Kecemasan Menjelang UN

JIKA tidak ada aral melintang, Mei nanti semua siswa SMP/MTsdan SMA/MA/SMK yang duduk di kelas terakhir akan menempuh Ujian Akhir Nasional(UAN). Namun, Standar Prosedur Operasional (SPO) UAN sebagaimana tertuangdalam Keputusan Mendiknas RI Nomor 153/U/2003 bertanggal 14 Oktober 2003,UAN tahun pelajaran 2003/2004 masih menimbulkan pro dan kontra, terutamayang berkaitan dengan kriteria kelulusan yang mematok batas nilai minimal4,01 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan baik ujian teori maupunpraktik.

Bagi pendukung kebijakan tersebut, batas nilai minimal 4,01 sebagaikriteria kelulusan dinilai cukup strategis dan relevan sebagai startingpoint untuk mendongkrak mutu pendidikan yang dianggap sudah beradadi ambang batas kecemasan.

Ketertinggalan SDM kita di bidang sains dan teknologi harus dikejarmelalui peningkatan mutu keluaran sekolah agar kelak mereka tidak mengalami”gagap budaya” ketika menghadapi berbagai perubahan di tengah-tengahperadaban global. Bagi sekolah-sekolah maju, terutama di kota-kota besar, keputusan tersebutmungkin tidak memberikan dampak kejutan apa-apa. Kelengkapan dukungan sarana/prasarana/ fasilitas sekolah dan keakrabanmereka terhadap dunia mulitimedia bisa menjadi jawaban terhadap tuntutankelulusan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Namun, bagi sekolah-sekolah pinggiran di pelosok-pelosok desa yang secarageografis jauh dari sentuhan kemajuan peradaban modern, kriteria kelulusantersebut bisa jadi akan menjadi beban tersendiri.

Selain minimnya dukungan sarana, prasarana, dan fasilitas, sekolah-sekolahpinggiran pada umumnya menghadapi masalah rendahnya tingkat kecerdasaninput, sikap permisif, dan masa bodoh orang tua terhadap pendidikanatau minimnya tenaga pengajar yang andal dan profesional. Ini artinya,sekolah-sekolah pinggiran akan menghadapi masalah baru akibat banyaknyasiswa yang diperkirakan tidak bisa lulus.

Kecemasan
Jika kekhawatiran tersebut benar, paling tidak ada tiga implikasisosial yang muncul. Pertama, pihak sekolah merasa tidak nyaman karena kemungkinanbesar akan menghadapi serbuan orang tua murid yang anaknya gagal meraihpredikat lulus.

Para orang tua murid umumnya tidak mau tahu terhadap ketentuan dan SPOyang harus dilaksanakan oleh sekolah penyelenggara UAN. Yang mereka pahami,si anak harus lulus tepat waktu. Apalagi, mereka telah mengeluarkan sejumlahbiaya untuk keperluan si anak selama menimba ilmu di bangku sekolah.

Di tengah-tengah situasi ekonomi yang sulit, biaya sekolah yang mahalsering menjadi beban tersendiri bagi orang tua murid yang berpenghasilanpas-pasan.

Jika si anak tidak lulus, hasil jerih payah mereka seolah-olah tak adaharganya. Apalagi, untuk tahun ini tidak ada ujian ulang sehingga – mauatau tidak – mereka harus memikirkan biaya sekolah lagi untuk satu tahunke depan.

Kedua, kemungkinan besar pihak sekolah akan menghadapi ledakan jumlahsiswa yang tidak lulus sehingga dikhawatirkan akan menghambat kelancaranpendaftaran siswa baru untuk tahun pelajaran berikutnya.

Sebagai ilustrasi, jumlah siswa di sebuah SMP yang mengikuti UAN padatahun ini 160 siswa (empat kelas). Dari jumlah tersebut, siswa yang tidaklulus, misalnya 80 siswa (dua kelas). Ini artinya, pada tahun pelajaranberikutnya, sekolah hanya bisa menerima siswa baru dua kelas sesuai dengandaya tampungnya.

Lantas, harus belajar ke mana 80 calon siswa baru yang semestinya berhakmenikmati bangku SMP tersebut? Dari sisi ini, pemberlakuan SPO UAN tahunpelajaran 2003/2004 ada kesan kontradiktif dengan Program Wajib Belajar9 Tahun.

Ketiga, secara psikologis anak yang tidak lulus akan dihinggapi sikapinferior dan rendah diri secara berlebihan akibat stigma “bebal danbodoh” yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya. Dampak psikologissemacam ini, disadari atau tidak, memiliki daya “pembunuh” yangluar biasa terhadap motivasi anak dalam mewujudkan masa depan yang lebihbaik. Mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang terbelah (split personality),menjadi anak-anak yang terampas masa depannya akibat vonis “bebaldan bodoh” yang mereka terima.

Dalam konteks demikian, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan,SPO UAN 2003/2004 telah menciptakan kecemasan yang menghantui stakeholderpendidikan: siswa, orang tua, dan sekolah.

Guru-guru kelas III, khususnya pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia,Bahasa Inggris, dan Matematika yang naskah soal UAN-nya dibuat oleh pusat,banyak yang stres dan selalu dihinggapi kecemasan karena khawatir matapelajaran yang diampunya menjadi “kambing hitam” dan biang penyebabketidaklulusan siswa.

Bagi guru kelas III, saat-saat menjelang pelaksanaan UAN adalah situasiyang menegangkan dan mendebarkan sehingga harus memeras otak dan menempuhberbagai cara untuk menyiapkan siswa didiknya dalam menghadapi UAN; entahmelalui les, drill soal-soal, atau pemadatan materi. Belum lagimenghadapi tuntutan dan tekanan dari atasan yang “mewajibkan”mereka untuk menjadi “dewa penyelamat” citra dan nama baik sekolah.

Mengebiri Perbedaan
Siapa pun setuju, mutu pendidikan di negeri ini harus ditingkatkan.Sudah saatnya bangsa ini memiliki generasi-generasi masa depan yang andaldan mumpuni sehingga mampu berkiprah dan proaktif dalam menghadapi tantanganzaman di tengah-tengah peradaban global, tidak hanya sekadar jadi penonton.Namun, terlalu naif jika mutu pendidikan semata-mata diukur berdasarkantinggi rendahnya batas kelulusan siswa.

Penentuan kriteria kelulusan 4,01 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan,pada hemat saya, justru memiliki kelemahan yang mendasar, yaitu tidak diakuinyaperbedaan kemampuan siswa secara individual. Bahkan, bisa dibilang KeputusanMendiknas Nomor 153/U/2003 telah mengebiri perbedaan individual anak yangseharusnya ditumbuhkembangkan secara optimal di bangku sekolah sesuai dengantalenta mereka masing-masing.

Secara alamiah dan kodrati, anak-anak pada hakikatnya memiliki perbedaankemampuan. Anak yang menonjol di bidang kesenian misalnya, belum tentuberkemampuan yang sama di bidang eksakta. Anak yang menonjol di bidangilmu-ilmu sosial, bisa saja lemah penguasaannya terhadap ilmu-ilmu alam.Demikian pula anak-anak yang memiliki talenta di bidang olahraga, bisajadi mereka memiliki kelemahan dalam menguasai bidang yang lain.

Namun dengan Keputusan Mendiknas tersebut, muncul kesan kemampuan anak-anakhendak diseragamkan. Mereka harus memiliki standar kemampuan yang samauntuk semua bidang ajar yang diujikan. Agar bisa lulus, mereka harus mendapatkannilai minimal 4,01 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan. Akibat keputusantersebut, bisa saja terjadi seorang peserta UAN – sebut saja si A – yangmendapatkan nilai rata-rata 7,50 terganjal kelulusannya karena ada salahsatu mata pelajaran yang nilainya di bawah 4,01.

Sebaliknya, siswa yang mendapatkan nilai rata-rata 4,01 – sebut sajasi B – karena secara kebetulan nilai setiap mata pelajaran 4,01 bisa meraihpredikat lulus, memperoleh ijazah, dan berhak melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.

Kalau mau jujur, si A jelas lebih bermutu karena hanya memiliki kelemahanpada salah satu mata ujian dibandingkan dengan si B yang memiliki kemampuanpas-pasan yang merata di semua mata ujian.

Pertanyaannya sekarang, generasi masa depan macam apakah yang diinginkannegeri ini. Generasi semacam si A yang berkemampuan menonjol di bidangtertentu atau generasi semacam si B yang berkemampuan pas-pasan secaramerata di berbagai bidang? Jika generasi semacam si B yang dibutuhkan,lantas untuk apa program penjurusan di SMA/MA/SMK atau fakultas di perguruantinggi? Sia-sia saja program “spesialisasi” itu diterapkan bilapada kenyataannya perbedaan kemampuan anak secara individual dikebiri dantidak diapresiasi.

Bila generasi semacam si B yang lebih dibutuhkan, maka harus ada pemikiranulang dalam menetapkan kriteria kelulusan siswa. Patokan yang digunakanbukan batas nilai minimal untuk setiap mata pelajaran, melainkan batasnilai minimal rata-rata untuk semua mata pelajaran yang diujikan, misalnyadengan mematok nilai rata-rata akhir 6,01. Dengan cara demikian, kelemahansiswa pada mata pelajaran tertentu bisa tertutup oleh keunggulan siswa pada mata pelajaran yang lain.

Sebelum banyak korban berjatuhan, alangkah bijaksananya apabila ada”kemauan politik” pemerintah untuk mengkaji ulang kriteria kelulusansebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Mendiknas Nomor 153/U/2003 bertanggal14 Oktober 2003. Langkah ini akan lebih banyak manfaatnya daripada membiarkanjutaan anak bangsa di negeri ini terampas masa depannya. Kriteria kelulusandengan menggunakan nilai rata-rata akhir, pada hemat saya, lebih masukakal dan memanusiakan peserta didik secara utuh. Kemampuan individual siswadiakui dan dihargai, sehingga anak-anak yang memiliki kemampuan di bidangtertentu tidak menjadi “kelinci percobaan” yang sia-sia akibatkebijakan yang belum teruji benar kesahihannya.

Yang perlu dipikirkan, harus ada penegakan hukum secara jelas dan tegasuntuk mengantisipasi munculnya kecurangan dan manipulasi nilai yang dilakukanoleh oknum-oknum tertentu. Pengawasan dan koreksi UAN harus benar-benardilakukan secara ketat, fair, jujur, adil, dan transparan. Mereka yang diduga terlibat dalam praktik kecurangan dan manipulasi nilai harusditindak tegas, tanpa pandang bulu. Jika penegakan hukum dilakukan secarakonsisten, bukan mustahil negeri ini akan memiliki sistem pelaksanaan UANyang benar-benar objektif dan akuntabel. (29j)
(Suara Merdeka, Senin, 26 April 2004)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *