Jagal Abilawa

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Sudah hampir sebulan ini aku dipusingkan oleh ulah Sumi, istriku, yang tengah hamil. Menurut para tetangga, istriku lagi nyidham, hal yang wajar dialami oleh perempuan yang sedang menjalani kodratnya. Dia minta dicarikan seorang tokoh dalam jagad pewayangan, Jagal Abilawa, salah satu kerabat Pandawa yang amat dikagumi lantaran keberanian dan ketegaran hatinya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Kalau sembarangan Jagal Abilawa, bagiku tak masalah. Aku bersahabat baik dengan banyak dalang dan perajin wayang kulit. Tentu, mereka dengan senang hati akan membantuku. Namun, yang diinginkan istriku, Jagal Abilawa yang usianya sudah mencapai usia ratusan tahun. Aku menganggap permintaan istriku merupakan sesuatu yang mustahil. Mana ada wayang kulit yang sanggup bertahan hingga umur ratusan tahun? Kalau toh ada, pasti sudah jatuh ke tangan para kolektor barang antik yang berkantong tebal. Tetapi, istriku tak peduli. Dia terus mendesakkan keinginannya untuk bisa dipertemukan dengan ksatria Jodipati yang perkasa itu.

Ketika hasratnya mulai mendekati kemustahilan, istriku mulai berubah. Dingin dan acuh. Lidahnya tak pernah mau bersentuhan dengan makanan. Tubuhnya tampak kurus. Wajahnya yang cantik berubah pucat dan kuyu. Hampir setiap malam tak pernah tidur. Benaknya menerawang entah ke mana, diserbu hasrat yang menelikung batinnya.

Aku mulai cemas. Kalau istriku terus-terusan seperti itu, jelas akan berpengaruh tidak baik terhadap janin yang dikandungnya. Dan, aku tak mau mengharapkan hal itu terjadi, apalagi ini anak pertama yang sangat kami dambakan setelah lima tahun hidup berumah tangga.

Berminggu-minggu aku menjelajah dan mengubek-ubek berbagai kampung dan kota. Sudah belasan Jagal Abilawa kupersembahkan kepada istriku, tapi tak satu pun berkenan di hatinya. Semuanya ditolak dengan tatapan wajah yang suntrut. Keadaan istriku makin payah dan memprihatinkan. Aku terus mengembara, naik gunung turun jurang, hingga akhirnya aku terdampar di sebuah desa terpencil, jauh dari hiruk-pikuk keramaian.

Di desa sunyi yang diapit dua bukit gundul ini, aku bertemu dengan Ki Jantur Branjangan, dalang tua yang saat jayanya dikenal memiliki kemampuan memainkan wayang lewat perpaduan antara keterampilan sabet dan kekuatan magis. Konon, saat adegan perang, Ki Jantur Branjangan mampu membikin anak-anak wayang bertarung sendiri tanpa sentuhan tangannya di tengah pakeliran. Hebat, atraktif, dan fantastis. Para penonton dibuat tersentak sekaligus terkagum-kagum.

Aku sendiri tidak tahu, kenapa mantan dalang kondang itu bisa terlempar di dusun yang nyaris tak pernah mencium bau asap kendaraan ini. Kehidupannya pun amat menyedihkan. Tinggal di gubuk reot dan tak terawat. Di kanan kirinya penuh rerumputan liar hingga menjalar di atap gubugnya. Yang membuat aku heran, lelaki tua itu mampu menebak maksud kehadiranku. Dengan napas sengal, ia bercerita bahwa sudah sebulan ini kotak wayangnya sering berbunyi sendiri, seperti ada wayang yang ingin keluar dari persembunyiannya di tengah malam. Dan, itu dipahami, ada seseorang yang menginginkan salah satu wayang yang tersimpan di kotak tua itu.

“Aku yakin, kedatangan Sampeyan pasti menginginkan wayang itu!” katanya dengan suara bergetar, tapi wibawa. Aku tersentak.

“Betul, Ki!” jawabku tergagap.

Sembari menyeret langkah, Ki Jantur Branjangan beranjak dari kursi tuanya, menuju kotak wayang yang tertimbun debu berlapis-lapis. Ketika dibuka, aku terperanjat. Ada salah satu wayang yang berdiri di atas tumpukan wayang lain. Dengan tangan gemetar, Ki Jantur Branjangan sangat hati-hati mengambil wayang itu.

“Inilah wayang yang kumaksudkan itu, Nak! Jagal Abilawa!”

“Jagal Abilawa?”

“Ia hendak keluar mencari jodohnya!”

Seketika ingatanku jatuh pada Sumi, istriku. Tentu, Jagal Abilawa milik Ki Jantur Branjangan inilah yang diinginkannya. Setelah meninggalkan beberapa lembar lima puluhan ribu, aku bergegas pulang dengan perasaan lega. Plong.
***

Dilihat dari bentuknya, wayang Jagal Abilawa ini sudah tidak menarik. Warnanya kusam. Di sana-sini sudah geripis, seperti dimakan rayap. Tampil dengan wujud setengah telanjang, hanya mengenakan busana sekadar penutup aurat. Rambutnya yang gondrong hanya diikat selembar kain hitam. Namun, masih menampakkan sisa-sisa keperkasaan. Dadanya bidang. Otot perutnya bertonjolan. Sorot matanya tajam. Kuku pancanaka yang melekat di jempol tangannya tampak kukuh dan kuat.

Ketika wayang itu kusodorkan kepada istriku, ia tampak seperti anak kecil yang telah lama merindukan barang mainannya yang telah lama hilang. Senyumnya mengembang. Lantas, memeluk erat-erat Jagal Abilawa dengan kemesraan yang sempurna.

Aku senang, istriku sudah menemukan dunianya. Gairah hidupnya tumbuh berlipat-lipat. Wajahnya bercahaya. Menjelang tidur, tak lupa istriku memainkan sebentar Jagal Abilawa itu dengan gerakan yang kaku, lalu memeluknya erat-erat di atas dadanya yang padat. Terkadang aku merasa iri, bahkan lebih tepat dibilang cemburu setiap kali melihat Jagal Abilawa berada di atas perut istriku yang makin membuncit. Di mataku, Jagal Abilawa itu seperti wujud yang sesungguhnya, melakukan gerakan-gerakan di atas tubuh istriku seperti orang bersetubuh. Sejak kehadiran wayang itu di rumah ini, aku seperti disingkirkan dari kehidupan Sumi. Merasa asing dan tak dipedulikan lagi.

Istriku memang pengagum berat pertunjukan wayang kulit. Saat kami masih pacaran, Sumi sering memaksaku untuk menemaninya nonton hingga tancep kayon. Di tempat-tempat tetangga yang punya hajat, di balai desa, di kantor kecamatan, bahkan hingga di pendapa kabupaten, setiap kali ada pergelaran wayang kulit, Sumi selalu merajuk untuk menonton.

Ia sering menangis sesenggukan ketika sang dalang dengan dramatis menggambarkan kehidupan Jagal Abilawa bersama Drupadi dan keempat saudaranya yang lain hidup dalam penyamaran di negeri Wiratha. Dengan mulut ngedumel, ia mengumpat perilaku para Kurawa yang tega menyingkirkan Pandawa dengan cara yang amat menyakitkan.

Namun, ia berbalik jingkrak-jingkrak ketika Jagal Abilawa berhasil menggasak musuh-musuhnya. Secara refleks, ia mencium dan memelukku di tengah kerumunan para penonton. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga kami membangun rumah tangga.

Sejak Jagal Abilawa hadir di rumah ini, aku mulai menangkap keanehan. Istriku acuh dan tak mau lagi melayaniku. Ia memperlakukan wayang “terkutuk” itu terlalu berlebihan. Ia tetap bergeming ketika dengan cara yang sedikit kasar aku memaksanya untuk melayaniku di atas ranjang.

Ia tak peduli. Jagal Abilawa itu tetap bertengger di atas perutnya, didekap dan dipeluk dengan kehangatan dan kemesraan yang sempurna. Ketika istriku terlena, ingin rasanya aku membuang jauh-jauh wayang keparat itu, atau mengembalikannya ke tempat Ki Jantur Branjangan. Tapi, Jagal Abilawa itu seperti lengket dan menyatu dengan tubuh istriku. Brengsek!
***

Perut istriku makin membesar. Usianya sudah lebih sembilan bulan. Dengan perasaan mendongkol yang masih menyergap dada, aku segera menggantung Jagal Abilawa di atas tempat tidur seperti permintaan istriku. Tiba-tiba saja, istriku mengerang. Perutnya bergerak-gerak.

“Sum, sudah tiba saatnya kamu babaran! Kubawa ke rumah Bu Bidan, ya?”

“Tidak usah cemas, Mas! Anak kita akan lahir dengan sendirinya!”

Aku benar-benar dibikin tak berkutik. Bagaimana mungkin istriku mampu melahirkan tanpa bantuan orang lain? Mataku menyapu seisi kamar. Kulihat perabot-perabot kamar tak berubah. Namun, ketika mataku jatuh ke sosok Jagal Abilawa yang tergantung di atas tubuh istriku, kembali aku tersentak. Wayang kulit itu tiba-tiba saja mengeluarkan asap. Aromanya anyir seperti bau darah. Asap terus bergulung-gulung memenuhi kamar. Lantas, menyatu membentuk sosok Jagal Abilawa yang sesungguhnya. Tubuhnya tinggi dan besar, berotot, berkuku tajam, perkasa. Sosok itu tersenyum. Dengan kecepatan yang sulit kuduga, sosok Jagal Abilawa itu tiba-tiba menghilang seperti tertelan perut bumi.

Bersamaan dengan hilangnya Jagal Abilawa, telingaku mendengar suara tangis bayi. Ternyata benar kata istriku, anakku lahir dengan sendirinya. Tanpa harus mengalami perjuangan yang berat, istriku telah mampu menunaikan tugsanya sebagai seorang istri dengan begitu sempurna. Aku bergegas melihat anakku. Montok dan sehat. Rasa dongkolku berubah jadi haru dan bahagia. Aku telah menjadi seorang ayah. Segera kucium dan kupeluk istriku dengan luapan kebahagiaan.

“Anak kita laki-laki, Sum!” bisikku di telinga istriku. Ia tersenyum.

“Namakan dia Jagal Abilawa, Mas!” pintanya. Seperti dihantam godam, dadaku terasa sakit dan sesak. Setiap kali mendengar nama Jagal Abilawa, aku seperti menatap monster ganas yang hendak memisahkan aku dari kehidupan Sumi. Sembari menahan perasaan tak menentu, kuiyakan saja permintaan Sumi.
***

Belum genap sepekan anakku menjadi penghuni rumah ini, dan belum resmi ia kuberi nama Jagal Abilawa, muncul keanehan pada dirinya. Tidak seperti layaknya seorang bayi, ia begitu rakus dan melahap makanan apa saja yang disodorkan kepadanya. Tubuhnya jadi bongsor dan melebihi ukuran tubuh anak usia lima tahun. Yang membuatku terkejut, ia demikian bernafsu menyedot tetek ibunya. Aku jadi risih terhadap berbagai komentar yang meluncur dari mulut para tetangga.

Tenggorokanku tercekat ketika suatu malam istriku merintih-rintih. Aku bergegas menuju ke kamar. Di luar, banyak tetangga yang masih begadang. Aku terkesiap saat melihat anakku menetek ibunya seperti anak seekor kerbau yang kehausan, berjam-jam lamanya. Istriku terus merintih-rintih. Aku melihat tubuh istriku makin melemah. Loyo. Pucat.

Aku yakin, anakku tak sekadar menyedot air susu, tapi juga darah ibunya. Dengan gerakan kilat aku berjingkat melepaskan anakku dari sisi Sumi. Namun, cengkeraman mulutnya begitu kuat. Aku tak sanggup melepaskannya. Istriku makin tak berdaya.

Aku berteriak minta tolong. Ketika gendang telingaku menangkap derap langkah kaki menuju ke kamar, aku melihat anakku melepaskan tetek ibunya, lantas menyergapku dengan kecepatan tak terduga. Aku tergeragap. Belum sempat menghindar, anakku yang mendadak menjadi sosok mengerikan itu, mencengkeramkan mulutnya ke leherku.

Darahku berdesir. Leherku terasa seperti digigit gugusan gigi yang kuat dan tajam dengan kekuatan penuh. Aku terus berteriak, tapi cengkeraman itu makin dahsyat menggasakku. Telingaku hanya mampu menangkap teriakan histeris para tetangga dengan samar-samar, hingga akhirnya aku tak tahu apa-apa lagi. Gelap. Kulihat Malaikat Maut menari-nari di depanku. ***

No Comments

  1. Ia tetap bergeming ketika dengan cara yang sedikit kasar aku memaksanya untuk melayaniku di atas ranjang

    Mungkin pak Sawali kurang ganas ngalahin sang Jagal,….

    Ke..ke..ke… 🙂

  2. @ Yari NK:
    OK, nggak apa-apa Bung Yari, makasih dah mengunjungi duluan, hehehe 😀

    @ Mbelgedez:
    Weleh3, ceritanya lagi nafsu banget, yak, Mas Mbel, komennya rentep nyampek podium 4, hehehehe 😀 OK, makasih.

    @ gempur:
    *Halah* Lagi belajar nulis cerpen, Pak Gempur. OK, makasih.
    (Maaf, masih pakai login blog sekolah yang baru aja dibikin teman, hehehehe 😀 )

  3. Jagal Abilawa itu nama alias dari Werkudoro alias Bimo ya Pak? Lha sampeyan kudune ngunjuk Kuku Bimo, biar bisa ngalahin si Jagal.

    ———————-
    Walah, Mas Nude kok pakai sposnsor segala, hehehehe 😀

  4. Waduh aku bacanya mrinding mas… hiiiiiii… mengerikan!

    Dua cerpen yang kubaca aneh-aneh. Kalau kemarin bau busuk di desa gara2 si Lurah koruptor. Kalau ini cerpen gara-gara ngidamin tokoh aneh “Jagal Abilawa” yang mendapatkan jodohnya berupa isteri yang hamil. Seorang tokoh antagonis, sadis dan bukan golongan pandawa. (bener gak?)

    Pelajaran apa sih Kang Sawali yang ingin diungkapkan? kejadian ini kan hanya ada di negeri antah berantah… sastra emang begitu. Mirip karya-karya sastrawan besar seperti *mikir* lupa pak… (saya mau menyebutkan cerpen Harimau-harimau) sapa ya pengarangnya.

    Ya sudah lah banyak pelajaran yang bisa didapat dari sini… 🙂

    ————————-
    Kayak sedang berada di mana gitu, kok sampe merinding segala 😆
    Hahahahaha 😆 Kayaknya memang lagi senengnya cerita yang serem2 Mas Kurt. Pelajaran moral apa, ya? Yang pasti, saya sekadar ingin bercerita untuk mebebaskan mitos yang selama ini berkembang di tengah masyarakat mengenai penilaian hitam-putih. Dalam jagad pewayangan, pandawa digolongan sebagai kalangan putih yang serba baik dan tidak pernah berbuat salah, sedangkan kurawa digolongkan sebagai pihak yang penuh dosa dan angkara. Tapi, dalam realitas kehidupan kan nggak seperti itu, Mas Kurt. Nggak ada manusia yang bebas dari cacat dan cela. Jagal Abilawa alias Werkudoro (dari kalangan Pendawa) pun ternyata bisa berbuat onar, bukan?
    Yeah, kalau “Harimau-Harimau” mah sebuah novel *halah* bukan cerpen. Tuh karya Mochtar Lubis, hehehe 😀

  5. wah kecewa-kecewa, jagal abilawa ndak seperti itu.. itu sih gendoruwo.
    jagal abilawa itu raksasa yang bijak, penyayang keluarga, pernah ia merelakan dirinya disiksa demi nakula sadewa bisa makan.
    tapi repot juga ya kalo istri ngidam yang aneh2.. 😛

  6. Cerpen-nya menarik Pak Guru, seperti biasa-nya.
    Tapi aku punya satu pertanyaan, kenapa dan apa hubungan karakter Sumi dengan ke-suka-an-nya terhadap Jagal Abilawa? Alasan-nya apa karena keinginan sendiri dari karakter tersebut, atau merupakan panggilan mistis dari Jagal Abilawa? 🙄

  7. @ brainstorm:
    Hahahaha 😆 Ya, ya, ya, dalam jagad pewayangan, Jagal Abilawa memang dikenal sebagai ksatria Jodipati perkasa dan penolong sehingga diidolakan para penggemarnya. Nah, dalam realitasnya, agaknya dikotomi karakter hitam-putih sudah mulai luntur karena hampir tak pernah ada orang yang sempurna. Cerpen ini setidaknya ingin melakukan pembebasan mitos seperti itu. Jagal Abilawa dalam dunia imajiner bisa memiliki karakter apa saja, hehehehe 😆 OK, makasih.

    @ extremusmilitis:
    *Halah* Hanya menuruti imajinasi yang sedang liar, Bung Militis. Ceritanya sih Sumi mengidolakan Jagal Abilawa, tokoh dalam dunia pewayangan yang perkasa dan baik hati sampai2 ketika hamil pun nyidham wayang idolanya itu. Nah, lewat cerpen, saya ingin membebaskan mitos bahwa penggambaran karakter manusia secara dikotomis: hitam-putih itu sebenarnya tidak ada karena tidak ada manusia yang sempurna. Hanya itu, hehehehe 😀 OK, makasih Bung Militis.

  8. jagal abilawa, ya…
    hooo…jadi inget bab wirata parwa dari mahabarata.

    tapi ceritanya pak sawali bikin surprise endingnya. tadinya saya mikir, ceritanya bakal sama seperti imej yang terbangun tentang jagal abilawa selama ini; nama aliasnya werkudara aka bimasena waktu pengasingan 1 tahun di wirata dan berhasil membeteti rajamala, kencakarupa, dan rupakenca, 3 ksatria wirata yang jadi musuh dalam selimut prabu matsyapati.

    *denger seputaran wayang, jadi gatel pengen nambahin* :mrgreen:

  9. nambah lagi, pak. mitos hitam-putih absolut itu sendiri bukannya malah sudah dianggap ga ada sejak penggambaran awal perkembangan wayang kulit di indonesia?

    kalo yang saya tangkap, warna jarik werkudara yang hitam-putih (seperti juga rsi hanoman) sudah menggambarkan filosofi bahwa memang nggak ada manusia yang sempurna. penjabaran lainnya mungkin juga disampaikan lewat nilai filosofis ajiannya werkudara sendiri, wungkalbener; yang jahat dijahati, yang baik dibaiki.

    *mohon maaf kalo kesannya jadi kemaki* 😛

  10. @ Shelling Ford:
    Makasih banget Mas Joe, komen Mas Joe makin memperluas wawasan imajinasi saya tentang jagad pewayangan nih. Ketika melakukan penyamaran alias incognito *halah* setelah sukses ditipu oleh Kurawa akibat permainan dadu, di situlah para Pendawa diuji. Benar seperti yang Mas Joe bilang, tokoh2 wayang sebenarnya merupakan simbolik kehidupan manusia. Sayangnya, para dalang sendiri (nyaris) “gagal” menerjemahkan simbol2 itu kepada para penonton. Coba saja sesekali Mas Joe lihat para dalang yang “alergi” terhadap inovasi, baik gagrak Yogya maupun Surakarta, umumnya masih menggunakan dikotomi hitam-putih. Tokoh2 “putih” nyaris tak pernah memiliki cacat, sebaliknya tokoh “hitam” selalu identik dengan kejahatan, hehehehe :mrgreen: Padahal, riilnya, kan nggak begitu. OK, makasih banget Mas Joe.

  11. Sepertinya corak dari karya Pak Sawali mulai menampakkan kekhasannya, maaf ini hanya penilaian saya…karya Pak Sawali sering menyimpan pesan akan budaya (dan juga kadang ada sedikit nilai mistis). Seperti dulu yang cerita tentang Boss Sawali eh Boss Sadeli juga Pak Sawali menyisipkan pengenalan budaya, yaitu tentang Roro Mendut. Maaf kalau saya salah tebak Pak…

    *I take my hat off to Pak Sawali… angkat topi … salute*

    **Maaf saya sedang istirahat lagi jadi jarang mampir**

  12. Iiiiiih…. serem…… kali ini akhir ceritanya lebih bisa ditangkap! Huehehehehe……

    Wah…. Pak Sawali ini sepertinya Alfred Hitchcock-nya Indonesia nih, ceritanya serem2 begini. Tapi siip deh, saya juga sebenarnya suka sekali dengan cerita2 yang di luar batas imajinasi seseorang, seperti ini.

    Coba saja ada mau produser televisi yg mau mensiarkan atau menangkat cerita2nya pak Sawali ke layar televisi, pasti menarik deh seperti Alfred Hitchcock. Yah, mudah2an di masa depan karya2 pak Sawali ini bisa diangkat di layar televisi, pasti menarik. 😀

  13. Ia memperlakukan wayang “terkutuk” itu terlalu berlebihan. Ia tetap bergeming ketika dengan cara yang sedikit kasar aku memaksanya untuk melayaniku di atas ranjang.

    Wah kasihan banget .. dikalahkan oleh wayang. Emang suaminya siapa?? .. btw, ini cerpen kan mas? bukan kisah nyata? .. kalo kisah nyata, betapa menyeramkan dan bakal muncul di berita kriminal TV hehe 😀

  14. @ deKing yang pura-pura hiatus lagi:
    Hahahaha 😀 Ya, ya, ya, saya memang sering diilhami oleh masa lalu saya di kampung yang masyarakatnya masih dikelilingi oleh banyak mitos. Agaknya suasana cerpen saya memang lebih banyak diwarnai suasana ndesa, lengkap dengan gaya hidup masyarakatnya yang masih kolot, primitif, bahkan, dan cenderung masih percaya pada takhayul. Itu masa lalu kok, pak Deking. Sekarang gaya hidup masyarakatnya dah mulai berubah.
    *Walah, makasih apresiasinya, Pak, nggak apa2, Pak. Di negeri orang memang harus pintar-pintar *halah sok tahu nih* membagi waktu, hehehehe 😀 * OK, salam
    *

    @ Yari NK:
    Alfred Hitchcock, pengarang fiksi yang serem2? Kayaknya Bung Yari sering membaca juga karya2nya, yak? Saya malah jarang tuh membaca tulisan2 karyanya :mrgreen:
    Walah, hanya cerpen kayak gini apa ada sih Bung Yari yang berkenan untuk melirik, apalagi membacanya, hehehe 😀 Kalau ada sih makasih banget 😆 OK, makasih apresiasinya, Bung Yari.

    @ erander:
    Iya, ya, Pak, hanya ada dalam fiksi. Kalau sungguhan, entah sudah berapa orang yang jadi korban keganasan Jagal Abilawa. Wah, dan yang pasti akan jadi berita heboh di layar kaca dan maya, hehehehe 😆 Ok, makasih, Pak.

    @ edo:
    Walah, jadi repot-repot menemukan pesan moralnya, ya, Pak. Tapi bebas ditafsirkan kok, Pak Edo, hehehe 😆 OK, makasih.

  15. @ mathematicse:
    Walah, serem lagi, yak, hehehehe 😆 Di Sunda kan juga ada wayang Golek, Pak Jupri. Konon, sebenarnya berasal dari sumber yang sama, Mahabharata dan Ramayana. Hanya saja, epos terus telah dikembangkan sesuai dengan kulturnya masing2. *Halah, maaf kalau sok tahu* OK, makasih Pak Al-Jupri, salam.

  16. Bukan main paman :mrgreen:
    Wah…wah… dari mulai hamil, pencarian wayang, mitologi seorang dalang dan anak wayang, sampai dengan penjelmaan wayang itu sendiri.
    Saya fikir tidak ada deskripsi yang tepat, liar, padat, mencekam, dan sekaligus menghibur. Barangkali semuanya itu ya??

  17. asyik ceritanya karena melibatkan budaya perwayangan yang orang dah makin lupa. eniwei, saya dulu seneng cuma pas bagian goro-goro. nah, kalo ini si jagal yang buat gara-gara di rumah orang tuh, pak guru.

  18. gimana jadinya? Jagoannya mati ga? Happy ending atawa sad ending? Atawa ga jelas ending hehehehe.
    Habis kena perkara dengan para penegak keadilan ya 🙂 Memangnya disedot berapa puluh ribu? Just kidding.

  19. @ munggur:
    Goro-goro dalam pakeliran wayang kulit memang yang paling diminati penonton, Pak, karena banyak guyonan, meski juga banyak kritik yang disisipkan. Hehehehe 😀 Jagal Abilowo yang ini lain, Pak, tidak seperti dalam jagad pewayangan yang perkasa dan baik hati 😆

    @ Iwan Awaludin :
    Walah, Walah, jagoan yang mana toh, Mas. Jagal Abilowo? Para penegak keadilan yang mana? Kayaknya cerpen ini nggak ada sangkut-pautnya dengan yang itu tuh! Hehehehe :mrgreen:

  20. Assalamualaikum pak,cerpen bapak ini sedikit nyenggol fira nih hehehe intinya istri yang lagi ngidham tapi ada cerita pewayangan itu yang menarik pak nambah ilmu nih.Untung fira gak mau yang aneh-aneh maunya diam aja pak hehehe,maaf baru berkunjung lagi soale sekarang ini fisik fira drop banget pak rehat dulu sementara kan bapak bilang jangan di paksain iya kan pak.Sip deh baca cerpennya. Wassalam.

  21. Waw, ini jenis cerpen Kompas sastra..
    Saya suka sekali…!!!
    Terima kasih Pak atas cerpennya..
    Saya ingin bisa membuat tulisan yg bagus seperti ini..
    Bagus sekali Pak…. =)

  22. Duh, mustinya Njenengan pilih nama Gendir Penjalin, Dityakala Lintringmaya (nama lain cakil) atau siapa gitu ….

    Jagal Abilawa tuh kan nama samaran Raden Bima ketika menjalani pengasingan bersama saudara2nya. Dan dalam masa pembuangan itu mereka menetap di Kerajaan Wiratha yang mana Prabu Yudistira mnyamar sebagai mantri pasar bernama kangka, Bima menyamar sebagai tukang jagal bernama JAGAL ABILAWA, Raden Arjuna menyamar sebagai Waria dan menjadi guru tari dengan nama Wrehatnala……… dan Dewi Drupadi – Istri Prabu Yudistira – menyamar sebagi emban / dayang yang mengasuh Putri Wiratha (Dewi Utari), dengan nama Salindri……….

    Dan dalam kisah ini ada beberapa tokoh yang terbunuh ditangan JAGAL ABILAWA, yakni Prabu Susarman (sekutu Prabu Duryodana yang menyerang Wiratha), Rajamala, Rupakenca (Satria Wiratha yang berniat melakukan kudeta)………begitu kira2 (mbok menowo)

  23. Ehhh. Nulis lagi……

    Semua tohoh yang terbunuh oleh Bima (JAGAL ABILAWA) merupakan tokoh jahat (menurut dalang nih). So…… berarti tokoh utama dlm cerpen ini jahat juga dong (kecuali JAGAL ABILAWA)?????? (

Tinggalkan Balasan ke Sawali Tuhusetya Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *