Kelulusan dan Perilaku Vandalistis

Jumat, 22 Juni 2007, pukul 14.00 WIB, sekolah mengundang orang tua/wali murid kelas 9 untuk menerima hasil ujian. Sebuah momen yang mendebarkan, menegangkan, dag-dig-dug, dan senam jantung. Ya, jerih payah anak-anak bangsa selama tiga tahun lamanya akan ditentukan pada saat itu. Hanya ada dua jawaban yang mereka tunggu: “Lulus” atau “Tidak Lulus”.
Saya mencoba mengamati ekspresi peserta didik saya sebelum hasil pengumuman mereka terima. Tak seperti biasanya. Sebagian besar di antara mereka bersikap dingin, cuek, acuh tak tak acuh. Perangai ramah yang selama ini mereka ekspresikan setiap kali beradu kening dengan saya seperti tersapu kabut.

Namun, ekspresi wajah mereka sontak berubah ketika orang tuanya menyodorkan selembar kertas dalam amplop tertutup. Mereka yang dinyatakan lulus langsung berteriak histeris, sujud syukur, berpelukan rapat, atau berteriak kencang-kencang. Maklum, tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Bisa dipahami kalau mereka mengekspresikan diri dengan cara yang khas yang menurut mereka memang pantas dilakukan.

Akan tetapi, di sudut sekolah yang lain, saya menyaksikan sebuah pemandangan lain. Ekspresi wajah mereka tampak kuyu, suntrut, dan ada perasaan tak percaya terhadap hasil yang mereka terima. Ya, dari 183 siswa, ada 10 anak yang dinyatakan tidak lulus, 3 cowok dan 7 cewek. Umumnya, Bahasa Inggris yang menjadi momok bagi mereka, kemudian Matematika. Sedangkan, Bahasa Indonesia lulus semua dengan nilai tertinggi 9,60, nilai terendah 4,60, dengan nilai rata-rata 7,70.

Emosi saya pun larut ke dalam suasana yang mereka bangun. Dada saya terasa sesak menyaksikan 10 anak didik saya mengekspresikan kesedihan dan kegagalannya. Tiba-tiba saja saya membayangkan bagaimana nanti setelah mereka tiba di rumah. Ketidaklulusan mereka didengar oleh saudara-saudaranya, tetangga, atau mungkin kerabatnya yang lain. Dalam benak saya muncul sebuah “stigma” yang akan tertempel di wajah mereka, sehingga memberikan imbas sosio-psikologis dalam beberapa hari berikutnya. Secara sosial, mereka –untuk sementara waktu– tidak akan banyak menampakkan diri di depan umum. “Stigma” sebagai anak “bodoh” jelas mustahil terelakkan karena vonis masyarakat yang sudah membudaya dan mengilusumsum dalam tradisi masyarakat kita yang stereotype semacam itu. Sedangkan, secara psikologis mereka akan merasa inferior alias rendah diri sehingga akan sulit bergaul. Mungkin saja, mereka akan mengurung diri di kamar pribadinya untuk beberapa hari. Meskipun demikian, saya tetap berdoa semoga mereka bisa menerima semua hasil dan keputusan yang tak mungkin bisa diubah itu dengan sikap lapang dada.

Sebagai seorang pendidik, jelas saya sangat mengharapkan siswa didik saya bisa berhasil dengan prestasi yang bagus. Sayangnya, kenyataan berbicara lain. Mau atau tidak, mereka harus bisa menerima hasil jerih payah mereka selama tiga tahun. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa mereka lakukan agar dapat memperoleh selembar ijazah; mengulang kembali selama 1 tahun atau ikut ujian Kejar paket B (setara SMP).

Ujian, sering kali tidak bisa berbuat adil terhadap semua siswa. Dari 10 siswa didik saya yang tidak lulus itu, selama mengikuti proses belajar mengajar, menunjukkan sikap, perilaku, dan budi pekerti yang baik seperti “anak mami” yang patuh dan penurut. Pendeknya, tak ada perilaku menyimpang yang mereka lakukan selama 3 tahun di sekolah. Ironisnya, tidak sedikit anak-anak yang masuk kategori “badung”, bandel, dan susah diatur, ternyata justru menunjukkan hasil di luar dugaan; lulus. Sudah bisa ditebak, mereka merespon kelulusan itu lewat aksi vandalistis, seperti mengecat rambut atau baju seragam warna-warni dengan cata pilox yang mencolok. Lantas, menggeber knalpot sepeda motor kencang-kencang, berputar keliling kampung dengan berboncengan, dengan bunyi klakson yang memekakkan telinga. Sungguh, perilaku yang sebenarnya kurang pantas lantaran tidak bersedia berempati dan menaruh sikap “bela sungkawa” terhadap nasib temannya yang tidak lulus. Imbauan sekolah untuk bersikap santun dan menyumbangkan baju seragam mereka hanya dianggap angin lalu.

Pada sisi lain, kriteria kelulusan berdasarkan pemendiknas no.45/2006 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2006/2007 pun sebenarnya masih layak untuk diperdebatkan. Misalnya begini. Ada seorang siswa dengan perolehan nilai UN sbb: Bahasa Indonesia 9,20, Bahasa Inggris 5,20, dan Matematika 4,20. Jika dirata-rata, hasilnya 6,20. Terlepas dari kelemahan soal pilihan ganda yang digunakan dalam UN, hasil yang diperoleh siswa tersebut menunjukkan bahwa siswa yang bersangkutan memiliki kemampuan yang menonjol di bidang kebahasaan, tetapi sangat lemah dalam penguasaan ilmu eksakta (Matematika). Namun, lantaran kriteria kelulusan yang mematok angka kelulusan terendah 4,25 dengan rata-rata nilai 5,0, maka anak yang sebenarnya memiliki kemampuan di bidang kebahasaan itu harus terampas masa depannya.

Setiap anak membawa talenta, potensi, dan bakatnya masing-masing. Sampai kapan pun, kalau seorang anak tidak memiliki minat dan kemampuan dalam bidang ilmu eksakta atau yang lain, bisa jadi sampai kapan pun anak akan sulit apabila dituntut harus menguasainya. Ini artinya, nilai kelulusan yang selalu mematok nilai terendah, selamanya akan menimbulkan kontroversi. Oleh karena itu, menurut saya, kriteria kelulusan –kalau UN memang masih diperlukan– tidak mematok angka terendah, tetapi cukup dengan menggunakan nilai rata-rata saja. Dengan cara demikian, talenta, potensi, dan bakat anak tidak terkebiri dan terpinggirkan.

Jujur saja, saya sedih menyaksikan anak didik saya yang sebenarnya memiliki kemampuan menonjol di bidang kebahasaan, tetapi lantaran lemahnya penguasaan materi ajar dalam bidang eksakta, mereka harus terhambat langkahnya menuju ke jenjang pendidikan berikutnya. yang lebih menyedihkan, mereka terpaksa harus menyaksikan teman-temannya –yang sebenarnya memiliki kemampuan pas-pasan di semua mata pelajaran dan dinyatakan lulus– berperilaku vandalistis; sebuah perilaku yang sebenarnya sangat menyakitkan bagi teman-teman sejawatnya yang kebetulan bernasib kurang beruntung.

Ke depan, kriteria kelulusan dan berbagai perilaku vandalistis yang timbul sebagai ekspresi kebanggaan perlu dirumuskan melalui cara-cara yang edukatif dan mendidik sehingga tidak ada anak-anak bangsa negeri ini yang menjadi korban atau sengaja “dikorbankan”. Nah, bagaimana? ***

Ada yang memiliki pendapat, tanggapan, atau komentar yang lain? Silakan posting komentar Anda, terima kasih.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *