Negeri yang Mengidap “Amnesia” Sejarah

Kategori Opini Oleh

(Refleksi 109 Tahun Kebangkitan Nasional dan 19 Tahun Reformasi)

109 tahun sudah para pendahulu negeri ini memantik kesadaran seluruh elemen masyarakat dari berbagai golongan untuk bangkit menjadi sebuah negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat. Melalui momentum kebangkitan nasional, pendahulu negeri semacam Sutomo, Soekarno. Tjipto Mangunkusumo, Soewardi Soerjaningrat, atau Douwes Dekker, berhasil menunjukkan karakter “genuine” yang total memperjuangkan nasib bangsanya dari cengkeraman penjajah tanpa pamrih.

Kesadaran nasional sebagai bangsa Indonesia yang digelorakan oleh para tokoh kebangkitan nasional, disadari atau tidak, telah menginspirasi tokoh-tokoh pejuang untuk mewujudkan “mimpi” sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Momentum kebangkitan nasional itu makin menunjukkan makna kesejatiannya ketika pada 28 Oktober 1928, sejumlah tokoh muda mengikrarkan Sumpah Pemuda yang merepresentasikan kebhinekaan dengan mengakui kesatuan bangsa dan tanah air Indonesia, serta menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Kesadaran nasional dan pengakuan terhadap eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa terus digelorakan dalam bentuk pergerakan dan perjuangan secara masif di seluruh penjuru nusantara. Tidak sedikit pejuang yang harus menjadi “tumbal” untuk negerinya. Namun, perjuangan mereka tidak sia-sia. 17 Agustus 1945 menjadi puncak dan titik kulminasi dari alur kesadaran nasional, semangat kesatuan, dan perjuangan bangsa Indonesia.

Seiring rotasi waktu, hiruk-pikuk dan dinamika negeri ini (nyaris) tak pernah nihil dan terus menggelinding ke tengah panggung sosial dan politik. 72 tahun sudah negeri ini merdeka. Penguasa negeri juga terus berganti rezim mulai Soekarno. Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo.

Namun, diakui atau tidak, pergantian dari rezim ke rezim selalu sarat dengan konflik. Kekuasaan terlama di bawah rezim Orde Baru dinilai telah melahirkan oligarkhi kekuasaan sehingga keadilan dan kemakmuran selama kurun waktu 32 tahun (1 Desember 1967-21 Mei 1998) gagal diwujudkan. Akses politik dan ekonomi dianggap hanya menguntungkan sekelompok elite dan kroni-kroninya. Lantaran sudah syarat dengan proses pembusukan dan anomali akut, tahun 1998, mahasiswa yang merepresentasikan suasana batin rakyat yang “marah” menggelontorkan agenda reformasi yang berhasil “memaksa” Soeharto “lengser keprabon”.

Era reformasi yang berhasil meruntuhkan tahta kekuasaan Orde Baru dinilai menjadi momentum yang tepat untuk melakukan perubahan dan pembaharuan. Orde reformasi dinilai juga telah berhasil membuka sumbat demokrasi, pers yang terkekang, supremasi hukum yang amburadul, KKN yang menggurita, dwifungsi TNI/Polri yang represif,  atau sentralisasi kekuasaan yang memarginalkan daerah.

Pertanyaannya sekarang, sudahkah era reformasi berhasil mewujudkan mimpi para pendahulu negeri untuk melindungi segena bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945?

Alih-alih mewujudkan mimpi besar yang diamanatkan oleh para pendahulu negeri, era reformasi yang seharusnya menjadi momentum untuk berpolitik dan berdemokrasi secara jujur dan ksatria saja, justru makin terjebak dan tenggelam dalam kubangan lumpur primordialisme berbasis SARA. Cara-cara purba dan primitif berbasis fitnah, kebencian, suku, dan agama tak jarang digunakan para elite sebagai media politik identitas untuk menundukkan dan menghabisi rivalnya. Gus Dur dilengserkan dengan isu “Bulog Gate” dan “Brunei Gate” hingga akhirnya memaksa sang “Guru Bangsa” ini meninggalkan istana kepresidenan. Dan kita semua tahu, “Bulog Gate” dan “Brunei Gate” yang diisukan itu ternyata hanya kebohongan belaka yang dengan amat sengaja dan amat sadar dihembuskan untuk menistakan Gus Dur. Kita juga tahu, siapa yang berdiri di balik layar pelengseran Gus Dur dari panggung istana kepresidenan.

Yang paling mutakhir tentu saja Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang juga dengan amat sengaja dan amat sadar dijegal dengan menggunakan politik identitas berbasis SARA. Cara purba dan primitif semacam ini agaknya memang ampuh menjadi sarana politik untuk menghabisi lawan. Ahok, bukan hanya terjungkal dari kursi DKI I –meski kinerjanya selama ini berhasil memuaskan 70% warga Jakarta–, melainkan juga harus mendekam dua tahun di balik jeruji besi akibat “keseleo lidah” mengutip Al-Maidah 51. Tak ayal lagi, Ahok yang diberi stempel cina dan kafir itu harus menjadi “tumbal” kebangsaan yang mengalirkan simpati kebhinekaan yang bergaung di (hampir) seluruh penjuru negeri, bahkan dunia.

Pasca-Gus Dur dan Ahok terjungkal, agaknya para elite yang gemar bermain politik identitas juga makin gerah dan kepanasan untuk mengarahkan bandul SARA kepada Presiden Joko Widodo. Kini, sudah makin jelas dan terang-terangan sekelompok elite yang dengan amat sengaja dan amat sadar hendak mendaur-ulang dan menggoreng sentimen-sentimen primordial untuk menghadang langkah RI I ini dalam menuntaskan nawacita-nya. Cina dan komunis akan menjadi “diksi” politik di berbagai media sosial untuk menghantam Jokowi.

Hem, atmosfer sosial-politik semacam ini jelas sangat bertentangan secara diametral dengan mimpi para pendahulu negeri dan penggerak reformasi. Sudah terlalu banyak kaum elite di negeri ini yang mengalami “amnesia” sejarah. Mereka lupa pada “khittah” kebangsaan yang berbasis pada nilai-nilai religius, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sebagaimana tersirat dalam Pancasila. Mereka lupa bahwa bangsa kita yang plural tidak menolerir “sesat pikir” yang ingin memorak-porandakan negara kesatuan RI. Para pendiri negeri ini juga telah memiliki “tagline” agung yang mengakui kebhinekaan yang mesti terus digelorakan di setiap ruang dan waktu. Bangsa kita juga telah memiliki UUD 1945 sebagai landasan konstitusional untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Haruskah negeri yang multikultural ini tersingkir dari peradaban dunia hanya karena ambisi kekuasaan segelintir orang yang tak kuasa membendung gelegak naluri dan hasrat purbanya? Sungguh, teramat mahal harga yang mesti ditebus untuk membiayai perilaku dan ulah politik sekelompok orang yang nyata-nyata tengah mengidap “amnesia” sejarah itu. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top