Pada tanggal 6 September 2017, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Peraturan Presiden (Perpres) ini sudah lama ditunggu kehadirannya oleh masyarakat luas sejak Mendikbud, Muhadjir Effendy, mengeluarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah.
Sebagaimana dilansir banyak media, Permendikbud yang mengatur lima hari sekolah yang sering disebut Full Day School (FDS) telah memicu reaksi yang meluas di kalangan masyarakat, khususnya bagi warga NU. Demo yang menolak FDS pun marak digelar di berbagai daerah secara masif. FDS dinilai akan menggusur keberadaan Madrasah Diniyah (Madin) yang dalam sejarah dianggap memberikan kontribusi besar dalam melahirkan generasi masa depan yang memiliki basis spiritual yang kuat dan tangguh di tengah dinamika zaman yang terus berubah. Dengan mewajibkan belajar di sekolah selama 8 jam perhari, anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk belajar di Madin secara intensif sehingga dikhawatirkan akan mematikan puluhan ribu Madin yang secara kultural telah menyatu dengan budaya masyarakat setempat.
Banyak kalangan menilai, Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) melalui FDS justru menimbulkan dampak serius terhadap peserta didik. Selain kelelahan fisik dan psikis, peserta didik juga kehilangan keceriaan dan kebahagiaan sebagai hal yang penting dan mendasar dalam penguatan karakter. Beban belajar yang berlebihan setiap hari di sekolah, justru membuatmereka gagal fokus untuk mengikuti proses pembelajaran, baik melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler.
Hal itu diperparah dengan kesenjangan sarana, prasarana, fasilitas, dan sumber daya antardaerah. Kota yang begitu dinamis dengan kesibukan orang tua yang (nyaris) tanpa jeda, bisa jadi tidak akan menimbulkan banyak masalah jika sekolah yang notabene memiliki sarana, prasarana, fasilitas, dan sumber daya yang memadai, menerapkan FDS. Namun, daerah pedesaan yang minim sarana, prasarana, fasilitas, dan sumber daya dengan waktu kerja orang tua yang begitu longgar di wilayah agraris dan maritim, justru akan mengalami banyak kendala dan masalah jika sekolah harus menerapkan FDS.
Memang Presiden Joko Widodo pernah menginstruksikan agar FDS dihentikan. Namun, lantaran belum ada peraturan yang mencabut keberadaan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017, maka FDS pun jalan terus sehingga menimbulkan resistensi masif dari kalangan nahdliyin. Dengan keluarnya Perpres ini Permendikbud tentang Hari Sekolah dengan sendirinya tidak berlaku meskipun secara eksplisit tidak tersurat dalam Perpres.
Persoalannya sekarang, setelah Perpres secara resmi ditandatangani oleh Presiden, apakah program PPK sebagai pilar penting dalam melahirkan generasi masa depan yang utuh dan paripurna bakal terwujud? Akankah impian generasi emas Tahun 2045 yang memiliki jiwa Pancasila dan pendidikan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan sebagaimana tertuang dalam pasal 2 benar-benar dapat tercapai?
Untuk mencapai impian generasi emas Tahun 1945 yang berjiwa Pancasila dan berkarakter tangguh memang bukan hal yang mudah. Tantangan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini kian rumit dan kompleks. Selain mengalami krisis keteladanan dari para elite, generasi masa depan negeri ini juga mengidap “gagap budaya” akibat gelombang nilai global yang demikian kuat mengguncang peradaban yang sedang “sakit”. Akibatnya, generasi milenial saat ini mengalami “split personality” (kepribadian terbelah) yang makin abai terhadap nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan religiusitas.
Situasi dan tantangan semacam itu jelas menjadi PR besar bagi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang mendapatkan mandat dari Presiden untuk menjadi koordinator pelaksanaan PPK sebagaimana tercantum pada pasal 12. Namun, jika Kemenko tersebut mampu mensinergikan kerja Kemendibud, Kemenag, Kemendagri, dan Pemerintah Daerah, bukan mustahil apabila impian besar tersebut dapat terwujud.
Yang tidak kalah penting, peran tripusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) harus benar-benar menjadi basis pendidikan yang mencerahkan dan membahagiakan buat tumbuh-kembang anak-anak. Keluarga menanamkan basis nilai religius, budaya, kemandirian, dan integritas. Sekolah menumbuhkan nilai-nilai kecerdasan dan keterampilan, serta mengokohkan karakter anak, termasuk nasionalisme. Sedangkan, lingkungan masyarakat menginternalisasi dan memberikan pembelajaran tentang nilai-nilai sosial, kegotongroyongan, dan mengokohkan nilai-nilai sosial, budaya, dan religi yang dasar-dasarnya telah diperoleh dari lingkungan keluarga.
Atmosfer pendidikan semacam itu perlu dibarengi dengan “kemauan positif” para pemangku lingkungan (orang tua, guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemimpin dari berbagai level, elite politik, dan segenap komponen bangsa) untuk memerankan dirinya sebagai patron teladan yang bisa dijadikan sebagai rujukan baku anak-anak dalam menemukan kesejatian dirinya. Selain itu, tokoh agama dan tokoh masyarakat perlu menyediakan ruang kultural-religius yang mampu menopang tumbuh dan suburnya karakter dan akhlak anak-anak yang makin menunjukkan kecintaannya terhadap tanah air. ***