Sertifikasi Guru, Sebuah “Indonesia” yang Tertinggal

Ketika pemerintah meluncurkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), angin segar berhembus di ruang-ruang guru dan dosen. Pasalnya, mereka akan mendapatkan penghasilan yang “menggiurkan”. Pemerintah akan memberikan tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Namun, untuk mendapatkan tunjungan profesi, seorang guru harus memiliki sertifikat pendidik yang tentu saja tidak mudah untuk mendapatkannya lantaran memang dibikin “sulit” dan “rumit”. Walhasil, bisa dihitung dengan jari guru di Indonesia yang berjumlah sekitar 2.700.000 yang bisa menikmati tunjangan tersebut. Misalnya saja, untuk bisa mengikuti uji sertifikasi, seorang guru harus bisa mengumpulkan dokumen portofolio sekitar 850 poin. Wah, bisa bertumpuk-tumpuk dokumen yang mesti dikumpulkan oleh seorang guru. Dan sudah pasti, hanya guru yang memiliki “jam terbang” tinggi alias masa kerja yang cukup lama yang bisa menyodorkan bukti portofolio semacam itu. Itu pun kalau guru yang bersangkutan pandai-pandai mengarsipkan semua dokumen, seperti sertifikat, SK, ijazah, surat tugas, de-el-el. Kalau tidak, ya, mohon maaf, terpaksa harus lebih banyak berlatih menahan kesabaran.

Guru Demo, Tanya Kenapa?

diambil-dari-http://www.okezone.com/

Sebagaimana gencar diberitakan di beberapa media, –bisa dilihat di sini, di sini, di sini, di sini, di sini juga, atau di sini — 19 Juli yang lalu ribuan guru yang tergabung dalam elemen PGRI Jawa Barat dan Banten “nglurug” ke istana. Di tengah atmosfer kota Jakarta yang panas, padat, dan sumpek, mereka mengajukan empat tuntutan, di antaranya menagih janji pemerintah untuk merealisasikan tunjangan uang makan (lauk-pauk) dan tunjangan fungsional, direalisasikannya 20% anggaran pendidikan dalam APBN, standarisasi UN, dan pengesahan PP Guru dan pendanaan pendidikan. Namun, seperti dapat ditebak, aspirasi para guru itu seperti hanya terapung-apung dalam slogan dan retorika. 10 orang wakil pendemo yang sempat berdialog dengan empat menteri —Mensesneg Hatta Radjasa, Mendiknas Bambang Sudibyo, Menkeu Sri Mulyani, dan Menkumham Andi Mattalata — merasa tidak puas. Padahal, di luar sana sekitar 10 ribuan guru yang tumpah ruah memenuhi halaman istana sudah tak sabar menunggu hasil kesepakatan mereka dengan para “punggawa” negeri.