Buku, Penulis, dan Penjara

Diilhami oleh tulisan Bangaiptop “Dukung Bersihar Lubis“, Mas Hoek, dan juga banner keren, buah kreasi Kang Anto Bilang, naluri saya sebagai penulis katrok tiba-tiba ikut-ikutan “memberontak”. Betapa kebebasan yang dijamin pasal 28 UUD 1945 di negeri ini masih silang sengkarut. Masih ada persoalan serius yang harus dituntaskan, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan.

Jujur saja, saya tidak kenal siapa Bersihar Lubis (BL). Pernah sesekali membaca tulisannya di TEMPO. Tulisan-tulisannya lugas, kritis, dan menusuk. Tulisan-tulisan khas yang biasa meluncur dari tangan para jurnalis. Namun, agaknya sikap lugas dan kritis BL berbuah petaka.

Akibat opininya di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007 yang berjudul “Kisah Interogator yang Dungu”, yang mengkritisi pelarangan buku sejarah SMP dan SMU oleh Kejaksaan Agung pada Maret 2007, yang juga mengaitkannya dengan pelarangan novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (BM), dan Anak Semua Bangsa (ASB) pada 1981, BL harus berurusan dengan pijak Kejaksaan Agung (baca di sini). BL diadili di Pengadilan Negeri (PN) Depok karena didakwa menghina instansi Kejaksaan Agung dan dituntut sesuai pasal 207 KUHP dan pasal 316 yo 310 ayat (1) KUHP. Jaksa Penuntut Umum Tikyono dari Kejaksaan Negeri Depok menuntut terdakwa dengan hukuman delapan bulan penjara pada 14 November lalu. Kemudian, BL menyampaikan pleidoinya pada 21 November 2007.

Dalam pleidoinya, BL mengatakan bahwa tulisannya di Koran TEMPO bukanlah perbuatan pidana. “Tetapi adalah wujud ekspresi dalam kebebasan berpendapat sebagaimana dibenarkan dalam pasal 28 UUD 1945, dan merupakan bagian dari alam demokrasi di Indonesia,” kata Lubis. Untuk itu ia mohon Majelis Hakim membebaskannya dari segala dakwaan (dikutip dari sini).

Siapa pun yang pernah membaca UUD 1945, khususnya pasal 28 berikut penjelasannya, saya kira akan sulit membantah kebenaran pleidoi yang disampaikan oleh BL itu. Namun, agaknya di mata hukum (khususnya pihak kejaksaan) BL dinilai telah melakukan penghinaan lantaran menyebut pelarang buku sebagai orang dungu. Itulah persoalan pelik yang tak henti-hentinya menghadang para penulis yang dengan amat sadar ingin melakukan sebuah perubahan.

Buku hakikatnya tak hanya sekadar simbol intelektual. Di dalamnya juga terkandung muatan nilai yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi. Lumpuhnya dinamika dunia keilmuan di negeri ini agaknya lebih banyak disebabkan oleh penafsiran-penafsiran sepihak dari penguasa yang tidak mengizinkan buku-buku yang dinilai “liar” dan “melawan arus” dibaca oleh anak-anak bangsa. Mereka “diharamkan” membaca buku yang mampu memberikan persepsi berbeda terhadap keberadaan sang rezim.

Dampak yang lebih serius, para penulis kreatif yang ingin tampil beda dalam menyuarakan nuraninya seringkali harus selalu berada di bawah ancaman kilatan pedang sang penguasa. Tidak heran apabila dalam beberapa dekade terakhir ini, kita benar-benar kehilangan para penulis “hebat” yang dengan amat sadar ingin melakukan “pemberontakan” terhadap atmosfer fasis yang berlangsung di sekitarnya. Buku, penulis, dan penjara seolah-olah sudah menjadi sebuah mata rantai yang saling mengintai dan menikam.

Kasus hukum yang menimpa BL sebenarnya bukan hanya menjadi keprihatinan BL seorang diri, melainkan juga bagi para penulis –termasuk bloger– yang merasa terancam kebebasannya dalam berekspresi. Yang dihadapi oleh pihak kejaksaan sebenarnya bukan hanya BL, melainkan juga para pendamba kebebasan berekspresi yang ingin mengabadikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan melalui sebuah tulisan. Vonis yang hendak dijatuhkan kepada BL bukan semata-mata vonis untuk BL seorang, melainkan juga vonis kepada para pengusung nilai kebenaran di atas altar peradaban. Ya, vonis untuk BL sama saja vonis untuk para penulis yang berupaya mengabadikan setiap noktah dan jengkal peristiwa menjadi tulisan yang memfosil dalam benak setiap pembacanya.

Oleh karena itu, mari kita berikan dukungan moral kepada Bung Bersihar Lubis sebagai wujud empati kita terhadap sesama penulis yang sedang tersandung masalah hukum. Para bloger bisa memasang banner keren bikinan Bang Antobilang. Mari kita semarakkan dunia blogosphere dengan satu suara “Jangan kekang kebebasan berekspresi”. Nah, salam budaya! ***

——————-

Tembusan:

  1. Bangaip
  2. Bang Antobilang
  3. Mas Hoek
  4. Mediacare
  5. ACI

AddThis Social Bookmark Button

No Comments

  1. Ah ya, apakah kita sedang mengulang kembali kepahitan jamannya sang Widji? dimana kita melihat gengsi penguasa begitu tinggi?
    👿
    makasi sangadh pak, suda ikot mendukung!!!

  2. Saya dukung!
    nama saya anindito baskoro satrianto
    masih kuliah di ilkomp ugm
    kalo datang ke kampus, tanya ke SKK di gerbang fakultas, minta ditunjukin yg mana yg namanya mas joe 😈

    saya ndak takut lho…hohoho!

  3. Dukuuuuuuuuuuuuuung. Kebebasan adalah berpikir, berpikir adalah kebebasan. Musuh berpikir adalah penjara ketakutan dan pisau bermata satu kekuasaan. Jangan biarkan kekebasan dirampas … jangan pula legalkan kebebasan menghajar kebebasan lainnya. Anyaman kebebasan adalah kearifan. Salam.

  4. Begitu Ya? 🙁 🙁
    Segitu susahnya utnuk menyuarakan perubahan.

    Kayaknya kasus ini bukannya akan membuat jera mereka yang kritis, tapi malah akan semakin melecut semangat orang-orang untuk berkarya lebih lugas dan terbuka.
    Sekarang aja kan dah terbukti?

  5. Buku hakikatnya tak hanya sekadar simbol intelektual. Di dalamnya juga terkandung muatan nilai yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi.

    Sungguh besar ternyata arti dari sebuah buku. Sayang memang beberapa nilai kejujuran yang selayaknya disuarakan, membentur tembok kekuasaan. Mari kita dukung beliau!!!

    Salam

  6. Ikut mendukung Bersihar Lubis

    tapi Pak, sebagai guru Bahasa Indonesia, “Dungu” itu sebetulnya kasar atau tidak sih Pak?

    Atau mungkin ada kata-kata lain yang lebih halus dari “Dungu”. Yang lebih kasar juga gpp 😛 hitung-hitung menambah pengetahuan

  7. @ Shelling Ford:
    Iya, ya, ya, Mas Joem, hehehehe 😀 OK, makasih banget dukungannya.

    @ bedh:
    OK, makasih banget dukungannya Mas, Bedh.

    @ M Shodiq Mustika:
    *Halah* Pak Shodiq terlalu berlebihan nih. Yak, memang kalau tulisan telah di-publish, kita mesti siap menerima respon beragam dari pengunjung, Pak, hehehe 😀

    @ Ersis WA:
    Wah, makasih banget Pak Ersis. Kata2 Pak Ersis mengingatkan saya akan pentingnya makna *halah* kemerdekaan berekspresi ketika seseorang telah berniat untuk menekuni dunia kepenulisan. OK, makasih sekali lagi, Pak.

    @ SQ:
    Mudah2an begitu Pak Syam, makin dikekang makin bersemangat untuk menulis. OK, makasih, Pak Syam.

    @ goop:
    Yak, makasih banget dukungannya, Mas Goop. Mudah2an BL tetap konsisten dengan sikapnya dan tabah dalam menghadapi kasus yang menimpanya. OK, makasih.

    @ islaMModern:
    Nggak apa-apa, kawan. Ini negeri demokrasi. Siapa pun boleh beda pendapat. OK, makasih responnya.

    @ mardun:
    Makasih Mas Mardun dukungannya.
    Tentang arti kata “dungu” *halah* menurut Kamus sih memiliki makna: “sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh”, hehehehe 😆
    Tapi itu makna leksikalnya, lho, hehehe 😀 Pemakaiannya sangat ditentukan oleh konteksnya. OK, makasih.

  8. Wah…. saya belum bisa komen banyak nih pak Sawali, soalnya saya belum sempat membaca opininya! Namun saya akan berkomentar secara umum saja:
    Saya heran, kenapa mengkritisi kok dianggap sebagai penghinaan? Sepedas apa sih kritiknya? Kalau memang ini sungguh terjadi di tanah air kita ini, ini melambangkan mental bangsa kita yg masih belum dewasa. Kritik seharusnya dilawan dengan argumentasi kritis yang cerdas pula, bukan dibalas dengan ancaman pelanggaran UU yang kurang relevan….

    Saya hanya bisa mengurut dada…. kapan bangsa ini bisa dewasa ya????

  9. tak ada yang bisa mengerangkeng kata-kata seorang pengarang. seperti sampar, kata-kata seorang pengarang bisa menyebar hingga pulau-pulau yang jauh. itulah sebabnya saya juga nulis ttg bersihar di blog saya. silakan di-link jika diperlukan!

  10. Kata pepatah araba mengatakan :
    AL HAROKAH BAROKAH (pake hijaiah gak pak) الحركة بركة …. bergerak itu adalah kebaikan.
    Jadi jika ada upaya untuk menghambat gerakan (kebebasan berpikir terbuka) maka itu namanya menentang alam itu sendiri. bukankah seluruh alam pun bergerak. tampa gerak yaa mati dong… 🙂

    saya dukung

  11. 1. Saya mendukung pelarangan buku-buku pelajaran sejarah tersebut karena tidak mencantumkan pemberontakan PKI Madiun 1948 dan tidak mencantumkan PKI di belakang G30S. Walau bagaimana pun, buku pelajaran sejarah tersebut pantas dilarang.

    2. Saya mendukung kebebasan berpendapat. Oleh karenanya, saya mendukung Basihar Lubis untuk menuliskan opininya mengenai pelarangan buku-buku itu yang dilakukan oleh orang-orang dungu seperti dikutipnya dari Joesoef Ishak.

  12. Ah, penjara kan hanya mengekang kebebasan secara fisik Pak. Banyak sekali karya-karya hebat yang justru lahir di penjara. Betapa bodohnya rezim yang menganggap bisa memutihkan idealisme seseorang dengan memenjarakan secara fisik.

  13. @ zen:
    Yak, kalau gitu agaknya kita sependapat untuk memberikan dukungan kepada Bung BL. OK, makasih. Blognya dah saya kunjungi dan sedikit memberikan komentar. Salam.

    @ kurtubi:
    Makasih mbanget Mas Kurt telah memperkuat tentang makna kebebasan berekspresi dari sudut pandang keagamaan. Makin menambah dan memperkuat opini itu. Wah ditambah huruf hijaiyyah pula 😆 OK, Mas Kurt, salam.

    @ Kombor:
    1. Hahahaha 😀 Berdasarkan kajian, untuk buku kelas I SMP memang belum membahas masalah Pemberontakan G30S/PKI. Baru membahas tentang kerajaan, sehingga memang tidak dicantumkan.

    2. Yak, setuju banget Kang Kombor.
    OK, makasih.

    @ NuDe:
    Yak, sepakat banget Mas Nude. Sebagian teks dan buku bermutu justru tercipta ketika sang penulis dalam keadaan terpenjara secara lahiriah, tapi rohaniah dan kreativitas tetap tumbuh “liar”. OK, makasih, mas Nudee. Salam.

  14. Waduh telat ini Pak Guru, baru nyadar sedang ada sesuatu yang ter-jadi dengan kebebasan ber-pendapat.

    Ya, di-satu sisi pengekang-an pendapat yang adalah hak asasi setiap orang, jelas sekali harus di-basmi, karena setiap per-bedaan pendapat apa-pun hendak-nya di-selesai-kan dengan fakta dan argumen-argumen yang jelas. Tidak asal main tangkap seperti itu. Untuk ini aku juga men-dukung Bersihar Lubis, bukan sebagai individu, tetapi sebagai orang yang saat ini mewakili perjuangan kebebasa ber-pendapat.

    Tapi fakta tentang peng-hilang-an sejarah, ter-lepas dari benar tidak-nya sebuah sejarah itu, apalagi dalam buku yang di-baca oleh generasi selanjut-nya, aku pikir itu juga salah. Karena suatu bangsa besar oleh sejarah yang mengikuti-nya dari belakang.

  15. @ extremusmilitis:
    Sepakat banget Bung Militis. Dukungan kepada Bung BL bukan semata-mata untuk beliau seorang, melainkan untuk siapa pun yang mendambakan kebebasan berekspresi, baik lisan maupun tulisan.
    OK, salam.

  16. Ketinggalan informasi nih, pak. Walah, kenapa lagi dengan dunia penulisan?. Tapi, setelah baca tulisan ini saya ikut mendukung kebebasan berekpresi sejauh apa yang ditulis itu tidak menjerumuskan.

  17. @ Hanna:
    Setuju banget Mbak Hanna. Bagaimanapun juga kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan nilai-nilai kebajikan dan kearifan hidup sehingga tidak terjebak pada tulisan yang menyesatakan.OK, trims, salam.

  18. wah.. ini yang saya tunggu!
    saya mendukung sepenuhnya!

    saya heran juga, kita ini kok ndak pernah mau mengakui, kalau intansi sudah cemar dan kritik itu membuat suapaya jadi baik, kok mereka ndak pernah mau nerima

    Agh…

  19. PENDAPAT / TANGGAPAN (REPLIK) ATAS PEMBELAAN (PLEDOOI) TERDAKWA a.n. BERSIHAR LUBIS

    “MERINDUKAN DEMOKRASI INDONESIA YANG BERTANGGUNG JAWAB”

    I. PENDAHULUAN
    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh Hakim Ketua Majelis kepada Penuntut Umum untuk menyusun pendapat / tanggapan atas Pembelaan (Pledooi) Terdakwa. Kepada Terdakwa yang telah bersusah payah dengan sekuat tenaga mempelajari surat tuntutan kami dan kemudian menyusun Pembelaan (Pledooi) nya tak lupa pula kami ucapkan terima kasih.

    II. POKOK MATERI PEMBELAAN (PLEDOOI)
    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Setelah kami mempelajari dan mencermati dengan seksama Pembelaan (Pledooi) yang diajukan oleh Terdakwa tersebut, dapat kami formulasikan materi Pembelaan (Pledooi) tersebut adalah sebagai berikut:
    Dalam analisa yuridisnya Terdakwa pada intinya mendalilkan bahwa:
    1. Terdakwa tidak melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 207 KUHP karena menurut Terdakwa menulis opini di surat kabar adalah sebuah bentuk dan wujud ekspresi bangsa Indonesia dalam menyatakan pendapat sebagaimana dibenarkan dalam Pasal 28 UUD 1945. Bahkan merupakan bagian dari alam demokrasi di Indonesia.
    2. Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak lengkap, kabur dan tidak jelas karena hanya mendakwa Terdakwa sendirian saja dan seharusnya Terdakwa diadili berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999.
    3. Mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

    III. PENDAPAT / TANGGAPAN
    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Setelah kami analisa dengan cermat dan seksama Pembelaan (Pledooi) dari Terdakwa tersebut, maka menurut pendapat kami butir-butir Pembelaan (Pledooi) yang diajukan oleh Terdakwa tidaklah didasarkan atas keterangan yang akurat dan hanyalah mengada-ada, penuh dengan manipulasi dan terkesan sekali sangat dipaksakan. Namun demi menjunjung tinggi azas peradilan yang objektif dan tidak memihak serta azas praduga tak bersalah, kami Jaksa Penuntut Umum akan menanggapi Pembelaan (Pledooi) Terdakwa sebagai berikut:

    1. Mengenai butir pertama dalil Terdakwa dalam analisa yuridis Pembelaannya, perlu kami tanggapi bahwa keterangan yang diberikan oleh para Saksi dan Ahli di dalam persidangan sebelum ini adalah keterangan yang diberikan dibawah sumpah. Sehingga semua keterangan tersebut jelas sekali dapat digunakan untuk mendukung pembuktian dan menambah keyakinan Majelis Hakim bahwa Terdakwa memang telah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya.
    Lebih lanjut kami ingin membuktikan sekali lagi mengapa Terdakwa dapat dipersalahkan karena telah melanggar Pasal 207 KUHP.
    Berdasarkan keterangan yang terungkap di persidangan, Saksi Joesoef Isak ketika berbicara di Paris pada tahun 2004, ia melakukannya secara spontan tanpa teks. Dan dalam Pembelaannya Terdakwa berulangkali mendalilkan bahwa ia dalam opininya di Koran Tempo pada tanggal 17 Maret 2007 hanya mengutip pidato Saksi Joesoef Isak di Paris pada tahun 2004. Namun kemudian, dalam Pembelaan Terdakwa pada halaman 10 paragraf 1 Terdakwa mengatakan: “namun ketika Terdakwa memperlihatkan teks pidatonya di Fordham University, New York pada 1999 lalu di depan Majelis dan Jaksa Penuntut Umum, Saksi Joesoef Isak membenarkan bahwa itu memang pidatonya. Bahkan Saksi mengakui adanya istilah kata ‘idiocy’ dalam pidatonya di New York tersebut.”
    Dari pernyataan Terdakwa ini, kami sekali lagi ingin membuktikan bahwa Terdakwa memang dengan sengaja telah dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.
    Dalam hal ini jelas sekali bahwa Terdakwa tidak mengutip ucapan Saksi Joesoef Isak ketika berbicara di Paris pada tahun 2004 sebagaimana berulangkali dikatakan oleh Terdakwa dalam Pembelaannya. Terdakwa pada saat menuliskan opininya di Koran Tempo pada tanggal 17 Maret 2007 memang tidak pernah mendasarkan opininya tersebut pada ucapan Saksi Joesoef Isak di Paris pada tahun 2004, melainkan mempergunakan teks pidato Saksi Joesoef Isak di Fordham University, New York pada tahun 1999 dan kemudian dengan teks tersebut Terdakwa seolah-olah sedang mengutip perkataan Saksi Joesoef Isak di Paris pada tahun 2004. Dalam hal ini Terdakwa jelas sekali memang telah dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia dengan secara sengaja menggunakan kata-kata Saksi Joesoef Isak di Fordham University, New York pada tahun 1999 dan lalu menjadikan kata-kata tersebut sebagai kata-kata Terdakwa sendiri, yang lalu Terdakwa tuliskan dalam opininya di Koran Tempo pada tanggal 17 Maret 2007, namun dengan cara seolah-olah Terdakwa sedang mengutip kata-kata Saksi Joesoef Isak ketika berbicara di Paris pada tahun 2004.
    Hal ini tentunya adalah suatu perbuatan licik yang sangat kejam karena akibat perbuatan Terdakwa ini bisa saja malah Saksi Joesoef Isak yang dituduh telah dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia. Padahal hal itu sebenarnya dilakukan oleh Terdakwa.
    Selanjutnya kami juga ingin menanggapi penyataan Terdakwa yang secara panjang lebar berusaha menjelaskan bahwa ada beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang sebenarnya memiliki arti lebih dari satu, bahkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (lihat Pembelaan Terdakwa mulai dari halaman 12-14). Mengenai hal tersebut, perlu kami informasikan dan tegaskan disini bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana tertera pada halaman 279, kata “dungu” memiliki arti sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. Selain arti tersebut Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak mengartikan kata “dungu” dengan arti lain (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Balai Pustaka: Jakarta, 2001, halaman 279). Oleh karena itu jelas sekali ketika Terdakwa menuliskan opini yang berjudul “Kisah Interogator Dungu”, maka disini Terdakwa jelas sekali menghina dengan menyatakan secara tertulis bahwa Kejaksaan Republik Indonesia sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. Tidak ada makna lain dari kata “dungu” yang dituliskan oleh Terdakwa selain dari arti sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
    Lagi pula, apabila Terdakwa, sebagaimana selalu Terdakwa katakan, tidak pernah menghina dengan kata “dungu” tersebut, maka mengapa Terdakwa harus bersusah payah untuk membuktikan bahwa kata “dungu” sebagaimana Terdakwa tulis tersebut memiliki arti lain, yaitu “ketidaktahuan” (lihat Pembelaan Terdakwa pada halaman 13 paragraf 3). Toh apabila memang bukan Terdakwa yang menghina dengan kata “dungu” tersebut, maka Terdakwa tidak perlu takut dihukum karena memang bukan Terdakwa yang melakukan penghinaan tersebut, meskipun kata “dungu” itu memiliki arti yang menghina. Hal ini tentunya merupakan suatu petunjuk bagi Majelis Hakim bahwa Terdakwa memang dengan sengaja menyatakan secara tertulis di Koran Tempo tanggal 17 Maret 2007, bahwa Kejaksaan Republik Indonesia dungu.
    Lebih lanjut, Terdakwapun mengakui dalam Pembelaannya bahwa ia memang sengaja menuliskan kata “dungu” tersebut dalam opininya di Koran Tempo tangal 17 Maret 2007 (lihat Pembelaan Terdakwa pada halaman 20 paragraf 2-4 dan pada halaman 21 paragraf 5 baris 7-8). Meskipun Terdakwa mengatakan bahwa hal itu tidak dimaksudkan untuk menghina siapapun, yang jelas akibat tindakan Terdakwa tersebut Kejaksaan Republik Indonesia telah terhina dan Terdakwa pun ketika menuliskan penghinaan tersebut Terdakwa lakukan dengan sengaja, yang mana Terdakwa maksudkan sebagai sebuah kritik. Dari pernyataan-pernyataan Terdakwa dalam Pembelaannya tersebut, maka jelas sekali perbuatan yang Terdakwa lakukan telah memenuhi semua rumusan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 207 KUHP, sehingga dengan demikian jelas sekali Terdakwa dapat dipersalahkan karena telah melanggar ketentuan Pasal 207 KUHP.

    2. Mengenai butir kedua Pembelaan Terdakwa, pertama-tama perlu kami jelaskan kepada Terdakwa bahwa ada perbedaan antara acara persidangan dalam suatu perkara perdata dengan acara persidangan dalam suatu perkara pidana.
    Apa yang Terdakwa kemukakan dalam Pembelaannya, yaitu kasus gugatan Wiranto berbeda sekali dengan perkara dimana Terdakwa diadili sekarang ini. Pada kasus gugatan Wiranto, acara yang dipergunakan adalah hukum acara perdata, sehingga memang dikenal istilah “gugatan tidak dapat diterima karena tergugat kurang lengkap”. Namun dalam kasus Terdakwa pada saat ini hukum acara pidana, sehingga tidak dikenal istilah “gugatan tidak dapat diterima karena tergugat kurang lengkap”. Alasannya adalah pertama, istilah yang dipergunakan dalam hukum acara pidana bukanlah “gugatan” melainkan “dakwaan” sehingga pihak yang berperkara dikenal dengan istilah “Penuntut Umum dan Terdakwa” bukannya “Penggugat dan Tergugat”.
    Kedua, apabila memang ternyata selain Terdakwa ada juga pihak lain yang juga dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, maka pihak tersebut dapat juga disidik oleh Kepolisian dan kemudian didakwa oleh Penuntut Umum di kemudian hari dalam perkara yang terpisah dari perkara Terdakwa ini (baik itu sebagai pelaku ataupun dalam kapasitasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP ataupun Pasal 56 KUHP). Sehingga semua yang Terdakwa katakan perihal ini dalam Pembelaannya jelas sekali merupakan suatu hal yang berbeda sama sekali dengan perkara Terdakwa dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkara Terdakwa ini dan sudah selayaknya tidak perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.
    Mengenai Pembelaan Terdakwa yang menyatakan bahwa seharusnya Terdakwa diadili berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, maka dapat kami katakan bahwa pernyataan Terdakwa tersebut sangatlah tidak beralasan dan karenanya tidak perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.
    Alasan kami menyatakan hal tersebut adalah karena, yang diadili dalam perkara ini adalah Terdakwa BERSIHAR LUBIS sebagai orang yang telah melakukan tindak pidana dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, dan bukannya perusahaan yang menerbitkan Koran Tempo.
    Apa yang Terdakwa kemukakan dalam Pembelaannya pada halaman 23 paragraf 4-6 dan pada halaman 24 paragraf 1-2 sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara dimana Terdakwa diadili saat ini. Apabila Terdakwa mendalilkan Pasal 12 UU No. 40 Tahun 1999 untuk juga meminta pertanggungjawaban Koran Tempo atas perbuatan yang telah Terdakwa lakukan, maka hal tersebut jelas sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang telah Terdakwa lakukan. Pasal 12 UU No. 40 Tahun 1999 berikut pejelasannya hanya menyatakan kewajiban sebuah perusahaan pers untuk mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan. Dan hal tersebut dilakukan dengan cara media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan.
    Tujuan dari ketentuan tersebut sebenarnya bukanlah seperti apa yang Terdakwa dalilkan dalam Pembelaannya. Tujuan dari ketentuan Pasal 12 UU No. 40 Tahun 1999 tersebut sebenarnya dimaksudkan agar tidak ada media cetak yang diterbitkan tanpa adanya nama, alamat dan penanggung jawab serta nama dan alamat percetakan media cetak tersebut. Ketentuan ini dibuat oleh pembuat undang-undang dengan tujuan agar apabila ada pihak yang keberatan atas berita dan opini pada suatu media cetak, maka pihak yang berkeberatan tersebut tahu kemana ia harus melayangkan keberatannya tersebut. Jadi jelas sekali ketentuan Pasal 12 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers sebagaimana didalilkan Terdakwa tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan tindak pidana yang Terdakwa lakukan, sehingga memang Terdakwa tidak akan diadili dengan menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, melainkan dengan menggunakan KUHP, karena Terdakwa memang telah melanggar Pasal 207 KUHP.

    3. Mengenai butir ketiga Pembelaan Terdakwa, maka dapat kami kemukakan sekali lagi bahwa apa yang Terdakwa kemukakan dalam Pembelaannya ini sama sekali tidak berdasar, hanya mengada-ada dan cenderung merupakan sebuah kebohongan publik.
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 sebagaimana dimaksudkan oleh Terdakwa hanyalah memutuskan perihal status Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP. Putusan tersebut sama sekali tidak memberikan putusan perihal status Pasal 207 KUHP. Dengan demikian maka apa yang dikemukakan oleh Terdakwa dalam Pembelaannya tersebut menjadi sangatlah tidak relevan.
    Selain itu Terdakwa juga telah melakukan kebohongan publik dengan mengatakan bahwa “dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi menempatkan Pasal 207 ini sebagai delik aduan” (lihat Pembelaan Terdakwa pada hadalam 25 paragraf 5 baris 4-5). Pada kenyataannya Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak pernah mengatakan hal sebagaimana Terdakwa nyatakan dalam Pembelaannya, karena selain Putusan yang menjadi rujukan Terdakwa ketika Terdakwa menyatakan dalilnya tersebut memang tidak membahas mengenai Pasal 207 KUHP, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya tersebut sebenarnya hanya menyatakan sebagai berikut:
    “Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht). Di beberapa negara antara lain Jepang, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan. Article 232 (2) The Penal Code of Japan menentukan bahwa Perdana Menteri akan membuatkan pengaduan atas nama Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri guna pengajuan penuntutan, dan apabila penghinaan dimaksud dilakukan terhadap seorang raja atau presiden suatu negeri asing, maka wakil negeri yang berkepentingan itu yang akan membuat pengaduan atas namanya. Penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHPidana oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana tersebut di atas;” (lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 6 Desember 2006, halaman 60-61).
    Oleh karena itu, hingga detik ini, Pasal 207 KUHP jelas sekali masih tetap berlaku bukanlah merupakan suatu delik aduan. Dengan demikian, Saksi Pudin Saprudin juga tidak perlu dipertanyakan legal standingnya, karena Pasal 207 KUHP merupakan delik laporan dan suatu delik laporan sama sekali tidak memerlukan adanya suatu pengaduan, sehingga semua orang tanpa adanya kuasa dari siapapun berhak, bahkan berkewajiban untuk melaporkan adanya suatu tindak pidana yang terjadi.
    Dengan demikian maka segala apa yang dikemukakan oleh Terdakwa dalam Pembelaannya tersebut menjadi sangat tidak relevan dan tidak perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.

    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Dalam Surat Tuntutan kami, kami telah dengan panjang lebar menguraikan mengapa Terdakwa BERSIHAR LUBIS dapat dan karenanya harus dipersalahkan karena telah melakukan tindak pidana yang melanggar Pasal 207 KUHP. Dalam uraian kami tersebut jelas sekali dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Terdakwa memang telah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya.
    Oleh karena itu dalam menanggapi Pembelaan yang dilakukan oleh Terdakwa kami tetap dengan pendapat kami sebagaimana kami nyatakan melalui Surat Tuntutan kami, karena apa yang dikemukakan oleh Terdakwa dalam Pembelaannya sama sekali tidak berdasar, hanya mengada-ngada saja dan kerenanya harus ditolak.

    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Kami sangat sependapat dengan Terdakwa ketika Terdakwa merindukan hukum Indonesia yang demokratis. Namun hal itu tidak berarti bahwa Terdakwa ketika dalam mempraktekkan dan menikmati demokrasi tersebut dapat melakukannya dengan sekehendak hatinya dan bahkan dengan cara menghina. Satu hal yang perlu diingat bahwa demokrasi juga memerlukan norma-norma dan aturan-aturan dalam pelaksanaannya. Sebuah demokrasi yang tanpa aturan dapat dipastikan akan berujung pada anarki. Penulis opini di media cetak juga Manusia, dan karenanya bahkan Terdakwa pun tidak akan dapat lolos dari hukum apabila ia telah melakukan suatu tindak pidana, dan ternyata Terdakwa ketika mempraktekkan demokrasinya memang telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 207 KUHP.

    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Kemi yakin bahwa Mejelis Hakim yang terhormat, bahkan kami pun pernah tidak setuju dengan suatu kebijakan. Kami yakin bahwa Mejelis Hakim yang terhormat ketika tidak setuju dengan kebijakan tersebut pernah juga menyampaikan ketidaksetujuannya tersebut. Dan kami yakin pula bahwa ketika menyampaikan hal itu, Mejelis Hakim yang terhormat melakukannya dengan cara yang tertib, sopan dan tidak dengan menghina sebagaimana telah dilakukan oleh Terdakwa.
    Hal itulah yang hendak kami tegakkan saat ini. Penyampaian aspirasi telah ada aturannya, bahkan tindakan manusia pun dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hubungannya dengan orang, Penguasa ataupun Badan Umum dan lingkungan sekitarnya telah pula ada aturannya, salah satunya adalah aturan-aturan yang terdapat di dalam KUHP. Sayangnya saat ini seorang yang bernama BERSIHAR LUBIS telah melanggar aturan tersebut, Terdakwa ketika menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap tindakan Kejaksaan Republik Indonesia yang melakukan pelarangan peredaran buku Sejarah SMP dan SMU telah melakukannya dengan menghina Kejaksaan Republik Indonesia dengan menyebutnya sebagai interogator yang dungu. Dan kerenanya telah melanggar Pasal 207 KUHP.
    Kami kira perlu untuk dimulai suatu ketegasan, setidaknya sejak saat ini, bahwa ketika kita bertindak dan bahkan dalam bertutur kata, kita hendaknya harus selalu mempergunakan akal sehat kita dan janganlah melakukan tindakan yang melanggar hukum, meskipun awalnya niat kita adalah melakukan suatu tindakan yang baik dalam suatu alam demokrasi. Perlu kiranya kita mulai menanamkan suatu pemikiran, setidaknya sejak saat ini, bahwa seorang penulis opini, apalagi yang sudah memiliki jam terbang yang luar biasa seperti halnya Terdakwa, seorang yang terpelajar dan memiliki pengetahuan yang relatif lebih banyak di antara bangsa Indonesia lainnya pada saat ini, dapat memberi contoh bahwa seorang intelektual dalam berdemokrasi melakukannya dengan penuh kesopanan, kesantunan, kearifan serta penuh tanggung jawab.
    Oleh karena itu demi tegaknya kepastian hukum dan ketertiban di masyarakat, sangatlah perlu dibuat suatu preseden yang setidak-tidaknya dapat dijadikan sebagai acuan bagi seluruh bangsa Indonesia ini, khususnya para intelektual untuk dikemudian hari dapat bertidak lebih arif dan bijaksana dalam kehidupannya. Karena sangatlah berbahaya apabila tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa ini diikuti oleh orang lain yang mungkin tingkat pendidikannya lebih rendah. Orang-orang semacam itu tentu akan dengan mudahnya mengatakan hal-hal yang jauh lebih tidak sopan dan lebih menghina daripada apa yang telah Terdakwa katakan.

    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Kami kira sudah saatnya kembali kita sekarang menciptakan sebuah persepsi yang baik di mata masyarakat untuk mewujudkan kepastian hukum dan ketertiban yang selama ini selalu didambakan oleh masyarakat. Marilah kita mulai memperbaiki citra aparat penegak hukum dimasyarakat agar masyarakat melihat bahwa aparat penegak hukum benar-benar menjaga ketertiban, keamanan dan menegakkan hukum secara adil.
    Salah satu langkah awal untuk melakukan hal tersebut adalah dengan tegas menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa tidaklah dapat dibenarkan dan merupakan tindakan yang melanggar hukum. Oleh karena itu tidak ada kata lain selain menyatakan bahwa Terdakwa memang bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, dan bahwa tindakan Terdakwa tersebut bukanlah tindakan yang perlu untuk dilaksanakan dalam menyampaikan aspirasinya di alam demokrasi di Indonesia ini.
    Akhirnya Jaksa Penuntut Umum ingin berkata kepada Terdakwa sehubungan dengan perbuatan yang telah Terdakwa lakukan dengan mengutip perkataan yang pernah Frank Sinatra katakan dalam lagunya yang berjudul My Way, yaitu:

    “…for what is a man, what has he got. If not himself then he has naught. To say the things he truly feels. And not the words of one who kneels. The record shows I took the blow. And did it my way”

    (Apalah artinya seorang pria, apa yang bisa dibanggakan dari dirinya. Apabila bukan dirinya maka ia tidak punya apa-apa. Untuk mengatakan hal-hal yang benar-benar ia rasakan [dan berani mempertanggungjawabkannya]. Dan bukan kata-kata dari orang yang berlutut [tunduk begitu saja]. Sejarah menunjukkan saya mengalami akibatnya [mempertanggungjawabkannya]. Dan melakukannya dengan cara saya).

    IV. KESIMPULAN
    Berdasarkan uraian-uraian kami tersebut, jelas sekali bahwa apa yang didalilkan oleh Terdakwa dalam Pembelaan (Pledooi) nya adalah sangat tidak berdasar, penuh dengan manipulasi fakta dan hanyalah mengada-ada saja. Semua hal yang Jaksa Penuntut Umum nyatakan, baik itu dalam surat dakwaan maupun surat tuntutan sudahlah tepat dan sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
    Sesuai dengan kenyataan yang ada Jaksa Penuntut Umum juga telah menggambarkan dan membuktikan rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga telah dapat dibuktikan bahwa Terdakwa memang benar telah melakukan tindak pidana dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 207 KUHP. Oleh karena itu sudilah kiranya Majelis Hakim menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa BERSIHAR LUBIS sesuai dengan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

    Demikian pendapat / tanggapan ini kami bacakan dan disampaikan dalam sidang pada hari Selasa tanggal 27 November 2007

  20. PENDAPAT / TANGGAPAN (REPLIK) TAMBAHAN ATAS PEMBELAAN (PLEDOOI) TERDAKWA a.n. BERSIHAR LUBIS

    “MERETAS ARAH DEMOKRASI PERS DI INDONESIA”

    I. PENDAHULUAN
    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Saudara Penasehat Hukum dan Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh Hakim Ketua Majelis kepada Penuntut Umum untuk menyusun pendapat / tanggapan Tambahan atas Pembelaan (Pledooi) Terdakwa. Tanggapan Tambahan Kami ini terus terang merupakan sesuatu yang baru bagi kami selaku Penuntut Umum, karena pada kenyataannya Tanggapan Tambahan kami ini sebenarnya bukan saja merupakan suatu tanggapan atas pembelaan yang dikemukakan oleh terdakwa / penasehat hukumnya, melainkan lebih kepada pembahasan atau tanggapan kami atas keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh terdakwa setelah atas permintaan terdakwa / penasehat hukumnya persidangan dibuka kembali oleh Majelis Hakim berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (2) KUHAP.
    Pada dasarnya kami masih tetap pada pendapat kami sebagaimana kami kemukakan dalam Tanggapan Kami atas Pembelaan Terdakwa yang telah kami bacakan di persidangan sebelumnya. Namun demi tegaknya kepastian hukum, demokrasi dan kebenaran, kami akan memberikan tanggapan tambahan atas keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi yang dihadirkan oleh terdakwa / penasehat hukumnya.
    Kemudian, kepada Terdakwa / Penasehat Hukumnya yang telah bersusah payah dengan sekuat tenaga menghadirkan saksi-saksi yang [mungkin] meringankan bagi terdakwa untuk diperiksa di persidangan, tak lupa pula kami ucapkan terima kasih.

    II. POKOK MATERI KESAKSIAN
    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Saudara Penasehat Hukum dan Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Setelah kami mengikuti dengan seksama pemeriksaan saksi-saksi yang dihardirkan oleh terdakwa / penasehat hukumnya, dapat kami rangkum bahwa keterangan saksi-saksi tersebut pada intinya hendak menyatakan bahwa:
    1. Menurut saksi yang dihadirkan terdakwa / penasehat hukumnya dinyatakan bahwa pemberitaan dalam surat kabar merupakan tanggung jawab Pemimpin Redaksi.
    2. Apabila ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan maka harus melalui mekanisme hak jawab.

    III. PENDAPAT / TANGGAPAN
    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Saudara Penasehat Hukum dan Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Setelah kami analisa dengan cermat dan seksama keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi di persidangan, maka ada beberapa hal yang perlu kami kemukakan berkaitan dengan keterangan para saksi tersebut demi tegakknya kebenaran dan keadilan.
    Kode Etik jurnalistik di banyak negara biasanya memasukkan klausul yang meminta wartawan memisahkan opini dari berita. Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia mengatur hal ini pada Pasal 5. (“wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan, serta tidak mencapur-adukkan fakta dengan opini sendiri…”) (Dr. Tjipta Lesmana, MA, Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia Dan Amerika, 2005).
    Pemisahan opini dari berita juga terkait dengan persoalan gugatan hukum jika ada pihak ketiga yang merasa tercemar nama baik atau reputasinya akibat publikasi suatu berita. Tidak sedikit wartawan yang berpendapat bahwa gugatan hukum hanya bisa ditujukan pada berita, sedang opini tidak bisa. Konkretnya, orang tidak dapat mengajukan gugatan hukum hanya karena opini yang dipublikasikan suatu penerbitan pers. Benarkah demikian ?. Masalah ini, tampaknya tidak sesederhana seperti yang dipikirkan wartawan. (Lesmana, 2005).
    Seperi dikemukakan Prof. Craig Smith, pakar komunikasi California State University at Long Beach, di Amerika Serikat, sebagai salah satu contoh negara demokrasi besar di dunia, “fair comments” dalam pers dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi. Namun “fair comments” kehilangan perlindungan hukumnya manakala yang menjadi objeknya adalah kepribadian seseorang, tokoh masyarakat atau persoalan pribadinya. (Lesmana, 2005). Dengan kata lain dapat kami elaborasikan lebih lanjut bahwa apabila “fair comments” itu berkaitan dengan sesuatu yang menyinggung kapasitas kepribadian objeknya, seperti menghina dengan perkataan “dungu”, maka “fair comments” tersebut kehilangan perlindungan hukumnya.
    Dalam perkara “Tomy Winata lawan Goenawan Mohamad”, mengenai pernyataan Goenawan Mohamad yang dimuat dalam Koran Tempo edisi 12 dan 13 Maret 2003 yaitu “jangan sampai Republik Indonesia jatuh ke tangan preman, juga jatuh ke tangan Tomy Winata”, kuasa hukum Tempo, Darwin Aritonang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pendapat dan itu sah-sah saja. Namun kemudian Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut di Pengadilan Jakarta Timur yang diketuai Z.A. Sangaji berpendapat bahwa atas pernyataan tersebut Goenawan Mohamad terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. (Lesmana, 2005).
    Persoalan selanjutnya yang hendak kami kemukakan adalah mengenai kutipan. Dalih bahwa pers tidak dapat dituntut karena berita yang dipublikasikannya semata-mata dikutip dari media lain. Hal ini pada umumnya tidak dapat diterima oleh pengadilan, bahkan di Amerika Serikat sekalipun. Karena yang penting disini adalah bagaimana substansi berita yang dipermasalahkan. Jika isinya terbukti menghina pihak ketiga, pers dapat dituntut ke pengadilan. Sebagai contoh, menurut hukum penghinaan (libel law) di Amerika Serikat, kalaupun ucapan seseorang dikutip secara cermat sekali, hal itu bukan merupakan jaminan bahwa si pengutip yang kemudian mempublikasikannya akan bebas dari kemungkinan gugatan hukum, manakala pernyataan yang dikutip itu ternyata salah dan merugikan pihak ketiga. (Lesmana, 2005).
    Di Amerika Serikat, sebagai salah satu negara demokrasi besar di dunia, dimana kebebasan pers sudah dilaksanakan secara cukup matang dan bertanggung jawab, setiap orang yang ikut berperan dalam menyebarluaskan publikasi yang terbukti mengandung unsur penghinaan dapat dituntut ke pengadilan. Jika tulisan itu dimuat di surat kabar, reporter yang menulisnya, redaktur yang mengedit dan memutuskan pemuatannya, percetakan dan pemilik surat kabar, semua dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. (Lesmana, 2005).
    Menurut Dr. Tjipta Lesmana, MA dalam bukunya yang berjudul Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia Dan Amerika, kebebasan pers yang sedemikian besar saat ini di Indonesia cenderung menjadi kebablasan dan telah menimbulkan berbagai ekses yang merugikan masyarakat maupun pers.
    Lebih lanjut ia mengatakan bahwa akibat kebebasan pers yang sudah cenderung kebablasan tersebut sering terjadi pencemaran nama baik, karena kurang teliti atau tidak melalui penelitian secara seksama, sehingga wartawan adakalanya terperosok dalam “libel” (pencemaran nama baik) (Lesmana, 2005), atau bahkan penghinaan. Akibatnya adalah seperti halnya harian Sriwijaya Post dihukum oleh Pengadilan Negeri Palembang karena terbukti mencemarkan nama baik dan kehormatan Z. A. Maulani mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN); Koran Tempo dan Majalah Tempo diadili karena diadukan Tomy Winata; harian Rakyat Merdeka pada waktu yang hampir bersamaan diganjar 2 (dua) hukuman oleh Pengadilan (tingkat pertama), masing-masing karena terbukti mencemarkan nama baik mantan Presiden Megawati dan mantan Ketua DPR, Akbar Tanjung.
    Kemudian Dr. Tjipta Lesmana juga mengatakan bahwa ekses lain dari kebebasan pers yang sudah cenderung kebablasan tersebut adalah banyak terjadinya salah kutip. Masih banyak wartawan yang berpendapat bahwa jika mereka mengutip pernyataan seseorang, apalagi sumbernya sangat credible dan kemudian pernyataan itu ternyata salah, wartawan tidak bisa disalahkan, apalagi dijerat hukum. Ia mengatakan lebih lanjut bahwa pandangan ini tentu keliru. Jika isi kutipan terbukti menghina pihak ketiga, pers dapat dituntut ke pengadilan dan dihukum.
    Suatu peraturan perundang-undangan, sepanjang masih merupakan hukum positif tetap harus dijalankan walaupun oleh pihak-pihak tertentu dipandang tidak adil (H.L.A. Hart, The Concept of Law, 1986). Pandangan ini juga didukung oleh Aquinas ketika ia menulis bahwa “the law should be obeyed, whan to break it would lead to scandal or civic disturbance”. Ahli hukum lainnya, seperti Finnis seperti dikutip oleh Hart mengemukakan, “the good citizen may be morally required to conform to (an unjust) stipulation to the extent necessary to avoid weaking “the law”, the legal system… as a whole”.
    Hukum, apapun bentuknya, termasuk yang dikategorikan tidak adil, tetap harus dilaksanakan. Jika tidak sistem hukum secara keseluruhan akan menjadi lemah. Memang Finnis setuju bahwa terhadap peraturan perundang-undangan yang dinilai tidak adil seyogianya pemerintah mencabutnya.
    Dengan demikian kalangan pers tidak mempunyai alasan untuk tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan apapun yang didalamnya terdapat ketentuan-ketentuan ristriksi atas kebebasan pers, sepanjang peraturan perundang-undangan itu masih berlaku. “Sebagai warga negara Indonesia wartawan juga harus tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia” Tulis R.H. Siregar, Wakil Ketua Dewan Pers (majalah Rasta Sewakottama, edisi khusus HUT Bhayangkara ke-57, hal. 14). Menurut R.H. Siregar, supremasi hukum harus menjadi acuan bagi setiap wartawan dalam menjalankan profesi kewartawanannya. Pandangan yang mengatakan bahwa pemidanaan pers merupakan tindak pelanggaran HAM (Sihombing, 2004) atau wartawan tidak layak dikenakan Pasal-Pasal KUHP karena mereka bertindak “atas nama kemaslahatan umum, melayani hak-hak publik atas informasi” (Sudibyo, 2004) adalah tidak benar; seolah-olah wartawan menuntut diistimewakan di depan hukum. Sikap seperti itu oleh Prof. Dr. Astrid Susanto digambarkan sebagai “arogansi pers” (Sinar Harapan, 9-7-2001). Maka hakim tidak dapat disalahkan jika ia menerapkan ketentuan hukum yang dikatakan “unjust” dalam pertimbangan hukumnya. Sebab semua peraturan perundang-undangan yang disebutkan diatas mengatur masalah-masalah spesifik (seperti penyiaran, keadaan bahaya, kepailitan dan lain-lain); sedangkan jaminan perlindungan terhadap kemerdekaan pers yang diatur dalam UU tentang pers bersifat umum. Hal ini berarti kemerdekaan pers di negeri kita memang dijamin oleh undang-undang namun pada tingkat pelaksanaannya, kemerdekaan itu tidaklah absolut sifatnya (Lesmana, Kompas, 23-10-2003). (Lesmana, 2005).
    Tentang tuntutan agar UU Pers diperlakukan sebagai “lex specialis”, pers tidak usah risih, apalagi marah, jika hakim menolaknya. Wartawan Indonesia harus mengakui secara jujur bahwa UU No. 40 Tahun 1999 belum bisa diperlakukan sebagai “lex specialis”, karena Undang-Undang tersebut menurut ahli hukum Nono Anwar Makarim tidak memenuhi syarat formal maupun material tentang doktrin hukum khusus (Kompas, 6-5-2004, hal. 9). Selain itu masih begitu banyak delik pers yang belum diatur dalam UU tersebut (Lesmana, Law Review, 2004). UU No. 40 Tahun 1999 hanya mengatur 3 delik pers, yaitu pelanggaran terhadap norma agama, norma susila dan asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat (1) ). Bagaimana dengan kabar bohong ?, pencemaran nama ?, delik membuka rahasia negara ?, dan sebagainya ? Karena delik-delik tersebut belum diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999, maka tepatlah kalau hakim mencari peraturan perundang-undangan di luar UU No. 40 Tahun 1999, khususnya KUHP (Amir Syamsuddin, Kompas, 18-9-2004, hal. 4; Lesmana, Pilars, No. 11 Thn VII). (Lesmana, 2005).
    Zoeber Djajadi, SH, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili perkara Tomy Winata lawan Koran Tempo berpendapat bahwa “dalam masalah perncemaran nama baik, Undang-Undang Pers bukanlah lex specialis. Sejak dulu saya selalu mengatakan itu. Pengamat pun bilang begitu!” (Majalah Tempo, No. 48/XXXII/26 Januari 01 Februari 2004).
    Lebih lanjut, dalam Bab VI KUHP diatur ketentuan mengenai gabungan tindak pidana. Pasal 63 ayat (2) KUHP berbunyi “kalau bagi suatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan khusus, maka ketentuan khusus itu sajalah yang digunakan”. Kalangan pers tampaknya keliru dalam menginterpretasikan ketentuan Pasal tersebut. Seolah-olah jika suatu perbuatan pidana diatur dalam dua ketentuan hukum, maka ketentuan hukum khusus yang otomatis diberlakukan. Jadi karena UU No. 40 Tahun 1999 khusus mengatur permasalahan seputar pers, maka semua delik pers yang ditimbulkan oleh pemberitaan pers seharusnya diadili dengan UU tersebut. Hal tersebut tentunya tidak demikian adanya. (Lesmana, 2005).
    Apa arti undang-undang khusus ?. R. Sughandi (hal. 80) memberikan penjelasan sebagai berikut: “undang-undang khusus ialah undang-undang yang berisikan unsur-unsur dari undang-undang umum ditambah dengan sesuatu lagi yang lain. Misalnya Pasal 363 berasal dari Pasal 362 yang dikhususkan. Kedua Pasal ini memuat semua unsur tindak pidana pencurian, tetapi Pasal 363 ditambah dengan beberapa unsur lainnya”. Maka, Pasal 363 lah yang seyogianya didahulukan penggunaannya.
    Jika kita membaca KUHP karangan R. Soesilo (1990), lebih jelas lagi apa sesungguhnya makna prinsip “lex specialis derogat lex generali”. Menurut R. Soesilo sesuatu yang khusus harus memuat semua unsur-unsur dari yang umum, ditambah dengan sesuatu lagi yang lain. Misalnya pembunuhan dengan direncanakan (Pasal 340) adalah pengkhususan dari pembunuhan (Pasal 338).
    Lebih lanjut, berkaitan dengan persoalan hak jawab yang dikemukakan oleh para saksi, Undang-undang Pers di Indonesia tidak mengatur keharusan anggota masyarakat untuk menggunakan hak jawabnya, atau meminta pers mencabut atau meralat berita yang dipermasalahkan sebelum ia dapat mengajukan gugatan hukum di pengadilan. Hal ini berarti masyarakat memiliki kebebasan untuk menggugat pers atau wartawan yang dinilai telah mencemarkan martabatnya. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 yang berkaitan dengan Hak Jawab, umumnya diinterpretasikan bahwa penggunaan Hak Jawab masyarakat sepenuhnya tergantung masyarakat sendiri. Jika hak jawab dipergunakan masyarakat, maka pers wajib melayaninya. Jadi bukan masyarakat yang wajib menggunakan hak jawab itu. Kalau toh pers telah melayani hak jawab itu, juga tidak ada ketentuan yang melarang masyarakat untuk tetap mengajukan gugatan hukum. (Lesmana, 2005).

    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Saudara Penasehat Hukum dan Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Setiap orang yang pernah belajar ilmu komunikasi, khususnya jurnalistik, setiap orang yang pernah belajar ilmu politik atau ilmu pemerintahan atau ilmu hukum menyadari betapa penting arti kebebasan pers bagi kehidupan demokrasi. Kebebasan pers bahkan ditempatkan sebagai salah satu syarat mutlak bagi sistem demokrasi. Artinya pemerintahan di suatu negara tidak dapat mengklaim dirinya demokratis menurut pengertian konvensional yang dipahami cendikiawan dunia sejak 2000 tahun silam manakala persnya tidak bebas, apalagi dibelengu oleh kekuasaan. (Lesmana, 2005).
    Namun demikian, persoalan klasik mengenai kebebasan pers adalah sejauh mana kebebasan itu bisa dilaksanakan? Apakah tidak ada batasnya? Apakah kebebasan berarti “news is anything that fits to print?”. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini pun sebenarnya sudah kita ketahui bersama, yaitu dalam melaksanakan kebebasannya, pers dituntut pertanggungjawabannya. Kebebasan dan tanggungjawab harus berjalan parallel, yang satu tidak boleh mendominasi yang lainnya. (Lesmana, 2005).
    Singkat kata, kebebasan pers bukan saja boleh dibatasi, tetapi dalam batas-batas tertentu memang harus dibatasi. Pasal 10 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom mengakui bahwa kebebasan menyatakan pendapat secara universal memang dilindungi, namun kebebasan itu tidak mutlak sifatnya. Selanjutnya pasal itu menegaskan:

    The exercise of these freedoms, since it carries with it duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribe by law and are necessary in a democratic society in the interest of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary.

    [penerapan kebebasan-kebebasan ini, karena didalamnya melekat kewajiban dan tanggung jawab, dapat ditundukan pada formalitas-formalitas, kondisi-kondisi, pembatasan-pembatasan atau hukuman-hukuman yang diatur oleh hukum dan diperlukan dalam suatu masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional, keutuhan dan kesatuan wilayah, keamanan umum, unuk mencegah kekacauan atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan dan moral, untuk melindungi reputasi atau hak-hak orang lain, untuk mencegah pengeksposan informasi yang rahasia sifatnya atau untuk menjaga kewenangan atau ketidakberpihakan suatu peradilan.]

    Dengan demikian, jika pers dinyatakan bersalah oleh pengadilan, sanksi hukum yang diterimanya merupakan konsekuensi logis yang harus diterimanya. Dalih bahwa pers akan menjadi takut dalam melaksanakan tugasnya, atau kelangsungan demokrasi akan terancam jika pers sering-sering diseret ke pengadilan adalah sunggung absurd. (Lesmana, 2005).
    Pada setiap insan pers Indonesia harus ditanamkan kesadaran bahwa dia bukanlah warga negara yang memiliki hak-hak istimewa, juga bukan manusia yang tak tersentuhkan (untouchable) oleh hukum. Bukankah Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan secara gamblang bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” ?.
    Jika wartawan menuntut supaya mereka hanya diadili oleh insan wartawan sendiri (Dewan Pers) atau jika profesi lain menuntut hal serupa, lalu untuk apa kita membentuk institusi peradilan?. Sekali lagi, semua warga negara berkedudukan sama di muka hukum dan oleh sebab itu semua harus tunduk pada hukum yang berlaku. Jika ada wartawan yang bersalah karena berita yang dibuatnya, atau jika ada profesi lain yang diduga menerima suap dalam kaitannya dengan profesinya, maka semua itu harus dibawa ke muka Pengadilan untuk dibuktikan kebenaran tuduhan tersebut dan kemudian dimintai pertanggungjawabannya. (Lesmana, 2005).
    Dalam konteks ini, tuntutan agar hakim hanya menggunakan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan tidak menggunakan Pasal-Pasal KUHP ketika mengadili wartawan juga tidak rasional. Sebab UU Tentang Pers yang sekarang tidak bisa diberikan status lex specialis. Hanya orang-orang “kerdil” yang tetap saja tidak mau mengerti kalau UU No. 40 Tahun 1999 bukanlah Lex Specialis. Bahkan wartawan senior seperi Rosihan Anwar pun sudah menegaskan pandangannya mengenai persoalan ini. (Lesmana, 2005). Amir Syamsudin, SH seorang pengacara senior secara jernih menulis bahwa “undang-undang pidana positif harus dipandang sebagai pembatasan sah terhadap kebebasan pers secara limitatif dan enumeratif, dapat diterapkan bagi mereka yang menyalahgunakan kebebasan itu. Karena itu, penggunaan ketentuan KUHP sama sekali bukan pemasungan atau pengekangan (ongrebreided) terhadap kebebasan pers (Kompas, 18-9-2004, hal. 4). Istilah “kriminalisasi pers” hanyalah ciptaan segelintir wartawan yang tidak punya makna dari segi hukum. Karena UU Pers kita belum mengatur semua delik pers, mau tidak mau hakim harus menggunakan KUHP jika mengadili perkara yang tidak/belum diatur dalam UU Tentang Pers. (Lesmana, 2005).

    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Saudara Penasehat Hukum dan Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Jika di Amerika Serikat saja, yang merupakan salah satu negara besar dan tertua dimana demokrasi pers sudah berkembang dengan sangat maju, masyarakat bisa menuntut pers ke pengadilan kerena tuduhan penghinaan, mengapa di Indonesia tidak? Mengenai penerapan Pasal-Pasal pidana dalam delik pers, hampir di semua negara berkembang dan sejumlah negara industri maju (seperti Amerika Serikat, Inggris, Austrlia dan Jepang), praktek tersebut masih dijalankan. (Lesmana, 2005).
    Sekali lagi, gugatan hukum mestinya diterjemahkan oleh wartawan kita sebagai peringatan agar mereka lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya. Pekerjaan wartawan diakui sangat mulia dan memiliki nilai strategis dalam kehidupan demokrasi, tetapi pekerjaan tersebut sekaligus membawa tanggungjawab yang berat kepada bangsa dan negara, sehingga tidak boleh dijalankan dengan sembrono atau reckless disregard, sebagaimana istilah dalam libel law di Amerika. (Lesmana, 2005).

    Majelis Hakim yang kami hormati,
    Saudara Penasehat Hukum dan Pengunjung sidang yang kami hormati,
    Setiap wartawan Indonesia kiranya perlu merenungkan dan menghayati pendapat Mahkamah Agung Amerika dalam perkara “Associated Press lawan Walker”, bahwa:
    “A business is not immune from regulation because it is an agency of the press. The publisher of a newspaper has no special immunity from the application of general laws. He has no special privilege to invade the rights and liberties of others… the right to communicate information of public interest is not unconditional.”

    [suatu bisnis tidaklah kebal terhadap peraturan hukum semata-mata karena bisnis itu menyangkut pers. Penerbit surat kabar sesungguhnya tidak kebal terhadap penerapan hukum positif. Pers pun tidak mempunyai privilege untuk menyerang hak dan kebebasan orang lain… hak untuk mempublikasikan informasi mengenai masalah publik bukan tanpa syarat.]

    IV. KESIMPULAN
    Berdasarkan uraian-uraian kami tersebut, jelas sekali bahwa apa yang didalilkan oleh Terdakwa dalam Pembelaan (Pledooi) nya dan kesaksian para saksi yang dihadirkan terdakwa adalah sangat tidak berdasar. Semua hal yang Jaksa Penuntut Umum nyatakan, baik itu dalam surat dakwaan maupun surat tuntutan, tanggapan atas pembelaan yang pertama dan tambahannya sekarang sudahlah tepat dan sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
    Sesuai dengan kenyataan yang ada Jaksa Penuntut Umum juga telah menggambarkan dan membuktikan rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga telah dapat dibuktikan bahwa Terdakwa memang benar telah melakukan tindak pidana dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 207 KUHP. Oleh karena itu sudilah kiranya Majelis Hakim menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa BERSIHAR LUBIS sesuai dengan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

    Demikian pendapat / tanggapan tambahan ini kami bacakan dan disampaikan dalam sidang pada hari Rabu tanggal 23 Januari 2008

Tinggalkan Balasan ke Kombor Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *