“Perceraian” antara Budaya dan Pendidikan: Tanya Kenapa?

Saat-saat akhir menjelang tumbangnya rezim Orde Baru dari “panggung” kekuasaan, Soeharto pernah merombak kabinet. Bisa jadi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dan tekanan publik yang gencar menuntutnya untuk segera “lengser keprabon”. 21 Mei 1998, penguasa Orba yang dijuluki CNN sebagai “Indonesia’s Iron Ruler” (penguasa bertangan besi Indonesia) itu membuat manuver dengan “menceraikan” kebudayaan dari dunia pendidikan. Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya pun terbentuk. Bisa jadi juga sebagai imbas dari kebijakannya yang telah mencanangkan tahun 1998 sebagai Tahun Seni dan Budaya. Agaknya kebijakan penguasa Orba itu terus berlanjut hingga negeri ini mengalami beberapa kali suksesi. Meski namanya berubah menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, esensinya tak banyak bedanya; budaya “diceraikan” dari dunia pendidikan.

Namun, apakah “perceraian” antara budaya dan pendidikan itu mampu memberikan “pencerahan” terhadap peradaban negeri kita yang tengah “sakit” ini? Ufh … Agaknya, kita mesti menarik napas panjang, bahkan tahan napas, untuk akhirnya dilepas pelan-pelan sambil mengelus dada. :mrgreen: Korupsi kian menggila. Otonomi daerah sekadar slogan; hanya mengalihkan ruang korupsi dari Jakarta ke daerah. Para bupati/walikota telah tersihir menjadi “kaisar-kaisar” baru di daerah dengan kekuasaannya yang (nyaris) absolut. Para wakil rakyat yang seharusnya meneriakkan suara rakyat justru “tiarap”. (Khawatir tidak kecipratan “rezeki tiban” dari sang penguasa.) *halah* Bencana dan musibah akibat manajemen lingkungan yang salah urus pun terus membadai bertubi-tubi.

Fenomena semacam itu makin membenarkan sinyalemen Pujangga Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha tentang munculnya “Zaman Edan” yang ditafsirkan oleh Franz Magnis Suseno melalui adagium: “Wong lugu keblenggu, wong jujur ajur, wong bener thenger-thenger, wong jahat munggah pangkat, pengkhianat saya nikmat, durjana saya kepenak” (orang lugu terbelenggu, orang jujur terperosok, orang benar terdiam kehilangan akal, orang jahat naik pangkat, pengkhianat tambah nikmat, orang durjana makin hidup enak). Sungguh ironis!

Apakah fenomena semacam itu merupakan imbas dari “perceraian” antara budaya dan pendidikan? Secara langsung tidak memang. Namun, setidaknya hal itu akan sangat berpengaruh terhadap paradigma dan mindset kita dalam memandang makna dan substansi kebudayaan. Budaya tidak lagi dipahami sebagai sebuah entitas pencarian nilai-nilai kedalaman dan kesejatian hidup, tetapi lebih diorientasikan bagaimana agar kita bisa hidup dari sebuah kebudayaan. Dengan kata lain, kita tidak berupaya untuk “menghidupi” kebudayaan, tetapi justru bagaimana caranya agar kita bisa “hidup” dari kebudayaan itu. Sebuah “paham” yang telah diusung oleh kaum kapitalis ketika peradaban dunia sudah memasuki wilayah modernisasi dan globalisasi.

Merujuk pada Wikipedia, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” sebagai bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, culture (berasal dari kata Latin Colere) berarti mengolah atau mengerjakan, yang kemudian diindonesiakan menjadi “kultur”.

Dalam pandangan J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yakni gagasan (kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh), aktivitas (sering pula disebut dengan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat dan tata kelakuan), dan artefak (wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan).

Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua komponen utama. Pertama, kebudayaan material (mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, seperti temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci). Kedua, kebudayaan nonmaterial (ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional).

Merujuk pada pengertian tersebut, kebudayaan memiliki batasan yang cukup luas dan kompleks. Budaya tak hanya sebatas berkaitan dengan benda-benda “bersejarah” yang biasa dijual melalui paket pariwisata, tetapi yang tidak kalah penting justru yang berkaitan dengan pewarisan nilai-nilai luhur, termasuk nilai-nilai kearifan lokal, yang perlu terus dikembangkan dan dikemas secara kontinyu dan berkelanjutan dari generasi ke generasi sepanjang sejarah peradaban sebuah bangsa. Jika upaya pewarisan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal itu terputus, maka yang terjadi kemudian adalah sebuah “kebiadaban budaya” yang akan menghancurkan masa depan sebuah bangsa dalam mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat di tengah-tengah peradaban global dan mondial.

Namun, agaknya pemerintah kita cenderung memandang kebudayaan dari sisi ekonomi alias kebudayaan material an-sich yang ingin menjadikan budaya sebagai salah satu “ikon” pariwisata yang bisa mengalirkan devisa. Langkah semacam itu tidak salah, tetapi jika pewarisan dan pengembangan nilai-nilai kearifan lokal itu sudah berada pada titik nazir “pembiadaban budaya”, jangan salahkan jika kelak generasi masa depan negeri ini akan makin kehilangan kesejatian diri dan orientasi kulturalnya.

Pendidikan yang seharusnya diposisikan sebagai “domain” strategis untuk mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai budaya, disadari atau tidak, telah dikebiri. Perannya telah tergantikan oleh pemikiran para birokrat pariwisata dan kaum kapitalis yang melulu ingin “hidup” dari produk budaya yang telah berabad-abad lamanya menjadi penyangga martabat bangsa.

“Nasi telah menjadi bubur”. *halah* Kebudayaan telah resmi “bercerai” dengan dunia pendidikan. Bukan tanggung jawab dunia pendidikan lagi dong kalau kelak anak-anak bangsa negeri ini tidak paham lagi terhadap esensi dan kesejatian budayanya sendiri. Jangan salahkan juga seandainya anak-anak masa depan negeri ini lebih akrab dengan Naruto, Sin Chan, atau Batman ketimbang Gatut Kaca, Rara Jonggrang, Jaka Tarub, atau Layonsari. Nah, bagaimana? ***

Comments

  1. Waduh, karena keasyikan silaturahmi dengan teman-teman bloger lain, saya sampe keduluan sama pak ersis dech
    *sambil menangis dipojokan kampus*

    Hair’s last blog post..Aurat Perempuan, Pemandangan Terindah Yang Pernah Tercipta

    oOo
    gpp, mas hair. blog ini kan bisa saja dikunjungi setiap saat kapan mas hair mau. komen juga ndak harus vertamax kok, hiks.

  2. Karena yang mengatur pendidikan kita orang-orang tak berbudaya.
    Karena yang menjalankan budaya kita 0rang-orang tak berpendidikan.
    klop kan?

    btw mohon izin Pak mau kampanye budaya kontemporer di blog yang sangat berbudaya ini.

    Buat ntermezo. Bagi orang batak sedunia, Orang Jawa, Cina dan Keling yang selalu bangga menyebut diri “Anak Medan” atau orang Sumut, mari kita dukung PSMS Medan. Ayo kita doakan semoga Saktiawan Sinaga cs berhasil melibas Sriwijaya FC. .

    Awas, ada kemungkinan PSMS akan dikerjain wasit lagi. Soalnya, Sriwijaya memang diplot oleh orang berkuasa di PSSI untuk merebut gelar juara. Salah satu caranya adalah dengan menyetel wasit agar merugikan PSMS. Ini terkait dengan sejarah dan bisnis, yaitu Persijatim yang dijual pemgurusnya dan kemudian menjelma menjadi Sriwijaya FC.

    Viva PSMS Medan, Mampuslah Sriwijaya FC!

    Raja Huta’s last blog post..Viva PSMS Medan, Mampuslah Sriwijaya FC

    oOo
    walah, terbalik-balik jadinya ya bung huta, hehehehe … 😆 mudah2an yang mengurus kedua bidang itu benar2 orang yang tepat!

  3. pendidikan sudah mengarah pada misi-misi kapitalism rupanya..
    ada tokoh siapakah dibalik itu semua ?

    fauzansigma’s last blog post..Semangat Kawan!

    oOo
    bisa jadi begitu, mas sigma. kebudayaan saja sekarang dimerger ke pariwisata yang orientasinya ke industri.

  4. Hmmm…Kira-kira masih bisa disatukan lagi ya’??
    Biar bisa rujuk lagi mereka berdua..Hehehe…
    Tampaknya sih bisa… :mrgreen:

    Berli’s last blog post..Awal Kuliah?? Beres-beres Kostan dulu?

    oOo
    pasti bisa mas berli, asalkan ada “kemauan politik” pemerintah untuk melakukannya.

  5. Iya ya. Dulu sewaktu saya masih SD-SMU,masih ada departemen P dan K. Sekarang ga ada lagi ya?

    Kebudayaan dan Pendidikan seperti terpisah. Padahal untuk menanamkan kebudayaan bisa melalui pendidikan. Dan dalm kebudayaan itu sendiri bernilai pendidikan. Dua-duanya saling mendukung, sinergis. Tapi kenapa penentu kebijakan negeri kita begitu bodoh ya? Memisahkan dua hal tersebut. Why?

    mathematicse’s last blog post..Ngegombal dengan Matematika

    oOo
    ndak tahu juga kenapa bisa begitu pak jupri. mudah2an ada “kemauan politik” pemerintah utk merujukkan kembali dunia kebudayaan dg dunia pendidikan. biar sinergis.

  6. Menjadi penting untuk kita renungkan bersama. Apakah ketika departemen P dan K diberi spesialisasi khusus untuk HANYA mengurusi pendidikan maka departemen itu menjadi lupa untuk melanjutkan dan mewariskan kebudayaan melalui pendidikan? Kalau demikian, konyol sekali negara kita ini. Semua hal dipandang secara terkotak atau sektoral. Mentang-mentang departemennya tidak mengurusi kebudayaan lagi maka pendidikan kebudayaan ditinggalkan. Sedangkan, ketika ditugasi hanya untuk mengurusi pendidikan doang, pembangunan pendidikan pun masih diragukan hasilnya. Negara kita bukan menjadi daerah tujuan belajar lagi melainkan telah berubah menjadi sumber pelajar.

    Sebaliknya, Parsenibud itu kementrian atau departemen? Untuk mengurusi kebudayaan saya kira tingkatnya harus departemen. Hal tersebut berkaitan dengan anggaran yang dialokasikan. Sebuah kementerian anggarannya mana cukup untuk membangun kebudayaan.

    Kombor’s last blog post..Kumpul-kumpul Lebih dari 100 Orang Wajib Dilarang

    oOo
    Pariwisata dan kebudayaan dah jadi sebuah departemen mas arif, bukan kementerian lagi. idealnya kebudayaan memang menjadi departemen tersendiri, tidak nunut ke departemen lain. kalo toh harus nunut, yang kebih pas mestinya departemen pendidikan, sehingga yang diurus tidak melulu industrinya saja. Ini juga mnyangkut masalah kebijakan mas arif. kalau sudah ada departemen yang menangani sendiri, kalo departemen ikut campur nanti dikira mau intervensi.

  7. “Wong lugu keblenggu, wong jujur ajur, wong bener thenger-thenger, wong jahat munggah pangkat, pengkhianat saya nikmat, durjana saya kepenak”… 😆

    Budaya itu bid’ah pak kata para pembenci tradisi. Sebab itu harus dijauhhi. Kalau tetap saja dilakukan itu tandanya tidak beragama alias musyrik tidak percaya pada Tuhan….

    Kira2 begitulah lah pak! Tidak sedikit yang berujar seperti itu dan datang dari kampus2 keren di negeri ini…. lihat saja Islam garis keras dan garis tebal bertebaran di sana sini berusaha untuk mengikis budaya padahal mereka itu berpendidikan pak… bagaimana ituh… 🙂

    Kurt’s last blog post..Ruang dan Waktu Ngeblog

    oOo
    walah, kalau melestarikan tradisi dan budaya dianggap bid’ah, lalu yang ndak bid’ah itu yang kayak gimana, mas kurt, hehehehe 😆 membiarkan budaya leluhur itu lenyap ditelan zaman. *halah* jadi ndak mudheng jalan pikiran semacam itu.

  8. wah, berat tulisannya pak. tapi bagus deh, aku bisa belajar

    oOo
    Walah, kok berat sih, mas, hehehehe 😆 tapi gpp kalau belum sempat baca. Yup, makasih.

  9. “………….Pendidikan yang seharusnya diposisikan sebagai “domain” strategis untuk mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai budaya, disadari atau tidak, telah dikebiri. ………”
    ________________________
    waduh… kalo sudah dikebiri berarti tidak bisa beranak, eh salah.. berkembang donk pak sawali…. :mrgreen:

    antar~pulau’s last blog post..bersih-bersih ah?

    oOo
    walah, bapak kepala suku bisa aja nih, hehehehe 😆 emang punya alat kelamin, hiks.

  10. Dunia penuh dinamika Mas Sawali…jadi tenang tenang saja lah…yang terpenting jaga integritas kita.
    Jaman saya masih kecil Internet belum ada …sekarang Warnet dimana mana.
    Suka enggak suka sesuatu yang lama lama akan tergantikan yang baru yang up to date apalagi yang namanya Globalisasi (Gombalisasi…. 😛 ..???)udah sampai di ujung Grobogan sana (Tempat lahir Beta)
    Jadi yang terpenting sekali lagi bagaimana menjaga Integritas kita,Anak anak kita,Saudara saudara kita terhadap apa ?…Moralitas,Kinerja,Sopan Santun dlll.
    Gitu Mas Matur Nuwun

    simbahe sales’s last blog post..Tidak mudah menjadi Leader atau Pemimpin yang Ideal

    oOo
    yup, sepakat banget mas. meski demikian, nilai2 budaya harus tetap diwariskan dari generasi ke generasi agar nilai-nilai keraifan lokal yang sudah teruji oleh zaman itu tidak lenyap begitu saja oleh eforia globalisasi itu.

  11. Sebenarnya intinya yang menjauh itu budaya dari pendidikan, atau pendidikan dari budaya?? Maksudnya apakah budaya kita yang terus berubah dari zaman ke zaman (yang tentu sekarang banyak dipengaruhi budaya luar) telah meninggalkan jauh sistem pendidikan kita? Atau kebalikannya, sistem pendidikan kita yang telah menjauh dari akar budaya kita??

    Tentunya pada kedua skenario “perceraian” di atas mempunyai jalan solusi yang berbeda juga bukan?

    Yari NK’s last blog post..Ramalan Nostradamus Jadi Tidak Tepat??

    oOo
    bung yari, persoalan ini kan awalnya bersumber dari kemauan politik penguasa yang ingin menjadikan budaya memiliki nilai jual secara material sehingga dinunutkan pada departemen pariwisata. langkah itu saya kira ndak salah. tapi kalau nilai-nilai budaya lantas “diceraikan” dari dunia pendidikan, itu yang dikhawatirkan banyak kalangan dan pemerhati pendidikan, nilai2 budaya itu akan makin ndak terurus, hehehehe 😆 menurut hemat saya, sebaiknya kebudayaan menjadi departemen tersendiri. kalo harus dimerger, mestinya yang lebih tepat disatukan kembali dg dunia pendidikan, *halah*

  12. sekedar urun pendapat subjektif pak: sesuai sunahnya, alam semesta, juga manusia itu pasti (baca:wajib) berkembang, berubah. Begitu juga dengan kebudayaan, pasti berkembang sesuai jamannya. Jadi, kalau memaksa anak-anak kita harus selalu suka dengan gatutkaca, dan rara jonggrang, lha mereka harus nonton kemana pak? kecuali kalau gatot kaca dibuat versi playstation sesuai jaman edan. eh jaman kini.

    bekerja keras mempertahankan “budaya” agar tetap sakti seperti jaman dulu, sama saja kita memaksa anak-anak kita untuk tetap menjadi anak-anak. Lha, mereka kan juga berhak tumbuh, berkembang menjadi remaja, dewasa, dan suatu saat harus menemui sang pencipta. Begitu juga budaya, harus berkembang menjadi remaja, dewasa, tua dan mlaku thunuk-thunuk bawa tongkat ke liang lahat. halah..

    salam kenal pak guru…

    sandemoning’s last blog post..cinta

    oOo
    terima kasih mas sandemoning, hehehehe 😆 yup, saya sepakat banget mas, budaya [un terus berkembang seiring dengan peradaban umat manusia. kita ndak harus menanamkan nilai2 budaya dg cara memaksa. kan masih banyak cara yang lebih bagus misalnya dengan mengemas pertunjukan budaya yang sesuai dg konteks kekinian. makanya, saya lebih suka menggunakan istilah melestarikan dan mengembangkan. substansi mankan mengembangkan berarti harus ada upaya inovasi sehingga nilai2 budaya tidak tenggelam ke dalam romantisme nilai2 lama. bagus jugak kok kalo budaya tradisional dikembangkan melalui inovasi yang menarik dan memiliki daya pikat. kalau budaya, saya kira selama masih ada sang pemangku budayanya, nilai2 kearifan itu akan terus menurun dari generasi ke generasi, kecuali kalo sang pemangku budaya memang sengaja dan dengan amat sadar telah mematikannya. Ok, salam kenal juga mas sandemoning *kok pakek nickname kayak bhs linggis yang mas, hehehehehe 😆 *

  13. He he, mungkin budaya itu memnag ndak bisa benar-benar lepas dari pendidikan njih pak.
    Saya mengenal kebudayaan jawa itu ya salah satunya dari sekolah dasar dulu.
    Yang ngajarin nulis jawa dulu ya bu guru SD saya 😀

    sigid’s last blog post..Dante’s Inferno Test

    oOo
    yup, kalo saya masih penya mindset kayak gitu pak sigid. ketika kebudayaan dipisahkan esesnsinya dari dunia pendidikan, wah, lantas dari mana harus melakukan upaya penanaman nilai-nilai itu, pak sigig, hehehehe 😆 kalo budaya mlulu hanya ngurusi yang bersifat material, walah, bagaimana dg nasib anak2 bangsa negeri ini di masa depan, yak?

    • setuju banget,kalo budaya terrlepas dari pendidikan,terus bagaimana proses keberlanjutannya? apakah mungkin budaya masih bisa bertahan di era globalisasi yang sangat pesat,atau pastinya budaya akan tersingkirkan,hilang ditelan bumi?!?he..he..

  14. Nah masalahnya “perceraian” secara birokrasi apakah menjadi alasan budaya tidak bisa dipertemukan dalam dunia pendidikan?

    Nah masalahnya bagaimana jika ternyata “pendidikan” non formal ternyata lebih dominan dalam pembangunan karakter siswa. Lingkungan misalnya, dengan siapa dia mendekat sedikit demi sedikit kebudayaan tadi akan melekat pada ybs. Nah masalahnya lagi, kebudayaan yang seperti apa yang dimiliki lingkungan tadi. Baik atau buruk?

    Jika baik itu ndak jadi soal, nah kalo buruk/jelek siapa semestinya yang menyelamatkan mereka? *saya kok ganti ceramah disini ya Pak :D*

    annots’s last blog post..Need help

    oOo
    Yup, ini menyangkut persoalan kebijakan mas annots. saya kira dunia pendidikan masih memiliki komitmen untuk menanamkan nilai2 budaya kepada anak2 bangsa negeri ini. cuma yang jadi persoalan ketika secara birokrasi kebudayaan sudah “bercerai” dengan dunia pendidikan, disadari atau tidak, dunia pendidikan akan makin kehilangan perannya dalam membangun sebuah peradaban budaya yang sesuai dengan konteks zaman. Kalao dunia pendidikan nati ikut2an ngurusi masalah kebusayaan, nanti dikira iktu melakukan intervensi karena sudah ada departemennya sendiri.
    BTW, mas annots ndak berceramah, kok, tapi sharing. justru sharing semacam ini yang bisa ikut *halah* menambah wawasan kita, hehehehe 😆

  15. Pendidikan sekarang memang semakin menjauh dari budaya. Guru yang dulu berbeda dengan guru jaman sekarang. Dulu banyak sekali guru yang idealis. Pemerintah sudah mulai menaikkan kesejahteraan guru. Tapi nyatanya penyalahgunaan profesi guru malah semakin mengkhawatirkan. Dan guru yang lebih moderen lagi adalah TV 🙁

    Mardies’s last blog post..Asyik, Internet Gratis untuk Wong Pati

    oOo
    wah, ternyata TV bisa juga jadi guru yak mas mardies, hehehehe 😆 kita hanya bisa berharap semoga guru mampu menjalnkan tugas2 kulturalnya dg baik.

  16. Ass….ehe…..Rujuk lagi pak, itu adalah tugas kita bersama2, yg pasti kita harus selalu memasukkan nilai2 budaya dan agama kepada anak2 didik kita, termasuk anak kita……, oiya salam kenal pak

    olangbiaca’s last blog post..The Power of Du’a

    oOo
    salam kenal kembali mas. betul sekali. tugas kita semua adalah untuk mewariskan nilai2 dan semangat kultural itu dari generasi ke generasi.

  17. :mrgreen:
    menikah aja saya belum, bagaimana akan bercerai 😳
    bukan itu ya pak, permasalahannya hohoho
    _________________________________________
    barangkali rujuk adalah satu hal yg tepat,
    mengingat keduanya seperti kawan seperjalanan yang seyogyanya saling bergandengan tangan…
    menurut analisa seorang kawan, di Bali, bahkan budaya bersinergi dengan unsur lain berupa religi…
    kekeke bukan maksud saya menyombongkan, karena baru saja ke Bali lho :mrgreen:
    ah tapi memang dengan demikian, budaya disana bisa sangat terjaga sampai dengan saat sekarang ini…
    walaupun di lain pihak, banyak juga turis dengan budayanya sendiri, tapi kenapa masih tetap eksis itu tari-tarian dan budaya luhur yang lain 🙄

    oOo
    walah, mas goop tahu diri jugak? hiks. makanya cepetan, hehehehehe 😆 wah, salut juga tuh sama bali. unsur material dan nonmaterialnya tergarap semuanya. apalagi ada unsur religinya. mas goop ndak sombong kok, justru kalo punya pengalaman perlu share pada yang lain. hehehehe ….

  18. lha kok bisa nikah!?kalau akhirnya gak seneng!?
    budaya? ndak juga

    nico’s last blog post..Yang ke 22?

    oOo
    hehehehehe 😆 bukannya ndak seneng mas nico. tapi ada pihak2 tertentu yang sengaja memisahkannya :mrgreen:

  19. Budaya seperti apa yang berkembang pada suatu peradaban ditentukan oleh manusia itu sendiri. Dan kualitas pemikiran seorang manusia tidak luput dari faktor pendidikan yang didapatnya, melalui cara apapun.

    Humm..sedih pak, melihat budaya korupsi bukannya semakin menciut justru makin merebak di kalangan pejabat-pejabat daerah, lalu apa bedanya diterbitkan atau tidaknya UU 32 Tahun 2004? Kembali ke manusianya ya pak, kalau moral sudah ga bener ya keadaan seperti ini sampai kapanpun ga akan membaik, mohon doakan kami pak untuk tetap mempertahankan idealisme (walaupun terkadang kehilangan cara strategik untuk tetap berjuang) 🙂

    pipiew’s last blog post..Tertawa

    oOo
    yup, betul banget mbak fifi. manusia jugalah yang akan menentukan nasib peradaban bangsanya.yup, selalu bedoa utk mbak fifi, semoga idealisme itu ndak hilang.

  20. cK

    wew…di jakarta sendiri rasanya kebudayaan sudah mulai memudar deh.. 😕

    btw budpar itu yang gedungnya unik khan? 😆

    *sering dibahas teman-teman kalau lewat gedung budpar*

    cK’s last blog post..Rocker, Gentleman, dan Bus TransJakarta

    oOo
    apalagi kota megapolitan sekelas jakarta, mbak chika, kota2 kecil di daerah pun juga sama. kalo yang urusan jakarta malah mbak chika dong yang lebih tahu lokasi gedung budpar-nya, hiks.

  21. aduh kang mas.. jangan ada perceraian deh.. sakit banget deh di hati… kasian anak2 kalau kita cerai..( lho kok …?? emang u laki gw…???? ) waduh gak nyambung blasss….

    oOo
    kekekekekeke …. mbak franya ada2 aja nih, hehehehehe 😆 emang bener kok mbak. Perceraian bikin panas hati, hiks. mending rujuk dan baikan ajah!

  22. bapak bisa aja.. lagian, kapan sih ada harmonisasi ketika kebudayaan dan pendidikan masih belum diceraikan? Saya kok tetap melihatnya dalam kepesimisan yang mendalam.. 😥

    Semejak genderang materialisme dengan idiom pembangunanisme ditabuh, esensi budaya dan pendidikan pekerti sudah mulai kehilangan akarnya sedikit demi sedikit.. apalagi setelah reformasi.. semakin carut marut..

    terlepas apakah akan rujuk atau tidak, upaya revitalisasi budaya dan akar kultur bangsa melalui -setidaknya- dunia pendidikan wajib dilaksanakan mulai dari sekarang, syukurlah, beberapa daerah yang sudah menerapkan KTSP mau memasukkan kembali bahasa daerah menjadi muatan lokal seperti jawa tengah dan surabaya. Meski dengan catatan bahwa tidak hanya itu saja upaya revitalisasi budaya bangsa.

    *maaf pak, komentar ini pertanda saya bangun dari tidur*

    gempur’s last blog post..Permasalahan yang Menghadang Dunia Petani dan Pertanian

    oOo
    Yup, sepakat banget, pak gempur. fungsikan dunia pendidikan sebagai pusat budaya. dari sinilah anak2 masa depan negeri ini bisa belajar dan menimba nilai2. BTW, barusan bangun tidur pak gempur langsung bersuara lantang, yak, hehehehe 😆 salut juga nih!

  23. STR

    Orang pintar tak berbudaya, budayawan pada bodo semua. Wah, repot kalo jadinya kayak gini ini. Dan jurang antara pendidikan dengan kebudayaan sekarang memang sudah semakin jauh, Pak. Lalu bagaimana?

    STR’s last blog post..Tawa Knalpot

    oOo
    rujuk kembali, mas satria. satukan kebudayaan dg dunia pendidikan, syukur2 kebudayaan bisa jadi departemen sendiri. itu kan lebih bagus. bisa ngurus budaya material dan nonmaterialnya. *halah, kok jadi sok tahu nih*

  24. wah kalau dalam kenegaraan kebudayaan di suruh cerai ma pendidikan. apa emang kebudayaan bukan lagi urusan pendidikan.
    masa sih guru2 diharamkan untuk mendidik muridnya untuk berbudhi dan berakhlak seperti nenek moyangnya dahulu yang di kenal dengan keramah tamahan gotong royong toleransi dan kebudayaan2 lainnya yang menjadi ciri dari bangsa?

    kalau memang pendidikan tak dapat lagi menyentuh kebudayaan nonmaterial sebagai hal yang perlu diwariskan ke generasi penerus betapa menyedihkan nasib bangsa ini.

    saya pertama kali mencintai bangsa ini dengan keaneka ragamannya melalui pelajaran pancasila yang diajarkan oleh guru2 saya di sd dulu. dan saya ingat betul itu. tak banyak lingkungan mengajarkan mencintai bangsa ini sebanyak yang dilakukan guru2 di sekolah

    gak rela ih,

    bedhiah’s last blog post..French Press

    oOo
    makasih mas bedh. idealnya kebudayaan memang ndak boleh “cerai” dg dunie pendidikan, hehehe 😆 lewat dunia pendidikanlah penanaman nilai2 budaya bisa ditumbuhkembangkan. mudah2an pemerintah punya “kemauan politik” untuk melakukan “rujuk” dua bidang itu.

  25. budaya kini lebih banyak menjadi objek. objek pariwisata, sumber pemasukan devisa para pelancong, barang dagangan… tapi kalo gabung dengan pendidikan juga katanya gak pas. dulu saya pernah baca analisis siapa lupa… soalnya pendidikan diarahkan memenuhi kebutuhan industri, bukan mencetak anak bangsa yang cerdas lagi mandiri. jadi, kebudayaan mestinya tersendiri aja. *barangkali* 8)

    Siti Jenang’s last blog post..Karma Bisa Menurun dan Menular?

    oOo
    idealnya begitu mas jenang. kebudayaan jadi depertemen tersendiri. itu akan lebih yahuud.

  26. Pak Sawali yang baik (ini cara merayu yang santun hehehe…), aku benar-benar minta di-sorry karena lambat sekali memenuhi undangan Pak Guru di blogku yang ecek-ecek itu.

    Nah baiklah kubayar lunas sekarang, dengan memberikan komentar yang panjang — maksudku jangkauan waktunya sejak zaman kumpeni :

    Menurut aku, “perceraian” pendidikan dengan budaya terjadi lantaran otak kognitif kita diisi dengan logika barat, sedangkan otak afektif kita masih tetap dengan muatan lama : mistisisme yang berakar pada ajaran Hindu atau budaya India.

    Jadi, bukan hanya pendidikan dan budaya yang mengalami split atau keterpisahan, namun kepribadian kita sebagai manusia Indonesia juga ikut retak. Apalagi dengan masuknya dua agama baru yang sama-sama berasal dari peradaban yang keras : Islam dan Kristen; tambah gaduhlah konflik-konflik dalam diri kita.

    Masalah ini baru akan beres, maksudku pendidikan akan rujuk dengan budaya, kalau bangsa kita sudah mencapai titik equilibrium baru, sebagai sintesa dari konflik-konlik yang ruwet tadi. Kapan ? Kalau Muhammadiyah di Islam dan Protestan di Kristen menjadi pemegang hegemoni nasional dalam kelompok masing-masing 🙄

    Robert Manurung’s last blog post..Timtim, Monumen Abadi Kejeniusan Soeharto

    ooo
    ok, makasih banget masukannya bung robert. mudah2an antara budaya dan pendidikan bisa saling bersinergi sehingga mampu mewujudkan sebuah peradaban yang bermartabat dan berbudaya.

  27. budaya adalah kristalisasi nilai kehidupan manusia dalam memaknai dirinya di dunia (hidup) ini *definitionn by tomy*
    budaya berkembang dari proses pemaknaan, pembelajaran & pendidikan selama hidup manusia, jadi budaya punya arti lebih luas
    pendidikan punya peran yang sangat besar dalam membentuk budaya, terutama dalam diri manusia muda
    dukungan saya tetap bulat untuk Pak Sawali menjadi MENDIKBUD RI demi revolusi kebudayaan Indonesia dalam membangun manusia yang merdeka dan berdaulat akan dirinya
    Pareng riyin pekerjaan sudah menunggu 😥

    tomy’s last blog post..Orang Muda, siapkan dirimu..!!

    ooo
    wakakakaakaka … bisa jadi mendikbud kalau presidennya pak tomy, hehehehe 😆 kita kan bisa kkn, hiks :mrgreen: yup, saya sepakat dengan definisi kebudayaan versi pak tomy. memang seharusnya budaya tak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. esensinya makin hilang kalau harus menyatu dg pariwisata.

  28. bagaimana bila pendidikan dan budaya bersatu lagi tanpa mengganggu konsentrasi DEPBUDPAR?KTSP memungkinkan sekolah mengembangkan kreatifitas dengan membuat sendiri kurikulumnya, tentunya mengacu standar yang telah ditetapkan BNSP. Perkawinan budaya dengan pendidikan akan membuat nilai-nilai-nilai luhur dalam masyarakat tetap lestari!!beri masukan donk, baik pustaka, artikel, maupun tulisan all about sinkronisasi budaya dan pendidikan!karya tulis saya yang berjudul PENGEMBANGAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER BERBASIS MASYARAKAT DENGAN KONSEP MULTIPLE INTELLIGENCE menjadi calon makalah dalam SIMPOSIUM NASIONAL TAHUNAN PENDIDIKAN 2008!!isi penting karya tulis di antaranya revitalisasi budaya lewat ekstrakurikuler, pendanaan, pelaksanaan, evaluasi dan seterusnya!maturnuwon :293

    • wah, selamat dan salut atas karya tulisnya, mas dika, semoga sukses. duh, utk hal2 yang terkait dg masalah kebudayaan, om g\oogle saya yakin lebih tahu, hehehe … cari aja teferensinya dari sana, mas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *