Serbuan Istilah Asing: Globalisasi atau Gombalisasi?

Seberapa pentingkah bahasa Indonesia jika dikaitkan dengan pembentukan karakter bangsa? Taruhlah kalau sekitar 220 juta penghuni negeri ini abai terhadap bahasa nasional-nya sendiri, adakah imbasnya terhadap kelangsungan dan eksistensi bangsa Indonesia? Ekstremnya lagi, kalau penduduk negeri ini sudah tak punya kebanggaan dan kecintaan lagi terhadap bahasa Indonesia di era globalisasi ini, apakah identitas dan jati diri bangsa akan musnah dan habis kikis seperti tergambar dalam bait I puisi “Padamu Jua“-nya Amir Hamzah?

miky.jpgKita memang sudah merdeka, Bung! Tapi, penjajahan dalam bentuk dan perwujudannya yang baru, disadari atau tidak, tetap mengancam dari berbagai sudut, lapis, dan lini kehidupan masyarakat. Ia tidak hanya maujud dalam bentuk penjajahan materiil yang dimainkan oleh kaum kapitalis dunia melalui join coorporate dari perusahaan-perusahaan besar dalam menanamkan pengaruh produknya terhadap masyarakat negara berkembang yang nantinya akan menimbulkan ketergantungan bagi masyarakat tersebut akan produk-produk mereka. Penjajahan materiil nyata-nyata telah memberikan dampak kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan keterbelakangan terhadap warga dunia yang hidup di negara-negara berkembang yang miskin dan terbelakang.

miky2.jpgYang tak kalah dahsyat dari pengaruh globalisasi adalah masifnya penjajahan kultural yang dihembuskan oleh kaum hedonis Barat yang memberhalakan kesenangan, kemewahan, kenikmatan, glamour, atau gebyar duniawi lainnya. Salah satu bentuk kuatnya pengaruh kaum hedonis di negeri ini adalah perubahan pola dan gaya hidup glamour yang melanda kalangan orang-orang berduwit yang membentuk klas-klas eksklusif seperti club wanita hedonis. Ciri yang menonjol adalah keterbukaan menerima identitas budaya asing yang sesuai dengan pola dan gaya hidup mereka yang doyan kesenangan, kemewahan, dan kenikmatan. Hal-hal yang bersifat hakiki dan primordial gampang ditelanjangi. Jika perlu menggadaikan identitas untuk memuaskan naluri selera hedonisnya. (Dalam konteks ini, jangan lagi bicara soal bahasa Indonesia sebagai bagian jatidiri bangsa). Dengan kata lain, bahasa bagi mereka tidak lagi dianggap sebagai bagian dari jatidiri, tetapi lebih banyak dimanfaatkan sebagai media komunikasi belaka untuk menggapai keinginan dan harapan.

Ya, kembali ke persoalan bahasa Indonesia yang secara nasional sudah berusia hampir 79 tahun sejak Sumpah Pemuda diikrarkan. Jika dianalogikan dengan usia manusia, dalam rentangan usia semacam itu idealnya bahasa Indonesia sudah mencapai tahap kematangan dan kearifan yang “paripurna”. Namun, secara jujur harus diakui, bahasa nasional kita justru makin tampak sempoyongan dan tertatih-tatih menghadapi beban globalisasi yang begitu rumit dan kompleks. Pada satu sisi, bahasa Indonesia harus tetap mampu memperkokoh jatidiri dan kepribadian bangsa. Namun, pada sisi yang lain, sebagai bagian dari masyarakat global, bahasa Indonesia juga harus bersikap lentur dan luwes dalam menerima pengaruh dan perubahan peradaban.

Sebagai bahasa nasional, usia bahasa Indonesia hampir mencapai 79 tahun. Jika dianalogikan dengan usia manusia, dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mencapai taraf kematangan dan kearifan hidup yang “paripurna”. Tapi, secara jujur mesti diakui, bahasa kita justru tampak makin payah dan sempoyongan dalam memikul beban peradaban pada era global dan mondial ini. Pada satu sisi, bahasa Indonesia diharapkan tetap mampu menjalankan fungsinya sebagai alat pemersatu dan menjadi bagian dari identitas bangsa, tapi pada sisi yang lain, bahasa Indonesia juga harus bisa bersikap lentur dan luwes dalam menghadapi “serbuan” dan pengaruh bahasa asing yang mustahil terelakkan sebagai bagian dari masyarakat dunia. (Postingan terkait bisa dibaca di sini).

Terkait dengan makin payahnya bahasa Indonesia dalam menghadapi kuatnya gerusan arus istilah asing, pemerintah melalui “tangan panjang”-nya, Pusat Bahasa, telah menyusun RUU Kebahasaan. (Silakan tengok ini, ini, ini, ini, ini, atau ini). Ada beberapa klausul dalam RUU tersebut yang dinilai amat rentan terhadap pengekangan tindak tutur bagi sebagian warga negara, seperti pelarangan penggunaan bahasa asing di ruang publik atau pengekangan dunia usaha dalam menjalankan trik-trik bisnis yang berkaitan dengan merek dagang, iklan, nama perusahaan, nama bangunan/gedung, dan petunjuk penggunaan barang. Semua harus menggunakan bahasa Indonesia (pasal 12 RUU).

Yang tak kalah penting dicermati sebelum RUU Kebahasaan disahkan adalah penerapan sanksi dan perangkat hukumnya. Kalau memang benar bahasa asing tidak boleh dipergunakan di ruang publik, bisakah mereka yang “tertangkap” basah melakukan pelanggaran dikenakan sanksi? Lalu, bagaimana wujud sanksinya? (Lha wong koruptor yang sudah jelas-jelas ngemplang dan merampok uang rakyat saja sulit ditangkap kok!). Ini penting dicermati agar UU Kebahasaan benar-benar bermakna untuk kepentingan dan hajat orang banyak, tidak sekadar menutup-nutupi rasa malu karena sudah telanjur memasyaratkan slogan “Gunakanlah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar”.

Menurut hemat saya, berbahasa sangat erat hubungannya dengan kultur dan kebiasaan sebuah generasi. Yang kita butuhkan sekarang adalah faktor keteladanan dari para elite politik dan publik kita. Di tengah-tengah masyarakat paternalistik seperti di negeri kita, faktor patron-klien sangat kuat dan mengakar dalam kehidupan masyarakat. Rakyat akan senantiasa melihat bagaimana para elite kita berbicara, bersikap, dan bertindak. Kalau kaum elite kita yang seharusnya menjadi anutan saja sudah tidak tertib, tidak taat asas, dan amburadul dalam berbahasa, bagaimana mungkin warga bangsa ini bisa diharapkan kiprahnya dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar?

Yang tidak kalah penting, kultur dan kebiasaan berbahasa yang baik perlu dibangun dan diciptakan melalui bangku pendidikan. Harus ada upaya serius untuk mendesain proses pembelajaran di sekolah yang menarik dan menyenangkan sehingga anak-anak negeri ini mampu menikmati masa-masa belajarnya secara enjoy dan nyaman. Dengan kata lain, harus ada upaya revitalisasi pembelajaran bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang dirindukan dan dicintai. Kelak, kegiatan berbahasa Indonesia tidak hanya melekat sebatas pengetahuan dan teoretis belaka, tetapi menyatu dalam perilaku dan sikap.

Kalau kultur dan kebiasaan berbahasa yang tertib dan taat asas gagal diciptakan, jangan salahkan apabila generasi muda kita akan lebih senang menggunakan istilah babbysitter, catering, tissue, snack, production house, atau airport, daripada pramusiwi, jasaboga, selampai, kudapan, rumah produksi, atau bandar udara. Jika hal ini benar, serbuan istilah asing semacam itu termasuk globalisasi atau gombalisasi? He…he…he… ***

———-

Catatan:

Postingan ini jangan ditanggapi secara serius. Gombal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki 2 entri. Pertama: kain yang sudah tua (sobek-sobek); kedua: bohong, omong kosong.

7 Comments

  1. Wah… sebenarnya menarik juga ini artikel ya? Walaupun di bawahnya ada catatan jangan ditanggapi secara serius tapi tetap saja menarik. Hehehe…. Sehingga saya tergelitik untuk meninggalkan komentar di postingan ini. Tapi saya juga menghimbau agar komentar saya ini juga jangan dianggap serius! Ok? Hehehe….
    Sebenarnya di kehidupan saya sehari2, saya adalah orang yang paling suka mencampurbaurkan antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di setiap kesempatan yang ada! Apa karena saya kurang bangga dengan bahasa Indonesia?? Ah! Nggak juga! Meskipun saya juga jujur saya juga nggak terlalu bangga-bangga amat dengan bahasa Indonesia.
    Saya melihat fenomena seperti ini: Bahasa Inggris saja sebagai bahasa yang ‘terkuat’ di dunia sangat tidak anti dengan bahasa asing, dan bahasa Inggris adalah bahasa yang menyerap kata-kata hampir dari bahasa-bahasa di seluruh dunia secara mentah-mentah alias tanpa proses adaptasi dan asimilasi. Dan ini justru malah memperkuat kedudukan bahasa Inggris bukan justru melemahkannya.
    Contoh: Dalam kamus Merriam-Webster’s New Collegiate Dictionary banyak sekali kata-kata asing dari luar bahasa Inggris yang sudah resmi menjadi kata dalam bahasa Inggris tanpa perlu merubah satu hurufpun seperti:
    karaoke, rijstaffel, hadith, azan, sukiyaki, ihram, zakat, dharma, nirvana, tatami, zaibatsu, autobahn, perestroika, glasnost, t’ai-chi, jihad, halal, rijstaffel dsb. Coba anda periksa sendiri di situs Merriam-Webster’s Dictionary Online di http://www.m-w.com.
    Nah, di sini kita belajar bahwa kita dalam masalah berbahasa jangan terlalu xenofobik, walaupun sebagai orang Indonesia kita wajib dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukan begitu? 😀

    ————–
    Terima kasih, Bung Yari! Komentar Bung makin memperkaya wacana seputar RUU Kebahasaan. Saya pun cenderung setuju jika bahasa Indonesia bersikap adaptif terhadap pengaruh asing. Yang kita perlukan sekarang adalah bagaimana agar bahasa Indonesia tidak hanya sekadar menjadi “bahasa Ibu” bagi orang-orang Indonesia, tetapi juga mampu menjadi “bahasa kedua” bagi orang-orang asing yang kebetulan berdomisili di Indonesia. Kalau bahasa Indonesia “jalan di tempat”, agaknya bangsa kita juga akan mengalami kesulitan dalam megikuti derap dan dinamika zaman yang sudah masuk dalam arus global dan mondial.

  2. Wah, saya taunya baby sister,sekarang baru tau bahasa indonesianya itu pramusiwi.1 pelajaran lagi tuk saya.senangnya berkunjung disini karna bisa belajar bahasa.he3… makasih ya.

    —————–
    Ok, sama2 Mbak Hanna.

  3. Wah, saya taunya baby sister,sekarang baru tau bahasa indonesianya itu pramusiwi.1 pelajaran lagi tuk saya.senangnya berkunjung disini karna bisa belajar bahasa.he3… makasih ya.

    —————–
    Ok, sama2 Mbak Hanna.

  4. Salah satu hal yang menarik dari blog-nya Bung Sawali ini karena banyak bahasa-bahasa Indonesia baku, yang jarang terdengar dalam ruang publik.

    Jadi ingat, aku pernah debat-debatan bahwa bahasa Indonesia tak pernah ada dalam sejarah dunia sebelum Indonesia menjadi sebuah bangsa/negara. Pernyataan ini tak pernah aku tarik. Kenapa?

    Karena memang, sebelum 1945, bahasa di Indonesia ini memang bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia. Namun, dalam perkembangannya, bahasa ‘melayu-nya Indonesia’ ini menjadi berbeda dan memiliki ciri-khas tersendiri dibanding dengan bahasa melayu di Singapur, Brunei dan Malaysia, misalnya.

    Dengan EYD pun, penyempurnaan ini makin mengabsahkan bahasa Indonesia benar-benar sebagai sebuah bahasa tersendiri. Jadi, ya… bahasa Indonesia eksis.

    Namun apa yang terjadi? Bahkan orang-orang yang mengaku BANGGA berbahasa Indonesia pun lebih suka menggunakan istilah-istilah bahasa asing. Entah untuk lebih keren, lebih mantap kesannya, lebih ilmiah, mungkin? Penggunaan EYD saja masih berantakan di blog, dengan huruf kecil di awal, misalnya. 🙂

    Jadi, kalau mau membuktikan bahasa Indonesia akan tetap ada dalam sejarah, mari pakai sebaik-baiknya, bukan? Lha, ini… POLRI saja masih salah berbahasa Bagaimana itu? 😀

    Oh ya, saya juga baru tahu istilah pramusiwi untuk baby sitter. Jadi bertambah juga kamus saya 😛

    ————————————–
    Begitulah Bung. “Kita” mengaku diri sebagai “pemangku” Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang sekaligus sebagai bahasa resmi, tapi realitas yang tampak “kebahasaindonesiaan” kita masih “inferior” dan tidak pe-de.

  5. Alhamdulilah, makin sering saya baca blog ini, makin bertambahlah kosa-kata bahasa Indonesia saya. Saya baru tahu tissue = selampai, babby sitter = pramusiwi, dst.

    Oh, iya. Kalau pembantu rumah tangga itu istilah lainnya apa, pak? Babu sitter, bukan? (Maaf yang ini becanda! Eh “becanda” atau “bercanda”?).

    Oh, iya juga. Saya pikir, perkembangan bahasa Indonesia itu sangat cepat sekali (bahkan mungkin jauh lebih cepat ketimbang bahasa Melayu, yang dipakai di daratan Sumatra, Kalimantan, atau Malaysia + Singapura). Saya melihat justru bahasa Indonesia kita itu sangat lentur menerima asupan-asupan istilah asing.

    Bila dalam bahasa Inggris, istilah-istilah asing itu diadopsi secara mentah-mentah, maka keunikan bahasa Indonesia adalah bukan mengadopsinya, tetapi mengadaptasinya secara kreatif, dengan alat “pengindonesia-an”nya.

    Oh, iya lagi. Yang saya herankan tentang bahasa Indonesia kita ini, kenapa aturan EYD itu buanyak perkecualiannya. Jadinya, suka bingung dan lupa akan aturan yang akan dipakai.

    Oh, iya satu lagi. di artikel ini ada penggalan kalimat penghubung “Dengan kata lain” apakah ini yang baik dan benar untuk dipakai, pak? Karena saya berpikir ini bisa jadi merupakan terjemahan dari perkataan “In other words” dalam bahasa Inggris (yang bila saya terjemahkan secara bebas berarti “dengan kata-kata lain” atau “dengan perkataan lain”). Mohon penjelasannya. Terimakasih. 😀

    Mohon maaf bila komentarnya kebanyakan.

    ————————-
    Makasih Pak Al-Jupri. Rupanya Bapak selalu mengikuti perkembangan Bahasa Indonesia juga, ya, Pak, meski disiplin ilmu yang digelutinya Matematika. Ya, Bahasa Indonesia memang harus bersikap dinamis dan terbuka dalam menghadapi pengaruh globalisasi bahasa. Dalam mengadaptasi istilah-istilah asing pun, bahasa kita mempunyai kaidahnya. Kaidah-kaidah baku itu pun mesti harus selalu dikaji ulang. Misalnya, penggunaan kata “China” dan “Cina” seperti yang ditanyakan Mbak Hanna. Menurut saudara-saudara kita yang beretnis Cina, mereka lebih senang menggunakan kata “China” daripada “Cina”. Namun, kaidah bahasa kita mengatakan bahwa istilah asing yang mengandung fonem “Ch” dan dilafalkan “c”, istilah tersebut harus ditulis “C”, termasuk China harus ditulis Cina. Nah, ini artinya, kaidah bahasa juga harus memperhatikan latar belakang sosiokultural masyarakat pengguna bahasa. Nah, frasa “Dengan kata lain” biasanya digunakan untuk “membahasakan” pernyataan sebelumnya agar menjadi lebih pendek. Bisa juga sebagai terjemahan dari “in other words”. Frasa (kelompok kata) ini juga sering digunakan untuk menyatakan simpulan. Ok, Pak, trims, salam.

  6. artikelnya baguss…2 thums for u
    🙂
    hmm….sangat mengkritik dan membangun
    bangsa kita memang sudah melupakan bahasanya sendiriiii…bahaya neehh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *