Taufiq Ismail tentang “Gerakan Syahwat Merdeka”

Tulisan ini mungkin bisa dikatakan terlambat. Pasalnya, fenomena “Gerakan Syahwat Merdeka” ini telah mencuat pada 20 Desember 2006 yang lalu dalam sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan Taufiq Ismail di depan Akademi Jakarta. Namun, sekadar untuk ikut urun rembug dalam menyikapi dinamika dunia sastra, tak apalah kalau akhirnya saya ikut-ikutan latah membuat postingan “sampah” ini. hehehehe 😀

Di depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” yang berisi 37 paragraf. Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 itu mengeluhkan dan merisaukan munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Menurutnya, gerakan tersebut tak bersosok organisasi resmi yang tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa yang mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya. Dismpulkan oleh Taufiq Ismail, GSM telah mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.

Menjual Ideologi Lewat Blog

Beberapa hari belakangan ini, para blogger WP disentakkan oleh kehadiran blogger baru yang unik dan kontroversial. Pasalnya, blogger dengan nama “mistis” Ratu Adil Satria Pinandhita dengan slogan “Pendekar supersakti pemimpin seluruh manusia memasuki dimensi baru” itu selalu nangkring di BOTD WP pada posisi teratas. Efeknya, banyak blogger yang penasaran untuk mengunjunginya. Semakin banyak yang berkunjung, jelas akan makin mengangkat nama blogger itu “setinggi langit”.

Saya kira sudah banyak blogger yang “menelanjangi” kehadiran sang ratu itu dari berbagai sisi, mulai dari ideologinya yang provokatif, menyebarkan kesesatan, menaburkan kebencian, hingga memanipulasi komentar yang mampir di blognya. Ulasan tentang kahadiran “sang ratu” di antaranya bisa dilihat di sandynata, sandynata, BlogGirang, newradical, almascatie, die4pleasure, dan di blog-blog lain yang –mohon maaf– luput dari pantauan awam saya. Persoalannya sekarang, bagaimanakah menyikapi ideologi-ideologi menyesatkan yang dengan sangat sadar dipublikasikan di dunia maya semacam itu?

Siapa Mau Jadi Bloger “Pemberontak”?

Jangan sewot dan geram ketika membaca judul postingan ini, hehehe 😀 Kata pakar pragmatik, untuk menafsirkan maksud sebuah tuturan, baik lisan maupun tulisan, perlu dipahami dulu konteksnya. Tuturan dalam situasi yang bagaimana, apa yang dibicarakan, di mana tuturan itu disampaikan, de-el-el? Dalam konteks ini, saya memiliki pengertian yang sedikit menyimpang dari makna leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam kamus tebal tersebut, kata pemberontak memiliki dua arti, yaitu: 1) orang yang melawan atau menentang kekuasaan yang sah, pendurhaka; 2) orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). Kalau toh harus dimirip-miripkan, saya cenderung memilih arti yang kedua, yaitu orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). “Memberontak” tentang apa, kepada siapa, tujuannya apa? *pertanyaan retorik*

Dalam pengamatan awam saya, blog lebih bersifat personal. Bahkan, dalam banyak hal blog bisa menjadi “wakil” hati nurani sang pemiliknya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan publik. Dengan kata lain, karakter dan kepribadian sang pemilik blog –lagi-lagi ini penafsiran awam– bisa dilihat dari topik yang dipilih, bahasa tutur yang digunakan, blog-blog dan situs lain yang ditautnya, cara membalas komentar, hingga asesori yang dipakai untuk menghias “teras” blognya. Oleh karena bersifat personal, blog bisa dipakai untuk apa saja; berteriak-teriak, menyumpah-nyumpah, mengungkapkan cinta, kerinduan, kebencian, deelel. :mrgreen:

*Kembali ke topik*

Guru Indonesia: Generasi yang Hilang?

Sesekali lakukanlah survei di tempat keramaian yang dihadiri anak-anak muda terpelajar. Lantas, berbasa-basilah untuk bertanya tentang cita-cita mereka. Andaikan ada 10 anak muda yang Anda tanyai, berapakah yang bercita-cita menjadi seorang guru? Hahahaha 😀 Tidak usah terkejut seandainya hanya beberapa gelintir saja –bahkan bisa jadi nihil– anak muda yang dengan amat sadar memiliki cita-cita dan “dunia panggilan” untuk menjadi seorang guru. Mereka adalah anak-anak muda yang cerdas. Potret generasi masa kini yang (nyaris) tak pernah bersentuhan dengan penderitaan hidup. Orang tua mereka telah membukakan jalan ke “peradaban” baru; intelek, gaul, punya kelengkapan asesori untuk bisa hidup secara modern dan global. Pendeknya, generasi muda terpelajar Indonesia masa kini telah mampu menikmati berbagai “kemanjaan” hidup.

Disadari atau tidak, kemanjaan hidup dalam lingkungan keluarga akan berpengaruh terhadap pola dan gaya hidup. Kalau sejak kecil mereka telah terbiasa hidup dalam desain budaya yang sarat kemanjaan dalam lingkungan keluarga, kelak setelah dewasa pun diduga akan mengadopsi pola dan gaya hidup yang telah mereka terapkan sejak kecil.

Benarkah Pelajar Kita Mengidap “Rabun” Sastra?

Ini soal klasik. Sejak tahun 2003, sastrawan Taufiq Ismail sudah mempersoalkannya. Diawali dengan melakukan survei sederhana dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Meski hanya berupa snapshot dan potret sesaat, hasilnya benar-benar membuat kita tersentak.

Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra.

Survei yang menyentakkan, bukan? Menurut Taufiq Ismail, hasil snapshot tersebut semakin memperteguh asumsi selama ini bahwa pengajaran sastra dan bimbingan mengarang di sekolah-sekolah kita kian memprihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaan besar yang harus diagendakan adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca dan mengarang bagaikan dua saudara yang tak terpisahkan harus mulai ditanamkan. Semakin siswa banyak membaca, maka makin bagus karangannya. Dan, kegemaran membaca harus mulai dipupuk melalui buku-buku sastra, yang pada gilirannya akan melebar ke jenis bacaan lain. Begitu pun bimbingan mengarang (baca: menulis) bisa dimulai di kelas bahasa, lalu diperluas ke kelas dan bidang lain. (Kaitan antara aktivitas membaca dan menulis juga bisa dilihat di sini -blog yang dikelola oleh Pak Ersis Warmansyah Abbas).

Legenda Sisyphus dan Bongkar Pasang Kurikulum

Tiba-tiba saya teringat Sisyphus. Tokoh fiktif dalam mitos Yunani kuno yang diperkenalkan oleh Albert Camus itu, menurut hemat saya, layak dijadikan sebagai analogi terhadap kebijakan “penguasa pendidikan” negeri ini yang suka bongkar pasang kurikulum. Konon, lantaran mengetahui rahasia para dewa, Sisyphus dikutuk dan harus mengangkat batu ke puncak gunung. Namun, selalu gagal. Batu itu kembali menggelinding ke lembah dan Sisyphus harus kembali mengangkatnya ke puncak. Berulang-ulang. Saini KM dalam sebuah puisinya menggambarkan sosok Sisyphus seperti berikut ini.

Sisyphus

Dan batu kembali ke jurang menggelundung.
Bolak-balik beribu tahun: beribu tahun
Sisyphus mendorong batu ke puncak gunung
kau mendaki dan tergelincir, jatuh dan bangun.

Jatuh dan bangkit di Babel, Sodom dan Gomorah
Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki dan Vietnam.
Dan dari dasar derita, dengan nafas tersengal
kau berseru ke langit: Apakah artinya ini?

Langit menjawabmu dengan biru, dengan bisu.
Kau pun bangkit lagi; pucat, berdebu dan luka
kembali mendaki dan memandang Angkasa. Mungkin
itulah artinya: Payah dan luka kau tak tunduk.

Sastra dan Anomali Sosial Generasi Muda Masa Kini

Saya tersentak ketika membaca sebuah berita seperti ini.

INDRAMAYU (Pos Kota) – Beredarnya video mesum yang diperankan sepasang pelajar SMA di Indramayu, membuat gerah Bupati Indramayu dan pejabat muspida lainnya. Bupati H Irianto MS Syarifudin lalu bikin gebrakan akan memeriksa keperawanan sekitar 3.500 siswi SMP dan SMA atau sederajat di seluruh Indramayu.
“Pemeriksaan bertujuan memberitahukan orangtua siswa soal status keperawanan anak gadisnya,” ujar Bupati Indramayu H Irianto MS Syarifudin di sela-sela pembakaran 2.600 buku sejarah di Kantor Kejari Indramayu, Selasa (14/8). Jika hasil pemeriksaan medis diketahui terdapat siswi SMP/Mts dan SMA/SMK/MA tidak perawan lagi atau kegadisannya sudah hilang, maka orangtuanya akan dipanggil sekolah.
“Orangtuanya akan diingatkan untuk lebih waspada dalam mendidik putrinya sehingga jangan hanya bisa menyalahkan sekolah atau gurunya saja,” kata Bupati Irianto MS Syarifudin.

Sementara itu, berita dari kota Gudeg Yogyakarta juga tak kalah menyentakkan.

Sutradara Upi Avianto mengaku tercengang membaca hasil survei terhadap sejumlah remaja Yogyakarta yang dilakukan dalam rangka penggarapan film antologi empat sutradara perempuan, “Lotus Requiem”. Survei itu mengungkap pandangan dan perilaku seks remaja di Yogyakarta, yang menurut Upi, telah jauh melewati batas.

“Rasanya seperti ditampar sewaktu membaca hasil survei itu,” kata Upi, di Jakarta, akhir pekan lalu. Upi mencontohkan anak-anak muda itu bukan hanya telah terbiasa melakukan seks bebas, mereka bahkan telah lihai dan mempunyai cara tersendiri menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan akibat seks bebas.

“Bunuhlah Imajinasiku dengan Puisiku!”

Melalui millis KlubSastraBentang di http://groups.yahoo.com/group/klub-sastra/ saya baru dapat kabar kalau Saeful Badar telah “dihabisi” DDII Jawa Barat. Melalui pernyataan sikapnya, DDII Jawa Barat mengecam puisi “Malaikat” karya Saeful Badar yang dimuat di lembaran budaya “Khazanah” Pikiran Rakyat 4 Agustus 2007. (Ketika saya kunjungi puisi tersebut sudah sirna). Menurut DDII Jawa Barat, puisi tersebut dinilai telah jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.

Masih ada 9 pernyataan lain dari DDII Jawa Barat yang intinya menyatakan “penistaan” terhadap kepenyairan sekaligus “keislaman” Saeful Badar. (Pernyataan sikap DDII Jawa Barat selengkapnya bisa dilihat di sini). Menyaksikan kerasnya reaksi DDII Jawa Barat, redaksi Pikiran Rakyat segera meminta maaf dan menyatakan puisi “Malaikat” karya Saeful Badar tidak pernah ada. (Pantas saja ketika saya kunjungi sudah raib. Tapi Anda bisa membacanya di sini). Saeful pun telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

Sementara itu, Fadjroel Rachman, penggagas Memo Indonesia menentang keras pengekangan itu. Berikut pernyataan sikapnya:

Pernyataan dari Fadjroel Rachman (via sms):
“Memo Indonesia menentang keras pemberangusan puisi MALAIKAT karya SAEFUL BADAR oleh lembaga dan individu manapun. Ini skandal perampasan hak kebebasan berekspresi” (Fadjroel Rachman, esais, penyair, novelis, penggagas Memo Indonesia).

Nasionalisme Kita Telah “Mati Suri”?

……….
Aku memandang zaman.
Aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh merk asing,
dan jalan-jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
Aku meludah di atas tanah.

Aku berdiri di muka kantor polisi.
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
punuh debu,
penuh kucing-kucing liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.
………

(WS Rendra dalam SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON)

Sengaja saya kutip puisi si Burung Merak untuk mengawali postingan ini. Mumpung lagi hangat-hangatnya soal nasionalisme mencuat ke permukaan menjelang 17 Agustusan ini. Sebuah puisi yang sarat parodi dan sindiran terhadap spirit nasionalisme kita yang dinilai mulai terkikis dan tergerus oleh nilai-nilai global. Bahkan, ada yang secara ekstrem menyatakan bahwa nasionalisme di negeri ini telah mati suri. Betapa tidak! Lihat saja anak-anak muda kita yang dengan begitu bangga menjadi pemakai benda-benda merk serba asing. Demikian juga ibu-ibu pejabat kita yang lebih suka menghambur-hamburkan uangnya ke Singapura daripada ikut memberikan keuntungan kepada para pedagang kaki lima. Lihat juga betapa banyaknya orang kaya baru alias OKB yang suka memarkir milyaran atau trilyunan rupiah di bank-bank luar negeri ketimbang ikut andil membesarkan bank-bank di negerinya sendiri. Agaknya, nasionalisme kita sudah benar-benar dijajah oleh “tuhan” lain bernama materialisme, hedonisme, konsumtivisme, fatalisme, chauvinisme, dan isme-isme culas lainnya.

Puisi Heroik dan Kepekaan Akal Budi

Ada sikap latah yang sering hinggap dalam diri para pemimpin, pejabat, “penghuni” senayan, atau orang-orang terhormat yang sudah biasa masuk dalam lingkaran kekuasaan. Saat-saat menjelang Agustus-an seringkali dijadikan sebagai momentum untuk menunjukkan kepekaan akal budi dan kesalehan hati nurani. Orang mulia dan terhormat yang biasanya amat “alergi” terhadap puisi, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk menjadi pembaca puisi yang baik di atas mimbar terhormat. Dengan tampilan meyakinkan, mereka lantang membaca puisi heroik, kata demi kata, larik demi larik, bait demi bait. Meski dengan vokal, intonasi, dan penghayatan pas-pasan, mereka amat bangga mendapat aplaus meriah auidens yang merasa “tersihir” dan terpukau. Pejabat kok mau ya, baca puisi? Olala!

Ingin mendownload puisi-puisi heroik? Cari saja di sini! atau kunjungi saja URL ini!