Hari itu, Selasa, 19 Juni 2007 – kebetulan bertepatan dengan ulang tahun saya ke-43—saya didaulat untuk memandu rapat kenaikan kelas VII dan VIII. Seperti layaknya sebuah rapat, maka saya tulis susunan acara dan agenda rapat di papan tulis agar semua peserta yang hadir bisa membacanya sendiri.
Tak mau terjebak dalam suasana basa-basi, rapat saya bawa langsung untuk membahas kriteria kenaikan kelas, baik yang berkaitan dengan masalah akademik maupun non-akademik. Setelah disepakati, rapat langsung terfokus untuk membahas laporan setiap wali kelas, khususnya bagi anak-anak yang dinilai bermasalah.
Dari 7 kelas, tampaknya hanya kelas VIII-A yang “dihuni” siswa bermasalah selama 1 tahun pelajaran. Kecuali wali kelasnya, tak seorang pun yang berupaya melakukan “pembelaan” siswa bermasalah ini. Karena kalah suara, anak yang bersangkutan terpaksa tinggal di kelas VIII. Namun, persoalan ternyata melebar. Setelah usut sana usut ini, ada juga penghuni kelas VIII lain yang digua bermasalah, yakni dari kelas VIII-C. Berdasarkan amatan para guru siswa ini juga tak kalah “badung”-nya dengan siswa sebelumnya. Repotnya lagi, hampir semua guru menyuarakan “pencitraan” yang (nyaris) sama, “badung”, “mbolosan”, “tak hormat pada guru”, sering mangkir, bahkan pernah mencuri uang milik teman sekelasnya. Jadilah, rapat kenaikan kelas itu jadi ajang “pencitraan” dan “pembunuhan” karakter terhadap siswa tertentu yang dinilai telah bermasalah.
Maka, ketika acara inti sampai pada titik klimaks, keputusan penting dan krusial pun harus diambil. Secara kelembagaan, dua siswa tersebut terpaksa harus tinggal di kelasnya. “Wibawa sekolah harus mulai dibangun. Kita harus bersikap tegas untuk memberikan efek jera kepada anak-anak yang sikap, perilaku, dan budi pekertinya amburadul!” teriak rekan sejawat dengan lantang. Walhasil, lantaran mayoritas rekan sejawat telah benar-benar bulat untuk tidak menaikkan kedua siswa bermasalah tersebut, akhirnya saya pun harus “mengamini” keputusan.
Ya, perkara naik atau tidak naik kelas, memang merupakan hal yang wajar terjadi dalam dunia persekolahan. Namun, disadari atau tidak, hal itu akan memberikan efek sosio-psikologis yang tidak sepele bagi anak. Secara sosial, mereka telah tercitrakan sebagai anak berkemampuan rendah dengan tingkat intensitas kenakalan yang tinggi. Sedangkan, secara psikologis akan memberikan dampak “inferioraitas” dalam jiwa dan kepribadian anak.
Selain itu, mesti dihindari adanya upaya pencitraan dan pembunuhan karakter anak yang mengarah pada sentimen dan dendam pribadi dari seorang pendidik. Secara jujur mesti diakui, tak jarang rapat kenaikan kelas dijadikan sebagai ajang untuk “membunuh” potensi anak tertentu yang pernah bikin masalah dengan guru tertentu. Lantaran dinilai tidak patuh dan suka membangkang terhadap guru tertentu, anak yang bersangkutan telah dicitrakan secara negatif di depan guru-guru yang lain sehingga dengan sendirinya akan ikut menggiring guru-guru yang lain untuk ikut memvonis si anak sebagai anak yang bandel, susah diatur, dan keras kepala.
Akan tetapi, sebagaimana sebuah rapat, apa pun keputusan yang telah ditetapkan, “wajib” hukumnya untuk dipatuhi. Saya pun harus mengakhiri rapat yang sedikit tegang dan memanas itu sebelum jam 12.00. Sebab, barusan dapat bel dari Dinas P dan K untuk menyampaikan biodata dua teman guru Bahasa Indonesia yang akan mengikuti workshop media pembelajaran di LPMP Jawa Tengah.
Wassalam,
Posted inRefleksi