Gerakan Literasi melalui Aktivitas Penulisan Puisi

Kategori Sastra Oleh

(Sebuah Pengantar Antologi Puisi Nafas Pelor karya Siswa SMK Al Musyaffa’ Kendal)
Oleh: Sawali Tuhusetya *)

Ketika Pak Abdul Muid, Kepala SMK Al Musyaffa’ Kendal, menawari saya untuk memberikan pengantar terhadap antologi puisi karya murid-muridnya, saya tersentak sekaligus gembira. Tersentak karena Pak Abdul Muid dan murid-muridnya bernaung dan beraktivitas di sebuah institusi pendidikan kejuruan yang selama ini terkesan “jauh” dan menjaga jarak terhadap dunia kesastraan, termasuk puisi. Sungguh, jarang –kalau tak boleh dibilang langka– murid-murid SMK yang dengan amat sadar mau berakrab-akrab dengan sastra, apalagi terlibat secara intens dalam dunia penciptaan puisi. Sungguh, juga bukan hal yang mudah menggerakkan pelajar sekarang untuk mengakrabi dunia penciptaan puisi –meskipun saya juga tahu kalau Pak Abdul Muid adalah seorang sarjana sastra– di tengah situasi peradaban yang kian konsumtif, materialistik, dan hedonistik. Hal-hal yang secara finansial dianggap kurang menguntungkan, termasuk sastra, akan dengan mudah ditinggalkan dan disingkirkan.

revNamun, saya juga gembira, kalau pada akhirnya puisi menjadi bahasa universal yang bisa diakrabi oleh siapa pun, tanpa membedakan dari mana mereka berasal dan dari latar belakang kehidupan macam apa mereka berada. Ini artinya, puisi telah menjadi “bahasa kehidupan” yang mampu menembus batas-batas primordial, pendidikan, dan status sosial. Siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, sah-sah saja seseorang menjadikan puisi sebagai bagian dari ekspresi kehidupan. Demikian juga halnya dengan anak-anak SMK Al Musyaffa’ Kendal. Mereka telah menjadi bagian dari dunia sastra, khususnya puisi, dan akan tercatat dalam “sejarah” kehidupan bahwa mereka pernah merasakan dinamika dunia penciptaan puisi yang bersentuhan langsung dengan domain imajinasi yang sesekali “liar” dan mengejutkan.

Beragam puisi yang diusung oleh anak-anak SMK Al Musyaffa’ Kendal dalam antologi ini, selain menepis anggapan bahwa anak-anak SMK cenderung jarang bersentuhan dengan dunia sastra, juga senapas dengan budaya literasi yang kini tengah gencar digelorakan secara masif oleh pemerintah. Secara sederhana, literasi berkelindan dengan kemampuan membaca dan menulis. Jika literasi ini “memfosil” dalam kebiasaan hidup sehari-hari, maka akan menjadi sebuah budaya.

Budaya membaca dan menulis sesungguhnya akan mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam membangun karakter bangsa. Sebagaimana kita ketahui,  akibat rendahnya budaya literasi di negeri ini, disadari atau tidak, bangsa kita masuk pada peringkat dua terbawah berdasarkan data yang dihimpun oleh Association for the Educational Achievement (IAEA) tahun 1992. Sementara, Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Sungguh, kenyataan semacam ini jika terus berlanjut akan menjadi sebuah “bencana moral” yang akan berimbas –meminjam istilah Nurcholish Madjid– pada “kebangkrutan nurani”. Perilaku kekerasan dan vandalisme akan bersimaharajalela di kalangan pelajar dan generasi muda. Mereka gampang kalap, agresif, biadab, dan gagal mengatasi masalah yang dihadapi dengan dengan cara-cara yang beradab akibat rendahnya kemampuan membaca sekaligus menulis. Imbas selanjutnya, nurani menjadi “lumpuh” dan kian terseok-seok dalam memahami makna kearifan dan kebajikan hidup. Bukankah ini akan menjadi sebuah “malapetaka” bagi bangsa kita yang sudah lama dikenal sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya?

Dalam situasi demikian, kita layak memberikan apresiasi kepada siswa SMK Al Musyaffa’ Kendal –seberapa pun bobot kualitas karyanya– yang dengan amat sadar melakukan gerakan literasi melalui aktivitas penulisan puisi. Setidaknya, mereka telah berhasil “melompati” aktivitas membaca dalam pengertian yang seluas-luasnya. Tidak hanya sekadar membaca teks, tetapi juga membaca ayat-ayat Allah yang tergelar di alam semesta.
***

Ada puluhan, bahkan ratusan, judul puisi yang terkumpul dalam antologi ini. Beragam tema pun mereka angkat ke dalam genre puisi dengan berbagai gaya tutur. Bagaikan mozaik, persoalan keseharian khas remaja, semacam cinta, persahabatan, Narkoba, kenakalan pelajar, kepahlawanan, religi, atau kerinduan, jalin-menjalin membangun kisah romantik dan heroik yang unik dan menggelitik. Yang tidak kalah menarik, ada juga puisi karya mereka yang bersentuhan dengan “jagad gedhe”, sebuah dunia yang penuh dengan intrik sosial, kemiskinan, penderitaan, korupsi, dan kekuasaan. Persoalan-persoalan “anomali” kehidupan sosial yang mereka baca melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik, mereka renungkan, mereka refleksi, mereka endapkan, untuk selanjutnya diekspresikan ke dalam teks puisi melalui bahasa khas remaja.

Sekadar contoh, simak saja puisi “Bidak Tirani” karya Laili Zahrotun Nisa berikut ini. //Kami/Sekumpulan otak di bawah kaki/Berpikir, berkreasi, beride, menggagas/Tapi gagal jadi/Terhalang sol beludru para Menteri//Peluh kami teguk/Receh kami rantang//Mari berpulang/walau pulang, tak harus rumah/hanya istana 3×3/berkubah jalan tol//Di tanah kami/undang-undang mengira kami bos tanah/kami tertawa pedih//Kenapa tak berorasi?/Mengapa bungkam?//Kami hanya bidak tirani//

Ya, ya, sebuah lirik yang sarat dengan kritik terhadap proyek jalan tol yang dinilai abai terhadap nasib wong cilik yang hanya memiliki rumah berukuran 3 x 3 meter dan harus bernaung di bawah jalan tol. Rakyat kecil hanya bisa bungkam karena hanya menjadi bidak yang harus mengikuti kemauan penguasa sebagai bidak tirani.

Dalam gaya tutur yang berbeda, Agung Setiawan mengungkapkan rasa muaknya terhadap perilaku koruptor yang tega mengemplang uang rakyat di tengah jeritan kemiskinan melalui puisi bertitel “Koruptor” berikut ini. //Di saat kau berjalan kaki/kau bak seorang yang berbudi/berpakaian rapi berdasi/punya kursi dan jabatan tinggi//Ketika semua orang sibuk sendiri/berpikiran ke sana kemari/berdiam diri mencari solusi dapat berkorupsi// Di saat kau ketahuan mencuri/kau berlari…/bersembunyi… di tempat sepi/menjadi buronan banyak polisi//Koruptor//Kau bagaikan tikus yang bersembunyi/mengambil makanan di sebuah panci/dan berlari ke sana kemari/mencari tempat untuk selamatkan diri//

Puisi dengan lirik yang berima sama pada akhir larik ini terkesan amat emosional terhadap perilaku koruptor yang dimetaforkan bagaikan “tikus yang bersembunyi” untuk menyelamatkan diri dari kepungan polisi. Kesan emosional ini bisa jadi mewakili jeritan jutaan rakyat di negeri ini yang sudah amat bernaung-turba kebenciannya terhadap fenomena korupsi yang mewabah di negeri ini.

Nada kerinduan anak terhadap seorang ibu yang berada “nun jauh di sana” diungkapkan oleh Dian Romadhonah dalam puisi “Cahaya Bundaku”: //Selalu saja kurindu/abad-abad yang terus berlalu//Nun jauh di sana/sepasang mata yang begitu indah//Menatapku dengan haru/seraya penuh rindu//Itulah cahya bundaku/yang selalu kurindu//

Bisa jadi, puisi ini mewakili kerinduan seorang anak yang sudah amat lama ditinggalkan oleh sang bunda yang jauh berada di negeri seberang. Begitu dalam kerinduan itu sehingga sepasang mata bundanya yang begitu indah selalu menatapnya dengan penuh cinta dan kerinduan. Terkesan sentimentil memang. Namun, begitulah yang dirasakan sang penyair yang senantiasa ditelikung rasa rindu kepada sang bunda yang seolah-olah telah berlangsung berabad-abad lamanya.

Lain lagi dengan puisi bernapaskan religius yang juga merupakan hasil karya Laili Zahrotun Nisa bertajuk “Suara Alam”: //Katakanlah/wahai angin yang berhembus/engkau sibakkan/jemari daun pinus yang berangkulan/bertasbihlah engkau pada Tuhan kita/dengan tegaknya pohon mekarnya mawar/Allah hidupkan yang mati dengan kuasa-Nya//Bisikkanlah/akan gesekan atom di tujuh labgit/gelegar merdu dari sang petir/Maha suci Allah/bilamana kilatmu terangi gelap/tak ragu, kekuatan dari manakah/dapat kau belah awan hingga mendung//Nyanyikanlah/dari paruhmu, makhluk kecil Allah/ya burung, Tuhan mengangkatmu di udara/tetaplah berkicau dengan mengagungkan asma Allah//

Puisi religius ini mengandung idiom penuh cinta kepada Sang Khalik. Ya, cinta akan kekuasaan Tuhan melalui suara alam yang terdengar melalui hembusan angin, gesekan atom, gelegar suara petir, bahkan juga nyanyian burung yang senantiasa mengagungkan asma-Nya.
***

Masih banyak puisi lain yang secara stylistik mengandung kekuatan estetik dengan mendayagunakan berbagai kiasan, idiom, dan langgam bahasa yang khas kaum remaja. Namun, tentu saja tidak akan cukup untuk membahas satu persatu puisi karya mereka yang memancarkan semangat kepenyairan dan elan vital yang luar biasa. Yang pasti, puisi-puisi yang terkumpul dalam antologi ini bisa menjadi bukti bahwa gerakan literasi itu tidak hanya mengapung dalam bentangan slogan dan retorika belaka. Para penyair SMK Al Musyaffa’ Kendal telah membuktikannya.

Puisi-puisi yang lahir dari tangan mereka jelas tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui pergulatan kreatif yang tanpa jeda. Mereka terus “membaca” –sekali lagi dalam pengertian yang seluas-luasnya– dan menulis “tanda-tanda zaman” ke dalam larik-larik puisi sesuai dengan “licentia poetica” alias kebebasan kreatif yang mereka miliki.

Semoga kepenyairan mereka tidak seperti “obor blarak” yang sekali menyala untuk kemudian mati. Namun, terus melekat secara emosional ke dalam ruang batin dan jiwa hingga kelak mereka menjadi generasi masa depan yang kuat budaya literasinya; tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosialnya. ***

*) Sawali Tuhusetya, seorang guru dan pemerhati sastra, tinggal di Kendal

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Sastra

Membalas Cerita Ombak

MEMBALAS CERITA OMBAK Ali Syamsudin Arsi Kata-kata ombak: ( 1 ) “Ya
Go to Top