Setelah 9 Tahun Ngeblog

Kategori Blog Oleh

Juli 2007 merupakan saat pertama saya belajar ngeblog (=mengeblog). Sering berganti-ganti engine, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengelola domain dan hosting berbayar. Tidak mudah memang untuk menjaga spirit dan konsistensi ngeblog. Selalu saja muncul “godaan”. Entah itu, pekerjaan offline yang menumpuk, aktivitas pekerjaan dan organisasi, atau aktivitas-akivitas sosial kemasyarakatan yang lain. Pasang-surut pun sudah menjadi hal yang lumrah terjadi.

Meski demikian, blog masih tetap menjadi “rumah” yang tepat dan nyaman bagi saya untuk “mengabadikan” berbagai pemikiran, pengalaman, peristiwa, atau berbagai imajinasi “liar” yang seringkali tak terkendali. Melalui blog, saya bisa menengok perjalanan hidup dan dinamika pemikiran masa silam yang pernah menjadi bagian “mozaik” kehidupan yang saya lakoni.

Jujur saja, sejak blog menjadi “candu” yang menghipnotis saya untuk menulis, saya sudah mulai jarang menulis di media cetak. Sebagian besar ide, pemikiran, pengalaman, dan imajinasi saya, saya publikasikan di blog pribadi. Bukan persoalan apa-apa. Saya hanya membutuhkan ruang yang tepat untuk berekspresi. Hanya itu saja! Melalui blog, saya bisa dengan mudah dan leluasa untuk mengangkat berbagai persoalan yang terkait dengan ranah pendidikan, bahasa, sastra (cerpen atau esai), sosial, atau budaya. Sesekali, tergoda juga untuk mengurai gagasan yang terkait dengan persoalan kekinian, termasuk ranah politik. Berdasarkan data yang tercatat di dasbor blog, ada 1.117 tulisan “gado-gado” yang sudah terpublikasikan. Jumlah tulisan yang tidak terlalu banyak memang dalam kurun waktu lebih dari 9 tahun. Namun, yang jelas dan pasti, berapa pun jumlah tulisan yang ada, bukanlah hal yang terlalu serius untuk saya persoalkan. Nilai sosial yang saya dapatkan dari blog sudah jauh melampaui apa yang pernah saya bayangkan sebelumnya.
***

Sebelum media sosial (medsos) hadir menjadi ruang publik yang menjanjikan kemudahan dan memanjakan penggunanya dalam berinteraksi sosial di dunia maya, blog menjadi “primadona”. Dalam amatan awam saya, kurun waktu 2007-2009 merupakan masa-masa subur bagi narablog untuk berekspresi dan membangun sliaturahmi. Pertemanan melalui blog begitu “mesra” sehingga acara kopdar (kopi darat) menjadi agenda rutin. Para blogger yang selama ini hanya berinteraksi sosial melalui dunia maya, mereka bisa bertatap muka secara langsung dalam suasana hangat, akrab, dan penuh kekeluargaan. Jalinan pertemanan pun meningkat levelnya menjadi sebuah “keluarga”.

Kini, setelah masa-masa subur ngeblog mulai surut dan kompleks blogsphere mulai sepi, atmosfer sosial telah beralih ke medsos. Keriuhan ngeblog telah beralih ke ruang media sosial yang begitu “seksi”. Suasana egaliter yang berhasil dibangun oleh medsos, disadari atau tidak, telah mampu membuka ruang dan sekat-sekat pergaulan. Siapa pun bisa berinteraksi, menjalin pertemanan, atau berdiskusi dalam suasana yang santai dan akrab.

Meskipun demikian, harus diakui juga bahwa medsos tak jarang menjadi ruang yang pengap dan memanas suhunya. Silang pendapat, perdebatan, dan berbagai jenis ujaran vulgar dan sarkastik acapkali mewarnai suasana diskusi. Yang lebih memperihatinkan, medsos tak jarang dimanfaatkan sebagai ruang publik untuk menyebarkan berita hoax, ujaran kebencian, sentimen SARA, dan berbagai bentuk anomali sosial yang lain.

Terlepas dari situasi dan atmosfer semacam itu, sejatinya blog dan medsos bisa menjadi piranti digital yang sinergis untuk beraktualisasi diri. Blog itu ibarat rumah, sedangkan media sosial merupakan ruang publik untuk bertemu banyak orang dengan beragam karakter. Jika terkelola dengan baik, blog dan medsos mampu dimanfaatkan secara positif untuk membangun nilai-nilai sosial dan kemaslahatan hidup. Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan untuk berhenti ngeblog. Situasi semacam itu setidaknya telah ikut membangun spirit saya untuk tetap ngeblog di tengah “gempuran” godaan yang begitu masif. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Blog

Enam Purnama Tanpa Jejak

Sudah enam purnama, saya tidak meninggalkan jejak di blog ini. Sejatinya, enam
Go to Top