DI harian ini beberapa bulan lalu, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof Suyanto PhD, pernah melontarkan plesetan KBK menjadi “Kurikulum Bakalan Konyol”. Kini, muncul plesetan lain. Pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) -yang sedang gencar-gencarnya disosialisasikan di kalangan guru- diplesetkan menjadi “Cathet Tinggal Lunga” (catat tinggal pergi); tak ubahnya dengan nasib pendekatan CBSA yang dulu diplesetkan menjadi “Cah Bodho Saya Akeh” atau “Catat Buku Sampai (h)Abis”. Plesetan yang mencerminkan keadaan betapa sulitnya negeri ini mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik dalam ranah dunia pendidikan kita.
Terlepas dari keinginan untuk sekadar berseloroh, isyarat ke arah fenomena semacam itu tampaknya sudah mulai muncul. Buktinya, meskipun Kurikulum 2004 -penjelmaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)- secara resmi telah diluncurkan penggunaannya mulai tahun pelajaran 2004/2005, banyak sekolah, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah, yang tidak meresponsnya.
Kurikulum 2004 baru sekadar menjadi wacana di kalangan birokrat dan praktisi pendidikan; belum menjadi “roh” pembelajaran yang sesungguhnya di tingkat praksis. Sebuah fenemona yang mencemaskan dunia pendidikan kita.
Dari sisi muatan materi dan pendekatan yang digunakan, Kurikulum 2004 sebenarnya mengalami kemajuan yang jauh lebih baik daripada Kurikulum 1994. Pertama, materi lebih ramping, sehingga memungkinkan anak-anak negeri ini mampu menumbuhkembangkan kompetensi dasarnya secara utuh dan mantap.
Hal ini berbeda dengan muatan materi Kurikulum 1994 yang dianggap terlalu “gendut”, sehingga para peserta didik tampak sempoyongan dan tak berdaya dalam menghadapi berbagai perubahan yang berlangsung di sekitarnya. Sikap kritis dan responsif anak-anak terhadap persoalan riil sehari-hari pun menjadi “mandul” lantaran mereka terlalu banyak dicekoki teori dan hafalan yang jauh nilai aplikatifnya dengan kehidupan.
Kedua, Kurikulum 2004 mengajak para siswa didik untuk memasuki situasi kekinian dan masa depan dalam konteks lokal, nasional, dan global, sehingga kelak mereka tampil sebagai generasi masa depan yang “melek iptek”, kritis, terampil, mandiri, bermoral, beradab, dan berbudaya.
Dengan cara demikian, kualitas SDM kita yang dianggap sudah berada di ambang batas kecemasan, pelan-pelan mampu bangkit dan sanggup mengejar kemajuan generasi negeri lain yang sudah melaju kencang di “jalan tol” peradaban dunia.
Ketiga, melalui Kurikulum 2004, atmosfer dunia persekolahan kita bisa di-setting menjadi masyarakat belajar (learning society) di mana segenap elemen institusi pendidikan terlibat dalam interaksi sosial-budaya secara intens dengan lingkungan masyarakat.
Sekolah tidak lagi berada di puncak “menara gading” yang terasing dari komunitas masyarakat sekelilingnya. Sejak dini, para peserta didik telah diperkenalkan dengan berbagai macam persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsanya, sehingga kelak setelah lulus mereka memiliki bekal kompetensi, alias kecakapan hidup (life skills) yang dapat digunakan untuk memecahkan problem hidup dan kehidupan yang mencuat ke permukaan.
Sekadar Pajangan
Namun, peluncuran Kurikulum 2004 tampaknya tidak dibarengi dengan upaya serius dari para birokrat dan pengelola institusi pendidikan untuk mengimplementasikannya secara nyata di tingkat praksis. Hanya sekolah-sekolah tertentu yang dinilai memenuhi Standar Sekolah Nasional (SSN) yang “wajib” menggunakan Kurikulum 2004. Selebihnya, Kurikulum 2004 hanya sekadar jadi pajangan dalam “etalase” dunia persekolahan kita.
Kondisi semacam itu bisa jadi disebabkan oleh sikap pemerintah yang lamban; kurang total dan intens dalam menyiapkan Kurikulum 2004 secara matang. Selain adanya revisi berganti-ganti, sosialisasi yang dilakukan di tingkat bawah pun “simpang siur”, bahkan “menyesatkan”. Banyak persoalan prinsip dan mendasar yang masih “kabur” dan bias.
Program percepatan (akselerasi) dalam prinsip ketuntasan belajar – yang diperuntukkan bagi peserta didik yang tergolong memiliki kecerdasan “istimewa” – misalnya, apakah boleh seorang siswa “istimewa” naik kelas sewaktu-waktu tanpa harus menunggu tahun pelajaran berakhir, sehingga bisa menyelesaikan pendidikan lebih cepat dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya? Jika boleh, bagaimana perlakuan dan kelanjutan dia untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya? Apakah boleh seorang anak “istimewa” masuk ke SMP, SMA/SMK, atau perguruan tinggi sewaktu-waktu; tanpa mengenal tahun pelajaran? Semua masih samar dan penuh tanda tanya.
Sejak tahun 1994, dunia persekolahan kita sudah mengenal program perbaikan dan pengayaan. Program perbaikan ditujukan kepada para murid yang tingkat kecerdasannya berada di bawah rata-rata, sedangkan program pengayaan dimaksudkan untuk meningkatkan wawasan keilmuan anak-anak yang dianggap memiliki kecerdasan “istimewa” di kelasnya.
Namun, secara jujur harus diakui, kedua program tersebut hanya sekadar formalitas, bahkan cenderung menimbulkan praktik penyimpangan dan manipulasi. Anak-anak yang seharusnya tidak naik kelas karena selalu gagal dalam menempuh program perbaikan, terpaksa dinaikkan untuk menjaga “gengsi” sekolah dengan mengatrol nilai sesuai selera. Program pengayaan pun tak lebih hanya sekadar men-drill siswa yang tergolong “cerdas” dengan setumpuk soal yang membuat mereka tidak makin cerdas, tetapi justru makin jenuh dan bosan.
Yang kita khawatirkan, jangan-jangan program akselerasi pun tak lebih hanya sekadar “papan nama” dan “akal-akalan” agar Kurikulum 2004 ini dikatakan lebih kaya dan akomodatif terhadap program kurikulum yang bervariasi (diversifikasi kurikulum).
Persoalan lain pun muncul, misalnya, dimasukkannya mata pelajaran Teknologi, Informasi, dan Komunikasi dalam struktur program Kurikulum 2004 tingkat SMP. Memang benar, anak-anak negeri ini sudah saatnya bersentuhan dengan berbagai produk teknologi dan dunia multimedia. Namun, fakta menunjukkan bahwa sebagian besar sekolah di negeri ini, lebih-lebih yang berada di daerah pedesaan, masih tergolong “buta teknologi, informasi, dan komunikasi”. Tidak berlebihan jika banyak sekolah yang “menolak” Kurikulum 2004 karena mustahil mampu mengimplementasikannya. Hanya sekolah-sekolah di daerah perkotaan yang memiliki sarana/ prasarana/fasilitas serba “wah” dan lengkap saja yang sanggup melaksanakan kurikulum ini. Ini artinya, Kurikulum 2004 menambah beban dan persoalan baru dalam dunia persekolahan kita, bahkan memperlebar kesenjangan desa-kota akibat pertumbuhan dan akselerasi pembangunan yang tidak merata..
Yang mencemaskan, Kurikulum 2004 dianggap tidak memberikan ruang yang cukup bagi optimalisasi mata pelajaran muatan lokal (Mulok) yang selama ini dianggap menjadi ikon dunia pendidikan dalam mengangkat keragaman potensi daerah dan lingkungan. Saat ini, banyak guru mata pelajaran Mulok yang merasa “tidak nyaman” karena jika Kurikulum 2004 dilaksanakan muncul kekhawatiran bakal tergusur. Persoalan semacam ini perlu dipikirkan secara matang agar pelaksanaan Kurikulum 2004 tidak “memakan korban”.
Kemauan Politik
Meskipun demikian, kita tidak perlu bersikap pesimis secara berlebihan. Kurikulum 2004 telah diluncurkan secara resmi. Dalam konteks demikian, sebenarnya tidak ada alasan untuk menunda-nunda penggunaannya. Struktur program Kurikulum 2004 yang dianggap terlalu berat dan kekhawatiran tergusurnya mata pelajaran Mulok, hendaknya bisa diperluwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah.
Kurikulum 2004 tampaknya telah di-setting untuk mewujudkan proses pendidikan formal, sistem persekolahan yang memiliki karakteristik: (1) pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran daripada mengajar; (2) pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel; (3) pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri; dan (4) pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Dalam konteks demikian, yang lebih substansial untuk dipikirkan sebenarnya bukan semata-mata terletak pada kelengkapan sarana, prasarana, atau fasilitas penunjang kurikulum, melainkan pada komitmen dan “kemauan politik” para birokrat dan pengelola pendidikan untuk menjadikan Kurikulum 2004 sebagai “roh” pembelajaran yang sesungguhnya. Tanpa dukungan sarana, prasarana, atau fasilitas yang “wah” dan mewah sekalipun, Kurikulum 2004 bisa diterapkan dengan mengoptimalkan fungsi sumber daya yang ada. Model-model pembelajaran bisa dipilih sesuai dengan konteks lingkungan.
Namun, semua terpulang pada komitmen dan “kemauan politik” para birokrat, pengelola institusi, dan praktisi pendidikan. Apakah mereka bisa saling bersinergi untuk melaksanakan Kurikulum 2004 dengan sungguh-sungguh? Atau, hanya menjadikan Kurikulum 2004 sebagai wacana yang gegap-gempita dalam ruang-ruang seminar dan sosialisasi, bahkan hanya sekakar menjadi perangkat pendidikan yang terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika? Indah rumusannya, tetapi miskin implementasinya. Pertanyaan-pertanyaan di atas tak membutuhkan jawaban secara oral, tetapi aksi. Sudah saatnya dunia pendidikan kita bergerak secara dinamis mengikuti derap peradaban yang tak henti-hentinya menawarkan perubahan. Tanpa ada komitmen dan “kemauan politik”, maka kekhawatiran bahwa Kurikulum 2004 akan berakhir konyol hanya tinggal menunggu waktu. (29)
(Suara Merdeka, Senin, 06 September 2004)