Buku, Penulis, dan Penjara

Diilhami oleh tulisan Bangaiptop “Dukung Bersihar Lubis“, Mas Hoek, dan juga banner keren, buah kreasi Kang Anto Bilang, naluri saya sebagai penulis katrok tiba-tiba ikut-ikutan “memberontak”. Betapa kebebasan yang dijamin pasal 28 UUD 1945 di negeri ini masih silang sengkarut. Masih ada persoalan serius yang harus dituntaskan, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan.

Jujur saja, saya tidak kenal siapa Bersihar Lubis (BL). Pernah sesekali membaca tulisannya di TEMPO. Tulisan-tulisannya lugas, kritis, dan menusuk. Tulisan-tulisan khas yang biasa meluncur dari tangan para jurnalis. Namun, agaknya sikap lugas dan kritis BL berbuah petaka.

Akibat opininya di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007 yang berjudul “Kisah Interogator yang Dungu”, yang mengkritisi pelarangan buku sejarah SMP dan SMU oleh Kejaksaan Agung pada Maret 2007, yang juga mengaitkannya dengan pelarangan novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (BM), dan Anak Semua Bangsa (ASB) pada 1981, BL harus berurusan dengan pijak Kejaksaan Agung (baca di sini). BL diadili di Pengadilan Negeri (PN) Depok karena didakwa menghina instansi Kejaksaan Agung dan dituntut sesuai pasal 207 KUHP dan pasal 316 yo 310 ayat (1) KUHP. Jaksa Penuntut Umum Tikyono dari Kejaksaan Negeri Depok menuntut terdakwa dengan hukuman delapan bulan penjara pada 14 November lalu. Kemudian, BL menyampaikan pleidoinya pada 21 November 2007.

Dalam pleidoinya, BL mengatakan bahwa tulisannya di Koran TEMPO bukanlah perbuatan pidana. “Tetapi adalah wujud ekspresi dalam kebebasan berpendapat sebagaimana dibenarkan dalam pasal 28 UUD 1945, dan merupakan bagian dari alam demokrasi di Indonesia,” kata Lubis. Untuk itu ia mohon Majelis Hakim membebaskannya dari segala dakwaan (dikutip dari sini).

Siapa pun yang pernah membaca UUD 1945, khususnya pasal 28 berikut penjelasannya, saya kira akan sulit membantah kebenaran pleidoi yang disampaikan oleh BL itu. Namun, agaknya di mata hukum (khususnya pihak kejaksaan) BL dinilai telah melakukan penghinaan lantaran menyebut pelarang buku sebagai orang dungu. Itulah persoalan pelik yang tak henti-hentinya menghadang para penulis yang dengan amat sadar ingin melakukan sebuah perubahan.

Buku hakikatnya tak hanya sekadar simbol intelektual. Di dalamnya juga terkandung muatan nilai yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi. Lumpuhnya dinamika dunia keilmuan di negeri ini agaknya lebih banyak disebabkan oleh penafsiran-penafsiran sepihak dari penguasa yang tidak mengizinkan buku-buku yang dinilai “liar” dan “melawan arus” dibaca oleh anak-anak bangsa. Mereka “diharamkan” membaca buku yang mampu memberikan persepsi berbeda terhadap keberadaan sang rezim.

Dampak yang lebih serius, para penulis kreatif yang ingin tampil beda dalam menyuarakan nuraninya seringkali harus selalu berada di bawah ancaman kilatan pedang sang penguasa. Tidak heran apabila dalam beberapa dekade terakhir ini, kita benar-benar kehilangan para penulis “hebat” yang dengan amat sadar ingin melakukan “pemberontakan” terhadap atmosfer fasis yang berlangsung di sekitarnya. Buku, penulis, dan penjara seolah-olah sudah menjadi sebuah mata rantai yang saling mengintai dan menikam.

Kasus hukum yang menimpa BL sebenarnya bukan hanya menjadi keprihatinan BL seorang diri, melainkan juga bagi para penulis –termasuk bloger– yang merasa terancam kebebasannya dalam berekspresi. Yang dihadapi oleh pihak kejaksaan sebenarnya bukan hanya BL, melainkan juga para pendamba kebebasan berekspresi yang ingin mengabadikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan melalui sebuah tulisan. Vonis yang hendak dijatuhkan kepada BL bukan semata-mata vonis untuk BL seorang, melainkan juga vonis kepada para pengusung nilai kebenaran di atas altar peradaban. Ya, vonis untuk BL sama saja vonis untuk para penulis yang berupaya mengabadikan setiap noktah dan jengkal peristiwa menjadi tulisan yang memfosil dalam benak setiap pembacanya.

Oleh karena itu, mari kita berikan dukungan moral kepada Bung Bersihar Lubis sebagai wujud empati kita terhadap sesama penulis yang sedang tersandung masalah hukum. Para bloger bisa memasang banner keren bikinan Bang Antobilang. Mari kita semarakkan dunia blogosphere dengan satu suara “Jangan kekang kebebasan berekspresi”. Nah, salam budaya! ***

——————-

Tembusan:

  1. Bangaip
  2. Bang Antobilang
  3. Mas Hoek
  4. Mediacare
  5. ACI

AddThis Social Bookmark Button