Dimensi Sosial dalam Sastra

Sudah terlalu sering memang dimensi sosial dalam sastra ini diangkat ke permukaan sekaligus menjadi sebuah pembicaraan yang hangat. Namun, seperti dapat ditebak bahwa persoalannya justru kian kabur lantaran telah merembet ke berbagai ranah kreativitas para sastrawan sesuai dengan persepsi yang dikukuhinya. Para sastrawan makin getol mempertahankan visi personalnya masing-masing.

Munculnya dua kubu sastrawan Indonesia merupakan bukti bahwa di antara mereka tak kan pernah bertemu dalam satu titik kebersamaan. Dua kubu sastrawan ini di antaranya, pertama, sastrawan yang menjadikan aspek estetika sebagai bagian paling esensial dalam sastra—sonder diimbangi dengan munculnya ketimpangan-ketimpangan sosial dalam karya-karya mereka. Kedua, sastrawan yang merasa terpanggil untuk mengangkat ketimpangan-ketimpangan sosial sebagai bagian paling esensial dalam sastra sebagai produk budaya –tanpa meninggalkan aspek estetiknya.

Tanpa bermaksud melecehkan kubu yang pertama, maka kini sudah tiba saatnya untuk menjadikan masyarakat sebagai sumber ilham bagi para sastrawan dalam berulah-kreasi. Mengapa? Karena masyarakat kita masih banyak dihuni oleh eknum-oknum tak jujur yang senantiasa menggerogoti keutuhan citra masyarakat adil-makmu yang lambat namun pasti kalau tak segera diberangus akan menjadi kendala terwujudnya kondisi masyarakat yang ideal. Nah, beranjak dari sisi inilah akhirnya sastra yang bicara, selain bidang-bidang sosial yang lain. Lebih-lebih jika diingat sistem dan struktur masyarakat kita yang cenderung mendukung penguasa –mengkritik penguasa sama saja menggorok leher diri sendiri—praktis kritik-kritik langsung secara lisan bisa menimbulkan konflik relasi sosial yang riskan antara atasan dan bawahan, majikan dan kuli, dan sebagainya, dan sebagainya.
Melihat celah-celah kebobroka semacam ini lewat sastralah salah sebuah medium yang dapat dicuatkan. Penulis akur dengan pemikiran Satyagraha Hoerip dengan Sastra Terlibat-nya dengan berlandas tumpu pada konsep bahwa sastra kita sepantasnya ikut menyelamatkan moral bangsa. Buat apa? Agar korupsi, manipulasi, menipu, memeas, dan sebagainya tak usah ikut-ikut mewaris ke generasi muda.

Rakyat sebagai Subjek
Berangkat dari pemikiran Paulo Freire, maka masyarakat sebagai sumber ilham kreativitas susastra menjadi sangat relevam dalam upayanya memberikan pencerahan kondisi zaman. Freire bilang bahwa rakyat mestinya tidak hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, melainkan justru sebagai subjek. Dengan bahasa lain bisa dikaakan bahwa susatra tidak hanya berbicara tentang dan untuk rakyat, tetapi juga berbicara dengan mereka.

Himpitan zaman yang mencekik rakyat, kemiskinan yang nyaris mengeringkan sumsum tulang, kebodohan yang merupakan sumber merajalelanya penipuan dan manipulasi, otoritas penguasa yang cendewrung “memuaskan kebuasan hati” (pinjam istilah Satyagraha Hoerip) serta kebobrokan fatalis lainnya merupakan kondisi yang seharusnya diakrabi oleh para sastrawan. Lebih-lebih berdasarkan pengamatan Soekanto bahwa kemiskinan menduduki urutan pertama selain kebodohan yang mengakibtakan timbulnya ketimpangan-ketimpangan sosial, maka sudah selayaknyalah kalau sastra berurun-rembug untuk menepiskannya ke tepi jurang.

Nah, apakah kalau sastra sudah gamblang-gamblangnya melabrak kemiskinan dan kebodohan masyarakat jadi terentas dari kebobrokan? Secara langsung tidak memang. Namun, seperti kata Chairul Harun, setidaknya masyarakat (pembaca) mempunyai kemungkinan terangsang untuk melakukan penyadaran tentang pelbagai masalah manusia, secara langsung dan sekaligus setelah membaca karya sastra yang mempermasalahkan problema sosial tersebut kemungkinan tidak dirasakan kehadirannya dalam kehidupan sosial masyarakat. Sastrawan pengarang novel Warisan yang berwarna lokal Minangkabau sekaligus pencetus konsep Sastra sebagai human control ini juga mengatakan bahwa sastra menjadi mustahil tanpa adanya persoalan manusia yang disentuhnya.

Oleh sebab itu, betapapun sebuah karya sastra bergelimang dengan tebaran estetika yang mengharubiru sanubari, tanpa ada persoalan humani yang disentuhnya, ia tak kan bermakna apa-apa dalam benak pembaca. Karya sastra hanya akan melambungkan khayal yang muluk-muluk tanpa ada koherensi makna kemanusiaan yang diluncurkannya. Padahal, menurut A. Teeuw, karya sastra merupakan a unified whole, yakni dunia bulat yang menunjukkan koherensi makna dengan dunia otonom yang minta untuk dinikmati demi sirinya sendiri sebagai aspek terpenting.

Ronggowarsito Yunior
Kembali pada konsep Sastra Terlibat-nya Satyagraha Hoerip – atau Comitted Literature untuk menamai konsep yang dianut penulis Barat—sebenarnya telah dirintis sejak zaman pujangga besar Ronggowarsito dengan serat Kalatidha-nya yang melukiskan bobroknya moral para pejabat Jawa di masyarakat Surakarta Hadiningrat. Dus, masalah sosial dalam sastra sebenarnya telah mengusik kegelisahan pujangga zaman kerajaan yang dimanfaatkan untuk memberikan pencerahan terhadap kondisi zaman yang penuh dengan ulah dan tingkah kemunafikan.

Berangkat dari titian historis inilah sudah selayaknya mulai terpikir untuk menghidupkan kembali suasana sastra yang hanya adem-ayem itu. Apalagi, kini kondisi politis telah memungkinkan untuk menghembuskan kembali adanya bias-bias sosial dalam sastra. Hal ini terbukti dengan dipakainya adagium: “Di zaman gila dan tak bermoral, seuntung-untungnya orang yang lupa masih untung orang yang ingat dan waspada” dalam sebuah forum resmi oleh penguasa negeri ini. Oleh sebab itu, seperti harapan Satyagraha Hoerip, tiba saatnya kini tampil Ronggowarsito-Ronggowarsito yunior untuk mengobarkan kembali ketimpangan-ketimpangan sosial, kebobrokan-kebobrokan moral, dan kenyataan korup lainnya dalam sastra. Tujuannya? Agar segala thethek-bengek praktik keculasan dan ketakjujuran –yang memanfaatkan kemiskinan dan kebodohan wong cilik—menjadi impas dari segala rangsang tingkah amoral.

Bagi para sastrawan yang menghamba pada “Dewa Estetika”, boleh jadi berang dengan luncuran-luncuran konsep semacam itu. Akan tetapi, mengingat bahwa susastra sebagai sebuah unicum yang hadir dengan kemandirian persepsi masing-masing sastrawannya, maka konsep-konsep di atas justru menjadi sah adanya. Bahkan, dengan adanya beragam persepsi yang majemuk sanggup menjadikan rimba sastra kita semakin kaya dan semarak.

Sastra dengan kondisi yang pluralis justru harus dimaknai sebagai dunia otonom yang mampu merambah ke berbagai versi yang tak terbatas dan bertepi, baik dari aspek bentuk (keindahan) maupun isi (amanat)-nya. Biarlah masing-masing kubu sastrawan berderap dan bertiarap sesuai komando zaman yang memolanya. Akan menjadi tidak sah jika tiap kubu berupaya menyerang dan meluncurkan bom guna mematikan pihak kawan yang dianggap lawan tanpa adanya teriakan komando.

Paling Esensial
Boleh dibilang bahwa dimensi sosial dalam sastra merupakan aspek paling esensial tanpa ditunggangi oleh isme-isme tertentu. Seperti kita tahu bahwa sastra menjadi mokal tanpa adanya persoalan manusia yang disentuhnya. Manusia sebagai persoanal yang sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari paguyuban masyarakat secara komunal merupakan persoalan adikodrati dan sudah laik menjadi komitmen sastrawan dalam menggarap masalah-masalah yang diahadapinya tatkala berproses kreatif. Oleh sebab itu, karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang muncul dalam kehidupan sosial masyarakat merupakan ulah dan pokal gawe manusia, maka pencerahan terhadap kondisi zaman yang buram harus dikembalikan kepada manusianya. Dalam hal ini lantaran sastrawan yang notabene memiliki kepekaan intuitif dan mata batin yang tajam, maka merekalah yang perlu mencairkan kondisi zaman dari kebekuan.

Hanya saja kita juga butuh sastra yang tidak melulu mengobarkan yel-yel dan protes yang gegap-gempita, tetapi harus dibarengi dengan poetika estetik yang sanggup menumbuhkan kesadaran ke dalam lubuk hati pembaca tanpa bermaksud menggurui. Sebab apa? Pembaca yang hanya disodori dengan pepatah-peitih sosial yang nggegirisi tak ubahnya pembaca bak membaca sebuah repertoir kejadian demonstrasi dan unjuk rasa yang vulgar sonder diimbangi dengan persepsi dan visi penulisnya.

Persoalan estetika memang tak bisa ditinggalkan oleh sastrawan. Pada awal mulanya, sastra tercipta untuk dinikmati keindahan estetiknya, bukan untuk dipahami. Namun, mengingat bahwa sastra juga merupakan sebuah produk budaya, maka akhirnya berkembang sesuai dengan proses zaman yang memolanya. Sastra diharapkan mampu memberikan sesuatu yang berguna di benak pembacanya, selain untuk dinikmati keindahan yang tercipta di dalamnya. Dus, dapat ditarik sebuah sentesis bahwa selain mengandung nilai-nilai yang kuyup keindahan, sastra harus pula diimbangi dengan persoalan-persoalan yang tengah berlangsung di tengah kehidupan masyarakat. Ya, dapat juga dibalik menjadi sebuh idiom: “Dimensi sosial dalam sastra harus diimbangi dengan poetika estetik. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *