Tak Harus Bilang “Brengsek”

(Catatan untuk Kusprihyanto Namma)

Tulisan Kusprihyanto Namma di Suara Merdeka (21 April 1989) berjudul “Penerbitan Puisi, Sekadar Dokumentasi) menarik disimak. Menurut pewmahaman saya, minimal ada dua hal yang ingin digarisbwahinya. Pertama, sajak yang termuat di koran (sajak koran) terpola oleh selera media massa cetak sehingga penyair terjebak dalam sikap hipokrit (kepura-puraan). Denagn demikian, sajak bukan hasil penjelajahan proses kreativitas yang intens.

Kedua, sulit menemukan antologi puisi yang mengandung ekspresi-ekspresi berbeda dan keliaran-keliaran yang mencengangkan karena penyair terbentur struktur birokrasi budaya kita yang cenderung “membatasi” daya jelajah dalam menuangkan kebebasan dan kegelisahan. Saya berusaha memberikan catatan atas asumsi-asumsi yang dilontarkan Kusprihyanto Namma agar tejadi suasana dialogis dalam upaya memberdayakan dinamika sastra Indonesia.

Jadi Tradisi
“Pulchrum dicitur id apprensio”, kata filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Adagium yang berarti “keindahan bila ditangkap menyenangkan” itu menyiratkan makna bahwa keindahan menjadi mustahil menyenangkan tanpa media sosialiasi. Keindahan (sajak) mokal bisa dinikmati orang lain tanpa publikasi.

Karena itu, jika penyair berusaha menembus barikade redaksi sastra-budaya di media cetak dalam memasyarakatkan obsesi visi dan estetisnya, harus dipahami sebagai upaya untuk memperoleh legitimasi kepenyairan. Dan itu sangat perlu dilakukan oleh seorang penyair. Saya yakin, apa yang mereka (penyair) tulis di koran, murni terlahir dari kepekaan nurani, hasil pergulatan daya jelajah kreativitas yang intens. Mereka tidak harus dicurigai sebagai manusia hipokrit yang cenderung menuruti kepuasan selera media massa. Sajak koran mereka tetap menunjukkan penjelajahan rasio akal budi dan budi nurani dalam transpirasi total kepenyairan.

Dorothea Rosa Herliany yang mencuat lewat antologinya “Kepompong Sunyi” pun hingga kini masih aktif meng-“koran’-kan sajak-sajaknya. Lirik Abdul Hadi WM juga bisa kita nikmati lewat berbagai media cetak. Demikian juga halnya karya-karya Linus Suryadi AG, Medy Loekito, Ghufron Hasyim –untuk menyebut beberapa nama—masih butuh legitimasi kepenyairan lewat koran.

Sosialisasi karya kreatif lewat media cetak nyaris menjadi tradisi dalam sastra kita. Pada dekade ’50-an, tradisi itu muncul melalui berbagai majalah. Malah, (almarhum) HB Jassin, Pamusuk Eneste, atau Satyagraha Hoerip –sebagai editor penerbitan buku—karya-karya para sastrawan yang tersebar di berbagai media cetak pun terbit menjadi sebuah buku.
Kalaulah tradisi itu berlanjut hingga sekarang, harus dimaknai sebagai upaya penyair untuk tetap memiliki publik (massa) yang nyaris tersingkir oleh hiruk-pikuk teknologi di tengah peradaban global. Seandainya ada penyair yang memasyarakatkan sajak-sajaknya tidak melalui media cetak, dia tinggal menunggu idealisme itu terkubur bersama mimpi-mimpinya di tengah sergapan kemajuan zaman.

Penyair pun bagaikan “rusa masuk kampung”, lantaran sajak-sajaknya hanya akan menjadi deretan kegelisahan yang tak tersalurkan. Sajak tak bermakna tanpa publik.

Pendanaan dan Etika
Ditawarkan langsung ke penerbit? Bukan hal yang gampang. Banyak faktor penghambat (jeopardizing factors). Satu di antaranya, pendanaan. Menurut pengakuan Panca Agni (Semarang) untuk menerbitkan Lubang Tanpa Dasar Gufron Hasyim, betapa ia harus rela tekor demi seonggok idealisme dan obsesi yang menggumpal. Untung saja, Suara Merdeka berkenan memasang iklan di buku itu.

Bagaimanapun penerbit tetap berorientasi bisnis. Untung-rugi menjadi tolok ukur demi hidup-matinya perusahaan. Mereka (penerbit) tak mau menanggung risiko dengan menerbitkan buku-buku sastra – hanya demi idealisme dan obsesi—yang tak menjanjikan limpahan materi.

Kalau toh ada penerbit semacam Balai Pustaka, Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara (Jakarta), Pustaka Firdaus (Jakarta), Sinar Baru dan Angkasa (Bandung), atau Panca Agni (Semarang), tidak sembarang karya sastra (sajak) bisa diterbitkan. Tulisan-tulisan yang teruji lewat media cetak tentu menjadi kriteria utama.

Jaminan nama pengarang juga menjadi kriteria yang tak bisa diabaikan. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, “presiden” penyair Indonesia itu berhasil membukukan puisi-puisinya tanpa harus bersikutat dengan media cetak, berkat “pemberontakan”-nya pada “Peradilan Puisi” di Bandung (1974).

Di tengah para sastrawan, Sutardji dengan tenang mengejek sajak-sajak yang dimuat majalah Horison hanya sajak-sajak tak berbobot. Dengan kakinya, konon, dia mampu menulis sajak yang lebih bagus. Jadi, pemberontakan itulah yang melambungkan nama Sutardji sehingga dia demikian disegani kalangan penerbit. Zonder memberontak, jaminan nama Sutardji bukanlah apa-apa.

WS Rendra, F. Rahardi, atau Emha Ainun Nadjib tentulah nama-nama yang demikian tenang dan santun di mata penerbit, meski sajak-sajak mereka tak terekspose media cetak. Nama-nama mereka menjadi bagian “sugesti” pasar buku. Namun, nama-nama penulis yang masih terus berkutat dengan idealisme dan proese kreatif demi memburu jatidiri, bisa dipastikan sekadar dilirik. Bahkan, mereka harus menerima risiko: pulang sambil mengumpat. Padahal, saya yakin, sajak mereka juga mengandung ekspresi-ekspresi yang tampil beda dan keliaran-keliaran yang mencengangkan.

Penerbitan buku-buku “menentang arus” yang sarat keliaran-keliaran budsaya yang mencengangkan mokal terwujudkan. Kurang etis dan tidak pancasilais. Kepekaan rasa, nurani, dan “talenta” kebudiluhuran tetap menjadi ranah etika dan estetika yang harus dikukuhi oleh penulis dan penerbit, kecuali jika ingin seperti “Baladewa ilang gapie”, terpuruk di tengah ingar-bingar peradaban.

Multitafsir
Mengenai sajak koran yang cenderung tidak berpanjang-panjang, ringkas, dan padat, saya pikir itulah hakikat sajak kalau tidak ingin terjebak atau malah berubah menjadi prosa. Sebab, seperti tesis Eka Budanta (1992:4), sajak adalah bentuk ringkas cerpen. Selain itu, sajak adalah karya sastra yang multitafsir. Ringkas dan padat, tetapi sanggup mencuatkan makna dalam berbagai dimensi dan visi, tergantung penafsiran. Tak aneh jika dalam antologi “In Solitude, Medy Lukito hanya membuat tujuh titik yang jaraknya kian merenggang (… . . . .) pada titel “Sajak Jarak”. Sah-sah saja.

Setiap penyair memiliki licentia poetica yang sangat pribadi dalam pergulatan kreativitas. Karena bahasa sajak demikian ringkas dan padat, secara implisit, sajak semacam itu sudah mengandung dekonstruksi nilai. Tak harus bilang “Brengsek!” ketika penyair menatap ketidakberesan di sekitarnya.

Pada akhirnya perlu dipahami, penerbitan buku hasil dokumentasi sajak yang termuat di media cetak adalah simbol eksistensi penyair. Setidaknya, kesan sastra kita adalah sastra borjuis –yang hanya dinikmati segelintir publik—pun tertampik. ***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *