya bisa lebih disederhanakan dengan mengembalikan pengadaannya kepada orang tua siswa. Artinya, sekolah hanya perlu menyampaikan jenis dan warna seragam sekolah serta mode (desain) yang cocok bagi siswa. Berikan kebebasan kepada orang tua siswa untuk membeli seragam sekolah, asalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sekolah tak perlu ikut mencampuri terlalu jauh. Namun, persoalan seragam sekolah telah “dipelintir” oleh beberapa birokrat pendidikan lokal untuk mengambil “keuntungan” di balik momentum penerimaan peserta didik (PPD). Secara sistemik dan terstruktur, sekolah diminta untuk memesan seragam di bawah koordinasi MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah). Sekolah, tentu saja, akan menjual kepada orang tua siswa dengan harga yang jauh lebih mahal daripada harga pasaran. Harga bahan pakaian yang di pasaran umum sebesar Rp20.000, misalnya, di sekolah dijual dengan harga mencapai Rp35.000 hingga Rp40.000. Berapa saja keuntungan yang diraih di balik pengadaan seragam sekolah? Wah, cukup menggiurkan juga. Keuntungan yang diperoleh bukan dinikmati oleh sekolah, melainkan menjadi “bancakan” bagi oknum pejabat tertentu yang terlibat dalam jaringan pengadaan seragam sekolah.

Yang ironis, banyak kepala sekolah yang “sendika dhawuh” dengan model pengadaan seragam sekolah semacam itu. Bisa dihitung dengan jari jumlah sekolah yang berani mengadakan seragam sekolah sendiri atau menyerahkan sepenuhnya kepada orang tua. Demi menjaga keharmonisan hubungan dengan atasan dan kolega sesama kepala sekolah –dan tentu saja akan mendapatkan sejumlah uang tip atau “uang komisi” – mereka rela “memeras” kocek wong cilik; menari-nari di atas penderitaan kaum dhuafa yang sudah tertindih beban persoalan hidup yang begitu berat.

Kalau kondisi pengadaan seragam sekolah yang nyaris menjadi tradisi di setiap awal tahun ajaran itu terus berlanjut, maka makna pembebasan yang seharusnya menjadi “visi” sekolah hanya akan menjadi slogan dan retorika belaka. Sekolah yang idealnya mampu “membebaskan” manusia dari keterbelakangan dan kebodohan, justru akan menjadi “benang gelloutine” yang akan menggorok leher wong cilik.

Secara jujur harus diakui, di negeri kita yang sudah lama dikenal sebagai negeri yang “gemah ripah loh jinawi” ini, masih banyak Kang Karli, Kang Paijo, Kang Sandimin, Yu Paijem, atau Yu Blonok yang hidup di kolong-kolong jembatan, hidup akrab dengan nyamuk-nyamuk liar dan bau busuk. Sungguh kontras dengan kemewahan hidup yang dinikmati oleh para koruptor yang selama ini menjadi buron rakyat dan negara.

Anak-anak Kang Karli, Kang Paijo, Kang Sandimin, Yu Paijem, atau Yu Blonok yang hidup di kolong-kolong jembatan itu adalah juga anak-anak kehidupan yang butuh sentuhan perhatian, kasih sayang, dan mengenyam pendidikan yang cukup. Kalau mereka terus-terusan dibiarkan merana, berapa juta jumlah generasi yang akan terbunuh masa depannya? Bagaimana mereka bisa sekolah kalau mau masuk SMP saja mereka harus mengeluarkan uang sekian puluh ribu untuk “menebus” seragam sekolah yang seharusnya bisa mereka beli sendiri dengan harga yang jauh lebih murah.

Kini, sudah saatnya kita gencarkan slogan “Stop Pengadaan Seragam Sekolah” dan berikan sanksi yang tegas kepada para oknum pejabat pendidikan yang sengaja “memelintir” seragam sekolah demi memenuhi “selera” dan memanjakan nafsu hedonisnya. Para pengambil kebijakan di bidang pendidikan harus benar-benar arif dan memandang persoalan ini secara serius sehingga mampu menyelenggarakan pendidikan secara berkeadilan, berbudaya, dan bermartabat. Nah, bagaimana? ***

 

 

 

 

 

 

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *