Dibutuhkan Kesadaran Kolektif Bangsa Menuju Sebuah Perubahan
Tahun Ajaran Baru dan Wajah Indonesia Masa Depan
Oleh Sawali Tuhusetya
Setiap kali memasuki tahun pelajaran baru, saya selalu menyaksikan wajah-wajah optimis para siswa baru. Dengan busana serba baru, mereka tampil percaya diri, penuh vitalitas, dan tak pernah menampakkan kelelahan. Sungguh kontras dengan “aura” negatif yang memancar dari wajah pejabat-pejabat kita yang gagal mengemban kepercayaan publik. Kalau tidak tersandung masalah hukum akibat korupsi, tak jarang mereka terlibat dalam perselingkuhan atau kongkalingkong politik “hitam” yang tak sepenuhnya berjalan mulus. Menyaksikan wajah siswa baru selalu saja menumbuhkan imajinasi baru tentang wajah Indonesia masa depan di tengah beban dan persoalan bangsa yang kian berat. Merekalah yang dalam kurun waktu 15-25 tahun mendatang bakal tampil sebagai pengisi pos-pos penting dalam berbagai ranah kehidupan.
Catatan dari Balik Kabut
Dari balik kabut
Kurentangkan tangan dhaifku menggapai mega-mega
Kutuliskan namaku di setiap labirin kesunyian
Memberikan tanda-tanda
Aku berdiri di sini
Di balik kabut mega-mega
Kusaksikan para malaikat mengadili para pendosa
Pilu tangis mengiris kolong langit
Menggetarkan semesta
Kabut berwarna merah darah
Mengurung semesta
Namaku tak lagi punya tanda
***
Ya, negeri ini memang tengah diselimuti kabut. Tak hanya tsunami, bencana alam, atau kebakaran hutan. Tapi ada yang jauh lebih parah yang telah membikin negeri terpuruk dalam lumpur kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Ya, korupsi! Maksiat korupsi telah membikin bangsa ini jatuh dalam kebangkrutan. Marwah dan martabat bangsa tergadaikan oleh keserakahan sekelompok elite yang telah melupakan sumpah dan ikrarnya. Demikian parahnya “efek domino” yang ditimpakan oleh para koruptor sampai-sampai bangsa dan negeri ini tak berdaya ketika bangsa lain melempari wajah bangsa kita dengan telor busuk. Bangsa kita yang miskin, terbelakang, dan bodoh seakan-akan sudah tak punya kekuatan untuk sekadar mengingatkan, apalagi berteriak. Sipadan dan Lipadan sudah diembat, batik sudah diklaim sebagai karyanya, lagu-lagu sudah disikat habis dan dipatenkan. Belum lagi terhitung saudara-saudara kita yang menjadi korban arogansi bangsa yang mengaku dirinya sebagai bangsa serumpun itu. Namun, apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya bisa mengerutkan jidat dan menunggu-nunggu, ulah apalagi yang akan dipertontonkan oleh negeri jiran itu di depan mata kita.