Revitalisasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah

Sebagai bahasa resmi (negara), usia bahasa Indonesia sudah mencapai bilangan ke-62 tahun. Bahkan, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah berusia 79 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat “kematangan” dan “kesempurnaan” hidup, sebab sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah. Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar pun pemerintah telah menempuh “politik kebahasaan” dengan menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.

Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?

Kepala di Bilik Sarkawi

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Bilik Sarkawi yang sumpek, singup, dan gelap diselimuti asap dupa. Baunya yang khas berbaur aroma kembang telon dan minyak serimpi menyedak hidung. Sarkawi merasakan pikirannya hanyut dan tenggelam dalam arus percumbuan yang ganjil. Melayang-layang. Sepotong kepala yang tergantung dalam bilik itu tampak menjelma bagai wajah bidadari. Anggun, cantik, memesona, putih bercahaya, memancarkan aura kegaiban. Sarkawi merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Diusapnya sepotong kepala itu lembut. Mesra. Darah Sarkawi berdesir. Ada sebuah kekuatan aneh yang tiba-tiba muncul dari balik kepala itu, lantas merayap-rayap dan menjalar bersama aliran darah Sarkawi. Lelaki kurus itu tersenyum penuh makna. Ia paham, sinyal itu memberi isyarat bahwa ia harus segera bersiap memasuki pengembaraan batinnya.

Sembari duduk bersila takzim, mulut Sarkawi mulai komat-kamit merapal mantra. Tidak jelas benar apa yang meluncur dari balik bibirnya yang pucat itu. Lantas dengan gerak refleks, ia segera melolos sisir dari balik saku baju kumalnya. Sekali lagi, dengan lembut dan mesra, wajah sepotong kepala dibelainya seperti memperlakukan seorang kekasih. Rambut sepotong kepala yang menjuntai ke bawah itu disisirnya pelan-pelan. Sarkawi tersentak.

Sepotong Kepala

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Para penduduk bergidik ngeri menyaksikan jasad Sukardal yang hanya tinggal gembungnya, seperti bangkai babi yang barusan dibantai tukang jagal. Sepotong kepalanya menggelinding entah di mana. Bayangan kebiadaban menggerayangi setiap kepala.

“Untuk apa orang gemblung seperti Sukardal dibunuh!” teriak seseorang disambung gumam-gumam lirih yang tumpah di tengah kerumunan penduduk.

“Benar-benar biadab!” sahut yang lainnya.

“Kalau bukan iblis, pasti demit yang melakukannya!”

“Belum tentu juga, Kang! Aku yakin, pelakunya pasti manusia! Zaman sekarang, cukup banyak orang yang perangainya melebihi kebiadaban iblis dan demit!”

“Eh! Jangan sok tahu, sampeyan! Jangan suka memastikan sesuatu yang belum jelas kebenarannya! Bisa-bisa sampeyan diperkarakan orang!”

Di manakah Empati Kita terhadap Sesama?

Belakangan ini praktik kehidupan yang terpampang di atas panggung peradaban makin liar dan buas saja. Praktik kekerasan dan vandalisme (hampir-hampir) menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dalam dinamika perjalanan bangsa ini. Lihat saja di layar TV! Kotak ajaib itu seolah-olah sudah belepotan darah setiap hari. Tawuran antarkampung, perampokan, pencurian, penggusuran, pemerkosaan, dan lain-lain sudah menjadi berita jamak sehari-hari. Becermin dari berbagai kejadian tragis itu, ada sebuah pertanyaan yang mengusik nurani kemanusiaan kita. Benarkah kita telah kehilangan empati terhadap sesama sehingga demikian tega menyakiti dan tak peduli lagi terhadap penderitaan hidup sesama?

Banyak pertanyaan yang bisa dikemukakan, mengapa sikap empati kita terhadap sesama seolah-olah sudah terkikis dari dinding hati dan nurani kita. Seiring dengan merebaknya pola dan gaya hidup materialistis, konsumtif, dan hedonistis, yang melanda masyarakat kita belakangan ini, diakui atau tidak, telah membikin perspektif kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyempit. Kesibukan berurusan dengan gebyar duniawi, disadari atau tidak, telah membuat kita abai terhadap persoalan esensial yang menyangkut interaksi dan komunikasi sosial terhadap sesama. Jangankan mengurus nasib orang lain, mengurus diri sendiri saja masih payah? Mengapa kita mesti repot-repot merogoh uang recehan untuk gelandangan dan pengemis kalau mencari duwit haram saja sulit? Mengapa kita susah-payah membantu korban kecelakaan lalu lintas kalau pada akhirnya kita mesti repot-repot memberikan kesaksian di depan aparat yang berwenang? Kenapa kita mesti membebani diri mengurus anak-anak telantar dan yatim piatu kalau setiap pagi kita masih kerepotan memberikan uang saku untuk sekolah anak-anak kita?

Menjual Ideologi Lewat Blog

Beberapa hari belakangan ini, para blogger WP disentakkan oleh kehadiran blogger baru yang unik dan kontroversial. Pasalnya, blogger dengan nama “mistis” Ratu Adil Satria Pinandhita dengan slogan “Pendekar supersakti pemimpin seluruh manusia memasuki dimensi baru” itu selalu nangkring di BOTD WP pada posisi teratas. Efeknya, banyak blogger yang penasaran untuk mengunjunginya. Semakin banyak yang berkunjung, jelas akan makin mengangkat nama blogger itu “setinggi langit”.

Saya kira sudah banyak blogger yang “menelanjangi” kehadiran sang ratu itu dari berbagai sisi, mulai dari ideologinya yang provokatif, menyebarkan kesesatan, menaburkan kebencian, hingga memanipulasi komentar yang mampir di blognya. Ulasan tentang kahadiran “sang ratu” di antaranya bisa dilihat di sandynata, sandynata, BlogGirang, newradical, almascatie, die4pleasure, dan di blog-blog lain yang –mohon maaf– luput dari pantauan awam saya. Persoalannya sekarang, bagaimanakah menyikapi ideologi-ideologi menyesatkan yang dengan sangat sadar dipublikasikan di dunia maya semacam itu?

Siapa Mau Jadi Bloger “Pemberontak”?

Jangan sewot dan geram ketika membaca judul postingan ini, hehehe 😀 Kata pakar pragmatik, untuk menafsirkan maksud sebuah tuturan, baik lisan maupun tulisan, perlu dipahami dulu konteksnya. Tuturan dalam situasi yang bagaimana, apa yang dibicarakan, di mana tuturan itu disampaikan, de-el-el? Dalam konteks ini, saya memiliki pengertian yang sedikit menyimpang dari makna leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam kamus tebal tersebut, kata pemberontak memiliki dua arti, yaitu: 1) orang yang melawan atau menentang kekuasaan yang sah, pendurhaka; 2) orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). Kalau toh harus dimirip-miripkan, saya cenderung memilih arti yang kedua, yaitu orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). “Memberontak” tentang apa, kepada siapa, tujuannya apa? *pertanyaan retorik*

Dalam pengamatan awam saya, blog lebih bersifat personal. Bahkan, dalam banyak hal blog bisa menjadi “wakil” hati nurani sang pemiliknya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan publik. Dengan kata lain, karakter dan kepribadian sang pemilik blog –lagi-lagi ini penafsiran awam– bisa dilihat dari topik yang dipilih, bahasa tutur yang digunakan, blog-blog dan situs lain yang ditautnya, cara membalas komentar, hingga asesori yang dipakai untuk menghias “teras” blognya. Oleh karena bersifat personal, blog bisa dipakai untuk apa saja; berteriak-teriak, menyumpah-nyumpah, mengungkapkan cinta, kerinduan, kebencian, deelel. :mrgreen:

*Kembali ke topik*

Nasionalisme Kita Telah “Mati Suri”?

……….
Aku memandang zaman.
Aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh merk asing,
dan jalan-jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
Aku meludah di atas tanah.

Aku berdiri di muka kantor polisi.
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
punuh debu,
penuh kucing-kucing liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.
………

(WS Rendra dalam SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON)

Sengaja saya kutip puisi si Burung Merak untuk mengawali postingan ini. Mumpung lagi hangat-hangatnya soal nasionalisme mencuat ke permukaan menjelang 17 Agustusan ini. Sebuah puisi yang sarat parodi dan sindiran terhadap spirit nasionalisme kita yang dinilai mulai terkikis dan tergerus oleh nilai-nilai global. Bahkan, ada yang secara ekstrem menyatakan bahwa nasionalisme di negeri ini telah mati suri. Betapa tidak! Lihat saja anak-anak muda kita yang dengan begitu bangga menjadi pemakai benda-benda merk serba asing. Demikian juga ibu-ibu pejabat kita yang lebih suka menghambur-hamburkan uangnya ke Singapura daripada ikut memberikan keuntungan kepada para pedagang kaki lima. Lihat juga betapa banyaknya orang kaya baru alias OKB yang suka memarkir milyaran atau trilyunan rupiah di bank-bank luar negeri ketimbang ikut andil membesarkan bank-bank di negerinya sendiri. Agaknya, nasionalisme kita sudah benar-benar dijajah oleh “tuhan” lain bernama materialisme, hedonisme, konsumtivisme, fatalisme, chauvinisme, dan isme-isme culas lainnya.

17-Agustusan, Jangan Terjebak Seremoninya, Bung!

Gaung 17-an telah menggema di seantero tanah air, mulai dari pedalaman, pesisir, pegunungan, hingga ke dusun-dusun yang nyaris tak pernah tersentuh kemajuan. Semua anak bangsa saling berlomba merayakannya, mulai dari baca puisi, karnaval, hingga upacara-upacara. Namun, seringkali kita lupa menyentuh roh dan maknanya. 17-an hanya sebatas dimaknai bagaimana agar suasana yang dibangun tampak rame, meriah, dan gemebyar. Semangat juang yang terkandung di dalamnya nyaris terlupakan.

Padahal, 62 tahun yang silam, para pejuang negeri ini mengorbankan jiwa dan raganya demi menjaga kehormatan dan martabat sebuah bangsa. Mereka yang telah tenang di alamnya, tentu akan merasa sedih menyaksikan kondisi Indonesia yang kini masih silang sengkarut. Korupsi makin menjadi-jadi bagaikan gunung es –jika tutupnya dibuka mungkin seperti kotak pandora– angka kriminal tak juga drop, kemiskinan hampir mencapai 50 juta jiwa, pengangguran masih menguasai sebagian besar kaum muda kita. Quovadis bangsa kita pasca 62 tahun merdeka?

Pendidikan Kita hanya Mencetak “Anak Mami”?

Kita sungguh tak habis pikir menyaksikan berbagai adegan di atas panggung sosial-politik negeri ini. Kearifan, kedewasaan, dan kematangan berpikir tampaknya belum menyatu ke dalam gaya dan pola hidup para figur publik politik kita. “Dendam” pribadi sering dibawa-bawa ke dalam ranah politik publik. Simak saja perseteruan antara Presiden SBY dan Zaenal Maarif (dapat dilihat di sini, di sini, di sini, di sini, di sini, de-el-el). Perseteruan keduanya banyak menyita perhatian publik. Maklum. Apa yang dibicarakan menyangkut pribadi orang nomor 1 di negeri ini. Tak heran jika mulai anak-anak SMP hingga kakek-kakek ikut-ikutan ramai memperbincangkannya. Politik “balas dendam” masih menjadi “amunisi” kaum politisi kita dalam menjatuhkan lawan.