(Sambung rasa dengan Bung Rosa Widyawan)
Sungguh tak terduga kalau tulisan saya “Menguak Absurditas Cerpen Danarto” (Wawasan Minggu, 26 Juni 1988) yang sekadar selentingan itu mendapatkan respon yang sangat menarik dari Bung Rosa Widyawan RP dengan judul “Tentang Cerpen Danarto: Absurditas Macam Apa?” (Wawasan Minggu, 4 September 1988). Ya, sebuah judul yang bernada retorika, namun justru menggelitik untuk dicarikan bias-bias jawabannya. Dengan munculnya tulisan itu, saya bermaksud mengadakan sambung rasa dengan Bung Rosa. Atau, boleh juga dibilang sebagai hak jawab saya atas pertanyaan yang diluncurkan Bung Rosa.
Dalam tulisan itu, Bung Rosa meragukan sekaligus mempertanyakan sisi absurditas yang membayangi cerpen-cerpen Danarto. Bung Rosa akur jia abusrditas yang dimaksud adalah pemerkosaan terhadap hukum logika, sebab absurditas menimbulkan penafsiran yang luas, baik ditinjau dari segi teologi, filsafat, maupun seni. Kemudian, pada akhir uraian, Bung Rosa juga tidak sependapat dnegan pernyataan saya bahwa Danarto adalah seorang pembaharu dalam dunia cerpen Indonesia mutakhir –saya merujuk pendapat Korrie Layun Rampan dan Rayani Sri Widodo—sebab menurut Bung Rosa, cerita-cerita yang dipaparkan Danarto dalam cerpen-cerpennya sudah demikian akrab dalam gendang telinga pembaca.
Kristal Hakikat
Benar memang yang Bung Rosa katakan bahwa absurditas bisa menimbulkan penafsiran yang luas, baik ditinjau dari segi teologi, filsafat, maupun seni. Namun, perlu juga kita garis bawahi bahwa absurditas yang kita bicarakan adalah absurditas yang membayangi cerpen-cerpen seorang Danarto yang tentu saja batas leingkupnya lebih sempit.
Sebagai penulis yang dilandasi alam pikiran moral panteistis yang meyakini bahwa segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan, Danarto telah menjadi begitu yakin bahwa tokoh-tokoh ciptaannya mampu menerobos dimensi ruang dan waktu yang pada akhirnya menemukan klimaks konfliknya di tengah-tengah pertarungan kehidupan maya di alam fana dengan ucapan: “Melihat wajah Tuhan” seperti kata Rintrik, “Aku bukan hidup dan bukan mati. Akulah kekekalan” seperti teriakan Abimanyu ketika maut menyongsongnya, ataupun “O, Pohon Hayatku”, desah perempuan bunting dengan nikmat setelah babaran.
Momen-momen semacam inilah yang menggiring saya untuk mengatakan bahwa sisi absurditas dalam cerpen Danarto akan menjadi lain persoalannya jika dikaitkan dengan istilah absurditas dalam disiplin ilmu yang mahaluas itu. Sisi absurditas dalam cerpen-cerpen Danarto adalah hanya berfungsi sebagai arus-arus dalam menemukan krital hakikat, seperti kata Rayani Sriwidodo. Semacam prakatarsis melihat wajah Tuhan (1983:154).
Kristal hakikat macam apa? Sebagian besar cerpen Danarto yang bernada absurd nyaris berkaitan dnegan mau. Dalam “Dinding Anak”, misalnya, Bibit dikejar-kejar dan dipermainkan oleh Izrail si Malaikat Maut. Karena menjadi anak emas, maka sang ayah mengadakan tipu muslihat dengan mengganti nama Bibit menjadi Sruni. Namun, ternyata takdir berkehendak lain. Bibit keburu direnggut maut ketika namanya diubah menjadi Sruni. Atau, pada cerpen yang bertitel “!”, di mana sang ayah sebagai kepala keluarga sebuah keluarga modern mendapat serangan jantung yang hebat lantaran ulah anaknya yang badung. Namun, apa yang terjadi? Ketika seluruh anggota keluarga dirundung kesedihan setelah sang ayah dinyatakan mati oleh dokter, sang ayah justru mengalunkan lagu Come Back to Sorento dengan berdiri tegap di atas tempat tidur.
Suasana cerpen “Nostalgia” juga demikian. Ketika ajal menghadang karena dihujani busur-busur panah di sekujur tubuhnya dalam perang Bharatayuda, justru Abimanyu menerimanya dnegan erangan kenikmatan. Abimanyu malah tampak lebih gagah dengan busur-busur panah yang menancap di tubuhnya. Rupanya Bibit, sang ayah, dan Abimanyu yang dijadikan medium Danarto dalam menampilkan suasana absurd sebagai arus menuju kristal hakikat sebagai pengejawantahan dari takdir yang mokal bisa dimuslihati atau diingkari oleh manusia. Dan kristal hakikat yang diburu oleh patron tokoh cerpen Danarto adalah maut sebagai titian menuju penyatuan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Danarto memang bukanlah kaum eksistensialis Barat yang dengan radikalnya menyerap absurditas sebagai objek peneluran karya-karyanya. Akan tetapi, Danarto adalah seorang penulis yang dengan sangat sadar menjadikan sisi absurditas sebagai medium dalam menemukan kristal hakikat. Oleh sebab itu, Abimanyu akan lain halnya dengan Perken dalam “Royal Way”-nya Andre Malraux dalam menghadapi maut. Kalau Abimayu begitu menikmati songsongan maut. Sonder memberontak, tetapi Perken begitu berang dan memberontak ketika dihadang maut saat bertekad membentuk dan mengepalai sebuah negara Asia nun jauh di tengah rimba belantara Indocina. Ketika Sysiphus dikutuk oleh para dewa lantaran mengetahui rahasia para dewa yang harus mengangkat batu ke puncak gunung selalu gagal dengan peluh cucuran keringat berulangkali, barangkali ini sebagai pengejawantahan Albert Camus dalam menampilkan suasana absurditas yang dengan begitu kejam dan sadis memperlakukan Sysiphus.
Namun, Bibit dalam “Dinding Anak” milik Danarto begitu menurut, bahkan beriang ria dipermainkan oleh malaikat Izrail ketika bergelantungan di pohon yang tinggi menjulang pada malam hari. Sebab, Danarto sudah begitu yakin bahwa Bibit sudah saatnya menghadap Sang Pencipta.
Dalam kumpulan cerpen terbarunya Berhala yang memuat 13 cerpen, Danarto tak banyak mengambil imaji Yunani, Bharatayuda, Injil, maupun animisme Jawa. Tokoh-tokohnya pun kebanyakan berasal dari patron manusia lumrah yang manusiawi yang tak begitu memiliki kekuatan supranatural yang serba gaib seperti pada dua kumpulan cerpennya terdahulu. Danarto tak lagi mencomot tokoh-tokoh semacam Ahasveros, Salome, Kadal, Bekakrak, zat asam, maupun tokoh lain dari epos. Kalau toh itu ada, tokoh-tokoh semacam itu hanya sebagai digresi atau penyimpangan dari fokus cerita yang sebenarnya. Misalnya, tokoh “saya” yang berperan sebagai petrus alias penembak misterius dalam “Pundak yang Begini Sempit” tiba-tiba dilanda kegamangan yang hebat tatkala harus menyergap gali yang sedang berpcaran karena ia ingat Pandu dikutuk oleh kijang lantaran telah dibuhnya selagi sedang bermesraan. Ada juga tokoh malaikat dalam “Dinding Anak” yang senantiasa mempermainkan Bibit di pepohonan yang tinggi menjulang depan rumah.
Masih ada tokoh-tokoh lain yang punya kekuatan super, seperti tokoh ayah dalam “Langit Menganga” yang sanggup memusnahkan wadag manusia menjadi air, Wiwin dalam “Cendera Mata” yang sanggup memproduksi berpintal-pintal benang halus dari air matanya, tokoh Kyai dalam “Pageblug” yang sanggup menciptakan sebungkah es meluncur untuk memberantas pageblug, tetapi disalahpahami oleh para penjudi buntut dengan selalu mengejar bungkusan es yang terus meluncur itu. Namun, semuanya hanyalah digresi khas Danarto yang mengklaim tokoh-tokohnya denga kekuatan lebih.
Bukan Pembaharu Tema
Benar yang Bung Rosa katakan bahwa cerita-cerita yang dipaparkan Danarto dalam crpen-cerpennya sudah demikian akrab dalam telinga kita, bahkan cerita-cerita semacam itu telah mbalung sumsum dan bernaung turba (meminjam istilah Rama Mangun) sejak zaman baheula. Akan tetapi, cerita itu hanya berlangsung dari mulut ke mulut secara lisan. Seandainya cerita semacam itu ada dalam bentuk tulis, barangkali belum maujud dalam bentuk cerpen seperti yang Bung Rosa contohkan dalam sekar “Dandang Gula” itu.
Barangkali yang ingin Bung Rosa katakan adalah bukan hal yang baru dari segi tema. Ini benar. Dan saya yakin Danarto bukanlah seorang pembaharu tema dalam khazanah cerpen Indonesia, sebab tema-tema yang disajikannya sudah tidak asing lagi bagi pembaca. Akan tetapi, ada beberapa segi yang terasa baru dalam khazanah cerpen Indonesia yang belu pernah dilakukan dan dimiliki oleh penulis-penulis sebelumnya.
Rayani Sriwidodo pernah menyatakan bahwa ada dua aspek yang menunjukkan corak baru dalam cerpen Danarto, yakni aspek penyajian yang memasukkan unsur puisi, musik, dan seni lukis dalam cerpen-cerpennya sehingga tampak efek puitis, musikal, dan artistik dekoratif, serta aspek muatan yang, yakni adanya tendensi moral patenistis yang meyakini ajaran bahwa segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan. Selain itu, jika kita membaca cerpen-cerpen Danarto akan tampak bahwa sebagian unsur intrinsik dan ekstrinsik banyak menampilakn corak baru. Dari unsur intrinsik, misalnya, corak baru tersebut terletak pada tokoh dan perwatakannya, alur/plot, dan setting.
Tokoh dalam cerpen Danarto adalah tokoh imajiner yang sanggup menerobos terhadap benturan dimensi ruang dan waktu, manusia super yang mampu bertahan dalam situasi dan kondisi apa pun. Hal ini tampak pada “Pundak yang Begini Sempit” yang menceritakan kegelisahan seorang petrus yang dalam setiap tugasnya senantiasa diikuti oleh makhluk berkerudung, bersayap, dan bermata banyak di sekujur tubuhnya yang dengan mudahnya menghilang kapan dan di mana saja. Atau, pada cerpen “Kecubung Pengasihan”, seorang perempuan bunting sanggup bertahan hidup hanya memakan kembang-kembang di taman. Dan masih banyak tokoh lain semacam itu dalam cerpen-cerpen Danarto yang berjumlah 28 judul dari tiga buku kumpulan cerpen tersebut. Pada alur, cerpen Danarto penuh dadakan, kejutan, dan surprise yang sulit diterapkan dengan model alur konvensional. Ending cerita bisa di awal, di tengah, atau di akhir, bahkan ada juga cerita yang tanpa akhir (never ending story).
Dari unsur ekstrinsik –usnur-unsur dari luar cerita yang turut mewarnai suasana cerita—juga menunjukkan corak baru, misalnya tendensi moral panteistis, doktrin sufi yang mengacu pada ajaran wahdat al-wujud serta visi lain dalam benak Danarto dalam memandang dunia.
Untuk mengakhiri sambung rasa ini, perkenankanlah saya mengutip salah sebuah monolog seorang perempuan bunting dalam “Kecubung Pengasihan” ketika melihat kulit rahimnya kian mengembang:
“O, rahim semesta. Demikian agungkah Engkau? Rahimku mengandung diriku sendiri, di manak aku bermain-main di dalamnya dengan tenteramnya.”
Semarang,1988.