Sungguh terasa sesak dada saya ketika menyaksikan pertandingan sepak bola Penyisihan Grup Piala Asia antara PSSI vs Arab Saudi, Sabtu, 14 Juli yang lalu. Bukannya persoalan kualitas pemain yang memang Arab Saudi harus diakui lebih baik daripada pemain-pemain kita. Arab Saudi jelas memiliki tradisi sepak bola yang lebih baik karena sudah berkali-kali mengikuti ajang bergengsi; Piala Dunia. Sekali lagi bukan persoalan kualitas pemain, melainkan lebih disebabkan oleh kepemimpinan wasit asal Uni Emirat Arab itu yang bikin saya ikut-ikutan kesal.
Betapa tidak! Kepemimpinannya yang saya anggap kurang profesional membikin anak-anak Indonesia memiliki tekanan emosional tersendiri. Selain harus waspada menghadapi pemain Arab yang rata-rata berpostur tinggi dan gede, mereka juga harus ekstrawaspada menghadapi kepemimpinan wasit yang jelas-jelas di depan mata memihak Arab. Hal itu bisa dilihat dari beberapa keputusannya yang kontroversial. Kubu Indonesia banjir kartu kuning, sementara pemain Arab yang memasang strategi “bermain lamban” terasa nyaman dan “enjoy” menikmati jalannya pertandingan. Konyolnya, ketika saat-saat krusial, ketika pertandingan memasuki injury time PSSI harus menghadapi kenyataan pahit. Kedudukan 1-1 tak bisa dipertahankan, hingga akhirnya terpaksa takluk 1-2 akibat pelanggaran yang dilakukan Ismed Sofyan.
Meski kecewa, kita layak memberikan apresiasi terhadap pasukan Merah-Putih yang telah berjuang ekstrakeras mempertahankan nasionalisme di atas lapangan hijau. Perjuangan dan determinasi anak-anak PSSI dalam mempertahankan kehormatan di kancah Piala Asia telah dipentaskan dengan bagus. Lho, lantas apa hubungan antara kepemimpinan wasit dan dunia pendidikan?
Pemberdayaan
Kita pasti tahu dong, tugas utama seorang wasit adalah memimpin jalannya pertandingan atau perlombaan dengan adil, jujur, cermat, disiplin, objektif, dan tidak memihak. Jika ketentuan ini dicederai, disadari atau tidak pertandingan atau perlombaan yang dipimpinnya akan berlangsung kacau dan amburadul. Pemain yang merasa dirugikan cenderung mudah tertekan hingga akhirnya tak mampu menghasilkan keputusan-keputusan yang tepat dan sempurna.
Dunia pendidikan pun juga membutuhkan “wasit-wasit pendidikan” yang memenuhi kriteria seperti halnya dalam sebuah pertandingan atau perlombaan. Lantas, siapakan sebenarnya “wasit” dalam dunia pendidikan itu? Wasit dunia pendidikan kita sebenarnya ada di mana-mana dan berlapis-lapis di berbagai lini, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Merekalah yang menjadi pengambil kebijakan dalam memutuskan segala sesuatu di dalam institusi yang dipimpinnya. Di dalam lingkungan keluarga, seorang ayah sebagai kepala keluarga, jelas layak disebut sebagai “wasit”. Dialah yang akan mengambil keputusan-keputusan penting dan strategis yang berkaitan dengan kepentingan keluarga. Di sekolah, sosok yang layak untuk menjadi “wasit”, jelas kepala sekolah. Demikian seterusnya hingga di tingkat kabupaten/kota, provinsi, kementerian, atau negara.
Lantaran sebagai pengambil keputusan yang penting dan strategis, seorang “wasit” jelas harus bisa memutuskan sesuatu secara adil, jujur, dan berdasarkan pertimbangan hati nurani kemanusiaan. Namun, harus diakui secara jujur, belum semua “wasit” yang ada dalam lingkungan insitusi pendidikan kita memiliki sikap-sikap perfeksionis dan paripurna semacam itu. Pengambilan keputusan lebih banyak diwarnai oleh unsur kepentingan tertentu ketimbang substansi. Tak heran jika dunia pendidikan kita selama ini “nyaris” jalan di tempat. Tak ada dinamika. Kepala sekolah, misalnya, sering kali mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan hirarki kepejabatan ketimbang berdasarkan pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan.
Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang masih bergaya paternalistik seperti di negeri kita, idiom “jangan lihat siapa yang berbicara, tetapi dengarkan apa katanya”, tampaknya masih menjadi sesuatu yang langka. Setiap kali kita menyampaikan tuturan dengan mitra tutur, pertimbangan sosial dan status kepejabatan seseorang sering kali dijadikan sebagai pertimbangan utama. Kultur masyarakat kita yang paternalistik semacam itu, disadari atau tidak, telah memicu munculnya berbagai praktik ketidakdilan dan ketidakjujuran, bahkan sering kali “mengorbankan” orang-orang yang seharusnya layak mendapatkan kehormatan.
Tentu saja, seorang pemimpin insitusi pendidikan yang gagal menjadi “wasit” yang baik, akan menimbulkan berbagai dampak negatif yang bisa menghambat laju dan dinamika dunia pendidikan kita. Suasana kolegial dalam insitusi pendidikan sering kali menjadi suasana “permusuhan” antarteman yang bisa menimbulkan preseden di masa depan. Ini contoh soal yang remeh saja. Di sebuah sekolah, ada seorang guru yang berniat untuk “menggadaikan” SK-nya ke bank karena dia butuh uang untuk berobat isterinya yang sakit. Namun, tampaknya hal itu bukan hal yang mudah bagi guru yang bersangkutan. Tampaknya, sang guru pernah terlibat dalam permasalahan tertentu dengan sang kepala sekolah sehingga negosiasi berlangsung alot. Sang kepala sekolah, dengan berbagai dalih, berusaha untuk menghambat agar sang guru tidak mendapatkan pinjaman dari bank. Walhasil, dengan perasaan mendongkol, sang guru terpaksa gigit jari dan pinjam sana-pinjam sini kepada rekan-rekan sejawatnya yang masih punya nurani.
Hal-hal seperti itu tampaknya sering kali luput dari perhatian seorang pemimpin insitusi. Padahal, sejatinya dalam sebuah institusi, suasana kolegial, bersahabat, akrab, dan penuh sentuhan nilai kemanusiaan perlu dibangun dan dijaga. Jika tidak, akan muncul friksi sehingga bisa menimbulkan berbagai ekses yang bisa menghambat kinerja seseorang.
Nah, ketika seorang pemimpin institusi gagal menjadi “wasit” yang baik, maka yang terjadi kemudian adalah suasana bagikan api dalam sekam yang bisa membara menjadi kobaran api yang dahsyat sewaktu-waktu. Oleh karena itu, tanpa bermaksud untuk menggurui, nilai-nilai keadilan dan kejujuran mesti menjadi pertimbangan utama sebelum sang wasit memutuskan segala sesuatu.
Nah, bagaimana?
Posted inPendidikan Refleksi